Share

Bab 3

Author: Siska_ayu
last update Last Updated: 2022-11-03 10:47:55

Aku lekas bangkit lalu berjalan dengan cepat keluar dari kamarku. Meninggalkan Mas Hilman yang masih menggenggam erat ponsel yang terus menjerit-jerit minta diangkat. Aku masuk ke dalam kamar Ilham dan langsung menguncinya. Kemudian aku bersandar di balik pintu itu dengan tubuh berguncang. Air mataku kembali luruh. Lagi dan lagi.

Lelah rasanya hati ini menangisi hal yang sama dalam beberapa tahun terakhir ini. Di awal pernikahan, aku dan Mas Hilman begitu bahagia. Aku berusaha memaklumi saat Mas Hilman dan Anita bertelepon hingga satu jam lamanya. Bahkan hampir setiap hari. Namun, lama kelamaan, aku mulai jengah dan menasehatinya dengan lembut.

"Mas, Mbak Anita itu sudah punya suami. Mas juga sudah punya istri. Rasanya kok kurang pantas, ya, kalau kalian masih sering berhubungan seperti ini," protesku kala itu.

"Lho, memangnya apa yang salah, Dek? Kita cuma teleponan. Cuma saling berbagi cerita. Lagipula, suaminya Anita pun tau kalau Mas sama Anita itu sahabatan sejak lama. Kamu juga tau itu kan?" Mas Hilman justru nampak keberatan atas penuturanku.

"Iya, Mas. Tapi, kalau sudah punya pasangan masing-masing, lebih baik dikurangi lagi intensitas komunikasinya. Mana tau kan suami Mbak Anita sebenarnya cemburu hanya saja gak diungkapkan." Aku masih berusaha membujuknya dengan lembut.

"Kamu kali, Dek, yang cemburu. Bukan suami Anita," tukas Mas Hilman sambil ngeloyor pergi gitu aja. Selalu seperti itu setiap kali diingatkan. Aku yang saat itu mulai disibukkan dengan merawat Ilham yang masih bayi, hanya bisa pasrah dan berdoa agar suatu saat Mas Hilman bisa mengerti seperti apa seharusnya sikap seorang suami menjaga hati dan perasaan istrinya.

Sayangnya sampai saat ini, kedekatan Mas Hilman dan Anita tak pernah berkurang. Bahkan sepertinya akan semakin dekat seiring kepindahannya Anita kembali ke kota ini.

Rasa sesak terasa begitu menggelayut dalam hati. Sesakit ini dihan tam rasa cemburu yang tiada pernah berakhir. Hingga dadaku terasa ditik am benda taj4m berkali-kali. Perih tiada terperi.

Aku menghirup napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Mengusir gumpalan yang terasa menekan dadaku begitu hebat. Memberikan oksigen pada hatiku yang masih dipenuhi kesesakan. Perlahan, tanganku mengusap kedua pipi yang kini basah oleh jejak air mata. Lalu berjalan pelan menuju ranjang tempat putraku berbaring dengan nyenyak. Bahkan sedikit pun ia tak terganggu dengan suara isakan yang tadi keluar dari mulut ibunya ini.

Ranjang berukuran tak terlalu besar itu berderit saat aku mendudukinya. Aku pandangi wajah polos anakku dengan sendu. Wajah yang begitu serupa dengan ayahnya. Kukecup perlahan kening Ilham yang menyebabkan tubuhnya sedikit bergerak.

Hatiku tiba-tiba mencelos saat mengingat kembali kejadian tadi siang di mall. Aku terpaksa langsung mengajak Ilham pulang karena tak tahan dengan perasaanku yang langsung kacau setelah memergoki Mas Hilman dan Anita. Mereka menghabiskan waktu seolah sebuah keluarga kecil yang harmonis. Tanpa memikirkan perasaanku dan Ilham.

"Bun, tapi Ilham masih pengen main. Ilham juga belum es krim." Ilham merengek dengan wajah memelas siang tadi.

"Lain kali kita jalan-jalan lagi, ya, Nak." Aku berusaha membujuknya.

"Ra, biarin aja Ilham main sama Nisya. Siapa tau mereka bisa deket dan sahabat seperti kita," tutur Anita enteng.

Kita katanya. Padahal, Anita itu hanya sahabatan dengan Mas Hilman. Tapi tidak denganku. Entah kenapa Anita dan aku seolah tidak bisa dekat. Bahkan saat Anita menelpon Mas Hilman dan aku yang mengangkatnya, ia selalu saja menghindar daripada bercerita denganku. "Nanti saja aku telepon lagi." Selalu seperti itu jawabannya. Padahal, jika memang dia bisa sahabatan dengan suamiku, kenapa denganku tidak bisa?

"Benar kata Anita, Dek. Kamu sama Ilham gabung saja sama mereka. Biar Ilham gak sedih karena kamu ajak pulang." Mas Hilman pun mengamini usulan wanita dengan rambut sebahu itu.

Tak kupedulikan tawaran mereka berdua. Gegas aku meraih tangan Ilham dan mengajaknya untuk segera meninggalkan area bermain anak tersebut. Masih dapat kudengar teriakan Mas Hilman yang bercampur dengan hingar bingar keramaian di sana.

Sepanjang perjalanan, aku melemp4r pandanganku ke luar jendela mobil grab yang kutumpangi. Sementara di sampingku, Ilham masih terdiam dengan wajah cemberutnya. Aku benar-benar kecewa pada Mas Hilman. Bahkan ia tak menyusul ataupun menawarkan diri untuk mengantarku dan Ilham pulang.

Aku mendesis pelan. Lalu mengalihkan pandangan pada Ilham. Kucium pucuk kepalanya perlahan seraya mengelus rambutnya.

"Maafin bunda, ya, Nak," lirihku dengan suara bergetar. Menahan tangisku agar tak pecah di hadapannya.

"Bunda, memangnya yang tadi itu siapa?" Ilham menengadah menatap mataku. Kekecewaan perlahan memudar dari sorot matanya.

"Dia ... Tante Anita. Temannya ayah." Aku menjawab sejujurnya.

"Kenapa ayah malah main sama Tante Anita? Bukan sama Bunda sama Ilham." Ilham kembali bertanya bertanya.

"Emh ... kata ayah, Tante Anita baru pindah ke kota ini. Jadi minta ditemenin. Biar gak nyasar." Aku menjawab diiringi tawa kecil. Lalu mencolek hidung mancung Ilham.

Perbincangan kami pun berakhir seiring mobil yang sampai di halaman rumahku. Matahari sudah mulai meredup saat kami turun karena waktu memang sudah sore.

Aku duduk menemani Ilham yang sedang menonton film kartun kesukaannya dengan hati gelisah. Mas Hilman belum juga pulang setelah satu jam berlalu. Detakan jarum jam terasa begitu lambat saat ini. Hingga bertepatan dengan berkumandangnya adzan magrib, deru mesin mobil pun berhenti tepat di depan rumah.

"Tunggu sebentar ya, Sayang. Bunda mau bukain pintu dulu buat ayah!" tuturku pada Ilham yang masih menatap layar TV.

Meski hatiku sedang porak poranda, aku tetap menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri. Menyambut kedatangannya di ambang pintu, lalu mencium punggung tangannya meski rasa perih dalam hati masih mengiringi.

Bahkan, aku pura-pura bersikap biasa di depan Ilham saat makan malam. Sesekali aku menimpali celotehan Ilham yang bercerita dengan riang pada Mas Hilman.

"Biar aku yang bacakan dongeng buat Ilham," pinta Mas Hilman saat jarum jam menunjuk ke angka delapan malam. Ilham memang sudah kelihatan mengantuk dan sudah menguap berkali-kali.

Aku hanya mengangguk pelan. Membiarkan laki-laki yang sudah lima tahun menjadi suamiku itu menebus kesalahannya siang tadi pada sang putra.

Ingatanku tentang peristiwa tadi langsung buyar saat mendengar pintu kamar Ilham diketuk pelan dari luar.

"Dek, buka pintunya sebentar. Mas mau bicara." Ketukan selanjutnya diikuti suara Mas Hilman.

Aku menghela napas pelan. Kemudian bangkit perlahan hendak membuka pintu. Takutnya suara Mas Hilman justru mengganggu tidurnya Ilham yang lelap. Mungkin juga Mas Hilman ingin minta maaf atas kejadian tadi siang.

Wajah Mas Hilman langsung terpampang saat aku membuka pintu. Saat aku menatapnya lekat, ia justru nampak kikuk dengan ponsel yang masih ada di tangannya.

"Anita barusan telepon. Nisya demam. Mungkin kecapean siang tadi. Dia ... memintaku ke sana untuk mengantarnya ke dokter." Perkataan Mas Hilman kembali membuat lukaku yang masih menganga bak disiram air garam. Perih tiada tara.

Apalagi saat Mas Hilman berbalik dan melangkahkan kakinya dengan cepat menuju pintu tanpa menunggu persetujuan dariku. Tubuhku luruh ke lantai seiring deru mobil yang mulai menjauh dari halaman rumah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
istri tolol dan g berguna. g punya kemampuan apa2 selain ngangkang dan ngebabu. cuman menangis nyet yg kau bisa
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • SUAMIKU BUKAN SUAMIMU   Bab 63b

    Aku menoleh. Lalu mengerlingkan mata ke arahnya. "Coba lihat jam dinding. Sudah hampir pukul enam, Sayang. Mau pas lagi tanggung tiba-tiba ada yang gedor pintu?" Hanan pun langsung tertawa ngakak mendengarnya. Hari ini, kami minta ijin pada kedua orang tuaku untuk pindah ke toko kelontongan. Dengan senang hati, ibu bapak mengijinkan. Melihat Fara, aku semakin yakin untuk pindah dari rumah ini. Karena bukan tidak mungkin, jika aku dan Hanan tetap tinggal di sini, Fara akan tersakiti melihat kemesraan kami. Menjelang siang, aku dan Hanan berangkat ke toko tanpa membawa banyak barang. Hanya baju-baju milikku, Ilham dan Hanan yang dibawa. Karena menurut Hanan, di sana sudah ada barang-barang rumah tangga yang cukup komplit. Sampai di sana, keadaan toko masih tutup karena Hanan memang sengaja libur dari kemarin. Tokonya lumayan besar. Apalagi lokasinya tepat di jalan utama dekat dengan pasar induk. "Yuk, masuk!" ajaknya padaku dan Ilham saat kami turun dari mobil. Kami pun memasuki

  • SUAMIKU BUKAN SUAMIMU   Bab 63a

    "Bangun, Sayang. Mandi dulu." Hanan berbisik tepat di telingaku. Dia juga mengecup keningku lembut saat mata ini masih tertutup. Sejujurnya, aku sudah terbangun saat merasakan pergerakan ia yang turun dari ranjang. Hanya saja, aku ingin mengetahui bagaimana caranya dia membangunkan aku setelah apa yang terjadi semalam. Ternyata semanis ini. Aku pura-pura masih terlelap dan tak menanggapinya. Berkali-kali dia mencium pipi dan keningku bergantian. Andai aku tak menahannya, sudah dipastikan aku akan tersenyum tanpa henti karena sikap romantisnya. "Sayang ... bangun! Atau ... aku perlu mengulang apa yang sudah kita lakukan semalam?" Mendengar penuturannya, mataku langsung terbuka lebar. Lekas aku beringsut dan duduk sambil menatapnya. Hanan yang duduk di pinggir ranjang langsung tertawa kecil melihat reaksiku. "Bercanda. Sebentar lagi juga subuh," tukasnya dengan sisa tawa di bibirnya. Aku pun langsung mengerucutkan bibir sambil turun dari ranjang. "Air panasnya sudah aku tuang ke da

  • SUAMIKU BUKAN SUAMIMU   Bab 62b

    Kami duduk saling berhadapan sambil menunggu pesanan tiba. Tidak dipungkiri, ada rasa grogi saat kembali bertemu dengannya. Apalagi saat dia terus menatapku tanpa berkedip. Rasanya pipiku sudah memerah dan memanas. "Kamu kenapa ngeliatin gitu?" tanyaku salah tingkah. Dia malah menyangga dagunya dengan tangan tanpa mengalihkan pandangan dariku. "Sebulan loh, Ra, kita gak ketemu. Aku kan udah bilang berkali-kali kalau aku kangen banget sama kamu. Apalagi, makin hari kamu makin cantik. Bagaimana mungkin aku bisa melewatkan kesempatan sebagus ini.""Ish ... udah pintar ngegombal ternyata." Aku sedikit mendelik sambil tersipu malu. "Bukan menggombal. Tapi ini kenyataan," timpalnya. "Oh, iya. Besok aku ke rumah kamu buat lamaran. Kamu juga libur, kan?" tanyanya. Aku mengangguk. Mendengar kata lamaran, jantungku kembali berlompatan. Aku serasa melayang di langit paling tinggi saking bahagianya. Hingga akhirnya pesanan bakso sampai dan kami menikmati bakso itu sambil berbincang ringan. M

  • SUAMIKU BUKAN SUAMIMU   Bab 62a

    Aku menangis. Meremas seprai kuat-kuat untuk menyalurkan rasa sakit yang tak tertahankan. Tiba-tiba saja aku merasa tubuhku diguncang seseorang. "Ra, bangun! Kamu kenapa?" Aku membuka mata. Memperhatikan sekeliling. Hanya ada ibu yang berdiri di pinggir ranjang dengan tatapan heran. "Kamu kenapa nangis nangis jam segini?" Ibu mengulang pertanyaannya. Aku melirik jam dinding. Ternyata baru menunjuk ke angka empat dini hari. Lekas aku mengusap wajah sambil mengucap Alhamdulillah karena semua itu hanya mimpi. "Zara gak apa-apa, Bu. Cuma mimpi buruk," jawabku tersipu malu. "Walah, kamu ini. Makanya, sebelum tidur itu baca doa, biar gak mimpi buruk kayak gitu," timpal ibu sambil berbalik dan pergi meninggalkan kamarku. Saking bahagianya, semalam aku memang lupa tidak berdoa sebelum tidur. Mungkin itulah sebabnya aku bisa mimpi mengerikan seperti itu.Untuk menenangkan debaran jantung yang masih belum beraturan, aku pun turun dari ranjang lalu mengambil air wudu. Setelahnya, aku meng

  • SUAMIKU BUKAN SUAMIMU   Bab 61b

    Tidak terlalu banyak percakapan di antara kami. Karena otakku juga sibuk memutar ulang momen yang baru saja terjadi. Momen bahagia yang membuatku berbunga-bunga dan tersipu tanpa sadar. Bahkan, saat kembali melanjutkan pekerjaan pun, bayang-bayang itu tak kunjung hilang dari ingatan. Membuatku sudah merindukan Hanan padahal baru berpisah beberapa jam yang lalu. Sore menjelang. Waktu pulang pun sudah tiba. Sebelum bersiap, aku mengecek ponsel untuk melihat pesan yang masuk. Karena dari tadi aku sudah gelisah menunggu kabar dari Hanan yang tak kunjung muncul. Aku menghela napas pelan saat mengetahui kalau Hanan tak mengirim pesan sama sekali. Rasa kecewa membuat dadaku tiba-tiba sesak. Namun, baru saja aku akan kembali memasukkan ponsel ke dalam tas, getarannya membuatku urung. Saat dilihat, mataku langsung berbinar melihat siapa yang mengirim pesan.[ Maaf baru ngabarin. Tadi ponselku lowbat dan mati. Alhamdulillah aku sudah sampai dengan selamat. Kamu sudah pulang belum?][ Alhamdu

  • SUAMIKU BUKAN SUAMIMU   Bab 61a

    Laju air mata mengalir semakin deras setelah mendengar penuturan Hanan. Kakiku rasanya lemas tak bertulang hingga hampir ambruk andai tak ada kursi yang langsung menopang tubuhku. Aku terduduk di kursi itu dengan perasaan campur aduk. "Ra ...!" Mas Ryan mendekat. Tangannya hampir memegang pundakku andai tanganku tak langsung memberi kode agar ia jangan melakukan hal itu. "Tapi kenapa, Han? Bukannya kamu sendiri pernah bilang, kalau kamu gak akan pernah pergi jika aku mengatakan perasaan yang sebenarnya." Aku kembali menatap Hanan yang masih berdiri di tempatnya. "Maaf, Ra. Aku sudah janji ke perusahaan akan segera kembali untuk mengurus semuanya," jawab Hanan."Maksudnya? Mengurus apa? Lalu aku dan Ilham?" Aku semakin terisak. Perih sekali rasanya mengetahui Hanan tetap akan pergi dan tak akan mengurungkan niatnya."Justru karena hal itulah aku terpaksa harus pergi. Pihak perusahaan memintaku untuk tetap stay di sana. Jika aku menolak, aku diminta untuk mengundurkan diri. Dan aku,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status