LOGINAmel melangkah pelan meninggalkan lorong itu, seolah setiap ubin lantai yang ia injak bisa meledak kapan saja.
Nafasnya masih belum teratur, dada naik-turun cepat. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan Alex benar-benar sudah pergi. Tapi rasa was-was itu tak juga hilang—bayangan pria itu seakan masih menempel di dinding, mengawasi dari balik gelap. Saat tiba di kamar kecil yang diberikan Joni, Amel mendorong pintu kayu berderit itu dengan hati-hati. Begitu pintu menutup, ia bersandar lemah, menekan dada dengan telapak tangan, berusaha menenangkan diri. Lampu redup di langit-langit bergoyang pelan, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding. Ia meraih segelas air di meja kecil, meneguknya terburu-buru, tapi rasa hausnya tak kunjung hilang. Pikiran Amel penuh oleh satu nama—Alex. Sosok itu menakutkan sekaligus… entah bagaimana, menyelamatkan. “Kenapa dia ngeliatin aku begitu?” gumamnya lirih, nyaris tak percaya pada dirinya sendiri. Di luar kamar, langkah orang lalu-lalang masih terdengar samar. Sesekali ada tawa kasar, dentingan botol, atau kursi yang terseret lantai. Namun bagi Amel, semua itu terdengar jauh—yang dekat hanyalah debar jantungnya sendiri. Ia merebahkan tubuh di ranjang sempit, menatap langit-langit dengan pikiran yang berputar-putar. Ada rasa syukur ia tak perlu lagi menjalani tugas kotor hari ini. Tapi bersamaan dengan itu, rasa was-was semakin kuat—seakan keesokan pagi bukan sekadar pekerjaan biasa yang menunggunya, melainkan awal dari sesuatu yang lebih rumit. Kelopak matanya mulai berat, tapi sebelum benar-benar tertidur, satu bayangan muncul lagi di kepalanya: senyum samar Alex. Senyum yang membuatnya bertanya-tanya—apakah itu isyarat bahaya, atau justru tali takdir yang akan menyeretnya lebih dalam ke dunia bar itu? Amel baru saja merebahkan tubuh ketika sebuah pikiran menghantamnya seperti petir. Matanya langsung terbuka lebar. Anakku… Ia bangkit dengan tergesa, lututnya hampir membentur ranjang sempit itu. Dalam rasa panik, ia mengutuk dirinya sendiri karena sempat lupa. Anak kecilnya sejak pagi tadi ia titipkan di kamar karyawan—ruangan kecil yang biasanya dipakai untuk berganti pakaian. Tanpa menunggu lebih lama, Amel meraih selendang lusuh di kursi lalu bergegas keluar. Koridor bar yang masih dipenuhi suara samar tawa para tamu terasa makin panjang dan menyesakkan. Setiap langkahnya cepat tapi hati-hati, takut ada yang memperhatikan. Ketika sampai di depan pintu kamar karyawan, Amel menghela napas. Ia mendorong pintu itu perlahan, engselnya berderit. Aroma kapur barus bercampur bau kain lembab langsung menyeruak. Di dalam, lampu redup menerangi ruangan sempit yang dipenuhi gantungan pakaian kerja dan beberapa loker berkarat. Di sudut ruangan, seorang perempuan paruh baya sedang menata pakaian bersih di atas meja. Tubuhnya agak bungkuk, rambutnya disanggul sederhana. Dialah yang ditugaskan menyiapkan keperluan para karyawan. Di sampingnya, di atas dipan kayu sederhana, tampak sosok kecil yang terlelap—anak Amel. Selimut tipis menutupi tubuh mungilnya, dada naik-turun dengan napas tenang. “Syukurlah…” bisik Amel, suaranya bergetar lega. Perempuan paruh baya itu menoleh, matanya menatap Amel penuh iba. “Kau harus lebih hati-hati, Nak. Anakmu butuh kau jaga. Tempat ini… bukan lingkungan baik untuk bocah seumur dia.” Amel hanya bisa mengangguk, menahan air mata yang hampir pecah. Ia duduk di tepi dipan, mengelus rambut anaknya dengan lembut, rasa bersalah membanjiri dada. Namun, di balik rasa haru itu, ketakutan tetap menghantui. Kata-kata Alex tadi terngiang lagi di telinganya—besok pagi, mulai kerja jam tujuh. Jangan telat. Amel menunduk, mengecup kening anaknya. Dalam hati ia berjanji: apapun yang menantinya esok, ia akan bertahan. Demi anak kecil yang tidur tenang di hadapannya. Amel menatap anaknya yang masih terlelap, lalu mengalihkan pandangan pada perempuan paruh baya di samping meja. Senyum tipis penuh rasa terima kasih muncul di wajahnya, meski matanya masih memerah. “Terima kasih, Bu… sudah jagain anak saya,” ucap Amel pelan, suaranya bergetar. Perempuan itu menggeleng lembut, matanya keriput namun hangat. “Tidak usah berterima kasih, Nak. Yang penting dia aman. Tapi ingat… jangan sering kau tinggalkan begitu saja. Anak kecil butuh hangat ibunya lebih dari apa pun.” Amel menunduk, merasa tusukan bersalah kembali menekan dadanya. Ia lalu membungkuk, mengangkat tubuh mungil anaknya dengan hati-hati. Bau sabun dan keringat anaknya menyeruak, membuatnya semakin ingin menahan tangis. Balita itu menggeliat sebentar, lalu kembali terlelap di pelukan ibunya. Dengan langkah perlahan, Amel keluar dari kamar karyawan. Lorong yang sempit itu terasa lebih sunyi kini, hanya suara derit lantai kayu yang mengiringi setiap langkahnya. Sesekali ia menoleh ke kiri dan kanan, khawatir ada yang melihat, tapi untungnya sebagian besar karyawan masih sibuk di bar. Sesampainya di kamarnya, Amel mendorong pintu yang berderit pelan, lalu menutupnya rapat-rapat. Ia membaringkan anaknya di ranjang sempit, menarik selimut lusuh untuk menutupi tubuh kecil itu. Baru setelah itu ia duduk di tepi ranjang, menatap wajah polos buah hatinya dalam diam. Tangannya mengusap lembut pipi anaknya, sementara dalam hati ia berbisik, Mama janji… Mama akan jaga kamu. Apapun yang terjadi di tempat ini, Mama nggak akan ninggalin kamu. Di luar, suara musik bar masih terdengar samar, bercampur dengan tawa kasar para tamu. Namun bagi Amel, dunia kini menyempit hanya pada ranjang sempit itu—tempat ia dan anaknya harus bertahan di tengah badai yang belum ia tahu seberapa besar akan datang.Amel berhenti sejenak. Pertanyaan itu menusuk di hatinya. Ia ingin menjawab dengan sesuatu yang meyakinkan.Sesuatu yang bisa membuat Lily merasa nyaman berada di tempat yang ia tinggali sekarang.“Iya, sayang. Untuk sementara…” ucapnya sambil mengusap lembut rambut putrinya itu. Senyum tipis itu muncul, bukan karena yakin, tapi karena ia tidak ingin membuat Lily bertanya-tanya.Mereka tiba di depan sebuah pintu putih dengan cat yang mulai mengelupas di beberapa sisinya. Amel menarik napas sebelum memutar knopnya.Kamar itu kecil—hanya ada satu ranjang single dan lemari besi tua. Sebuah jendela kecil di sudut ruangan menunjukkan langit sore yang pekat. Udara di dalamnya dingin, seolah ruangan itu lupa kalau ada yang tinggal.Lily langsung memanjat ke atas ranjang dan duduk bersila, memeluk bonekanya seperti perisai. “Bu, Lily lapar…” katanya, ragu.Amel terdiam. Perutnya sendiri sudah kosong sejak siang. Ia membuka tas kecilnya—hanya menemukan roti yang sudah agak lembek dan sebotol a
Amel menghela napas pelan, lengan kirinya sudah mulai pegal. Botol-botol kosong berdenting kecil di atas nampan setiap kali ia merapikan posisi gelas yang miring. Sisa alkohol menetes, membuatnya buru-buru mengelap meja yang lengket dengan kain lap yang sudah agak basah. “Sabar, Mel,” gumamnya pada diri sendiri. Ia hanya ingin cepat menyelesaikan semua ini dan kembali ke kamarnya. Saat semua tertata rapi, ia berdiri sambil menyeimbangkan nampan yang penuh di tangannya. Ia berbalik, namun... bayangan gelap sudah berdiri di belakangnya. PRANKK! Botol dan gelas saling menghantam lantai. Pecahannya berhamburan. Amel terlonjak mundur, dadanya berdebar tak karuan. “Ma-maaf, Bos,” ucapnya terbata. Ia langsung jongkok dan berusaha meraih pecahan gelas itu dengan tangan gemetar. Alex ikut berlutut di hadapannya tanpa sepatah kata. Wajahnya dekat sekali. Terlalu dekat. Amel buru-buru meraih pecahan terbesar dan... “akh!” Ia mengerjap, darah langsung merembes dari telapak tangannya. Seb
Amel melangkah pelan meninggalkan lorong itu, seolah setiap ubin lantai yang ia injak bisa meledak kapan saja. Nafasnya masih belum teratur, dada naik-turun cepat. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan Alex benar-benar sudah pergi. Tapi rasa was-was itu tak juga hilang—bayangan pria itu seakan masih menempel di dinding, mengawasi dari balik gelap. Saat tiba di kamar kecil yang diberikan Joni, Amel mendorong pintu kayu berderit itu dengan hati-hati. Begitu pintu menutup, ia bersandar lemah, menekan dada dengan telapak tangan, berusaha menenangkan diri. Lampu redup di langit-langit bergoyang pelan, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding. Ia meraih segelas air di meja kecil, meneguknya terburu-buru, tapi rasa hausnya tak kunjung hilang. Pikiran Amel penuh oleh satu nama—Alex. Sosok itu menakutkan sekaligus… entah bagaimana, menyelamatkan. “Kenapa dia ngeliatin aku begitu?” gumamnya lirih, nyaris tak percaya pada dirinya sendiri. Di luar kamar, langkah orang
Amel mencoba menenangkan dirinya, meski keringat dingin masih menetes di pelipis. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya. Di dalam hati, ada rasa syukur karena Alex menyelamatkannya dari situasi yang lebih buruk, tapi juga muncul ketakutan baru: pria itu jelas punya kuasa besar, dan setiap ucapannya adalah hukum di tempat ini. Musik kembali diputar, meski volumenya diturunkan. Namun, suasana tetap kaku. Para tamu tak lagi sebebas tadi, seolah kehadiran Alex menjadi garis batas yang tak terlihat. Dari kejauhan, Amel merasakan tatapan. Sesekali, Alex mengangkat matanya dari gelasnya dan melirik ke arahnya. Tatapan itu bukan lagi marah, tapi lebih seperti... menilai. Meneliti. Seakan ia mencoba memahami siapa sebenarnya perempuan yang baru muncul di bar miliknya. Joni mendekat ke arah Amel, wajahnya masih tegang. “Lo jangan bikin masalah, Mel,” bisiknya cepat. “Bos Alex udah kasih kesempatan. Kalau lo salah langkah, bukan cuma lo... gue juga yang kena.” Amel hanya mengangg
Amel mengikutinya dengan langkah kaku. Suara sandal tipisnya menyeret lantai semen, membuat setiap detik terasa panjang. Rani berjalan di depannya, pinggulnya bergoyang santai seolah sudah terbiasa dengan sorot mata para lelaki di sekitar. “Tempat apa ini?” gumam Amel sambil mempehatikan setiap detail bangunan. Mereka memasuki sebuah bangunan lain di sisi halaman—lebih besar, dengan pintu kayu berat yang terbuka lebar. Begitu melangkah masuk, Amel langsung disambut aroma menyengat: campuran asap rokok, alkohol, dan parfum murahan. Di dalam, meja-meja bulat sudah tertata rapi. Beberapa lelaki duduk sambil tertawa keras, gelas mereka berisi cairan kuning yang Amel tahu bukan sekadar teh. Musik keras dari pengeras suara membuat dadanya semakin berdebar. “Ini bar tempat lo kerja,” kata Rani, menoleh sekilas dengan senyum samar. “Malam ini lo cuma belajar. Gue gak suka orang bego, jadi dengerin baik-baik.” Amel mengangguk cepat, menunduk. Rani menunjuk ke meja di pojok. “Itu t
Joni mengajak Amel menuju sebuah ruangan kecil. Ia mendorong daun pintu kayu yang berderit pelan. “Ini kamar lo. Mending sekarang lo istirahat. Besok pagi lo siap-siap buat kerja,” ucapnya singkat, lalu melangkah pergi. Amel berdiri di ambang pintu, menatap ruangan sederhana itu. Hanya ada satu ranjang berseprai kusut, kipas angin mungil yang berdebu di sudut meja, dan pintu kamar mandi dengan cat yang mulai mengelupas. Bukan tempat yang mewah, tapi setidaknya ada atap di atas kepala. Ia mengangguk pelan, bibirnya menekan rapat seakan takut kata-kata yang keluar akan pecah bersama perasaannya. Setelah Joni menghilang di balik koridor, Amel menutup pintu dengan hati-hati, seolah takut suara keras akan mengusir ketenangan singkat yang baru saja ia dapatkan. Di dalam kamar, napasnya keluar panjang, bahunya merosot dari tegangnya perjalanan hari ini. Ia menurunkan anaknya perlahan ke atas ranjang. Si kecil berguling sedikit, masih tertidur pulas dengan napas teratur, membuat







