LOGINNada Gandes lembut, tapi cukup jelas hingga membuat kamar seketika beku.
Maheswari membeku, hanya menatap. Jati pun ikut diam, pandangannya jatuh ke wajah Gandes yang menunduk pasrah. Angin dari jendela meniup tirai, membawa aroma melati yang tiba-tiba terasa pahit di hidung Gandes.
Dalam diam itu, ia tahu, satu kalimat itu saja sudah cukup membuat segalanya berubah.
Maheswari menatap tajam.
"Tidak ikut? Acara adat keluarga ini tidak bisa ditolak. Semua menantu yang masuk rumah ini harus melewati adus keramas. Tanda resmi diterima keluarga." Nada suaranya datar tapi berisi ancaman. Gandes hanya bisa menunduk. Tak ada ruang untuk membantah, tak ada pilihan untuk mundur."Tapi hari ini saya ada ujian, Ibu. Saya harus ke kampus."
"Apa? Kamu nikah baru kemarin. Berani kamu keluar dari rumah ini, aku akan,.." Maheswari memegangi dadanya yang sakit, tak meneruskan kata-katanya. Ia kemudian menuruni tangga. Suara sandal kayunya berderit, perlahan menghilang.
Sunyi menyelimuti ruang itu.
Jati berdiri di kusen pintu, bersandar santai tapi matanya tak bisa disembunyikan. Ada tatapan lelah bercampur geli di sana.
"Kamu bikin Ibu ngomel dari pagi, Gandes," ucapnya datar.
Gandes menatapnya sekilas dari pantulan cermin. "Bukan saya yang mulai. Saya hanya bertanya kalau ada kemungkinan saya tidak pakai adat itu."
"Kenapa?" Jati berjalan memutari meja rias, langkahnya tenang tapi menekan. Ia menatap tubuh Gandes dari ujung kepala ke kaki, tatapan yang membuat napas Gandes terhenti. "Apa kamu takut tubuhmu yang tidak indah itu makin terlihat jelek?"
Nada menghina itu menampar batinnya lebih keras dari pukulan.
Gandes menatapnya tajam. "Jati, jangan buat kesabaranku habis!""Jati?" lelaki itu mendekat, bibirnya menyungging sinis. "Kamu panggil suamimu dengan nama begitu saja?"
"Apa kamu pantas dipanggil selain itu?" balas Gandes cepat, suaranya rendah tapi bergetar menahan amarah.
Jati mengepalkan tangan. "Panggil 'Mas'. Jangan pernah kamu bikin malu aku lagi dengan memanggil namaku di depan orang lain."
"Memangnya kenapa... Jati?" jawab Gandes mengejek pelan.
Suara keras menggebrak meja rias. Cermin bergetar, beberapa alat rias jatuh ke lantai.
Gandes terlonjak. Hatinya langsung berdebar keras, tapi ia tak mau menunjukkan ketakutannya. Ia buru-buru mengambil pakaian baru dari meja dan melangkah cepat menuju kamar mandi.Pintu kamar mandi tertutup. Suara air mengguyur keras. Ia memejamkan mata di bawah pancuran. Air dingin menggigit kulit, tapi tak cukup untuk memadamkan panas di dadanya.
"Kenapa aku harus selalu salah?" bisiknya di antara suara air. "Kenapa mereka tak melihat aku juga manusia?"Ia mandi lama, berharap saat keluar nanti lelaki itu sudah pergi. Tapi harapannya terlalu muluk. Begitu ia membuka pintu, Jati masih ada di sana , duduk di tepi ranjang, diam tapi menatapnya lewat pantulan cermin.
Gandes pura-pura sibuk. Ia mendekat ke meja rias, membuka alat make up, pura-pura tak peduli. Tapi dari ujung matanya, ia bisa melihat Jati masih memperhatikannya.
"Kanjeng Ibu itu keras kepala," ucap Jati akhirnya. "Tapi kalau kamu sabar, beliau bisa jadi orang paling baik di dunia ini. Cuma... kamu harus tahu cara ambil hatinya."
Gandes menatap pantulan Jati di cermin, matanya sayu. "Kamu takut padanya?"
Jati tersenyum miring. "Dulu iya. Sekarang sudah kebal. Mungkin nanti kamu juga."
"Kalau saya... mungkin belum sempat kebal sudah pergi dari sini."
Jati menatapnya tak percaya. "Aku cuma nyuruh kamu belajar dari aku."
"Belajar jadi kebal," jawab Gandes lirih, "atau belajar pura-pura nurut?"
Jati tak menjawab. Senyum samar itu tetap ada, tapi matanya kehilangan sinar. Seolah ia tahu, kata-kata Gandes barusan benar.
Setelah Jati pergi, Gandes menarik napas panjang. Tangannya gemetar saat membuka kotak make up. Ia mengoleskan pelembab di dagunya. Wangi lembut mahal menguar, asing di hidungnya.
"Aman nggak ya?" pikirnya. "Jangan-jangan ini malah bikin muka berantakan."
Ia menatap wajahnya di cermin. Wajah yang semalam basah oleh tangis kini tampak lebih segar. Wajah itu bukan miliknya yang dulu, wajah gadis kampung yang polos. Tapi perempuan yang asing, yang dipaksa menyesuaikan diri dengan dunia yang bukan miliknya.Dengan bergegas Gandes menuruni tangga, lalu menyelinap lewat lorong samping.
"Mau ke mana kamu, Dhuk?" Suara Maheswari terdengar dari belakang, tajam tapi pelan seolah menahan amarah.
Gandes terlonjak kaget.
"Bener-bener nggak tahu adat, langsung pergi tanpa pamit! Bukankah tadi aku telah bilang, .."
Gandes berhenti sejenak, jemarinya menggenggam tas kecil yang ia bawa kemarin saat datang ke pernikahan. Sebenarnya ia ingin berpamitan, ia harus ke kampus hari ini, ujian menunggu. Namun kata-kata Maheswari membuatnya ketakutan.
"Aku... aku cuma mau ke kampus," jawab Gandes cepat, nadanya bergetar sedikit.
"Ke kampus? Sekarang? Dhuk, baru menikah, tapi sudah mau lari dari tanggung jawabmu?" Maheswari menatapnya, sorot matanya seperti ingin menembus hati.
"Makan duluh." Jati yang tadi membuntuti, mengingatkan.
"Aku sudah makan." Gandes berdusta. Ia terbiasa tidak makan pagi demi menghemat.
"Kami belum makan, kamu belum menyajikan makanan di meja makan, bagaimana kamu bilang sudah makan?"
"Aku ambil nasi dan bawa ke kamar."
"Makan di kamar? Siapa yang ngajari makan di kamar? Tahu apa itu artinya?"
"Maaf, Bu, saya harus berangkat, takut telat. Ada ujian."
"Ih,.."
Gandes sudah beranjak.
"Aku antar," ucap Jati .
Gandes menelan ludah, menundukkan kepala. "Aku... aku bisa sendiri," jawabnya singkat sambil mempercepat langkahnya.
Jati mengejarnya. "Gandes! Tunggu! Aku juga ada perlu. Kita bisa sekalian jalan," serunya.
Gandes menoleh sebentar, matanya masih menyala karena emosi. "Enggak perlu, aku bisa sendiri," jawabnya dingin.
Kebetulan ada bentor [becak motor] lewat. Gandes melambai, cepat-cepat melangkah, dan masuk. Jati masih berdiri di luar, menatap dengan raut wajah jengkel. Ia ingin mengejar, namun membiarkan saja, karena Gandes tampak ingin sendiri.
Perjalanan ke kampus terasa panjang. Gandes menatap jendela, matanya menatap pepohonan yang bergeser pelan, namun pikirannya kacau. Ia tak tahu harus mulai dari mana untuk menenangkan diri. Saat bentor berhenti di depan gerbang kampus, ia turun dengan langkah berat.
Dengan cepat ia segera masuk.
"Kamu terlambat, Gandes?" sapa dosennya.
"Biasa, Pak. Pengantin baru."
Gerr! Suara tawa terdengar memenuhi ruang kelas. Kecuali hanya seorang yang menunduk. Gandes menatapnya tak enak hati.
Selesai ujian, semua berkumpul di kantin kampus.
"Gandes, asik nggak nikah sama orang tua?" tanya Wulan, sahabatnya.
Gandes melotot, terlebih melihat Ryan yang dari tadi hanya mengaduk es tehnya. Rambutnya jatuh, hampir menutup alisnya. Rahangnya mengeras. Bayangan Gandes bersama lelaki yang menikahinya di tempat tidur membuatnya sesak.
Ryan menatap Gandes. Hendak mendekat. Namun,..
Suasana sore di rumah Maheswari perlahan hidup kembali setelah prosesi adus keramas selesai. Aroma melati, pandan, dan bunga kenanga masih tercium samar di pekarangan. Dari halaman belakang terdengar suara air mengalir, sementara dari dapur, denting piring dan suara sendok beradu pelan menandakan kesibukan para ibu yang membantu menyiapkan hidangan untuk selamatan malam nanti.Di teras samping rumah, beberapa perempuan duduk melingkar di atas tikar pandan. Angin sore menelusup di antara sela genting, membawa suara gelegar anak-anak kecil berlarian di halaman depan. Di tengah lingkaran itu, Maheswari duduk dengan raut lelah. Meski wajahnya tetap tampak anggun, gurat kecewa dan amarah halus tampak di sana."Perempuan itu... entah membawa berkah atau malah ujian," gumamnya pelan, tapi cukup jelas untuk membuat yang lain saling pandang.Bu Nara, tetangga sebelah yang dikenal bijak dan sering dimintai pendapat setiap ada urusan keluarga di kampung, mencoba menenangkan suasana. "Mungkin kar
"Kamu mengusirku, Gandes?" Suara Jati dalam, berat, dan menekan. Di antara mereka hanya ada jarak sejengkal, tapi rasanya seperti jurang yang tak mungkin diseberangi. Gandes menunduk, jarinya gemetar ketika mencoba melepas sisa bunga melati yang menjerat lehernya."Aku hanya ingin melepasnya sendiri," jawabnya pelan, berusaha tenang meski dadanya berdebar cepat."Ini soal melati yang kamu lepas, atau karena lelaki di kampus itu?"Gandes berhenti sejenak. Tangan yang tadi sibuk menarik melati, kini membeku. Ia menatap Jati dengan mata yang tak lagi sekadar takut, tapi juga terluka. "Jangan kamu bawa-bawa dia.""Kamu belum jawab pertanyaanku tadi siang," lanjut Jati, suaranya kian tajam."Apa?" suara Gandes tajam."Kenapa kamu bersama lelaki itu lagi?""Apa hakmu melarang aku?" Gandes berusaha menjaga nada suaranya tetap rendah. "Kami juga tidak berdua. Apa kamu tidak lihat? Kami bersama teman-teman yang lain.""Itu yang terlihat tadi," ucap Jati cepat. "Tapi sebelumnya, kamu sudah ngap
Langkah Jati perlahan mendekat. Suara sandal kulitnya menggesek tanah yang basah oleh air bunga. Gandes tidak berani menoleh. Hatinya berpacu cepat, seperti hendak meledak. Kebencian selalu muncul tiap melihat lelaki itu.Suara perias menyusul, lembut tapi tegas. "Sekarang giliran suami membasuh wajah istrinya. Sebagai tanda penerimaan."Gandes membeku. Jantungnya seperti berhenti berdetak.Udara terasa lebih dingin. Ia bisa merasakan kehadiran Jati di belakangnya, begitu dekat.Tangan lelaki itu terulur, berhenti di udara, lalu,..membasuh wajahnya."Dekatkan kepalamu," bisik perias sambil menunjuk Gandes yang menunduk, tubuhnya masih tertutup melati. "Cium ubun-ubunnya, Nak. Ucapkan satu harapan dalam hatimu. Biar langgeng, biar rumah tangga ini kuat seperti akar pohon beringin."Suara tawa kecil terdengar dari deretan ibu-ibu sepuh yang menonton."Ayo, Mas Jati. Kenapa masih canggung begitu? Bukannya semalam sudah mencium yang lainnya? " Kekeh seorang ibu tetangga Jati yang tak jauh
Jati hanya menatap, wajahnya datar tapi matanya berbicara banyak, menatap Ryan dan Gandes bergantian. Ia melangkah mendekat. Ada jarak yang terasa begitu tegang.Gandes menelan ludah, napasnya cepat. Ryan menatapnya tak percaya. "Bukankah tadi dia sudah pergi?" bathinnya."Naik mobil sekarang juga," titah Jati terdengar dingin tapi bergetar di ujung nada.Ryan yang masih memegang kunci segera menatapnya tajam. "Mas, begini ya, cara kamu ngomong sama Gandes?""Aku bicara sama istriku, bukan sama kamu." Tatapan Jati tak kala tajam, menusuk Ryan seolah ingin menelan setiap kata yang sempat keluar. Di belakang mereka, suasana kantin yang tadi ramai tiba-tiba terasa sesak.Gandes menatap Jati. "Pulang saja duluh, aku belum mau pulang. Aku mau ambil baju di kos." Suaranya pelan, hampir tenggelam dalam gemetar yang ia tahan."Lupakan bajumu, bukankah aku telah membelikanmu baju. Kita bisa mengambilnya kapan-kapan.""Tapi,..""Masuk mobil, kataku." Dengan menahan marah, Jati segera menarik ta
"Hanya bercanda. Aku ikut prihatin," ralat Wulan, merangkul Gandes.Ryan menyandarkan tubuhnya. Pikiran malam pertama Gandes masih menggayut, membuat dadanya makin terhimpit.Sementara Werda hanya bisa menggenggam jemari Gandes.Mata Gandes mengaca. Terlebih saat melihat Ryan yang hanya diam."Kalau kamu pingin nangis, nangislah, aku siap kamu peluk." Akhirnya Werda bicara.Tangisan pun terdengar dari Gandes yang memeluk Wulan. Werda ikut memeluknya, seolah menyatukan air mata mereka bertiga.Rendi, Sandi yang tahu Ryan juga tersiksa, menggenggam jari sahabatnya itu."Kalian yang sabar ya," hibur Rendi.Beberapa mahasiswa dan mahasisiwi yang datang di kantin menatap. Ada yang bertanya pada temannya, ada yang hanya menggeleng."Kamu... tak apa-apa, Gandes?" tanya Ryan pelan, saat ia mendekat.Semua mengurai pelukan. Gandes menatap Ryan sedih, lalu menggeleng. Matanya memanas. Tanpa kata, air mata mulai mengalir lagi, membasahi pipi. Ia merasa begitu lelah, lelah secara fisik dan emosio
Nada Gandes lembut, tapi cukup jelas hingga membuat kamar seketika beku.Maheswari membeku, hanya menatap. Jati pun ikut diam, pandangannya jatuh ke wajah Gandes yang menunduk pasrah. Angin dari jendela meniup tirai, membawa aroma melati yang tiba-tiba terasa pahit di hidung Gandes.Dalam diam itu, ia tahu, satu kalimat itu saja sudah cukup membuat segalanya berubah.Maheswari menatap tajam."Tidak ikut? Acara adat keluarga ini tidak bisa ditolak. Semua menantu yang masuk rumah ini harus melewati adus keramas. Tanda resmi diterima keluarga." Nada suaranya datar tapi berisi ancaman. Gandes hanya bisa menunduk. Tak ada ruang untuk membantah, tak ada pilihan untuk mundur."Tapi hari ini saya ada ujian, Ibu. Saya harus ke kampus.""Apa? Kamu nikah baru kemarin. Berani kamu keluar dari rumah ini, aku akan,.." Maheswari memegangi dadanya yang sakit, tak meneruskan kata-katanya. Ia kemudian menuruni tangga. Suara sandal kayunya berderit, perlahan menghilang.Sunyi menyelimuti ruang itu.Jati







