Share

03. Luruh

Penulis: HaniHadi_LTF
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-13 10:50:45

Jati berdiri di ambang, wajahnya separuh gelap karena cahaya lampu dari luar. Tatapannya dingin, tapi di balik mata itu ada sesuatu,..kekacauan, kemarahan. Ia terdiam lama. Tangannya perlahan terangkat, seolah hendak menyentuh pipi Gandes. Saat wajahnya makin mendekat. Hidungnya hampir menyentuh wajah Gandes, gadis itu memejamkan mata, tubuhnya kaku menahan napas. Ia merasakan ketakutan, hinggah tangannya gemetar.

Jati menatap Gandes dari cermin rias. "Cantik juga kamu."

Gandes sudah ketar ketir, terlebih saat wajah Jati hampir menempel di pipinya. Namun tak lama, suara tawa kemudian terdengar. "Takut sekali wajahmu itu."

Jati masih terkekeh, suaranya pelan tapi penuh nada menghina.

"Kamu sekarang mengaca kan, Gandes?" ujar Jati, "udah tahu kan, kalau kamu sama sekali tak menarik, walau cantik."

Gandes menatapnya tanpa suara. Helaan napasnya berat, tapi matanya tetap kuat.

Jati mengangkat dagunya, senyum sinis melintas di bibirnya. "Tubuhmu itu... kecil. Pucat. Tak ada lekuknya. Dadamu rata. Apa kamu pikir aku bisa tergoda dengan gadis seperti kamu?"

Gandes menelan ludah, tapi tetap diam.

"Kanaya jauh berbeda. Setiap gerakannya... setiap inci tubuhnya... bisa bikin aku gila," lanjut Jati sambil terkekeh pendek. "Sedangkan kamu? Hanya bayangan hambar yang bahkan tak bisa membuatku menoleh dua kali."

Ucapan itu menggantung lama di ruangan luas itu, tajam seperti pisau.

"Aku tidak meminta kamu menoleh," sahut Gandes tenang. "Dan aku tidak perlu membuatmu gila."

Nada datarnya justru membuat Jati terdiam sejenak. Ada sesuatu dalam dirinya yang tak mampu ia kendalikan. Ia memandang gadis itu lebih lama, kemudian tertawa kecil. "Keras kepala juga ternyata."

Wajah Jati kembali mendekat. Tiba-tiba saja ada yang aneh dalam jiwa lelaki itu. Dengan secepat kilat dia meraih tengkuk Gandes, mendekatkannya, lalu dengan rakusnya Jati menciumi Gandes.

"Lepaskan! Lepaskan aku, bi4d4b!" Gandes mendorong tubuh di depannya. Jati yang telah dibalut hasrat gelagapan hinggah terjerembab.

"Cih,.." Gandes meludah. Matanya nanar menatap marah pada pria di depannya yang masih mengatur nafas.

Jati yang seolah baru sadar apa yang baru saja ia lakukan, membthin pelan. "Bisa-bisanya aku merasa lain saat di dekatnya. Padahal selama ini, wanita diam seperti itu, tak pernah bisa menarik minatku."

Jati lalu berbalik, mengambil segelas air di meja, meneguknya pelan. "Besok ada upacara adus kramas. Aku ingin lihat bagaimana tubuhmu yang kamu bungkus rapat itu terlihat. " Jati masih berusaha mengelak dari harsratnya yang sebenarnya meluap. "Tapi kurasa tak akan ada yang menarik dari tubuhmu. Bahkan air pun mungkin makin membuat tubuh krempengmu makin tak terbentuk. Makanya kamu memilih pakaian longgar setiap hari."

Jati menatapnya sekali lagi dengan tatapan dingin, lalu berjalan ke kamar mandi. Suara air mengalir terdengar, memecah keheningan yang sejak tadi menggantung. Ia berkali-kali mengguyur tubuhnya yang kepanasan . "Si4lan, bisa-bisanya aku jadi begini hanya dengan di dekat wanita itu!"

Gandes yang di luar, menarik napas panjang. Matanya menatap dengan kemarahan. Airmata tiba-tiba saja luruh.

Ia menatap cermin di hadapannya. Tubuhnya yang kurus seolah makin ringkih. Mungkin karena efek dia sering menahan lapar agar kiriman dari ibunya cukup untuk biaya hidupnya di kos-kosan. Bagaimanapun juga ia merasa perjuangan ibunya berat setelah kematian ayahnya.

Ia meraih tisu di meja, perlahan menghapus airmata di pipinya. Termasuk berkali-kali menghabus bibirnya yang terasa ternoda. Setiap usapan terasa seperti menghapus lapisan hidup yang bukan miliknya. Matanya basah.

Perlahan, tubuh Gandes luruh di lantai. Isak tangis ia tahan. "Mama, di mana kamu sekarang? Apa kamu baik-baik saja?" bisik Gandes.

Air mata Gandes kembali jatuh tanpa suara. Ia buru-buru menyekanya, takut jika lelaki itu keluar dari kamar mandi dan mendapati dirinya lemah. Ia menatap bayangan dirinya di cermin dengan mata sembab. Di balik pantulan itu, ia melihat bukan dirinya, melainkan sosok perempuan asing yang begitu letih, begitu rapuh.

Tiba-tiba saja tenggorokannya terasa kering. Ia berdiri perlahan, menahan gemetar, lalu melangkah menuju kamar mandi luar yang dinginnya menggigit.

Langkahnya pelan, tapi pasti. Setiap tarikan napas terasa berat, seperti membawa beban seluruh malam. Ia membuka keran, menampung air di kedua telapak tangannya, lalu membasuh wajah. Dingin air itu seperti menusuk hingga ke tulang.

Air wudhu jatuh satu-satu dari ujung dagunya, seolah ikut membawa pergi noda, juga aib yang menempel di tubuhnya tanpa ia minta.

"Ya Allah..." bisiknya serak, "Aku cuma ingin bersih. Bersih dari takut ini, dari luka ini..."

Ia menutup mata, menahan air mata yang hendak luruh lagi. Setelah selesai berwudhu, Gandes kembali ke kamar itu.

Baju yang ia kenakan masih yang tadi, berat, tapi itu satu-satunya yang bisa ia miliki malam ini. Ia memakai stoking dari tas kecilnya, lalu meraih selimut, melipat ujungnya, menjadikannya sajadah.

Dalam temaram cahaya, ia berdiri. Takbir pertamanya lirih, nyaris tanpa suara.

Tubuhnya bergetar ketika rukuk, lalu bersujud lama, lebih lama dari biasanya. Dalam sujud itu, semua yang ia tahan akhirnya pecah. Air mata jatuh, membasahi selimut yang ia jadikan alas sujud.

"Ya Allah... kuatkan aku. Aku nggak tahu harus bagaimana. Aku cuma ingin selamat, ingin tetap jadi perempuan yang Kau cintai. Ampuni aku, lindungi Mama yang kini entah ada di mana. "

Suara isaknya tertahan. Di antara doa-doa itu, terselip nama yang masih ia genggam dalam diam. "Ryan,..kalau cinta kita benar, aku ingin Allah jaga aku untuk tetap untukmu, walau bibir aku telah ternoda. Maaf!"

Selesai salam, Gandes memeluk dirinya sendiri. Dingin mulai merambat ke seluruh tubuh, tak terasa ia rebah perlahan di lantai. Mata terpejam, sisa air mata masih membasahi pipi. Kelelahan karena tangis dan ketegangan membuat tubuhnya akhirnya menyerah.

Tak lama kemudian, suara pintu kamar mandi berderit pelan. Jati keluar, rambut cepaknya basah. Ia berhenti sejenak, menatap punggung Gandes yang meringkuk di lantai.

"Tidur?" gumannya pelan. "Bisa-bisanya setelah dia membuatku menahan hasrat sampai ke kamar mandi mengguyur diri, dia enak-enakan tidur?"

Jati berjalan mendekat, langkahnya nyaris tanpa suara di atas karpet. Cahaya lampu temaram membuat bayangan tubuhnya memanjang ke arah sofa. Ia berhenti di samping gadis itu, memperhatikan wajah yang tertidur di bawah cahaya redup.

Gandes tampak tenang. Matanya yang ditumbuhi bulu mata panjang dan lentik, menutup. Tak ada lagi sisa riasan, hanya wajah polos yang entah kenapa membuat dada Jati terasa berat.

Ia mendengus pelan, tersenyum kecil pada dirinya sendiri, lalu memalingkan wajah, seolah menepis pikiran yang muncul.

Namun tatapannya kembali, tanpa sadar.  Saat itu Gandes bergerak kecil, lalu meronta. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SUAMIKU KEKASIH IBUKU   11. Rambut

    Suasana sore di rumah Maheswari perlahan hidup kembali setelah prosesi adus keramas selesai. Aroma melati, pandan, dan bunga kenanga masih tercium samar di pekarangan. Dari halaman belakang terdengar suara air mengalir, sementara dari dapur, denting piring dan suara sendok beradu pelan menandakan kesibukan para ibu yang membantu menyiapkan hidangan untuk selamatan malam nanti.Di teras samping rumah, beberapa perempuan duduk melingkar di atas tikar pandan. Angin sore menelusup di antara sela genting, membawa suara gelegar anak-anak kecil berlarian di halaman depan. Di tengah lingkaran itu, Maheswari duduk dengan raut lelah. Meski wajahnya tetap tampak anggun, gurat kecewa dan amarah halus tampak di sana."Perempuan itu... entah membawa berkah atau malah ujian," gumamnya pelan, tapi cukup jelas untuk membuat yang lain saling pandang.Bu Nara, tetangga sebelah yang dikenal bijak dan sering dimintai pendapat setiap ada urusan keluarga di kampung, mencoba menenangkan suasana. "Mungkin kar

  • SUAMIKU KEKASIH IBUKU   10. Ibumu,..

    "Kamu mengusirku, Gandes?" Suara Jati dalam, berat, dan menekan. Di antara mereka hanya ada jarak sejengkal, tapi rasanya seperti jurang yang tak mungkin diseberangi. Gandes menunduk, jarinya gemetar ketika mencoba melepas sisa bunga melati yang menjerat lehernya."Aku hanya ingin melepasnya sendiri," jawabnya pelan, berusaha tenang meski dadanya berdebar cepat."Ini soal melati yang kamu lepas, atau karena lelaki di kampus itu?"Gandes berhenti sejenak. Tangan yang tadi sibuk menarik melati, kini membeku. Ia menatap Jati dengan mata yang tak lagi sekadar takut, tapi juga terluka. "Jangan kamu bawa-bawa dia.""Kamu belum jawab pertanyaanku tadi siang," lanjut Jati, suaranya kian tajam."Apa?" suara Gandes tajam."Kenapa kamu bersama lelaki itu lagi?""Apa hakmu melarang aku?" Gandes berusaha menjaga nada suaranya tetap rendah. "Kami juga tidak berdua. Apa kamu tidak lihat? Kami bersama teman-teman yang lain.""Itu yang terlihat tadi," ucap Jati cepat. "Tapi sebelumnya, kamu sudah ngap

  • SUAMIKU KEKASIH IBUKU   09. Keluar!

    Langkah Jati perlahan mendekat. Suara sandal kulitnya menggesek tanah yang basah oleh air bunga. Gandes tidak berani menoleh. Hatinya berpacu cepat, seperti hendak meledak. Kebencian selalu muncul tiap melihat lelaki itu.Suara perias menyusul, lembut tapi tegas. "Sekarang giliran suami membasuh wajah istrinya. Sebagai tanda penerimaan."Gandes membeku. Jantungnya seperti berhenti berdetak.Udara terasa lebih dingin. Ia bisa merasakan kehadiran Jati di belakangnya, begitu dekat.Tangan lelaki itu terulur, berhenti di udara, lalu,..membasuh wajahnya."Dekatkan kepalamu," bisik perias sambil menunjuk Gandes yang menunduk, tubuhnya masih tertutup melati. "Cium ubun-ubunnya, Nak. Ucapkan satu harapan dalam hatimu. Biar langgeng, biar rumah tangga ini kuat seperti akar pohon beringin."Suara tawa kecil terdengar dari deretan ibu-ibu sepuh yang menonton."Ayo, Mas Jati. Kenapa masih canggung begitu? Bukannya semalam sudah mencium yang lainnya? " Kekeh seorang ibu tetangga Jati yang tak jauh

  • SUAMIKU KEKASIH IBUKU   08. Adus kramas

    Jati hanya menatap, wajahnya datar tapi matanya berbicara banyak, menatap Ryan dan Gandes bergantian. Ia melangkah mendekat. Ada jarak yang terasa begitu tegang.Gandes menelan ludah, napasnya cepat. Ryan menatapnya tak percaya. "Bukankah tadi dia sudah pergi?" bathinnya."Naik mobil sekarang juga," titah Jati terdengar dingin tapi bergetar di ujung nada.Ryan yang masih memegang kunci segera menatapnya tajam. "Mas, begini ya, cara kamu ngomong sama Gandes?""Aku bicara sama istriku, bukan sama kamu." Tatapan Jati tak kala tajam, menusuk Ryan seolah ingin menelan setiap kata yang sempat keluar. Di belakang mereka, suasana kantin yang tadi ramai tiba-tiba terasa sesak.Gandes menatap Jati. "Pulang saja duluh, aku belum mau pulang. Aku mau ambil baju di kos." Suaranya pelan, hampir tenggelam dalam gemetar yang ia tahan."Lupakan bajumu, bukankah aku telah membelikanmu baju. Kita bisa mengambilnya kapan-kapan.""Tapi,..""Masuk mobil, kataku." Dengan menahan marah, Jati segera menarik ta

  • SUAMIKU KEKASIH IBUKU   07. Kaget

    "Hanya bercanda. Aku ikut prihatin," ralat Wulan, merangkul Gandes.Ryan menyandarkan tubuhnya. Pikiran malam pertama Gandes masih menggayut, membuat dadanya makin terhimpit.Sementara Werda hanya bisa menggenggam jemari Gandes.Mata Gandes mengaca. Terlebih saat melihat Ryan yang hanya diam."Kalau kamu pingin nangis, nangislah, aku siap kamu peluk." Akhirnya Werda bicara.Tangisan pun terdengar dari Gandes yang memeluk Wulan. Werda ikut memeluknya, seolah menyatukan air mata mereka bertiga.Rendi, Sandi yang tahu Ryan juga tersiksa, menggenggam jari sahabatnya itu."Kalian yang sabar ya," hibur Rendi.Beberapa mahasiswa dan mahasisiwi yang datang di kantin menatap. Ada yang bertanya pada temannya, ada yang hanya menggeleng."Kamu... tak apa-apa, Gandes?" tanya Ryan pelan, saat ia mendekat.Semua mengurai pelukan. Gandes menatap Ryan sedih, lalu menggeleng. Matanya memanas. Tanpa kata, air mata mulai mengalir lagi, membasahi pipi. Ia merasa begitu lelah, lelah secara fisik dan emosio

  • SUAMIKU KEKASIH IBUKU   06. Menyelinap

    Nada Gandes lembut, tapi cukup jelas hingga membuat kamar seketika beku.Maheswari membeku, hanya menatap. Jati pun ikut diam, pandangannya jatuh ke wajah Gandes yang menunduk pasrah. Angin dari jendela meniup tirai, membawa aroma melati yang tiba-tiba terasa pahit di hidung Gandes.Dalam diam itu, ia tahu, satu kalimat itu saja sudah cukup membuat segalanya berubah.Maheswari menatap tajam."Tidak ikut? Acara adat keluarga ini tidak bisa ditolak. Semua menantu yang masuk rumah ini harus melewati adus keramas. Tanda resmi diterima keluarga." Nada suaranya datar tapi berisi ancaman. Gandes hanya bisa menunduk. Tak ada ruang untuk membantah, tak ada pilihan untuk mundur."Tapi hari ini saya ada ujian, Ibu. Saya harus ke kampus.""Apa? Kamu nikah baru kemarin. Berani kamu keluar dari rumah ini, aku akan,.." Maheswari memegangi dadanya yang sakit, tak meneruskan kata-katanya. Ia kemudian menuruni tangga. Suara sandal kayunya berderit, perlahan menghilang.Sunyi menyelimuti ruang itu.Jati

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status