Masuk"Hanya bercanda. Aku ikut prihatin," ralat Wulan, merangkul Gandes.
Ryan menyandarkan tubuhnya. Pikiran malam pertama Gandes masih menggayut, membuat dadanya makin terhimpit.
Sementara Werda hanya bisa menggenggam jemari Gandes.
Mata Gandes mengaca. Terlebih saat melihat Ryan yang hanya diam.
"Kalau kamu pingin nangis, nangislah, aku siap kamu peluk." Akhirnya Werda bicara.
Tangisan pun terdengar dari Gandes yang memeluk Wulan. Werda ikut memeluknya, seolah menyatukan air mata mereka bertiga.
Rendi, Sandi yang tahu Ryan juga tersiksa, menggenggam jari sahabatnya itu.
"Kalian yang sabar ya," hibur Rendi.
Beberapa mahasiswa dan mahasisiwi yang datang di kantin menatap. Ada yang bertanya pada temannya, ada yang hanya menggeleng.
"Kamu... tak apa-apa, Gandes?" tanya Ryan pelan, saat ia mendekat.
Semua mengurai pelukan. Gandes menatap Ryan sedih, lalu menggeleng. Matanya memanas. Tanpa kata, air mata mulai mengalir lagi, membasahi pipi. Ia merasa begitu lelah, lelah secara fisik dan emosional, seakan dunia menimpanya sekaligus.
Ryan cepat mengambil tisu, memberikan pada Gandes untuk menyeka airmatanya. "Kita pasti bisa melewati ini, Gandes. Percayalah, nanti ada jalan untuk kita. Aku yakin," bisiknya menenangkan. Mata Ryan sudah buram.
Gandes hanya menatapnya, bibirnya gemetar, rindu dan penyesalan ingat ciuman Jati, bercampur aduk. Ada sesuatu di mata Ryan yang membuatnya ingin melupakan sejenak semua masalah. Tatapan hangat, lembut, dan penuh pengertian. Ryan menyalin rindu Gandes, mengisyaratkan bahwa ia juga merasakan kehilangan itu, hanya saja ia memilih diam. Tak tahu harus berbuat apa.
"Tapi kamu belum itu,.... kan?" tanya Wulan.
"Wulan,.." tegur Rendi sambil menatap Ryan. Dia tahu Wulan selalu bicara blak-blakan. Mereka adalah murid terbaik dari SMA boarding scool yang sejak kelas IX sudah akrap karena sering bersama mewakili sekolah mereka di berbagai evend, dan sama-sama diterima di UGM walau jurusan mereka beda, kecuali Gandes dan Ryan yang mengambil ekonomi.
"Kenapa kita nggak kembali ke masa-masa SMA saja? Rasanya saat itu kita hanya punya tawa," kenang Wendra.
"Iya,.. termasuk nganter Gandes sama Ryan yang ketemuan di pasar, lalu kita sama-sama dipanggil ke guru BK."
Tawa kecil sejenak terdengar di sela mereka makan.
"Kalau mau, aku antar pulang. Nanti turun di tikungan rumah itu saja, biar uangmu nggak habis," lanjut Ryan setelah beberapa detik hening.
Gandes mengangguk, suara seraknya nyaris tak terdengar. "Iya... setelah Mama tak ada, aku nggak tahu nasib kuliahku, Ryan," katanya lirih, menatap tangan Ryan yang masih menaruh tisu di meja.
"Bener juga sih kamu, walau kamu tak bayar uang kuliah, dan dapat uang KIP. Itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kalau tidak ada uang tambahan," lanjut Wulan.
"Gampang, ada Sandy, Werda sama Wulan yang mau ngucurkan dana untuk kamu," gurau Rendi, "kalau aku, sama aja dengan kamu, Ryan,..kita sama-sama bisa masuk sekolah elit itu karena beasiswa anak yatim dan tahfiz. Sekarang pun, kita sama-sama ngandalin KIP."
Mereka lalu tergelak. Sebelum Ryan menatap sosok yang mondar mandir di dekat kampus.
"Ryan, kamu kenapa?" tanya Sandi.
"Enggak, nggak apa-apa," ucap Ryan lalu pindah tempat duduk agar Gandes tak terlihat jelas dari sebrang.
"Pada kepikiran enggak, kira-kira Tante Kanaya ke mana?" tanya Wulan.
Sandi menatap Wulan sebelum bicara. "Aku juga kepikiran soal itu. "
"Tapi kalau kamu mau, kamu bisa minta Papi kamu bantu nyelidiki. Koneksi beliau luas, bisa lewat orang-orang di dinas. Kalau Tante Kanaya ketemu, Gandes bisa tenang, pernikahan itu bisa dibatalkan, dia bisa bebas dari semuanya."
"Rendi..." Werda menatapnya lembut, mencoba menenangkan. "Jangan terlalu terburu-buru ngomong begitu."
"Tapi kan memang begitu, Wer. Kalau Tante Kanaya ditemukan dan bisa balik ke Om itu, Gandes bisa bebas," sambung Rendi. "Aku cuma nggak habis pikir kenapa orang sebaik Mama kamu bisa hilang tanpa jejak."
Gandes menunduk, suaranya serak. "Aku takut,... takut kalau Mama dalam bahaya."
Sandi menatap Gandes. "Tenang. Aku bakal coba bicara sama Papi. Tapi mungkin nggak gampang, karena belakangan beliau juga banyak urusan. Aku aja jarang ketemu. Mau ngomong di telpon juga nggak enak. Tapi aku janji, aku usahakan."
"Mami Sandi tuh baik banget ke kamu," ucap Wendra, "bahkan kamu aja sering dikirimi baju bermerk. Minta tolong aja sama mami kamu, San."
Selintas Ryan menunduk. Gandes yang mengerti Ryan pernah bilang cemburu pada Sandi, menatapnya.
Sandi mengangguk pelan setelah sebentar menatap Ryan dengan tak enak hati. "Mami memang suka kamu, Gandes. Dia bilang kamu itu anak cantik dan sopan. Mungkin juga kerena efek dia ingin punya anak cewek. Pas tahu kamu kena masalah ini aja, beliau jadi sedih. Dia bilang ke aku, sebagai teman, jangan pernah ningglian kamu."
"Kalau begitu, pasti beliau mau bantu," potong Wulan cepat. "Nggak mungkin Mami kamu cuek."
Sandi menarik napas panjang. "Aku akan coba bicara pelan-pelan. Papi nggak suka kalau urusan keluarga dibawa keluar, tapi kali ini beda. Ini soal nyawa, soal orang hilang."
Suasana hening sesaat. Suara piring bertabrakan dari dapur kantin terdengar samar. Gandes menggenggam ujung jilbabnya. "Aku cuma pengin Mama pulang. Aku nggak kuat. Rasanya kayak semua hal di sekitarku runtuh. Aku khawatir banget."
Sandi menepuk bahu Ryan pelan. "Kita bantu bareng-bareng. Gandes nggak sendiri. Benar kan Ryan?"
Ryan tersenyum mengengangguk.
Gandes menatap mereka satu per satu, air mata menggenang lagi di pelupuknya. "Terima kasih. Aku beruntung punya kalian."
Ryan berdiri setelah melihat yang ia curigai tak terlihat. "Ayo, aku antar kamu pulang."
"Mampir di kosku duluh, ya, Yan."
Ryan mengangguk.
Mereka berjalan keluar kantin beriringan. Hinggah semua temannya menghilang di parkiran.
Gandes dan Ryan berjalan bersisian. Sesekali mata mereka salin menatap lalu menunduk, seolah mereka bicara dalam diam. Hinggah saat mereka menuju sepeda motor Ryan, mata Gandes terbelalak.
"Jati..." bisik Ryan, hampir tak terdengar.
Gandes menatap Jati dengan tajam, menutupi kepalanya dengan kedua tangan. "Kamu gila?!"Jati kaget sampai menelan ludahnya, " Baru juga berdamai, sudah salah faham lagi," pikirnya."Aku... cuma heran," kata Jati perlahan. "Kenapa warnanya begini?" Tak sadar, ia sampai memegangnya."Keluar!" Dengan panik, Gandes berusaha mencari di mana Jati menaruh hijab dalamannya.Jati tidak bergerak. Matanya masih menatap rambut yang kini menempel di punggung gadis itu, jatuh sampai ke pinggang."Di luaran banyak yang betisnya terpampang dengan jelas, bahkan bagian dadanya. Ini hanya rambut, kenapa lebay banget sih dia? Apa karena rambut dia yang begitu?""Keluar, Jati!" teriak Gandes lagi. Air matanya menetes, "aku nggak mau kamu di sini. Bukankah aku telah mengatakan kalau kamu tak berhak atas auratku karena aku tak pernah memilihmu menjadi suamiku?" "Aku nggak sengaja..." suara Jati terdengar rendah, nyaris tertelan uap air hangat yang masih mengepul di bak mandi.Tangannya masih memegang poton
Suasana sore di rumah Maheswari perlahan hidup kembali setelah prosesi adus keramas selesai. Aroma melati, pandan, dan bunga kenanga masih tercium samar di pekarangan. Dari halaman belakang terdengar suara air mengalir, sementara dari dapur, denting piring dan suara sendok beradu pelan menandakan kesibukan para ibu yang membantu menyiapkan hidangan untuk selamatan malam nanti.Di teras samping rumah, beberapa perempuan duduk melingkar di atas tikar pandan. Angin sore menelusup di antara sela genting, membawa suara gelegar anak-anak kecil berlarian di halaman depan. Di tengah lingkaran itu, Maheswari duduk dengan raut lelah. Meski wajahnya tetap tampak anggun, gurat kecewa dan amarah halus tampak di sana."Perempuan itu... entah membawa berkah atau malah ujian," gumamnya pelan, tapi cukup jelas untuk membuat yang lain saling pandang.Bu Nara, tetangga sebelah yang dikenal bijak dan sering dimintai pendapat setiap ada urusan keluarga di kampung, mencoba menenangkan suasana. "Mungkin kar
"Kamu mengusirku, Gandes?" Suara Jati dalam, berat, dan menekan. Di antara mereka hanya ada jarak sejengkal, tapi rasanya seperti jurang yang tak mungkin diseberangi. Gandes menunduk, jarinya gemetar ketika mencoba melepas sisa bunga melati yang menjerat lehernya."Aku hanya ingin melepasnya sendiri," jawabnya pelan, berusaha tenang meski dadanya berdebar cepat."Ini soal melati yang kamu lepas, atau karena lelaki di kampus itu?"Gandes berhenti sejenak. Tangan yang tadi sibuk menarik melati, kini membeku. Ia menatap Jati dengan mata yang tak lagi sekadar takut, tapi juga terluka. "Jangan kamu bawa-bawa dia.""Kamu belum jawab pertanyaanku tadi siang," lanjut Jati, suaranya kian tajam."Apa?" suara Gandes tajam."Kenapa kamu bersama lelaki itu lagi?""Apa hakmu melarang aku?" Gandes berusaha menjaga nada suaranya tetap rendah. "Kami juga tidak berdua. Apa kamu tidak lihat? Kami bersama teman-teman yang lain.""Itu yang terlihat tadi," ucap Jati cepat. "Tapi sebelumnya, kamu sudah ngap
Langkah Jati perlahan mendekat. Suara sandal kulitnya menggesek tanah yang basah oleh air bunga. Gandes tidak berani menoleh. Hatinya berpacu cepat, seperti hendak meledak. Kebencian selalu muncul tiap melihat lelaki itu.Suara perias menyusul, lembut tapi tegas. "Sekarang giliran suami membasuh wajah istrinya. Sebagai tanda penerimaan."Gandes membeku. Jantungnya seperti berhenti berdetak.Udara terasa lebih dingin. Ia bisa merasakan kehadiran Jati di belakangnya, begitu dekat.Tangan lelaki itu terulur, berhenti di udara, lalu,..membasuh wajahnya."Dekatkan kepalamu," bisik perias sambil menunjuk Gandes yang menunduk, tubuhnya masih tertutup melati. "Cium ubun-ubunnya, Nak. Ucapkan satu harapan dalam hatimu. Biar langgeng, biar rumah tangga ini kuat seperti akar pohon beringin."Suara tawa kecil terdengar dari deretan ibu-ibu sepuh yang menonton."Ayo, Mas Jati. Kenapa masih canggung begitu? Bukannya semalam sudah mencium yang lainnya? " Kekeh seorang ibu tetangga Jati yang tak jauh
Jati hanya menatap, wajahnya datar tapi matanya berbicara banyak, menatap Ryan dan Gandes bergantian. Ia melangkah mendekat. Ada jarak yang terasa begitu tegang.Gandes menelan ludah, napasnya cepat. Ryan menatapnya tak percaya. "Bukankah tadi dia sudah pergi?" bathinnya."Naik mobil sekarang juga," titah Jati terdengar dingin tapi bergetar di ujung nada.Ryan yang masih memegang kunci segera menatapnya tajam. "Mas, begini ya, cara kamu ngomong sama Gandes?""Aku bicara sama istriku, bukan sama kamu." Tatapan Jati tak kala tajam, menusuk Ryan seolah ingin menelan setiap kata yang sempat keluar. Di belakang mereka, suasana kantin yang tadi ramai tiba-tiba terasa sesak.Gandes menatap Jati. "Pulang saja duluh, aku belum mau pulang. Aku mau ambil baju di kos." Suaranya pelan, hampir tenggelam dalam gemetar yang ia tahan."Lupakan bajumu, bukankah aku telah membelikanmu baju. Kita bisa mengambilnya kapan-kapan.""Tapi,..""Masuk mobil, kataku." Dengan menahan marah, Jati segera menarik ta
"Hanya bercanda. Aku ikut prihatin," ralat Wulan, merangkul Gandes.Ryan menyandarkan tubuhnya. Pikiran malam pertama Gandes masih menggayut, membuat dadanya makin terhimpit.Sementara Werda hanya bisa menggenggam jemari Gandes.Mata Gandes mengaca. Terlebih saat melihat Ryan yang hanya diam."Kalau kamu pingin nangis, nangislah, aku siap kamu peluk." Akhirnya Werda bicara.Tangisan pun terdengar dari Gandes yang memeluk Wulan. Werda ikut memeluknya, seolah menyatukan air mata mereka bertiga.Rendi, Sandi yang tahu Ryan juga tersiksa, menggenggam jari sahabatnya itu."Kalian yang sabar ya," hibur Rendi.Beberapa mahasiswa dan mahasisiwi yang datang di kantin menatap. Ada yang bertanya pada temannya, ada yang hanya menggeleng."Kamu... tak apa-apa, Gandes?" tanya Ryan pelan, saat ia mendekat.Semua mengurai pelukan. Gandes menatap Ryan sedih, lalu menggeleng. Matanya memanas. Tanpa kata, air mata mulai mengalir lagi, membasahi pipi. Ia merasa begitu lelah, lelah secara fisik dan emosio







