LOGINHati Jati masih bergemuruh sambil melangkahkan kakinya menuruni tangga. Ia diam sebentar, menatap kosong ke langit-langit. Ia ingat bagaimana Kanaya dulu menolak saat ia pertama melamar. Ia yang mengejar, Kanaya yang menghindar. Dan ketika akhirnya menerima, justru ia yang ditinggal sekarang.
"Kenapa perempuan itu kabur? Apa karena pria lain?" Sejenak Jati teringat sesuatu, namun ingatannya terputus karena panggilan ibunya.
"Jati,.." panggil Maheswari. Ia duduk tegak di kursi ukiran, lehernya dihiasi kalung peninggalan keluarga keraton.
"Lihat kelakuan perempuan itu," suara Maheswari terdengar pelan tapi menggigit. "Dulu aku sudah melarangmu menikahinya. Sekarang kamu lihat sendiri, wanita macam apa yang kabur dari akad nikahnya."
Jati menunduk sebentar. "Saya sudah tahu, Kanjeng Ibu. Maaf."
"Dan sekarang kamu malah menyeret anaknya. Anak kecil itu, kau jadikan pengantin!" Nada suara Maheswari naik. "Apa itu sekadar pelampiasan karena dipermalukan?"
Jati mengepalkan tangan. "Saya tidak bisa biarkan harga diri keluarga diinjak, Ibu. Perempuan itu meninggalkan saya tepat di hari pernikahan. Hanya dengan cara itu saya bisa menutup aib."
"Menutup aib?" Jatmiko menimpali, suaranya dalam dan berat. Lelaki itu duduk di kursi seberang, masih mengenakan kain lurik dan beskap tangkepan hitam. "Kamu pikir pernikahan bisa jadi alat menutup aib, Le?"
"Maaf, Kanjeng Romo."
Maheswari mengibaskan tangan, napasnya berat. "Kamu itu keras kepala, Jati. Sejak awal aku menyuruhmu menikahi Chandra Ayu. Gadis itu dari keluarga baik, masih sepupu kamu, sopan, cantik, tahu adat. Tapi kamu menolak, bilang tidak cinta. Kamu milih janda beranak satu yang sudah perawan. Bahkan sekarang? Kamu menikahi gadis bau kencur, anak dari janda yang memalukan itu."
Jati menatap lantai. "Saya mohon, jangan biacarakan lagi wanita itu lagi."
"Kenapa tidak? Perempuan itu sudah menghancurkan nama keluarga kita. Sekarang kamu menghancurkan sisanya."
Hening merayap lagi di antara mereka, sampai Maheswari berdiri. "Ajari dia sopan santun, bagaimana harus berprilaku di hadapan orang tua dan kerabat, aku lihat dia terlalu liar, seolah dia tidak takut apa-apa."
Kembali Jati mengangguk.
Maheswari berdiri. Langkahnya perlahan meninggalkan ruangan. Jatmiko menghela napas, memijat pelipisnya, lalu beranjak menyusul istrinya ke paviliun belakang.
Tinggallah Jati sendiri, berdiri kaku. Matanya menatap kosong pada dinding tempat foto-foto keluarga tergantung. Di salah satunya, wajahnya masih muda, tersenyum bersama rekan sesama perwira. Kini senyum itu terasa asing.
"Bagaimana bisa dia akan menjalani peran besar sebagai istri seorang perwira?" bathin Jati bingung. Ia menarik napas dalam.
Di kamar pengantin, lampu gantung bergoyang ringan, memantulkan cahaya lembut ke dinding. Gandes yang keluar dari kamar mandi segera duduk di depan meja rias, menghapus sisa air mata di pipi. Jemarinya gemetar saat menyentuh kulit sendiri, seolah tubuhnya kini bukan miliknya lagi.
Dia memandangi wajahnya di cermin. Mata sembab, bibir kering.
"Kenapa Mama pergi? Apakah yang terjadi denganmu, Ma? Apa saat ini kamu baik-baik saja?" bisiknya lirih. "Kenapa semua ini harus aku tanggung?"
Air mata turun satu-satu, membasahi gemerlap cristal di dadanya. Gandes menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan suara tangis agar tak terdengar keluar. Tapi tangis itu terus saja muncul, lembut, nyaris tanpa suara, seperti hujan yang jatuh diam-diam di tengah malam.
Ia menunduk. Pikirannya kembali pada pagi tadi. Ia masih ingat bagaimana semua orang menatapnya ketika akad selesai. Tatapan iba bercampur bisik-bisik yang tak bisa ia pahami. Ia berdiri di samping Jati, lelaki yang dingin, tak mengucap satu pun kata selain kata akad. Tidak ada senyum, tidak ada tatapan lembut. Hanya mata tajam yang memandangnya seolah ia beban yang harus dipikul.
Sejak pagi, pikirannya tak bisa berhenti memutar kejadian itu. Pagi yang seharusnya bahagia, berubah jadi mimpi buruk. Ia masih bisa mendengar suara Ryan yang bergetar di depan rumah tadi, sebelum diusir paksa.
"Ryan..." bisiknya, "apa kamu masih menungguku kalau aku tak lagi seperti duluh?" Wajah pemuda tinggi tampan berkulit putih dengan rambut lurus hampir menggapai pundak dan selalu jatuh di dahi, muncul di cermin, bayangan yang samar tapi hangat. Gandes menutup mata. Bayangan itu perlahan memudar, digantikan wajah Jati, datar, dingin, dan penuh kemarahan.
Napas Gandes tercekat. Ia meremas lipatan kebayanya.
"Kenapa aku di sini? Apa salahku?"
Pertanyaan itu tak ada jawabnya.
Ponselnya sudah diganti Jati sejak siang. Dan sejak itu, dunia Gandes terasa benar-benar sunyi. Tidak ada pesan dari teman, tidak ada kabar dari ibunya. Bahkan dirinya sendiri terasa sepi.
Ia ingin menulis surat, mungkin pada dirinya sendiri, atau pada ibunya, atau pada Tuhan, tapi ia tak punya kertas, tak punya pena, tak punya apa-apa selain napas dan kebisuan.
Jam di dinding berdetak pelan. Setiap detik terdengar seperti langkah waktu yang menyeretnya semakin jauh dari hidupnya sendiri.
Ia menatap cermin lagi. "Mama, aku ingin pulang."
Tapi kata "pulang" kini terasa asing. Ia tak tahu di mana ibunya berada.
Tangannya menyentuh kain di dadanya. Dingin. Seperti tubuh tanpa nyawa. Ia menunduk dan menyadari betapa kebaya itu sedikit longgar di bagian bahu. Ukuran yang disiapkan untuk ibunya, bukan untuknya.
Sekujur tubuh Gandes gemetar. Bukan karena dingin, tapi karena ngeri membayangkan nasibnya.
"Apakah aku harus menggantikan Mama selamanya?" batinnya lirih.Ia ingin menjerit, tapi tak bisa. Suaranya tertahan di tenggorokan seperti batu. Ia ingin menangis lagi, tapi air matanya sudah kering. Yang tersisa hanya perih di dada yang makin dalam.
Gandes berdiri perlahan, berjalan ke arah jendela. Tirai beludru berat ia singkap sedikit. Di luar, halaman belakang temaram diterangi lampu taman. Pohon kamboja bergoyang pelan. Angin membawa bau tanah lembap. Ia menarik napas dalam, berharap bisa menelan sedikit ketenangan. Tapi yang datang hanya rasa sesak yang sama.
Ia teringat pada kuliahnya. Besiswa KIP yang hanya cuma untuk makan seadanya, dan janji pada ibunya: "Aku akan lulus, dan menjadi sarjana Ekonomi. Aku akan bahagiain Mama."
Sekarang, semua itu terasa jauh.
Bagaimana ia bisa melanjutkan kuliah kalau ibu yang membantu biayanya pergi?Ia duduk kembali di depan meja rias. Wajahnya terlihat lebih pucat di bawah cahaya lampu. Ia mengusap pipinya pelan.
Tiba-tiba, terdengar langkah kaki dari luar kamar. Berat. Mantap. Berirama seperti suara sepatu bot di lantai kayu.
Jantung Gandes langsung berdetak cepat. Ia menoleh ke arah pintu. Napasnya tertahan.
"Mungkin Mbok Darmi," pikirnya cepat. Tapi langkah itu terlalu tegas untuk milik seorang perempuan tua.Ia berdiri. Tubuhnya menegang.
Langkah itu berhenti tepat di depan pintu.
Hening sesaat. Lalu bunyi kunci diputar.
Pintu berderit perlahan, membuka celah kecil yang langsung membuat dada Gandes berdegup keras.
Kanaya merasa kecewa dengan jawaban itu.Suster benatap sejenak, map plastik terjepit. Tatapan singkat meluncur ke wajah pucat Kanaya."Ibu jadi periksa atau tidak?"Lambung Kanaya bergejolak. Rasa pahit merambat tenggorokan. Tangan menutup mulut dengan napas tertahan."Iya," jawabnya lirih."Dokter akan panggil sebentar lagi."Bangku besi terasa dingin menempel kulit saat Kanaya duduk. Jam dinding terasa bergerak lamban. Setiap detik seperti menyeret bayangan lain masuk kepala Kanaya. King dengan tergesa mengejar pesawat, sepatu menghantam lantai resort. Bayangan wanita yang pernah melabrak dan mengusirnya dari penthouse terkapar, darah membasahi lengan. Lalu datang ketakutan menembus hatinya saat ingat lelaki itu pernah tak memakai pengaman saat berhubungan dengan dirinya."Badanku terasa lemas, jangan-jangan dia menularkan penyakit kelamin ke tubuhku."Nama Kanaya dipanggil. Langkah kakinya berat menuju ruang pemeriksaan.Ruang periksa terasa sempit padahal longgar, bau antisepti
Tak ada respons. Kelopak mata Jati tetap tertutup. Wajahnya tenang, terlalu tenang, seperti orang yang tertidur setelah perjalanan panjang."Masuk observasi," kata dokter. "Kita tunggu dia sadar.""Dikasih nama siapa, Dok, pasien ini?"Dokter itu nampak bingung. Seragam loreng yang dikenakan Jati polos. Tak ada pita nama, tak ada tanda pangkat. Hanya velcro hitam kosong di dadanya, seolah identitasnya memang sengaja disembunyikan untuk urusan operasi pembebasan yang ia kerjakan."Bagaimana kalau Mada saja, Dok?"Dokter itu melebarkan matanya."Soalnya tubuh dia kekar banget kayak patih Gajah Mada," ucap suster itu menunduk malu."Bener juga, Dok," dukung yang lain."Baik, ini kemauan kalian. Catat saja begitu."****Di sebuah resort."Bangun, Cantik. Matahari sudah menang."Kanaya membuka mata perlahan. Selimut terasa hangat, lengan King Liong melingkar ringan, sentuhan yang sengaja dibuat malas agar pagi terasa panjang."Jam berapa?" tanya Kanaya serak, senyum belum pergi."Jam yang
"Buru-buru amat, bukannya katamu kamu ingin tempat yang tenang, kenapa seolah kamu seperti dikejar hantu kek gini? Apa kamu takut istrimu akan membuntuti kamu lagi?"Pria bermata sipit itu tergelak pelan sebelum bicara. "Kenapa bilang begitu? Memang apa yang bisa dia lakukan jika aku masih bermain di belakangnya?"Kanaya tersenyum samar. "Jangan sok kuasa, dia bisa membuatmu merangkak di jalanan. Jangan kira aku tak tahu, kejadian aku diusir dari penthause-mu membuat aku tahu, kalau yang punya perusahaan itu istrimu, kamu hanya karyawan yang kebetulan diberi tempat olehnya.""Sama saja, tanpa aku, apa yang bisa ia lakukan dengan hanya hobby traveling-nya itu."Pria itu menarik tangan Kanaya hingga Kanaya jatuh ke pelukannya. Aksi pun ia lakukan hingga Kanaya tanpa sadar telah mengeluarkan desahan di bibirnya."Aku pesan teh melati," ucap King Liong pelan, dengan logat khas yang nyaris tak terdengar. "Biar otak kamu segar duluh."Kanaya menarik kerah King, tersenyum kecil. "Justru kam
"Gandes... kamu belum tidur?"Pertanyaan dan tatapan teduh di mata elang itu hanya gema di kepala Gandes, saat air mata sudah menetes tak terbendung. Bayanga itu cukup membuat langkahnya terhenti. Ia berdiri di tengah kamar, ponsel masih tergenggam, layar redup memantulkan wajahnya sendiri yang pucat.Pesan itu singkat. Terlalu singkat untuk kabar yang terasa berat."Tolong do'akan! "Tak ada logo markas. Tak ada keterangan resmi. Hanya satu nama pengirim yang langsung dikenali Gandes dari profil WA-nya, meski nomornya asing."Teddy!""Nggak... jangan begini," bisiknya, suara tercekat. "Ini cuma latihan agar aku terbiasa menjadi istri seorang prajurit, kan?"Ia duduk di tepi ranjang, menatap lantai. Jantungnya berdetak tak beraturan, seperti mengetuk pintu yang tak kunjung dibuka. Tangannya gemetar saat meletakkan ponsel di atas bantal. Lalu dengan pelan mearana perutnya."Apa yang terjadi sama kamu, Jati..." Tak ada jawaban. Sunyi menjawab lebih cepat daripada logika.Gandes berdiri
Air laut bergolak keras. Gelombang menghantam tiang dermaga, menyisakan buih putih yang cepat buyar. Lampu sorot berputar, menyapu permukaan air laut yang gelap yang tak memberi jawaban." Jatiii! "teriak Tedy kembali, membuat yang di dekatnya panik.“Semua tenang!” suara tegas menyela lewat radio. “AKBP Rendra ambil kendali. Satu sisi bereskan sandera, sementara aku kirim bantuan mencari Mayor Jatiendra!”“Sandera di mana?” tanya AKBP Rendra memotong hiruk-pikuk.“Gudang timur, Pak. Lima orang,” jawab seorang anggota TNI cepat.“Baik,” kata Rendra. “Prioritas amankan sandera. Tim laut lanjut pencarian mayor.”Kapten Tedy berdiri di tepi dermaga, mata menatap air gelap yang baru saja menelan komandannya.Rahangnya mengeras."Jati, baru saja kamu temukan cintamu, sekarang begini. Kamu pasti kuat, bertahanlah, kami pasti menemukanmu," batinnya. Tedy sahabat Jati sejak SMA, mereka juga menjalani pendidikan bersama di AKMIL.“Kapten Tedy,” panggil Rendra. “Kamu ikut darat. Jangan pecah fok
“Gandes, kamu kenapa pucat?” tanya Wulan cemas.Langkah Gandes terhenti dekat gerbang kampus. Ia menoleh ke arah Wulan yang berdiri sambil mengancingkan tas ransel.Udara pagi terasa biasa saja, tetapi kepala Gandes berdenyut seperti dihantam dari dalam.“Sedikit pening,” jawabnya. Ia memaksa senyum, lalu melangkah lagi.“Sejak tadi wajahmu aneh,” sahut Wendra yang berjalan di sisi lain.“Kamu sarapan?”Gandes mengangguk.Bau kantin kecil dekat parkiran tiba-tiba menyergap. Minyak goreng, kopi panas, dan nasi hangat bercampur jadi satu. Dada Gandes bergejolak. Ia menutup mulut, berlari kecil ke arah toilet fakultas.Wulan menyusul. “Ndes!”Pintu toilet hampir tertutup ketika suara muntah Gandes pecah. Ia membungkuk, kedua tangan bertumpu ke wastafel. Tenggorokannya perih. Air mata keluar bukan karena sedih, melainkan refleks tubuh.Wulan memijat tengkuknya, mengusap pelan. “Hei, tarik napas.”Gandes mengangguk, membilas mulut. Wajahnya terlihat makin pucat saat bercermin. Matanya ceku







