Share

Bab 3

Aku lekas bangkit lalu berjalan dengan cepat keluar dari kamarku. Meninggalkan Mas Hilman yang masih menggenggam erat ponsel yang terus menjerit-jerit minta diangkat. Aku masuk ke dalam kamar Ilham dan langsung menguncinya. Kemudian aku bersandar di balik pintu itu dengan tubuh berguncang. Air mataku kembali luruh. Lagi dan lagi.

Lelah rasanya hati ini menangisi hal yang sama dalam beberapa tahun terakhir ini. Di awal pernikahan, aku dan Mas Hilman begitu bahagia. Aku berusaha memaklumi saat Mas Hilman dan Anita bertelepon hingga satu jam lamanya. Bahkan hampir setiap hari. Namun, lama kelamaan, aku mulai jengah dan menasehatinya dengan lembut.

"Mas, Mbak Anita itu sudah punya suami. Mas juga sudah punya istri. Rasanya kok kurang pantas, ya, kalau kalian masih sering berhubungan seperti ini," protesku kala itu.

"Lho, memangnya apa yang salah, Dek? Kita cuma teleponan. Cuma saling berbagi cerita. Lagipula, suaminya Anita pun tau kalau Mas sama Anita itu sahabatan sejak lama. Kamu juga tau itu kan?" Mas Hilman justru nampak keberatan atas penuturanku.

"Iya, Mas. Tapi, kalau sudah punya pasangan masing-masing, lebih baik dikurangi lagi intensitas komunikasinya. Mana tau kan suami Mbak Anita sebenarnya cemburu hanya saja gak diungkapkan." Aku masih berusaha membujuknya dengan lembut.

"Kamu kali, Dek, yang cemburu. Bukan suami Anita," tukas Mas Hilman sambil ngeloyor pergi gitu aja. Selalu seperti itu setiap kali diingatkan. Aku yang saat itu mulai disibukkan dengan merawat Ilham yang masih bayi, hanya bisa pasrah dan berdoa agar suatu saat Mas Hilman bisa mengerti seperti apa seharusnya sikap seorang suami menjaga hati dan perasaan istrinya.

Sayangnya sampai saat ini, kedekatan Mas Hilman dan Anita tak pernah berkurang. Bahkan sepertinya akan semakin dekat seiring kepindahannya Anita kembali ke kota ini.

Rasa sesak terasa begitu menggelayut dalam hati. Sesakit ini dihan tam rasa cemburu yang tiada pernah berakhir. Hingga dadaku terasa ditik am benda taj4m berkali-kali. Perih tiada terperi.

Aku menghirup napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Mengusir gumpalan yang terasa menekan dadaku begitu hebat. Memberikan oksigen pada hatiku yang masih dipenuhi kesesakan. Perlahan, tanganku mengusap kedua pipi yang kini basah oleh jejak air mata. Lalu berjalan pelan menuju ranjang tempat putraku berbaring dengan nyenyak. Bahkan sedikit pun ia tak terganggu dengan suara isakan yang tadi keluar dari mulut ibunya ini.

Ranjang berukuran tak terlalu besar itu berderit saat aku mendudukinya. Aku pandangi wajah polos anakku dengan sendu. Wajah yang begitu serupa dengan ayahnya. Kukecup perlahan kening Ilham yang menyebabkan tubuhnya sedikit bergerak.

Hatiku tiba-tiba mencelos saat mengingat kembali kejadian tadi siang di mall. Aku terpaksa langsung mengajak Ilham pulang karena tak tahan dengan perasaanku yang langsung kacau setelah memergoki Mas Hilman dan Anita. Mereka menghabiskan waktu seolah sebuah keluarga kecil yang harmonis. Tanpa memikirkan perasaanku dan Ilham.

"Bun, tapi Ilham masih pengen main. Ilham juga belum es krim." Ilham merengek dengan wajah memelas siang tadi.

"Lain kali kita jalan-jalan lagi, ya, Nak." Aku berusaha membujuknya.

"Ra, biarin aja Ilham main sama Nisya. Siapa tau mereka bisa deket dan sahabat seperti kita," tutur Anita enteng.

Kita katanya. Padahal, Anita itu hanya sahabatan dengan Mas Hilman. Tapi tidak denganku. Entah kenapa Anita dan aku seolah tidak bisa dekat. Bahkan saat Anita menelpon Mas Hilman dan aku yang mengangkatnya, ia selalu saja menghindar daripada bercerita denganku. "Nanti saja aku telepon lagi." Selalu seperti itu jawabannya. Padahal, jika memang dia bisa sahabatan dengan suamiku, kenapa denganku tidak bisa?

"Benar kata Anita, Dek. Kamu sama Ilham gabung saja sama mereka. Biar Ilham gak sedih karena kamu ajak pulang." Mas Hilman pun mengamini usulan wanita dengan rambut sebahu itu.

Tak kupedulikan tawaran mereka berdua. Gegas aku meraih tangan Ilham dan mengajaknya untuk segera meninggalkan area bermain anak tersebut. Masih dapat kudengar teriakan Mas Hilman yang bercampur dengan hingar bingar keramaian di sana.

Sepanjang perjalanan, aku melemp4r pandanganku ke luar jendela mobil grab yang kutumpangi. Sementara di sampingku, Ilham masih terdiam dengan wajah cemberutnya. Aku benar-benar kecewa pada Mas Hilman. Bahkan ia tak menyusul ataupun menawarkan diri untuk mengantarku dan Ilham pulang.

Aku mendesis pelan. Lalu mengalihkan pandangan pada Ilham. Kucium pucuk kepalanya perlahan seraya mengelus rambutnya.

"Maafin bunda, ya, Nak," lirihku dengan suara bergetar. Menahan tangisku agar tak pecah di hadapannya.

"Bunda, memangnya yang tadi itu siapa?" Ilham menengadah menatap mataku. Kekecewaan perlahan memudar dari sorot matanya.

"Dia ... Tante Anita. Temannya ayah." Aku menjawab sejujurnya.

"Kenapa ayah malah main sama Tante Anita? Bukan sama Bunda sama Ilham." Ilham kembali bertanya bertanya.

"Emh ... kata ayah, Tante Anita baru pindah ke kota ini. Jadi minta ditemenin. Biar gak nyasar." Aku menjawab diiringi tawa kecil. Lalu mencolek hidung mancung Ilham.

Perbincangan kami pun berakhir seiring mobil yang sampai di halaman rumahku. Matahari sudah mulai meredup saat kami turun karena waktu memang sudah sore.

Aku duduk menemani Ilham yang sedang menonton film kartun kesukaannya dengan hati gelisah. Mas Hilman belum juga pulang setelah satu jam berlalu. Detakan jarum jam terasa begitu lambat saat ini. Hingga bertepatan dengan berkumandangnya adzan magrib, deru mesin mobil pun berhenti tepat di depan rumah.

"Tunggu sebentar ya, Sayang. Bunda mau bukain pintu dulu buat ayah!" tuturku pada Ilham yang masih menatap layar TV.

Meski hatiku sedang porak poranda, aku tetap menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri. Menyambut kedatangannya di ambang pintu, lalu mencium punggung tangannya meski rasa perih dalam hati masih mengiringi.

Bahkan, aku pura-pura bersikap biasa di depan Ilham saat makan malam. Sesekali aku menimpali celotehan Ilham yang bercerita dengan riang pada Mas Hilman.

"Biar aku yang bacakan dongeng buat Ilham," pinta Mas Hilman saat jarum jam menunjuk ke angka delapan malam. Ilham memang sudah kelihatan mengantuk dan sudah menguap berkali-kali.

Aku hanya mengangguk pelan. Membiarkan laki-laki yang sudah lima tahun menjadi suamiku itu menebus kesalahannya siang tadi pada sang putra.

Ingatanku tentang peristiwa tadi langsung buyar saat mendengar pintu kamar Ilham diketuk pelan dari luar.

"Dek, buka pintunya sebentar. Mas mau bicara." Ketukan selanjutnya diikuti suara Mas Hilman.

Aku menghela napas pelan. Kemudian bangkit perlahan hendak membuka pintu. Takutnya suara Mas Hilman justru mengganggu tidurnya Ilham yang lelap. Mungkin juga Mas Hilman ingin minta maaf atas kejadian tadi siang.

Wajah Mas Hilman langsung terpampang saat aku membuka pintu. Saat aku menatapnya lekat, ia justru nampak kikuk dengan ponsel yang masih ada di tangannya.

"Anita barusan telepon. Nisya demam. Mungkin kecapean siang tadi. Dia ... memintaku ke sana untuk mengantarnya ke dokter." Perkataan Mas Hilman kembali membuat lukaku yang masih menganga bak disiram air garam. Perih tiada tara.

Apalagi saat Mas Hilman berbalik dan melangkahkan kakinya dengan cepat menuju pintu tanpa menunggu persetujuan dariku. Tubuhku luruh ke lantai seiring deru mobil yang mulai menjauh dari halaman rumah.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
istri tolol dan g berguna. g punya kemampuan apa2 selain ngangkang dan ngebabu. cuman menangis nyet yg kau bisa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status