"Aku juga langsung masuk, ya, Mas. Udah mau adzan," tuturku pada Mas Ryan. "Oh, iya, silakan. Aku juga mau langsung pulang," timpalnya. "Mari, assalamu'alaikum," lanjutnya sambil berjalan menuruni teras rumah. "Wa'alaikum salam," jawabku. Aku langsung masuk seiring Mas Ryan yang juga meninggalkan halaman rumahku. Terdengar suara sedikit riuh dari arah dapur. Aku pun langsung berjalan ke sana. "Kak Hanan ini tau aja makanan kesukaanku," tutur Fara dengan senyum centilnya. Sepasang matanya berbinar menatap sekotak ayam bakar yang sudah terhidang di meja makan. "Kalau kamu, sih, makanan apa aja juga doyan," timpalku sambil tersenyum lebar. "Ish, Mbak ini. Gak gitu juga kali." Fara mendelik. Membuat senyumku semakin lebar. "Alhamdulillah. Udah adzan. Pada solat dulu, ya," titah ibu pada kami semua. "Nak Hanan, pulang dari mesjid langsung ke sini, ya. Kita makan sama-sama," lanjut ibu pada Hanan. "Siap, Bu," timpal laki-laki dengan hidung mancung itu. "Pak, ke mesjid bareng, ya," l
Aku masih memandangi layar ponsel yang kini pendar cahayanya sudah padam. Pikiranku kembali melayang ke kejadian kemarin sore saat bertemu dengan Mas Hilman. "Aku akan memberikan uang itu kalau hubungan kita sudah jelas, Mas," tuturku kemarin sore. "Apa maksud kamu, Ra? Jangan bilang kamu akan memberikan uang itu kalau kita sudah resmi bercerai?" Mas Hilman nampak kesal. "Iya. Memang begitu," timpalku. "Ra, kalau harus nunggu hubungan kita berpisah dulu, kelamaan dong. Justru aku butuhnya sekarang." Mas Hilman nampak makin kesal. "Kenapa kamu gak minta tolong Anita? Bukannya dia juga punya uang, ya? Dia pasti gak akan keberatan dong ngeluarin sedikit uangnya untuk sahabat yang sekarang sudah menjadi suaminya. Bukannya kamu sendiri yang bilang, kalau Anita itu bahkan sanggup untuk yang kedua demi bisa hidup bersamamu. Masa baru suruh bayarin bekas pernikahan kalian aja gak mau. Gimana ke depannya?" Aku tersenyum miring."Aku cuma ... cuma ngerasa bertanggung jawab untuk membayar k
"Eh, itu, Bu. Justru Zara juga bingung harus bikin usaha apa nantinya. Secara Zara sudah gak punya suami yang menafkahi hidup Zara dan Ilham," jawabku. Fara nampak menghembuskan napas lega. Padahal apa yang baru saja aku katakan, memang benar-benar ungkapan hatiku sendiri. "Jangan ragu sama rezeki dari Alloh. Selama kita berusaha, pasti akan ada jalannya. Rezeki itu bukan dari suami, bos, ataupun majikan. Tapi dari Gusti Alloh," tutur ibu. Aku mengangguk. Dalam hati ikut meyakini, apa yang dikatakan ibu memang benar. Meski terkadang, sebagai manusia biasa, aku merasa khawatir akan masa depan. Ketakutan dan kekhawatiran itu selalu saja ada. "Assalamu'alaikum."Suara salam dari arah depan membuat percakapan kami terhenti. Lekas aku bangkit dan berjalan menuju pintu. Saat dibuka, ternyata Rima bersama putrinya. "Eh, ada Kak Ria. Salam dulu sama Tante, dong!" Aku mengulurkan tangan seraya mencium pipi anak perempuan yang rambutnya dikepang tersebut. "Iya. Aku habis jemput Ria dari s
Selama tiga tahun di bangku SMA, memang Hanan adalah teman yang paling baik dan peduli padaku. Selain Rima tentunya. Dia, akan menjadi orang pertama yang pasang badan saat ada siswa lain yang menyakitiku. Aku memang bukan orang yang pandai bergaul seperti siswa yang lain. Lingkup pertemanan pun hanya bisa dihitung dengan jari. Saat istirahat tiba, aku biasanya menghabiskan waktu di perpustakaan. Bukan nongkrong di kantin ataupun ikut bergosip dengan siswi. Meski Hanan saat itu cukup digandrungi siswi-siswi di sekolah, tapi dia justru lebih sering menemaniku di perpus. Atau terkadang duduk di bangku belakang sekolah, di bawah pohon yang rimbun sambil bercerita banyak hal. Bahkan saat sudah lulus SMA pun, Hanan selalu menyempatkan waktunya untuk menemuiku apabila kuliahnya sedang libur. Dia selalu antusias menceritakan kegiatannya di universitas ternama yang memang dari dulu sudah ia cita-citakan. Namun, sikapnya berubah saat aku mulai menjalin asmara dengan Mas Hilman. Apalagi setela
"Udah dari tadi kali. Kamunya aja gak keluar-keluar," jawab Rima sambil tersenyum lebar. "Iya kah? Aku mana tahu. Orang gak ada ngasih tau," timpal Hanan. "Gak apa-apa. Emang kalau dikasih tau mau ngapain? Mau ikut ngegosip?" Rima tertawa kecil."Ya enggak ngegosip juga. Kan kita bisa cerita-cerita. Emang gak penasaran sama ceritaku waktu di luar kota? Gak kangen gitu bertahun-tahun gak ketemu?" balas Hanan yang sekarang berdiri di dekatku. "Kamu nanya sama aku, atau nanya sama Zara?" timpal Fara. "Terserah. Siapa aja yang ngerasa," balas Hanan. "Malah suruh tebak-tebakan," timpal Rima yang mulai menaiki motornya. "Kapan-kapan aku ke sini lagi, deh. Sekarang pulang dulu. Takut keduluan suami," tambah Rima diikuti suara salam. Sesaat kemudian, motor itupun melesat pergi meninggalkan halaman rumahku. Dan kini tinggal aku berdua sama Hanan. "Rima habis ngapain?" tanya Hanan. "Habis main aja. Udah seminggu gak ketemu. Kangen katanya," jawabku. "Baru gak ketemu seminggu udah kange
Setelah menulis pesan yang terakhir, aku berniat untuk meletakkan kembali gawai itu. Namun, layarnya kembali menyala. Dan kali ini, Mas Hilman menelponku. Sepertinya sekarang dia sedang panik karena uang yang dijanjikan tidak akan sampai ke tangannya. Tak ingin banyak berdebat yang mungkin akan menggoyahkan keputusanku, akhirnya aku memilih tak mengangkat telepon itu. Kugeser tombol untuk menolak panggilan. Lalu setelahnya langsung mematikan ponsel. Aku pun kembali berjalan menuju teras. Di mana Hanan masih terpaku di tempat saat aku meninggalkannya tadi. Namun, kali ini dia tak sendirian. Di sebelahnya ada Fara yang entah sejak kapan duduk di situ. Tak ingin mengganggu momen kebersamaan mereka, aku berbalik. Lalu berjalan ke dapur menghampiri ibu yang sedang termenung sambil menatap keluar, karena pintu belakang memang dibiarkan terbuka. "Lagi mikirin apa, Bu?" Aku duduk di sampingnya. Menatap ke arah yang sama. Di mana pohon-pohon melambai karena tertiup angin. "Eh,. Zara. Ibu
"Kita udah sering bahas ini, Han. Ilham itu bukan tanggung jawabmu. Kamu juga punya kehidupan sendiri. Kamu punya masa depan yang harus dipikirkan dari sekarang. Lebih baik kamu tabung semua uang itu untuk rencana masa depanmu. Melamar atau menikah misalnya. Soal Ilham, biarkan dia jadi urusanku seutuhnya. Syukur-syukur kalau ayahnya masih mau tanggung jawab menafkahi," balasku panjang lebar. "Tapi, Ra. Aku memang belum ada niatan apalagi kepikiran untuk menikah. Apa salahnya kalau aku menafkahi keponakanku sendiri? Toh itu bisa bikin aku bahagia." "Sekarang memang belum ada niatan. Tapi besok atau lusa siapa tau, kan. Udah, deh, turuti ucapanku, oke?" Aku tersenyum lebar sembari melenggang pergi meninggalkannya. "Ra, aku belum selesai ngomong. Main pergi aja." Aku masih mendengar Hanan sedikit berteriak padaku. "Aku mau mandiin Ilham dulu," jawabku tanpa menoleh ke arahnya. "Bunda bicara sama siapa?" tanya Ilham yang sudah menyambutku di ambang pintu kamar. Dia baru saja bangun
Bagaimana aku tidak terkejut, orang yang menduduki kursi tersebut adalah Mas Ryan. Sedikitpun aku tidak menyangka, bahwa jabatan dia di perusahaan begitu tinggi. Aku pikir hanya sebatas karyawan biasa. Terlihat dari gayanya yang selalu sederhana. Namun kini, penampilannya begitu rapi. Memakai jas hitam lengkap dengan dasi yang melingkar di lehernya."Silakan duduk!" tuturnya ramah. "Terima kasih, Mas. Maksud saya, Pak!" Aku buru-buru meralat ucapan. Di luar, dia memang tetanggaku, tapi di sini, dia adalah petinggi perusahaan yang pastinya begitu dihormati oleh para karyawannya. Aku pun duduk di kursi yang ada di hadapan Mas Ryan. Terhalang meja yang ukurannya cukup besar. Mataku masih terpaku pada matanya. Karena setahuku, jika sedang wawancara seperti ini, kita harus kontak mata dengan orang yang mewawancarai. "Silakan perkenalkan diri, nama, alamat, usia, pengalaman kerja, dan motivasi melamar pekerjaan di perusahaan ini!" titah Mas Ryan sopan. Ekspresinya benar-benar profesional