LOGINAmel menghela napas pelan, lengan kirinya sudah mulai pegal. Botol-botol kosong berdenting kecil di atas nampan setiap kali ia merapikan posisi gelas yang miring.
Sisa alkohol menetes, membuatnya buru-buru mengelap meja yang lengket dengan kain lap yang sudah agak basah. “Sabar, Mel,” gumamnya pada diri sendiri. Ia hanya ingin cepat menyelesaikan semua ini dan kembali ke kamarnya. Saat semua tertata rapi, ia berdiri sambil menyeimbangkan nampan yang penuh di tangannya. Ia berbalik, namun... bayangan gelap sudah berdiri di belakangnya. PRANKK! Botol dan gelas saling menghantam lantai. Pecahannya berhamburan. Amel terlonjak mundur, dadanya berdebar tak karuan. “Ma-maaf, Bos,” ucapnya terbata. Ia langsung jongkok dan berusaha meraih pecahan gelas itu dengan tangan gemetar. Alex ikut berlutut di hadapannya tanpa sepatah kata. Wajahnya dekat sekali. Terlalu dekat. Amel buru-buru meraih pecahan terbesar dan... “akh!” Ia mengerjap, darah langsung merembes dari telapak tangannya. Sebelum ia sempat menarik napas, Alex menangkap pergelangan tangannya. Cengkeramannya kuat namun hangat. Tanpa memberi waktu baginya untuk bereaksi, bibir pria itu menyentuh kulitnya—mengisap darah yang mengalir. Deg. Deg. Deg. Suara jantungnya seperti memukul-mukul tulang rusuknya. Ia terpaku, wajahnya memanas. Nafasnya tertahan saat Alex mengangkat wajah, pandangannya menusuk lurus ke matanya. Jarak mereka hanya sehela napas. Alex sedikit menunduk. Nafasnya menyapu pipi Amel. Belum pernah pria itu sedekat ini… belum pernah menatapnya seolah hanya dia satu-satunya yang penting di dunia. Bibir Alex semakin dekat... dekat... Amel menutup matanya. DRRT! DRRT! Dering suara ponsel memotong udara di antara mereka. Alex mendengus, rahangnya mengeras. Ia melepas tangan Amel perlahan, tapi tatapan itu masih tertinggal... menggantung... seolah ada sesuatu yang belum sempat ia lakukan. Alex menyambar ponselnya dengan kasar. Ia berdiri, menjauh beberapa langkah dari Amel tanpa benar-benar mengalihkan pandangannya. “Ya?” suaranya dalam dan dingin... jauh berbeda dari sebelumnya. Amel menunduk, berusaha menetralkan napas yang masih berantakan. Tangan yang terluka ia sembunyikan di belakang punggungnya. Tapi darahnya menetes, membuat lantai sedikit memerah. “Oke, tahan semuanya,” gumam Alex ke telepon, nada frustrasi. “Tahan mereka sampai gue datang.” Ia menutup telepon tanpa pamit, kemudian dia menatapnya lagi—lebih intens dari sebelumnya. Seolah ia marah pada dunia karena telah mencuri momen yang baru saja terjadi. “Lain kali kalau kerja, lebih berhati-hati lagi. Jangan ceroboh!" katanya ketus. Sikap yang tadinya hangat dan lembut dalam sekejap berubah menjadi dingin. Amel menelan ludah. “Baik Bos, saya minta maaf,” suaranya sedikit bergetar, tangannya mengusap noda darah di lantai agar tak terlihat. Tiba-tiba Alex berlutut lagi di depan Amel. Ia meraih tangan Amel, menahannya agar tidak kabur lagi. Jemari besar dan hangat itu menyelimuti kulit Amel. “Mana tanganmu yang terluka, "katanya. Amel terpaku. Dia pikir, Alex akan pergi begitu saja, tapi dia masih memperdulikannya. Alex merobek sedikit bagian bawah kaos dalamnya, tanpa pikir panjang... dia lalu membalut luka Amel dengan cekatan. Gerakannya cepat, tapi sangat hati-hati. “Saya tidak mau ini terulang lagi,” gumamnya lagi, kini lebih pelan. Amel menatap wajahnya dari dekat. Seolah tidak ingin melewatkan hal ini. Bekas luka panjang di pipi kiri Alex, kini terlihat lebih jelas. Bekas luka itu bukan sembarang luka, tapi tanda kehidupan yang tak pernah ia ceritakan. “Bos...” panggil Amel lirih. Pria itu hanya mendongak, menatapnya dingin namun... ada sesuatu di balik itu. Sesuatu yang jauh lebih rapuh dari sekedar tatapan. Sebelum Amel bisa berkata lebih jauh, Alex berdiri dan melonggarkan kerah kemejanya. “Saya harus pergi,” katanya singkat. Ia melangkah ke pintu—tapi tepat saat tangannya menyentuh handle, ia berhenti. Bahunya mengeras. Tanpa menoleh, ia berkata… “Jangan sentuh pecahan itu lagi. Ambil sapu dan bersihkan dengan hati-hati,” tegasnya. Lalu ia menghilang keluar dari ruangan itu Amel berdiri membeku, memeluk lengan yang masih bergetar. *** Waktu terasa sangat cepat. Begitu jam kerja selesai, Amel langsung menghembukan napas lega dan bergegas menuju ruang karyawan. Tumitnya mengetuk cepat lantai koridor, seolah jarak ke sana terlalu jauh. Tangan Amel bergetar ringan ketika meraih knop pintu. Ia membukanya perlahan... khawatir mengganggu. Begitu celah pintu melebar, suara tawa kecil memenuhi telinganya. Lily... putri kecilnya, duduk di pangkuan seorang wanita paruh baya, matanya membentuk bulan sabit, pipinya memerah karena terlalu banyak tertawa. Rasa lelah Amel seketika itu hilang. Senyum mengembang tanpa bisa ditahan. Lily menoleh dan spontan melompat turun, dia berlari kecil menghampiri Amel. “Ibu!” serunya, memeluk pinggang Amel dengan kedua tangan mungilnya yang hangat. Amel membalas pelukan itu erat, menundukkan wajahnya ke rambut Lily... wangi sabun dari bar itu masih terasa. “Kamu terlihat senang sekali sayang,” ucapnya lembut sambil mengusap halus rambut anaknya. Wanita paruh baya itu ikut berdiri, wajahnya teduh. “Anakmu aman bersamaku,” ujarnya dengan suara yang menenangkan. “Apa kau sudah menyelesaikan pekerjaanmu dengan baik hari ini? Jangan buat Bos Alex marah padamu.” Amel mengangguk pelan. “Sudah, Bu. Pekerjaan saya sudah selesai,” ucapnya, mencoba memaksakan senyum meski wajahnya tampak lelah. “Syukurlah kalau begitu,” ujar wanita itu sambil membetulkan kacamata yang bertengger di ujung hidungnya. “Perkenalkan… namaku Martha. Aku yang bertugas membantu semua karyawan di sini, termasuk menjaga putri kecilmu ini.” Ia melirik lembut pada Lily yang sedang memeluk boneka lusuhnya. Amel menahan napas sejenak sebelum menjawab, “Salam kenal… nama saya Amel, Bu.” Ia meremas ujung seragamnya yang kusut, gugup. “Iya, aku sudah tahu,” Martha terkekeh kecil. “Tadi Lily sudah bercerita banyak. Katanya ia punya ibu bernama Amel—ibu yang kuat, yang selalu bekerja keras untuknya.” Mata Martha berbinar penuh kekaguman, sementara Lily mengangguk bangga pada ibunya. Amel tersenyum hambar... senyum yang hanya bertahan sedetik sebelum layu lagi. “Bagaimana bisa kalian berdua berada di sini?” tanya Martha lembut, suaranya pelan namun mengandung rasa ingin tahu yang tak bisa sepenuhnya ia sembunyikan. Pertanyaan itu seperti angin dingin yang langsung menusuk dadanya. Pandangannya jatuh ke lantai, bibirnya terkatup rapat. Jemarinya bergerak resah, saling menggenggam seolah berusaha menahan cerita yang terlalu menyakitkan untuk keluar. Martha segera menangkap kebisuannya. Senyumnya melembut, bukan lagi ingin tahu, melainkan mengerti. “Tak apa,” ucapnya, menepuk ringan bahu Amel. “Aku paham. Kau tidak perlu cerita sekarang.” Ia memberi jarak, tidak ingin menekan. “Sebaiknya kau bawa Lily ke kamar dulu. Sebentar lagi para karyawan akan berganti pakaian di sini.” Lily mencengkeram tangan ibunya, seolah takut dilepaskan lagi. Amel mengangguk, kali ini lebih mantap... meski hatinya masih dipenuhi ketidakpastian. Amel mengucapkan terima kasih pelan sebelum menggandeng tangan Lily. Anak itu langsung menempel di sisi ibunya, langkah kakinya kecil dan berjingkat, seolah takut suara lantainya mengganggu seseorang. Koridor menuju kamarnya terasa panjang. Lampu-lampu neon di atas kepala berkedip pelan, meninggalkan bayangan yang bergerak ketika mereka berjalan. Lily menatap ibunya dari bawah. “Bu… kita tidur di sini lagi?” bisiknya.Amel berhenti sejenak. Pertanyaan itu menusuk di hatinya. Ia ingin menjawab dengan sesuatu yang meyakinkan.Sesuatu yang bisa membuat Lily merasa nyaman berada di tempat yang ia tinggali sekarang.“Iya, sayang. Untuk sementara…” ucapnya sambil mengusap lembut rambut putrinya itu. Senyum tipis itu muncul, bukan karena yakin, tapi karena ia tidak ingin membuat Lily bertanya-tanya.Mereka tiba di depan sebuah pintu putih dengan cat yang mulai mengelupas di beberapa sisinya. Amel menarik napas sebelum memutar knopnya.Kamar itu kecil—hanya ada satu ranjang single dan lemari besi tua. Sebuah jendela kecil di sudut ruangan menunjukkan langit sore yang pekat. Udara di dalamnya dingin, seolah ruangan itu lupa kalau ada yang tinggal.Lily langsung memanjat ke atas ranjang dan duduk bersila, memeluk bonekanya seperti perisai. “Bu, Lily lapar…” katanya, ragu.Amel terdiam. Perutnya sendiri sudah kosong sejak siang. Ia membuka tas kecilnya—hanya menemukan roti yang sudah agak lembek dan sebotol a
Amel menghela napas pelan, lengan kirinya sudah mulai pegal. Botol-botol kosong berdenting kecil di atas nampan setiap kali ia merapikan posisi gelas yang miring. Sisa alkohol menetes, membuatnya buru-buru mengelap meja yang lengket dengan kain lap yang sudah agak basah. “Sabar, Mel,” gumamnya pada diri sendiri. Ia hanya ingin cepat menyelesaikan semua ini dan kembali ke kamarnya. Saat semua tertata rapi, ia berdiri sambil menyeimbangkan nampan yang penuh di tangannya. Ia berbalik, namun... bayangan gelap sudah berdiri di belakangnya. PRANKK! Botol dan gelas saling menghantam lantai. Pecahannya berhamburan. Amel terlonjak mundur, dadanya berdebar tak karuan. “Ma-maaf, Bos,” ucapnya terbata. Ia langsung jongkok dan berusaha meraih pecahan gelas itu dengan tangan gemetar. Alex ikut berlutut di hadapannya tanpa sepatah kata. Wajahnya dekat sekali. Terlalu dekat. Amel buru-buru meraih pecahan terbesar dan... “akh!” Ia mengerjap, darah langsung merembes dari telapak tangannya. Seb
Amel melangkah pelan meninggalkan lorong itu, seolah setiap ubin lantai yang ia injak bisa meledak kapan saja. Nafasnya masih belum teratur, dada naik-turun cepat. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan Alex benar-benar sudah pergi. Tapi rasa was-was itu tak juga hilang—bayangan pria itu seakan masih menempel di dinding, mengawasi dari balik gelap. Saat tiba di kamar kecil yang diberikan Joni, Amel mendorong pintu kayu berderit itu dengan hati-hati. Begitu pintu menutup, ia bersandar lemah, menekan dada dengan telapak tangan, berusaha menenangkan diri. Lampu redup di langit-langit bergoyang pelan, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding. Ia meraih segelas air di meja kecil, meneguknya terburu-buru, tapi rasa hausnya tak kunjung hilang. Pikiran Amel penuh oleh satu nama—Alex. Sosok itu menakutkan sekaligus… entah bagaimana, menyelamatkan. “Kenapa dia ngeliatin aku begitu?” gumamnya lirih, nyaris tak percaya pada dirinya sendiri. Di luar kamar, langkah orang
Amel mencoba menenangkan dirinya, meski keringat dingin masih menetes di pelipis. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya. Di dalam hati, ada rasa syukur karena Alex menyelamatkannya dari situasi yang lebih buruk, tapi juga muncul ketakutan baru: pria itu jelas punya kuasa besar, dan setiap ucapannya adalah hukum di tempat ini. Musik kembali diputar, meski volumenya diturunkan. Namun, suasana tetap kaku. Para tamu tak lagi sebebas tadi, seolah kehadiran Alex menjadi garis batas yang tak terlihat. Dari kejauhan, Amel merasakan tatapan. Sesekali, Alex mengangkat matanya dari gelasnya dan melirik ke arahnya. Tatapan itu bukan lagi marah, tapi lebih seperti... menilai. Meneliti. Seakan ia mencoba memahami siapa sebenarnya perempuan yang baru muncul di bar miliknya. Joni mendekat ke arah Amel, wajahnya masih tegang. “Lo jangan bikin masalah, Mel,” bisiknya cepat. “Bos Alex udah kasih kesempatan. Kalau lo salah langkah, bukan cuma lo... gue juga yang kena.” Amel hanya mengangg
Amel mengikutinya dengan langkah kaku. Suara sandal tipisnya menyeret lantai semen, membuat setiap detik terasa panjang. Rani berjalan di depannya, pinggulnya bergoyang santai seolah sudah terbiasa dengan sorot mata para lelaki di sekitar. “Tempat apa ini?” gumam Amel sambil mempehatikan setiap detail bangunan. Mereka memasuki sebuah bangunan lain di sisi halaman—lebih besar, dengan pintu kayu berat yang terbuka lebar. Begitu melangkah masuk, Amel langsung disambut aroma menyengat: campuran asap rokok, alkohol, dan parfum murahan. Di dalam, meja-meja bulat sudah tertata rapi. Beberapa lelaki duduk sambil tertawa keras, gelas mereka berisi cairan kuning yang Amel tahu bukan sekadar teh. Musik keras dari pengeras suara membuat dadanya semakin berdebar. “Ini bar tempat lo kerja,” kata Rani, menoleh sekilas dengan senyum samar. “Malam ini lo cuma belajar. Gue gak suka orang bego, jadi dengerin baik-baik.” Amel mengangguk cepat, menunduk. Rani menunjuk ke meja di pojok. “Itu t
Joni mengajak Amel menuju sebuah ruangan kecil. Ia mendorong daun pintu kayu yang berderit pelan. “Ini kamar lo. Mending sekarang lo istirahat. Besok pagi lo siap-siap buat kerja,” ucapnya singkat, lalu melangkah pergi. Amel berdiri di ambang pintu, menatap ruangan sederhana itu. Hanya ada satu ranjang berseprai kusut, kipas angin mungil yang berdebu di sudut meja, dan pintu kamar mandi dengan cat yang mulai mengelupas. Bukan tempat yang mewah, tapi setidaknya ada atap di atas kepala. Ia mengangguk pelan, bibirnya menekan rapat seakan takut kata-kata yang keluar akan pecah bersama perasaannya. Setelah Joni menghilang di balik koridor, Amel menutup pintu dengan hati-hati, seolah takut suara keras akan mengusir ketenangan singkat yang baru saja ia dapatkan. Di dalam kamar, napasnya keluar panjang, bahunya merosot dari tegangnya perjalanan hari ini. Ia menurunkan anaknya perlahan ke atas ranjang. Si kecil berguling sedikit, masih tertidur pulas dengan napas teratur, membuat







