Home / Romansa / SUAMIKU KEKASIH IBUKU / 05. Bagaimana,..

Share

05. Bagaimana,..

Author: HaniHadi_LTF
last update Last Updated: 2025-10-13 10:52:21

Pagi harinya,

"Gandes, kenapa kamu nggak turun-turun?" Suara lantang Maheswari memecah kesunyian pagi. "Wanita kok pagi-pagi begini belum ke dapur, belum nyiapin apa pun. Apa kamu pikir rumah ini hotel?"

Gandes menatap cermin bundar di depannya. Rambutnya yang semalam masih diikat seadanya kini berantakan. Hijabnya kusut, kebaya yang melekat di tubuhnya sudah tak nyaman. Ia menunduk, menatap jemarinya yang menggenggam ujung kain dengan gugup.

"Saya cuma bawa baju ini, Bu," jawabnya, setengah berteriak dari kamar. "Jadi belum ganti."

Langkah berat terdengar dari bawah, diiringi derit anak tangga. Aroma melati menyergap lebih dulu sebelum sosok Maheswari muncul di ambang pintu. Rambutnya disanggul rapi, tatapannya tajam tapi tenang, seperti seorang juri yang siap memberi hukuman pada peserta yang gagal mematuhi aturan.

Wanita itu melangkah masuk tanpa permisi. "Kamu ini pengantin baru, Gandes. Seharusnya bangun paling pagi, masak buat suami. Bukan malah duduk termenung begini," ucapnya dingin, tangan terlipat di dada. "Kalau begini caranya, bagaimana kamu mau jadi ibu rumah tangga yang baik?"

Gandes hanya menatap bayangan Maheswari lewat cermin. Suaranya ia tahan agar tetap sopan. "Saya belum tahu letak dapurnya, Bu. Takut salah taruh alat masak."

Kalimat itu keluar begitu saja. Ia bahkan tahu jawabannya hanya akan memperkeruh suasana. Tapi diam terlalu lama juga akan dianggap kurang ajar.

Maheswari menatapnya dari ujung kepala hingga kaki. "Alasan," desisnya. "Rumah mana pun dapurnya pasti di belakang, bukan di atap."

"Ada dapur yang di depan sekarang, Bu. Bentuknya kayak pantri. Jadi nggak di belakang kayak dulu lagi."

Gandes mencoba tersenyum kecil, tapi senyum itu tak sampai ke mata. Ia tahu, setiap kata yang keluar darinya hanya akan dianggap sebagai pembelaan tak tahu diri.

Maheswari mendengus pelan, seperti menahan jengkel. "Zaman boleh berubah, tapi sopan santun jangan. Wanita Jawa itu harus tahu tempatnya."

Hening sesaat. Gandes menghela napas pelan, lalu berdiri, berjalan ke arah jendela. Tirai tipis menyingkap cahaya yang lembut, menerpa wajahnya yang pucat karena kurang tidur. Matanya bengkak, bekas air mata semalam masih terlihat samar.

"Saya ke sini juga mendadak, Bu. Belum sempat bawa apa-apa," ucapnya lirih.

Maheswari mengerling tajam. "Jadi kamu ke sini tanpa baju ganti? Pengantin macam apa itu? Dasar emang kere."

Hati Gandes tersentak. Kata itu seperti duri yang menusuk pelan tapi dalam. Kere,... Ia mengatupkan bibir, menunduk agar air matanya tak jatuh. "Mungkin memang aku kere, Bu. Tapi tidak perlu diingatkan dengan kata yang sekejam itu."

"Bukannya Ibu sudah tahu kalau aku manten dadakan?" suaranya bergetar, tapi ia berusaha terdengar tenang.

Langkah kaki terdengar dari tangga. Jati muncul dengan kantong belanjaan dari butik ternama. Wajahnya masih mengantuk, tapi senyumnya kecil saat melihat ibunya.

"Kanjeng Ibu, ada yang diperlukan?" tanyanya.

"Ya," jawab Maheswari cepat. "Belikan istrimu baju. Masa pengantin cuma punya satu baju, itu pun kebaya berekor."

Jati meletakkan kantong itu di atas ranjang. "Sudah, Bu. Saya belikan semuanya, lengkap. Sampai baju rumah dan alat rias," katanya datar, lalu melirik Gandes dengan nada menggoda. "Saya kira ukurannya pas. Saya kan lumayan paham soal itu."

Maheswari mendesis. "Iya, siapa yang nggak tahu kamu paling paham soal wanita. Makanya umurmu tiga puluh tiga baru kawin. Sibuk berkelana."

Jati hanya menunduk. "Mandilah, lalu pakai baju itu," katanya pada Gandes, mencoba menengahi ketegangan.

Gandes menatapnya sekilas. "Kamu tak perlu repot-repot belikan aku baju. Aku bisa ambil bajuku di kos."

Mata Maheswari langsung membulat. "Kamu mau pergi ke kos? Acara belum selesai, Dhuk! Jangan seenaknya pergi dari rumah. Emang kamu nggak ngerti adat?"

"Bu, yang namanya adat kan nggak harus diturut semuanya. Toh cuma sebentar. Saya nggak akan kabur."

"Mulai sekarang kamu harus menjaga unggah-ungguh di sini," balas Maheswari tajam. "Jangan membantah."

Gandes menunduk, tangannya sibuk merapikan lipatan kebaya yang mulai kusut. Tapi pipinya terasa panas. "Kenapa aku harus selalu disalahkan? Aku cuma ambil baju, bukan kabur. Kenapa setiap langkahku harus diperhitungkan seperti maling yang ditangkap di rumah orang?"

"Eh, kok bisa tahu ukuranku?" guman Gandes pelan.

"Feeling," jawab Jati cepat.

"Feeling apa mata elang?" sahut Maheswari.

"Ya dua-duanya. Kan semalam aku dan dia udah,.."

"Jati!" Maheswari langsung memotong tajam. "Jangan bicara hal itu di depan orang tua! Kamu nggak tahu malu, ya?"

Jati menunduk, menahan senyum. "Maaf, Kanjeng Ibu."

Sementara Gandes tertegun. Ia memandang keduanya bergantian, merasa dadanya sesak. "Apa maksudnya? Apa benar semalam...? Tidak. Aku masih ingat betul. Aku tidak kehilangan apa pun walau aku kemudian ketiduran."

Maheswari melirik jam di pergelangan tangannya. "Cepat suruh dia ganti. Masih banyak kerabat yang datang . Jangan sampai tamu melihat menantuku seperti orang habis begadang."

Gandes mengangguk pelan. "Bu, boleh saya tanya sesuatu?"

"Apa lagi?"

"Saya bukan menolak, Bu. Cuma takut salah langkah," katanya hati-hati. Nafasnya mulai berat. Acara itu, adus keramas,..membuat pikirannya kacau. Ia tahu artinya: pengantin wanita yang telah melalui malam pertama harus mengenakan jarik yang hanya dililitkan di dada. Tapi... dia tidak melaluinya, juga tak mungkin mengenakan pakaian seperti itu.

"Apanya yang salah langkah?" tanya Maheswari, alis terangkat.

"Saya belum tahu maknanya. Emang acara ini perlu banget ya?"

Maheswari mendekat, menatapnya lurus. "Maknanya supaya kamu bersih. Bukan cuma badan, tapi juga hati. Supaya tidak bawa sifat-sifat buruk dari rumah lamamu ke rumah ini."

Kata-kata itu seperti tamparan. Sifat buruk dari rumah lamaku? Apa salah orang tuaku? Apa salahku? Gandes menelan ludah, berusaha menjaga suaranya agar tidak pecah.

Ia hanya mengangguk pelan, lalu membuka kantong belanjaan dari Jati. Di dalamnya tersusun rapi pakaian berwarna lembut, harum, dan ada satu kotak kecil berisi alat rias. Semua begitu mewah, tapi terasa asing. Seolah tiap helainya bukan untuk dirinya, melainkan untuk peran yang dipaksakan kepadanya.

Jati mendekat. "Aku melakukan ini bukan untukmu. Tapi untuk keluargaku, supaya tidak dipermalukan lagi."

Dada Gandes seketika kaku. "Tidak dipermalukan lagi? Jadi aku ini sekadar pelindung nama keluarga? Pengganti seseorang yang lebih pantas?" Ia menatap lantai, menahan gemetar.

Maheswari mengembuskan napas keras. "Cepat ganti. Perias bisa datang kapan saja."

"Bu..." suara Gandes nyaris tak terdengar.

Maheswari menatapnya lagi, dengan sorot mata yang penuh waspada. "Apa lagi?"

"Kalau saya... tidak ikut acara itu, bagaimana?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMIKU KEKASIH IBUKU   11. Rambut

    Suasana sore di rumah Maheswari perlahan hidup kembali setelah prosesi adus keramas selesai. Aroma melati, pandan, dan bunga kenanga masih tercium samar di pekarangan. Dari halaman belakang terdengar suara air mengalir, sementara dari dapur, denting piring dan suara sendok beradu pelan menandakan kesibukan para ibu yang membantu menyiapkan hidangan untuk selamatan malam nanti.Di teras samping rumah, beberapa perempuan duduk melingkar di atas tikar pandan. Angin sore menelusup di antara sela genting, membawa suara gelegar anak-anak kecil berlarian di halaman depan. Di tengah lingkaran itu, Maheswari duduk dengan raut lelah. Meski wajahnya tetap tampak anggun, gurat kecewa dan amarah halus tampak di sana."Perempuan itu... entah membawa berkah atau malah ujian," gumamnya pelan, tapi cukup jelas untuk membuat yang lain saling pandang.Bu Nara, tetangga sebelah yang dikenal bijak dan sering dimintai pendapat setiap ada urusan keluarga di kampung, mencoba menenangkan suasana. "Mungkin kar

  • SUAMIKU KEKASIH IBUKU   10. Ibumu,..

    "Kamu mengusirku, Gandes?" Suara Jati dalam, berat, dan menekan. Di antara mereka hanya ada jarak sejengkal, tapi rasanya seperti jurang yang tak mungkin diseberangi. Gandes menunduk, jarinya gemetar ketika mencoba melepas sisa bunga melati yang menjerat lehernya."Aku hanya ingin melepasnya sendiri," jawabnya pelan, berusaha tenang meski dadanya berdebar cepat."Ini soal melati yang kamu lepas, atau karena lelaki di kampus itu?"Gandes berhenti sejenak. Tangan yang tadi sibuk menarik melati, kini membeku. Ia menatap Jati dengan mata yang tak lagi sekadar takut, tapi juga terluka. "Jangan kamu bawa-bawa dia.""Kamu belum jawab pertanyaanku tadi siang," lanjut Jati, suaranya kian tajam."Apa?" suara Gandes tajam."Kenapa kamu bersama lelaki itu lagi?""Apa hakmu melarang aku?" Gandes berusaha menjaga nada suaranya tetap rendah. "Kami juga tidak berdua. Apa kamu tidak lihat? Kami bersama teman-teman yang lain.""Itu yang terlihat tadi," ucap Jati cepat. "Tapi sebelumnya, kamu sudah ngap

  • SUAMIKU KEKASIH IBUKU   09. Keluar!

    Langkah Jati perlahan mendekat. Suara sandal kulitnya menggesek tanah yang basah oleh air bunga. Gandes tidak berani menoleh. Hatinya berpacu cepat, seperti hendak meledak. Kebencian selalu muncul tiap melihat lelaki itu.Suara perias menyusul, lembut tapi tegas. "Sekarang giliran suami membasuh wajah istrinya. Sebagai tanda penerimaan."Gandes membeku. Jantungnya seperti berhenti berdetak.Udara terasa lebih dingin. Ia bisa merasakan kehadiran Jati di belakangnya, begitu dekat.Tangan lelaki itu terulur, berhenti di udara, lalu,..membasuh wajahnya."Dekatkan kepalamu," bisik perias sambil menunjuk Gandes yang menunduk, tubuhnya masih tertutup melati. "Cium ubun-ubunnya, Nak. Ucapkan satu harapan dalam hatimu. Biar langgeng, biar rumah tangga ini kuat seperti akar pohon beringin."Suara tawa kecil terdengar dari deretan ibu-ibu sepuh yang menonton."Ayo, Mas Jati. Kenapa masih canggung begitu? Bukannya semalam sudah mencium yang lainnya? " Kekeh seorang ibu tetangga Jati yang tak jauh

  • SUAMIKU KEKASIH IBUKU   08. Adus kramas

    Jati hanya menatap, wajahnya datar tapi matanya berbicara banyak, menatap Ryan dan Gandes bergantian. Ia melangkah mendekat. Ada jarak yang terasa begitu tegang.Gandes menelan ludah, napasnya cepat. Ryan menatapnya tak percaya. "Bukankah tadi dia sudah pergi?" bathinnya."Naik mobil sekarang juga," titah Jati terdengar dingin tapi bergetar di ujung nada.Ryan yang masih memegang kunci segera menatapnya tajam. "Mas, begini ya, cara kamu ngomong sama Gandes?""Aku bicara sama istriku, bukan sama kamu." Tatapan Jati tak kala tajam, menusuk Ryan seolah ingin menelan setiap kata yang sempat keluar. Di belakang mereka, suasana kantin yang tadi ramai tiba-tiba terasa sesak.Gandes menatap Jati. "Pulang saja duluh, aku belum mau pulang. Aku mau ambil baju di kos." Suaranya pelan, hampir tenggelam dalam gemetar yang ia tahan."Lupakan bajumu, bukankah aku telah membelikanmu baju. Kita bisa mengambilnya kapan-kapan.""Tapi,..""Masuk mobil, kataku." Dengan menahan marah, Jati segera menarik ta

  • SUAMIKU KEKASIH IBUKU   07. Kaget

    "Hanya bercanda. Aku ikut prihatin," ralat Wulan, merangkul Gandes.Ryan menyandarkan tubuhnya. Pikiran malam pertama Gandes masih menggayut, membuat dadanya makin terhimpit.Sementara Werda hanya bisa menggenggam jemari Gandes.Mata Gandes mengaca. Terlebih saat melihat Ryan yang hanya diam."Kalau kamu pingin nangis, nangislah, aku siap kamu peluk." Akhirnya Werda bicara.Tangisan pun terdengar dari Gandes yang memeluk Wulan. Werda ikut memeluknya, seolah menyatukan air mata mereka bertiga.Rendi, Sandi yang tahu Ryan juga tersiksa, menggenggam jari sahabatnya itu."Kalian yang sabar ya," hibur Rendi.Beberapa mahasiswa dan mahasisiwi yang datang di kantin menatap. Ada yang bertanya pada temannya, ada yang hanya menggeleng."Kamu... tak apa-apa, Gandes?" tanya Ryan pelan, saat ia mendekat.Semua mengurai pelukan. Gandes menatap Ryan sedih, lalu menggeleng. Matanya memanas. Tanpa kata, air mata mulai mengalir lagi, membasahi pipi. Ia merasa begitu lelah, lelah secara fisik dan emosio

  • SUAMIKU KEKASIH IBUKU   06. Menyelinap

    Nada Gandes lembut, tapi cukup jelas hingga membuat kamar seketika beku.Maheswari membeku, hanya menatap. Jati pun ikut diam, pandangannya jatuh ke wajah Gandes yang menunduk pasrah. Angin dari jendela meniup tirai, membawa aroma melati yang tiba-tiba terasa pahit di hidung Gandes.Dalam diam itu, ia tahu, satu kalimat itu saja sudah cukup membuat segalanya berubah.Maheswari menatap tajam."Tidak ikut? Acara adat keluarga ini tidak bisa ditolak. Semua menantu yang masuk rumah ini harus melewati adus keramas. Tanda resmi diterima keluarga." Nada suaranya datar tapi berisi ancaman. Gandes hanya bisa menunduk. Tak ada ruang untuk membantah, tak ada pilihan untuk mundur."Tapi hari ini saya ada ujian, Ibu. Saya harus ke kampus.""Apa? Kamu nikah baru kemarin. Berani kamu keluar dari rumah ini, aku akan,.." Maheswari memegangi dadanya yang sakit, tak meneruskan kata-katanya. Ia kemudian menuruni tangga. Suara sandal kayunya berderit, perlahan menghilang.Sunyi menyelimuti ruang itu.Jati

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status