LOGINTangannya bergetar. Map hampir terlepas. Dunia seolah berhenti bergerak.Kanaya menutup map. Dadanya berdegup gelisah saat tahu apa isi map itu. Pandangan kembali ke arah ruang Jati. Pikiran berputar cepat, menyusun kemungkinan yang ingin ia lakukan."Saya mau ke ruang suami saya," ucap Kanaya gelisah."Iya, Bu. Mudah-mudahan tidak ada masalah. Soalnya...""Soalnya apa, Dok?""Teman saya yang menangani Pak Jati, bilang, ada kemungkinan Pak Jati akan amnesia walau tidak permanen. Ibu harus terus mendampinginya.""Amnesia?" guman Kanaya. Ada kecemasan, namun segera terselip senyum.Mereka melangkah keluar ruangan. Belum sampai, di ruangannya, Jati sudah menggerakkan tangannya."Gandes... " bisik Jati berusaha bangun.“Pak, dengar saya dulu. Jangan bangun mendadak." Suster jaga panik. Tangannya menahan bahu Jati yang bergerak gelisah.Pria itu membuka mata perlahan. Cahaya lampu membuatnya menyipit. Tenggorokan kering. Dada terasa berat, seperti tertindih batu.“A… air,” ucapnya serak.S
Kanaya merasa kecewa dengan jawaban itu.Suster benatap sejenak, map plastik terjepit. Tatapan singkat meluncur ke wajah pucat Kanaya."Ibu jadi periksa atau tidak?"Lambung Kanaya bergejolak. Rasa pahit merambat tenggorokan. Tangan menutup mulut dengan napas tertahan."Iya," jawabnya lirih."Dokter akan panggil sebentar lagi."Bangku besi terasa dingin menempel kulit saat Kanaya duduk. Jam dinding terasa bergerak lamban. Setiap detik seperti menyeret bayangan lain masuk kepala Kanaya. King dengan tergesa mengejar pesawat, sepatu menghantam lantai resort. Bayangan wanita yang pernah melabrak dan mengusirnya dari penthouse terkapar, darah membasahi lengan. Lalu datang ketakutan menembus hatinya saat ingat lelaki itu pernah tak memakai pengaman saat berhubungan dengan dirinya."Badanku terasa lemas, jangan-jangan dia menularkan penyakit kelamin ke tubuhku."Nama Kanaya dipanggil. Langkah kakinya berat menuju ruang pemeriksaan.Ruang periksa terasa sempit padahal longgar, bau antisepti
Tak ada respons. Kelopak mata Jati tetap tertutup. Wajahnya tenang, terlalu tenang, seperti orang yang tertidur setelah perjalanan panjang."Masuk observasi," kata dokter. "Kita tunggu dia sadar.""Dikasih nama siapa, Dok, pasien ini?"Dokter itu nampak bingung. Seragam loreng yang dikenakan Jati polos. Tak ada pita nama, tak ada tanda pangkat. Hanya velcro hitam kosong di dadanya, seolah identitasnya memang sengaja disembunyikan untuk urusan operasi pembebasan yang ia kerjakan."Bagaimana kalau Mada saja, Dok?"Dokter itu melebarkan matanya."Soalnya tubuh dia kekar banget kayak patih Gajah Mada," ucap suster itu menunduk malu."Bener juga, Dok," dukung yang lain."Baik, ini kemauan kalian. Catat saja begitu."****Di sebuah resort."Bangun, Cantik. Matahari sudah menang."Kanaya membuka mata perlahan. Selimut terasa hangat, lengan King Liong melingkar ringan, sentuhan yang sengaja dibuat malas agar pagi terasa panjang."Jam berapa?" tanya Kanaya serak, senyum belum pergi."Jam yang
"Buru-buru amat, bukannya katamu kamu ingin tempat yang tenang, kenapa seolah kamu seperti dikejar hantu kek gini? Apa kamu takut istrimu akan membuntuti kamu lagi?"Pria bermata sipit itu tergelak pelan sebelum bicara. "Kenapa bilang begitu? Memang apa yang bisa dia lakukan jika aku masih bermain di belakangnya?"Kanaya tersenyum samar. "Jangan sok kuasa, dia bisa membuatmu merangkak di jalanan. Jangan kira aku tak tahu, kejadian aku diusir dari penthause-mu membuat aku tahu, kalau yang punya perusahaan itu istrimu, kamu hanya karyawan yang kebetulan diberi tempat olehnya.""Sama saja, tanpa aku, apa yang bisa ia lakukan dengan hanya hobby traveling-nya itu."Pria itu menarik tangan Kanaya hingga Kanaya jatuh ke pelukannya. Aksi pun ia lakukan hingga Kanaya tanpa sadar telah mengeluarkan desahan di bibirnya."Aku pesan teh melati," ucap King Liong pelan, dengan logat khas yang nyaris tak terdengar. "Biar otak kamu segar duluh."Kanaya menarik kerah King, tersenyum kecil. "Justru kam
"Gandes... kamu belum tidur?"Pertanyaan dan tatapan teduh di mata elang itu hanya gema di kepala Gandes, saat air mata sudah menetes tak terbendung. Bayanga itu cukup membuat langkahnya terhenti. Ia berdiri di tengah kamar, ponsel masih tergenggam, layar redup memantulkan wajahnya sendiri yang pucat.Pesan itu singkat. Terlalu singkat untuk kabar yang terasa berat."Tolong do'akan! "Tak ada logo markas. Tak ada keterangan resmi. Hanya satu nama pengirim yang langsung dikenali Gandes dari profil WA-nya, meski nomornya asing."Teddy!""Nggak... jangan begini," bisiknya, suara tercekat. "Ini cuma latihan agar aku terbiasa menjadi istri seorang prajurit, kan?"Ia duduk di tepi ranjang, menatap lantai. Jantungnya berdetak tak beraturan, seperti mengetuk pintu yang tak kunjung dibuka. Tangannya gemetar saat meletakkan ponsel di atas bantal. Lalu dengan pelan mearana perutnya."Apa yang terjadi sama kamu, Jati..." Tak ada jawaban. Sunyi menjawab lebih cepat daripada logika.Gandes berdiri
Air laut bergolak keras. Gelombang menghantam tiang dermaga, menyisakan buih putih yang cepat buyar. Lampu sorot berputar, menyapu permukaan air laut yang gelap yang tak memberi jawaban." Jatiii! "teriak Tedy kembali, membuat yang di dekatnya panik.“Semua tenang!” suara tegas menyela lewat radio. “AKBP Rendra ambil kendali. Satu sisi bereskan sandera, sementara aku kirim bantuan mencari Mayor Jatiendra!”“Sandera di mana?” tanya AKBP Rendra memotong hiruk-pikuk.“Gudang timur, Pak. Lima orang,” jawab seorang anggota TNI cepat.“Baik,” kata Rendra. “Prioritas amankan sandera. Tim laut lanjut pencarian mayor.”Kapten Tedy berdiri di tepi dermaga, mata menatap air gelap yang baru saja menelan komandannya.Rahangnya mengeras."Jati, baru saja kamu temukan cintamu, sekarang begini. Kamu pasti kuat, bertahanlah, kami pasti menemukanmu," batinnya. Tedy sahabat Jati sejak SMA, mereka juga menjalani pendidikan bersama di AKMIL.“Kapten Tedy,” panggil Rendra. “Kamu ikut darat. Jangan pecah fok







