LOGIN"Lepas,.. lepaskan aku!" teriak Gandes dengan gelisah. Keringat dingin bercucuran di pelipisnya.
Jati bergegas mendekat. Tapi Gandes sudah kembali tenang. Ia mengusap pipi dengan punggung tangan. Napasnya kembali teratur, benar-benar tertidur.
Jati menghela napas panjang, lalu berjongkok di depannya.
"Dia menangis?" gumannya lirih.
Tangannya sempat ragu sebelum menyentuh pipi Gandes dan menghabus air matanya.
"Kulitnya dingin. Terlalu dingin untuk seorang pengantin di malam pertama," guman Jati lagi.
Beberapa detik, Jati hanya diam, menatap wajah itu. Hatinya seperti diaduk. Ia tak tahu apa yang sebenarnya ia cari. Balas dendam, pembuktian, atau mungkin hanya pembenaran dari luka lama.
Tatapannya turun perlahan. Kerudung Gandes masih membingkai wajah mungilnya yang cantik. Ia menelan ludah, lalu menghela napas berat. Cahaya lampu menimpa wajahnya, memperjelas garis rahang tegas dan sorot mata tajamnya. Tangannya bergerak pelan, menyentuh kerudung di kepala Gandes. Hendak melepas hijabnya.
Jati kembali ragu.
"Apa lebih baik aku pindahkan saja tidurnya?" gumam Jati sambil menatap pakaian pengantin Gandes. "Aku lupa kalau dia tak bawa pakian. Tapi ini sudah malam, mana ada toko pakaian jam segini," keluh Jati lirih, tapi cukup untuk menembus telinga Gandes.
Samar-samar, Gandes mendengar suara itu di antara kantuk dan lelah yang menindih seluruh tubuhnya. Ia tidak benar-benar tidur, tapi juga tidak sepenuhnya sadar. Kepalanya berat, pikirannya masih kacau sejak siang tadi, sejak takdir mempertemukannya lagi dengan pria yang dulu pernah ia panggil papi.
Ia baru menyadari dingin menelusup lewat sela kain pengantin yang masih melekat di tubuh.
Beberapa detik kemudian, tubuhnya terasa terangkat. Ada lengan kuat yang membopong, lalu aroma tubuh lelaki itu memenuhi napasnya. Gandes ingin menolak, tapi suaranya tertelan. Mungkin karena terlalu letih, tubuhnya hanya diam, pasrah seperti boneka tanpa daya.
Ia baru tersadar benar ketika merasakan sesuatu menarik pelan kerudung di kepalanya. Seketika matanya terbuka. Dalam cahaya temaram, bayangan Jati berdiri di depannya, tangannya masih menggenggam ujung jilbabnya.
"Apa yang kamu lakukan?" seru Gandes cepat, menepis tangan itu.
Jati tersentak. "Kamu tidur memakai hijab, aku cuma mau melepasnya biar kamu nyaman," ucap Jati datar, tapi nadanya tetap dingin.
"Kamu mengambil kesempatan saat aku tidur dengan melapas jilbabku."
"Kamu ngak salah bicara seperti itu?"
"Jangan sentuh aku." Gandes bangun, memegangi kerudungnya yang nyaris terlepas. "Kamu tak berhak."
Jati menatapnya tajam. "Aku suamimu, Gandes. Jangankan jilbabmu. Seluruh pakaianmu pun bisa aku lepas sekarang juga jika aku mau. Sayangnya aku tak tertarik. Aku melepas hijabmu hanya karena biar kamu tidur dengan nyenyak, besuk masih ada acara."
"Bagiku kamu bukan suamiku yang patut melihat auratku. Kamu hanyalah suami yang memaksa pernikahan," balasnya cepat. "Aku tidak memilihmu. Aku bahkan tidak mau berada di sini."
Jati menahan napas sejenak, kemudian tertawa pendek. "Lucu. Aku baru saja membopongmu ke ranjang, memastikan kamu tidak kedinginan di lantai. Dan sekarang kamu malah marah? Apa kamu tidak mengerti kalau aku kasihan padamu?"
"Aku tidak butuh belas kasihanmu."
"Bukan belas kasihan," sahut Jati, suaranya meninggi. "Itu hakku."
"Hakmu?" Gandes menatapnya, matanya bergetar tapi suaranya tegas. "Kamu hanya punya kertas akad, bukan hatiku."
Ucapan itu menampar. Dada Jati naik turun menahan emosi.
Ia mendekat cepat, membuat Gandes mundur hingga punggungnya menempel ke tiang ranjang."Jangan pakai nada itu padaku," kata Jati pelan tapi tajam. "Aku bisa buat kamu menyesal."
Gandes menatap balik, berusaha tegar. "Aku sudah menyesal sejak siang tadi, sejak aku kaupaksa duduk di pelaminan."
Tatapan mereka saling menantang. Hening hanya sekejap, lalu Jati menghela napas berat, menunduk, kemudian kembali menatapnya.
"Kamu tahu?" ucap Jati, suaranya pelan tapi mengandung nada sinis. "Tubuhmu itu pasti pegal tidur di lantai. Tapi kamu tetap keras kepala, seperti ibumu."
"Jangan kamu hina ibuku!"
"Memangnya kenapa? Benar kan?" ujar Jati sambil mendekat lagi, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Gandes.
Gandes memalingkan wajahnya.
"Ibumu sudah pergi. Kamu tak ada tempat lain selain di sini kalau kamu pingin terus hidup, terus kuliah. Jadi aku peringatkan, kamu jangan bertingkah yang membuatku kesal. Termasuk, kamu harus tidur di ranjang ini, bukan di lantai."
Gandes mencoba menggeser ke samping, tapi lengan Jati cepat menahan bahunya. Ia menatapnya tajam.
"Lepas!" seru Gandes.
"Kenapa? Aku hanya ingin memastikan kamu tak jatuh dari tempat tidur," sahutnya, nada suaranya menipu tenang, tapi genggamannya kuat.
"Kamu,.." Gandes belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika Jati menariknya. Tubuh Gandes terseret hingga jatuh di pelukannya.
"Lepas,.. lepaskan aku!" Gandes meronta, tapi dada Jati sudah menahan geraknya.
"Berhenti melawan!" bentak Jati, suaranya serak. "Aku bahkan belum menyentuhmu seperti suami seharusnya!"
Gandes berusaha melepaskan diri, tapi genggaman itu terlalu kuat. "Kamu pikir aku benda milikmu?"
"Bukan benda," bisik Jati di telinganya, nadanya rendah, nyaris berbahaya. "Tapi istri."
Gandes menggigit bibir, air matanya mulai menggenang. "Aku bukan istri, aku tawananmu."
Kata-kata itu membuat Jati diam. Matanya perlahan berubah, tak lagi sekadar marah, tapi terluka. Ia melepaskan pelukannya sedikit, menatap wajah Gandes dari jarak sangat dekat.
Beberapa detik mereka hanya saling diam, napas beradu, mata bertemu tanpa kata.
"Kamu benci aku sedalam itu?" tanya Jati pelan.
Gandes menatapnya, bibirnya bergetar. "Aku tak tahu. Yang kutahu, aku ingin bebas darimu."
Keheningan membeku. Lalu Jati tertawa pelan, getir. "Bebas? Segampang itu kamu bilang ingin bebas?"
Jati bergeser. Ia mendekap Gandes lagi, lebih erat, hingga Gandes kembali menahan napas. Gadis itu berteriak kecil, dua kali, tapi suaranya tertahan di antara dadanya sendiri.
"Lepas!" suaranya serak, hampir menangis.
Jati kembali mendekapnya, kali ini lebih erat. Gandes tercekik oleh isak yang tertahan di dada.
Namun Jati hanya berbisik di telinganya, "Aku nggak akan melepaskanmu. Mulai sekarang kamu harus membiasakan tidur dalam dekapanku." Napasnya berat, panas terasa di antara jarak yang terlalu dekat.
Gandes menutup mata, tubuhnya tegang. Ia telah pasrah. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya.
Jati mengeratkan pelukannya, dengan berkali-kali mencium ubun-ubun Gandes seolah membenarkan tindakannya sendiri. Sementara Gandes diam, matanya menatap kosong, air mata jatuh tanpa suara.
"Ryan, maafkan aku,.. selama ini bahkan tanganmu tak pernah sekalipun menyentuhku, walau kamu selalu ada untukku."
Suasana sore di rumah Maheswari perlahan hidup kembali setelah prosesi adus keramas selesai. Aroma melati, pandan, dan bunga kenanga masih tercium samar di pekarangan. Dari halaman belakang terdengar suara air mengalir, sementara dari dapur, denting piring dan suara sendok beradu pelan menandakan kesibukan para ibu yang membantu menyiapkan hidangan untuk selamatan malam nanti.Di teras samping rumah, beberapa perempuan duduk melingkar di atas tikar pandan. Angin sore menelusup di antara sela genting, membawa suara gelegar anak-anak kecil berlarian di halaman depan. Di tengah lingkaran itu, Maheswari duduk dengan raut lelah. Meski wajahnya tetap tampak anggun, gurat kecewa dan amarah halus tampak di sana."Perempuan itu... entah membawa berkah atau malah ujian," gumamnya pelan, tapi cukup jelas untuk membuat yang lain saling pandang.Bu Nara, tetangga sebelah yang dikenal bijak dan sering dimintai pendapat setiap ada urusan keluarga di kampung, mencoba menenangkan suasana. "Mungkin kar
"Kamu mengusirku, Gandes?" Suara Jati dalam, berat, dan menekan. Di antara mereka hanya ada jarak sejengkal, tapi rasanya seperti jurang yang tak mungkin diseberangi. Gandes menunduk, jarinya gemetar ketika mencoba melepas sisa bunga melati yang menjerat lehernya."Aku hanya ingin melepasnya sendiri," jawabnya pelan, berusaha tenang meski dadanya berdebar cepat."Ini soal melati yang kamu lepas, atau karena lelaki di kampus itu?"Gandes berhenti sejenak. Tangan yang tadi sibuk menarik melati, kini membeku. Ia menatap Jati dengan mata yang tak lagi sekadar takut, tapi juga terluka. "Jangan kamu bawa-bawa dia.""Kamu belum jawab pertanyaanku tadi siang," lanjut Jati, suaranya kian tajam."Apa?" suara Gandes tajam."Kenapa kamu bersama lelaki itu lagi?""Apa hakmu melarang aku?" Gandes berusaha menjaga nada suaranya tetap rendah. "Kami juga tidak berdua. Apa kamu tidak lihat? Kami bersama teman-teman yang lain.""Itu yang terlihat tadi," ucap Jati cepat. "Tapi sebelumnya, kamu sudah ngap
Langkah Jati perlahan mendekat. Suara sandal kulitnya menggesek tanah yang basah oleh air bunga. Gandes tidak berani menoleh. Hatinya berpacu cepat, seperti hendak meledak. Kebencian selalu muncul tiap melihat lelaki itu.Suara perias menyusul, lembut tapi tegas. "Sekarang giliran suami membasuh wajah istrinya. Sebagai tanda penerimaan."Gandes membeku. Jantungnya seperti berhenti berdetak.Udara terasa lebih dingin. Ia bisa merasakan kehadiran Jati di belakangnya, begitu dekat.Tangan lelaki itu terulur, berhenti di udara, lalu,..membasuh wajahnya."Dekatkan kepalamu," bisik perias sambil menunjuk Gandes yang menunduk, tubuhnya masih tertutup melati. "Cium ubun-ubunnya, Nak. Ucapkan satu harapan dalam hatimu. Biar langgeng, biar rumah tangga ini kuat seperti akar pohon beringin."Suara tawa kecil terdengar dari deretan ibu-ibu sepuh yang menonton."Ayo, Mas Jati. Kenapa masih canggung begitu? Bukannya semalam sudah mencium yang lainnya? " Kekeh seorang ibu tetangga Jati yang tak jauh
Jati hanya menatap, wajahnya datar tapi matanya berbicara banyak, menatap Ryan dan Gandes bergantian. Ia melangkah mendekat. Ada jarak yang terasa begitu tegang.Gandes menelan ludah, napasnya cepat. Ryan menatapnya tak percaya. "Bukankah tadi dia sudah pergi?" bathinnya."Naik mobil sekarang juga," titah Jati terdengar dingin tapi bergetar di ujung nada.Ryan yang masih memegang kunci segera menatapnya tajam. "Mas, begini ya, cara kamu ngomong sama Gandes?""Aku bicara sama istriku, bukan sama kamu." Tatapan Jati tak kala tajam, menusuk Ryan seolah ingin menelan setiap kata yang sempat keluar. Di belakang mereka, suasana kantin yang tadi ramai tiba-tiba terasa sesak.Gandes menatap Jati. "Pulang saja duluh, aku belum mau pulang. Aku mau ambil baju di kos." Suaranya pelan, hampir tenggelam dalam gemetar yang ia tahan."Lupakan bajumu, bukankah aku telah membelikanmu baju. Kita bisa mengambilnya kapan-kapan.""Tapi,..""Masuk mobil, kataku." Dengan menahan marah, Jati segera menarik ta
"Hanya bercanda. Aku ikut prihatin," ralat Wulan, merangkul Gandes.Ryan menyandarkan tubuhnya. Pikiran malam pertama Gandes masih menggayut, membuat dadanya makin terhimpit.Sementara Werda hanya bisa menggenggam jemari Gandes.Mata Gandes mengaca. Terlebih saat melihat Ryan yang hanya diam."Kalau kamu pingin nangis, nangislah, aku siap kamu peluk." Akhirnya Werda bicara.Tangisan pun terdengar dari Gandes yang memeluk Wulan. Werda ikut memeluknya, seolah menyatukan air mata mereka bertiga.Rendi, Sandi yang tahu Ryan juga tersiksa, menggenggam jari sahabatnya itu."Kalian yang sabar ya," hibur Rendi.Beberapa mahasiswa dan mahasisiwi yang datang di kantin menatap. Ada yang bertanya pada temannya, ada yang hanya menggeleng."Kamu... tak apa-apa, Gandes?" tanya Ryan pelan, saat ia mendekat.Semua mengurai pelukan. Gandes menatap Ryan sedih, lalu menggeleng. Matanya memanas. Tanpa kata, air mata mulai mengalir lagi, membasahi pipi. Ia merasa begitu lelah, lelah secara fisik dan emosio
Nada Gandes lembut, tapi cukup jelas hingga membuat kamar seketika beku.Maheswari membeku, hanya menatap. Jati pun ikut diam, pandangannya jatuh ke wajah Gandes yang menunduk pasrah. Angin dari jendela meniup tirai, membawa aroma melati yang tiba-tiba terasa pahit di hidung Gandes.Dalam diam itu, ia tahu, satu kalimat itu saja sudah cukup membuat segalanya berubah.Maheswari menatap tajam."Tidak ikut? Acara adat keluarga ini tidak bisa ditolak. Semua menantu yang masuk rumah ini harus melewati adus keramas. Tanda resmi diterima keluarga." Nada suaranya datar tapi berisi ancaman. Gandes hanya bisa menunduk. Tak ada ruang untuk membantah, tak ada pilihan untuk mundur."Tapi hari ini saya ada ujian, Ibu. Saya harus ke kampus.""Apa? Kamu nikah baru kemarin. Berani kamu keluar dari rumah ini, aku akan,.." Maheswari memegangi dadanya yang sakit, tak meneruskan kata-katanya. Ia kemudian menuruni tangga. Suara sandal kayunya berderit, perlahan menghilang.Sunyi menyelimuti ruang itu.Jati







