Tiba-tiba seekor kucing melompat dari atas meja teras rumah menabrak kaleng bekas kue. "Ohh kucing, aku kira apa?" gumam Mas Bram.
Aku mengambil nafas lega mendengar ucapan Mas Bram. Tampak bayangan Mas Bram yang ada di dinding sedang berdiri. Sepertinya ia hendak pulang. Sungguh perkiraanku tak meleset. Mas Bram pamit pulang. "Ya sudah Bu. Aku pulang dulu. Ini sedikit uang untuk Ibu. Lusa aku jemput Ibu. Kita berangkat sama- sama ke Surabaya," terdengar lagi kata-kata Mas Bram. Perlahan aku beranjak dari tempat persembunyianku melangkah meninggalkan rumah mertuaku. Setelah mengetahui Mas Bram hendak pulang. Jantungku tak berhenti berdetak, rasa takut menyelimuti diriku jika Mas Bram atau mertuaku mengetahui keberadaanku. Aku berjalan cepat menuju tempat parkir mobilku dan pamit pada tuan rumah yang aku titipi mobil. Mobil aku pacu kembali ke rumah rasanya ingin secepatnya bertemu Jenar. Hanya butuh waktu satu jam aku sudah sampai ke rumah. "Jenar ... Jenar ... Mama datang Nak!" Aku berjalan masuk ruang belakang yang biasa Jenar sesering mungkin ada di ruangan itu duduk santai memberi makan ikan. "Tuan Kecil istirahat di kamar Nyonya?" ucap Nur saat berpapasan dengan ku. "Dia sudah makan?" tanyaku Nur menjawabnya dengan mengangguk. "Dia sehat kan, Nur?" "Ya Nyonya." Aku sedikit agak lega mendengar penuturan Nur. Namun aku tetap ingin mengetahui keadaan Jenar. Aku tersenyum saat melihat Jenar menghadap layar persegi dengan memainkan sebuah permainan game. "Maafkan Mama, Sayang! Mama tak bisa menjemputmu? Pekerjaan kantor hari ini begitu menyita waktu Mama!" Jenar melirikku sepintas, ia kembali asyik dengan permainan gamenya sambil sedikit menjawab. "Pak Arman sudah menjemput, Ma." "Ya sudah, Mama ganti pakaian dulu ya? Nanti Mama temani bermain game." Jenar tertawa kecil. "Memang Mama bisa?" Aku cubit pipi Jenar sembari tertawa. "Lihat aja nanti, Mama bakal menang." Aku melangkah meninggalkan Jenar yang senyum-senyum dengan pandangan tetap ke arah layar. Aku secepatnya masuk kamar. Rasa gerah ingin segera mengganti pakaianku. Tiba- tiba terdengar suara ponselku yang baru saja aku letakkan di meja kamarku berdering. Aku yakin yang telpon pasti Mas Bram. Sebetulnya aku agak malas untuk mengangkatnya. Tapi daripada nanti bermasalah dan Mas Bram mengomel tanpa henti. Segera ponsel aku raih. Mataku membulat sempurna saat melihat nomor yang tidak aku kenal terpampang pada layar ponselku. "Bukan Mas Bram," gumamku. "Haloo, selamat Siang. berbicara dengan siapa? sapaku memulai pembicaraan. "Selamat siang, benar ini nomor Ibu Kinanti?" tanya seorang laki-laki dari dalam ponsel. "Ya, saya sendiri, ini dari mana ya?" Terdengar suara laki- laki itu tertawa. "Ooh, akhirnya aku bisa menemukan nomor kamu Kinan." Aku semakin bingung, "maaf anda siapa ya?" "Alliandro ...!" jawabnya singkat. Aku tersentak, "All ...!" jawabku girang. "Benar kamu All teman waktu SMA dulu, kan? Kamu masih di ...!" Belum sampai aku meneruskan kata-kataku, Alliandro memotong pembicaraanku. "Baru dua hari aku ada di Indonesia. Aku kira kamu sudah lupa padaku." "Ahh, ya nggak lah, justru aku yang harus menanyakan hal itu," tukasku. Alliandro kembali tertawa. "Bagaimana aku melupakan orang secantik kamu. Kalau aku lupa tentu aku tidak mencari nomor ponselmu. Oo ya, bagaimana kalau lusa kita bertemu?" Tanpa pikir panjang aku menyetujui tawaran Alliandro. Di samping rasa kangen lama tidak bertemu. Juga mengurangi beban masalah tentang Mas Bram yang selingkuh. Sebelum menutup pembicaraan, Alliandro menentukan tempat dan jam untuk pertemuan. Entah tiba-tiba hatiku berbunga-bunga. Dalam hati aku tak menyangka bisa bertemu Alliandro setelah hampir lima belas tahun tidak bertemu. Entah Alliandro hilang begitu saja seperti ditelan bumi saat Papaku menyuruh aku meneruskan studyku di Swiss. Aku sudah melupakan. Aku sama Alliandro sebenarnya tak ada hubungan istimewa. Ia sekedar teman biasa. Tapi entah dulu aku merasa nyaman jika ada di dekat Alliandro, laki-laki berdarah turunan Jawa dan Perancis. Aku senyum- senyum sendiri jika mengingat hari-hari waktu aku dengan Alliandro. "Kamu sudah pulang?" suara Mas Bram yang tiba-tiba dari arah pintu kamar yang sudah terbuka, yang mengagetkan lamunanku. Aku tersentak dengan cepat pandanganku mengarah ke arah Mas Bram yang sudah berdiri di depan pintu. Mas Bram melangkah masuk. "Sudah hampir satu jam yang lalu," ucapku melangkah membuka lemari untuk mengambil baju ganti yang terpending telpon dari Alliandro. "Aku tadi ke kantormu, tapi kamu nggak ada." ucap Mas Bram sembari meletakkan tas kerjanya di atas meja. Mataku mendelik tanpa sepengetahuan Mas Bram. Tak biasanya Mas Bram ke kantorku tanpa memberitahuku lebih dulu. "Jam berapa?" selidikku. "Pagi jam sembilan," ucapnya sambil meletakkan tas kerjanya di atas meja. "Apa Mas Bram nggak diberi tahu sekretarisku, kalau aku metting sama clean." ucapku ringan. Tampak Mas Bram hanya diam. Ia melangkah ke kamar mandi tanpa reaksi. Aku segera mengganti pakaianku dengan pakaian rumah, hendak ke ruang makan menyiapkan makan untuk Mas Bram. Sengaja aku tak menanyakan kepergian Mas Bram ke rumah ibunya. Belum sampai kakiku keluar dari pintu kamar. Terdengar Mas Bram mengatakan sesuatu. "Kinan, besok aku ada acara undangan dari PT Michel grup. Kita harus datang sebab Tuan Michel pemegang saham terbesar dibeberapa perusahaan. Siapa tau kita bisa kerja sama dengan Tuan Michel." Aku hanya mengangguk dan berlalu meninggalkan Mas Bram menuju ruang makan. Aku mengira di ruang makan Mas Bram tidak membicarakan tentang undangan dari Tuan Michel. Tapi dugaanku salah. Mas Bram terus memuji dan mengatakan perusahaan Tuan Michel berkembang pesat sebab semua perusahaan yang menghandle Tuan Michel semua, istri nya duduk manis di rumah. Aku tau kata- kata Mas Bram menyindir diriku. Tapi aku diam tak menghiraukan ucapan Mas Bram. Malahan aku lebih asyik ngobrol dengan Jenar menanyakan kondisi Jenar. Hingga Mas Bram kesal dan membentakku. "Kamu jadi istri tak menghargai suami!" Aku tersentak, kudongakkan kepalaku mengarah ke wajah Mas Bram. "Aku lebih mementingkan anakku daripada pembicaraan yang tak penting." Mas Bram berdiri dengan kesal dan melangkah meninggalkan ruang makan. "Ma, Papa Marah." ucap Jenar seperti ketakutan. Aku berusaha menghiburnya. "Nggak, Sayang, papa hanya capek saja." Beruntung Jenar mengerti, ia tak mempertanyakan lagi. Sehabis makan Jenar kembali ke kamarnya dengan mengatakan kalau hendak mengerjakan PR sebab sebentar lagi guru les privat datang. Aku tersenyum, hatiku begitu bahagia melihat Jenar sudah ceria dan sehat. Wajahnya juga sudah tak memucat lagi. Aku kembali hendak ke kamar mengambil laptopku untuk mengontrol administrasi perusahaan. Belum sampai kakiku melangkah masuk kamar, terdengar suara Mas Bram telpon seseorang dengan nada lembut namun terdengar jelas. "Besok hanya Ibu yang datang ke Surabaya. Aku suruh sopirku untuk mengantar ke bandara. Sebab aku ada acara undangan ke rekan bisnis." Aku yakin yang diajak bicara Mas Bram adalah Neni. Lagi-lagi aku menahan emosiku untuk tidak muncul di depan Mas Bram. Terdengar lagi suara Mas Bram. "Ya Sayang, jaga diri baik- baik, bilang sama Diamon lusa Papa ke Surabaya." Aku mengernyitkan dahiku. Aku teringat nama itu nama anaknya Neni. Sebab Neni sering cerita dengan menyebut nama Diamon. Secepat kilat aku masuk ke kamarku. Tampak Mas Bram kaget dan dengan cepat mematikan ponselnya. "Telpon dari siapa Mas?" tanyaku santai pura- pura tak tau pembicaraan Mas Bram. "Ohh, biasa dari Silvi. Kamu tadi baru ke rumahnya ya?" Aku kaget, tapi aku sembunyikan rasa kagetku didepan Mas Bram "Oh ya, kenapa? Gak boleh aku ke rumah adikmu?" Mas Bram tampak gugup. "Mmm ... Gak, gak papa. Cuma kamu kok gak bilang sama aku." Aku diam, kuraih tas kerjaku berisi laptop untuk kubawa ke luar. Aku ingin mengerjakan di ruang kerja pribadiku. "Say, siap- siap besok malam menghadiri undangan. Dandan yang cantik akan aku pamerkan kalau aku punya istri cantik." Seperti biasa Mas Bram setiap hendak mengajakku ke undangan tentu mengatakan hal itu. Mungkin untuk menutupi perselingkuhannya. *** Sesuai perkataan Mas Bram kemarin. Aku berdandan secantik mungkin. Langkahku menapaki karpet merah dengan tangan menggenggam lengan Mas Bram. Tiba-tiba dikejutkan suara seorang laki-laki berpostur tinggi gemuk berperut buncit dan bermata sipit. "Selamat datang Tuan dan Nyonya Bram. Ayo masuk ke dalam. Putraku ada di dalam." Tuan Michel memeluk pundak Mas Bram setelah menyalami aku. Mas Bram tersenyum bangga. Ia melangkah mengikuti langkah Tuan Michel masuk ke dalam untuk diperkenalkan putranya yang baru pulang dari luar negeri yang nantinya akan menggantikan posisi Tuan Michel. Langkahku terhenti, mataku menatap tajam seorang pria yang berdiri di samping wanita paruh baya. "All ...!" sapaku dengan mata membulat sempurna. Tanpa sadar aku dan Alliandro berpelukan layaknya kekasih yang lama tak bertemu. "Kalian sudah mengenal?" Tiba-tiba suara Mas Bram menyadarkan aku. Sontak aku melepas pelukan Alliandro, dan beralih pandangan ke arah Mas Bram.Anggi menatapku tajam. "Jadi, jadi Jeng Kinan sudah tau?" Aku diam sejenak dengan menyuapkan nasi ke dalam mulutku sembari sedikit mengunyah aku menganggukkan kepala."Kenapa ibu- ibu menyembunyikan keburukan? Bukankah mereka orang beragama? bisa memilah itu benar atau salah. Karuan Neni merebut suami orang kenapa masih ditutupi!" protesku emosi. Anggi mengangkat ke dua bahunya. "Ibu- ibu hanya tak ingin ada keributan dalam arisan. Toh Jeng Neni sekarang sudah keluar dari grup arisan," jelas Anggi yang tidak membuatku terkejut. Aku juga sudah mengira kalau Neni setelah menikah bakal keluar dari arisan itu sudah pasti. Tentu bakal malu sendiri jika bertemu denganku. "Huh, dasar pelakor!" batinku. Kesalku semakin meronta Apalagi setelah mengetahui ternyata ibu- ibu arisan lebih membela Neni daripada aku, semua itu terlontar dari mulut Anggi. "Sepertinya Bu Nora ... Mmm..."Anggi diam sejenak sepertinya tak meneruskan ucapannya. Ia malah menunduk membuatku penasaran. "Bu Nora kena
Aku menggelengkan kepala dan mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan keadaan Jenar semalam. "Tuan Kecil tidak apa-apa, Nyonya." "Ya sudah, bikinkan sarapan kesukaan Jenar, nasi goreng telur." Aku berdiri melangkah meninggalkan Bibi Nur yang membersihkan meja makan. ***Sesuai janjiku pada Alliandro, jam sepuluh tepat aku sudah berada di lokasi. Ternyata Alliandro sudah seperempat jam menungguku dengan duduk di sudut ruangan restoran. Sepertinya ia sengaja sudah memboking tempat dan makanan. Alliandro menyambut kedatanganku dengan tersenyum ceria. Ia menarik kursi memberi tempat duduk untukku. "Selamat siang Tuan Putri. Senang bertemu denganmu," canda Alliandro dengan menunjukkan tempat duduk untukku. Aku mendelik sambil nyengir. Kata-kata yang terbiasa keluar dari mulut Alliandro waktu di SMA dulu. "Dah lama menungguku All?" Aku menghempaskan tubuhku ke atas kursi. "Menunggu orang secantik kamu, menurutku tak ada kata lama." Alliandro tersenyum dan kembali duduk seperti se
Tatapan Mas Bram sungguh tak nyaman buatku. Setelah Mas Bram bersalaman dengan Alliandro dan Nyonya Michel ia mengajakku keluar dari ruangan untuk bergabung dengan teman- teman lainnya. "Kamu menyembunyikan sesuatu dariku?" tanya Mas Bram tiba-tiba setelah berada di ruang pesta. "Maksudmu?" "Alah gak usah kau berpura-pura bego didepanku. Kau sebenarnya sudah tau kalau undangan itu dari mantan pacarmu! Makanya kau tak menolak waktu ku ajak." Aku tak habis pikir dengan ucapan Mas Bram. Aku juga tak tau maksud ucapan itu. "Kamu ngomong apa sih Mas? Kamu kan yang mengajakku datang? Kamu kan yang dapat undangan? Kenapa aku yang disalahkan?" sanggahku. Tapi Mas Bram gak mau kalah. Ia terus berkilah menyalahkan aku. Hingga pertengkaran terjadi. Mas Bram marah dan meninggalkan aku di dalam pesta itu tanpa sepengetahuanku. Aku dibuat kalang kabut. Aku bingung untuk mencari tumpangan untuk pulang, apalagi jam sudah menunjukkan pukul satu malam. Aku mencoba menghubungi Mas Bram berkali-
Tiba-tiba seekor kucing melompat dari atas meja teras rumah menabrak kaleng bekas kue. "Ohh kucing, aku kira apa?" gumam Mas Bram.Aku mengambil nafas lega mendengar ucapan Mas Bram. Tampak bayangan Mas Bram yang ada di dinding sedang berdiri. Sepertinya ia hendak pulang. Sungguh perkiraanku tak meleset. Mas Bram pamit pulang. "Ya sudah Bu. Aku pulang dulu. Ini sedikit uang untuk Ibu. Lusa aku jemput Ibu. Kita berangkat sama- sama ke Surabaya," terdengar lagi kata-kata Mas Bram. Perlahan aku beranjak dari tempat persembunyianku melangkah meninggalkan rumah mertuaku. Setelah mengetahui Mas Bram hendak pulang. Jantungku tak berhenti berdetak, rasa takut menyelimuti diriku jika Mas Bram atau mertuaku mengetahui keberadaanku. Aku berjalan cepat menuju tempat parkir mobilku dan pamit pada tuan rumah yang aku titipi mobil. Mobil aku pacu kembali ke rumah rasanya ingin secepatnya bertemu Jenar.Hanya butuh waktu satu jam aku sudah sampai ke rumah. "Jenar ... Jenar ... Mama datang Nak!"
Silvi menghentikan aktivitasnya dengan meletakkan secangkir teh manis yang barusan diaduk dan menyodorkan ke arahku. "Mas Bram jarang ke sini, Mbak, kalau nggak ada kepentingan. Memang ada apa sih Mbak? Mbak bertengkar sama Mas Bram?" tanya Silvi serius. Aku menggelengkan kepalaku. Dan meraih cangkir berisi teh manis. Dalam hitungan menit teh itu sudah berpindah ke perutku. "Mas Bram jarang pulang, Sil." ucapku dengan mata mengarah keluar. Silvi tampak tenang, melangkah mendekati aku. "Mungkin ia sibuk dengan perusahaannya di Surabaya Mbak. Yakinlah kalau Mas Bram tak bakal macam-macam." Aku tersenyum masam mendengar penuturan Silvi. Tentu saja ia membela kakaknya. Aku yakin kalau Silvi tau yang sebenarnya. Ia pasti menutupinya. "Mas Bram itu orangnya polos dan jujur. Mana mungkin mau berbuat aneh- aneh. Ia sangat mencintai Mbak Kinan," ungkap Silvi lagi. Aku gigit bibirku sendiri, dalam hatiku percuma aku mengatakan yang sebenarnya sama Silvi tentang Mas Bram yang pasti S
"Ginjal Dok!" suaraku menekan. Seolah tak percaya dengan tulisan yang tertera pada kertas hasil diagnosa. Dokter Frans mengangguk berat. "Ya Nyonya, masih stadium dua. Dia butuh perhatian khusus. Tubuhku semakin lemas dan seperti tak punya tenaga sama sekali saat dokter Frans mengatakan kalau Jenar terkena penyakit Ginjal stadium dua. Aku ingin menjerit sekuat tenaga, aku merasa Allah tak adil dengan kehidupanku. "Ya, ini salahku ... Salahku! Aku memburu egoku sendiri. Aku tak memperhatikan anakku. Aku terlalu mementingkan diriku sendiri," batinku dengan menyandarkan kepalaku di sandaran kursi dengan menatap dokter Frans. "Kenapa bukan aku saja yang sakit, Dok?" ucapku melemah. "Nyonya nggak usah khawatir. Semua ada jalan keluarnya. gagal ginjal stadium 2 masih lebih besar potensinya untuk membaik, meski belum tentu sembuh sempurna." Dokter menegaskan. Dan Dokter memberi saran setiap tiga hari sekali, Jenar harus kontrol ulang. Penjelasan Dokter membuatku sedikit agak lega.