Mobil yang baru saja melaju kini langsung berhenti saat Hanan tiba-tiba menginjak remnya. Aku langsung menoleh dan menatapnya. "Ketemu Bang Hilman?" tanya Hanan seolah ragu dengan apa yang dikatakan. Aku mengangguk. "Dia mau ketemu Ilham katanya. Ada perlu juga sama aku.""Kan bisa datang langsung ke rumah. Rumah ibu bapakmu masih di tempat yang sama. Belum pindah. Kenapa harus ketemu di luar." Hanan terdengar menggerutu meski ia kembali melajukan mobilnya. "Aku sudah bilang gitu, tapi dia gak mau," jawabku. "Gak apa-apa lah. Daripada berdebat, mending ikutin aja kemauannya. Lagian, aku juga kan ada perlu sama dia. Mau minta dia buru-buru urus perceraian kami."Hanan tak lagi menanggapi. Dia mengemudikan mobilnya dalam diam. Raut wajahnya terlihat kesal. Meski begitu, mobilnya tetep melaju ke arah taman kota. Bahkan hampir sampai karena jarak dari toko sepeda memang lumayan dekat. "Mau ikut turun?" tanyaku saat mobil sudah menepi tepat di samping taman kota. "Enggak. Aku di sini
POV HananAku melirik jam berwarna hitam yang bertengger di pergelangan tangan. Sudah hampir setengah jam Zara pergi, tapi belum ada tanda-tanda dia akan segera kembali. Entah apa yang sedang dia dan Bang Hilman bicarakan. Bahkan, Ilham yang duduk di sampingku pun sudah terlihat gelisah. Padahal, aku sudah memberinya tontonan anak di hp milikku. "Om, kok, Bunda lama, ya?" tutur Ilham dengan wajah sedikit merengut. "Ilham bosan?" tanyaku sambil menatap sepasang mata beningnya.Anak berambut hitam pekat itu mengangguk pelan. Tangannya lalu mengulurkan ponsel yang masih memutar video film kartun kesukaannya. "Kalau gitu, kita turun, ya. Sambil nyari es krim," tawarku padanya. "Mau, Om!" timpalnya dengan mata berbinar. Aku pun mengajak Ilham turun. Menuntun tangan kecilnya menyusuri pinggiran taman kota sambil mengedarkan pandangan mencari-cari keberadaan tukang es krim. Angin sore yang berhembus menerpa wajahku menghadirkan rasa sejuk dan segar. Namun, tidak sampai ke dalam hatiku
"Bunda .... Ayah ....!" Ilham langsung berlari saat melihat kedua orang tuanya. "Hai, Sayang!" Zara menyambut kedatangan Ilham dengan memeluk putranya itu. Bang Hilman pun langsung berdiri dari duduknya dan mendekati Ilham. "Ayah!" Ilham berganti memeluk Bang Hilman. Jujur saja, pemandangan seperti ini selalu membuat hatiku tertusuk. Kenapa harus ada seorang ayah atau ibu yang egois dan mengabaikan perasaan anaknya demi kesenangan dirinya sendiri? Padahal bagi seorang anak, keberadaan orang tua yang lengkap di sisinya, sudah cukup membuat hidupnya terasa sempurna dan bahagia. Bagaimana tidak, aku merasakan kehilangan kedua orang tuaku di saat usiaku masih begitu kecil. Di saat aku masih sangat membutuhkan kasih sayang keduanya. Dan tak jarang, aku begitu sering merindukan belaian keduanya.Aku memalingkan pandangan. Mengusir rasa nelangsa yang tiba-tiba menyusup di hati. Dalam hati aku berjanji, tak akan membiarkan Ilham merasakan apa yang kurasakan. Jika dia kekurangan kasih sayan
Aku menatap Hanan dengan sepasang mata yang menyipit. Entah aku yang salah dengar atau Hanan yang salah bicara. "Emh ... maksud aku, gak salah aku punya teman sebaik dirimu." Hanan meralat ucapannya. Namun, entah kenapa raut wajahnya nampak gugup dan gelagapan. "Oh, iya. Kita berhenti dulu sebentar di depan, ya. Ada ayam bakar yang enak banget." Hanan kembali bersuara. Entah untuk mengalihkan pembicaraan atau memang sudah berniat sebelumnya."Sebentar lagi magrib, Han. Langsung pulang aja," timpalku saat melihat jam sudah pukul setengah enam. "Gak enak sama ibu. Aku udah janji. Lagian bentar doang. Paling cuma sepuluh menit," balas Hanan. Aku tak lagi menanggapi, karena mobil terlanjur menepi tepat di depan kedai ayam bakar yang dimaksud Hanan. "Mau ikut turun?" tanyanya sambil membuka sabuk pengaman.Aku menggeleng. "Nunggu di sini saja." Hanan mengangguk pelan lalu turun dari mobil. Tubuh jangkungnya melangkah masuk ke dalam kedai tersebut. Sementara aku dan Ilham menunggu di
"Aku juga langsung masuk, ya, Mas. Udah mau adzan," tuturku pada Mas Ryan. "Oh, iya, silakan. Aku juga mau langsung pulang," timpalnya. "Mari, assalamu'alaikum," lanjutnya sambil berjalan menuruni teras rumah. "Wa'alaikum salam," jawabku. Aku langsung masuk seiring Mas Ryan yang juga meninggalkan halaman rumahku. Terdengar suara sedikit riuh dari arah dapur. Aku pun langsung berjalan ke sana. "Kak Hanan ini tau aja makanan kesukaanku," tutur Fara dengan senyum centilnya. Sepasang matanya berbinar menatap sekotak ayam bakar yang sudah terhidang di meja makan. "Kalau kamu, sih, makanan apa aja juga doyan," timpalku sambil tersenyum lebar. "Ish, Mbak ini. Gak gitu juga kali." Fara mendelik. Membuat senyumku semakin lebar. "Alhamdulillah. Udah adzan. Pada solat dulu, ya," titah ibu pada kami semua. "Nak Hanan, pulang dari mesjid langsung ke sini, ya. Kita makan sama-sama," lanjut ibu pada Hanan. "Siap, Bu," timpal laki-laki dengan hidung mancung itu. "Pak, ke mesjid bareng, ya," l
Aku masih memandangi layar ponsel yang kini pendar cahayanya sudah padam. Pikiranku kembali melayang ke kejadian kemarin sore saat bertemu dengan Mas Hilman. "Aku akan memberikan uang itu kalau hubungan kita sudah jelas, Mas," tuturku kemarin sore. "Apa maksud kamu, Ra? Jangan bilang kamu akan memberikan uang itu kalau kita sudah resmi bercerai?" Mas Hilman nampak kesal. "Iya. Memang begitu," timpalku. "Ra, kalau harus nunggu hubungan kita berpisah dulu, kelamaan dong. Justru aku butuhnya sekarang." Mas Hilman nampak makin kesal. "Kenapa kamu gak minta tolong Anita? Bukannya dia juga punya uang, ya? Dia pasti gak akan keberatan dong ngeluarin sedikit uangnya untuk sahabat yang sekarang sudah menjadi suaminya. Bukannya kamu sendiri yang bilang, kalau Anita itu bahkan sanggup untuk yang kedua demi bisa hidup bersamamu. Masa baru suruh bayarin bekas pernikahan kalian aja gak mau. Gimana ke depannya?" Aku tersenyum miring."Aku cuma ... cuma ngerasa bertanggung jawab untuk membayar k
"Eh, itu, Bu. Justru Zara juga bingung harus bikin usaha apa nantinya. Secara Zara sudah gak punya suami yang menafkahi hidup Zara dan Ilham," jawabku. Fara nampak menghembuskan napas lega. Padahal apa yang baru saja aku katakan, memang benar-benar ungkapan hatiku sendiri. "Jangan ragu sama rezeki dari Alloh. Selama kita berusaha, pasti akan ada jalannya. Rezeki itu bukan dari suami, bos, ataupun majikan. Tapi dari Gusti Alloh," tutur ibu. Aku mengangguk. Dalam hati ikut meyakini, apa yang dikatakan ibu memang benar. Meski terkadang, sebagai manusia biasa, aku merasa khawatir akan masa depan. Ketakutan dan kekhawatiran itu selalu saja ada. "Assalamu'alaikum."Suara salam dari arah depan membuat percakapan kami terhenti. Lekas aku bangkit dan berjalan menuju pintu. Saat dibuka, ternyata Rima bersama putrinya. "Eh, ada Kak Ria. Salam dulu sama Tante, dong!" Aku mengulurkan tangan seraya mencium pipi anak perempuan yang rambutnya dikepang tersebut. "Iya. Aku habis jemput Ria dari s
Selama tiga tahun di bangku SMA, memang Hanan adalah teman yang paling baik dan peduli padaku. Selain Rima tentunya. Dia, akan menjadi orang pertama yang pasang badan saat ada siswa lain yang menyakitiku. Aku memang bukan orang yang pandai bergaul seperti siswa yang lain. Lingkup pertemanan pun hanya bisa dihitung dengan jari. Saat istirahat tiba, aku biasanya menghabiskan waktu di perpustakaan. Bukan nongkrong di kantin ataupun ikut bergosip dengan siswi. Meski Hanan saat itu cukup digandrungi siswi-siswi di sekolah, tapi dia justru lebih sering menemaniku di perpus. Atau terkadang duduk di bangku belakang sekolah, di bawah pohon yang rimbun sambil bercerita banyak hal. Bahkan saat sudah lulus SMA pun, Hanan selalu menyempatkan waktunya untuk menemuiku apabila kuliahnya sedang libur. Dia selalu antusias menceritakan kegiatannya di universitas ternama yang memang dari dulu sudah ia cita-citakan. Namun, sikapnya berubah saat aku mulai menjalin asmara dengan Mas Hilman. Apalagi setela