Silvi menghentikan aktivitasnya dengan meletakkan secangkir teh manis yang barusan diaduk dan menyodorkan ke arahku. "Mas Bram jarang ke sini, Mbak, kalau nggak ada kepentingan. Memang ada apa sih Mbak? Mbak bertengkar sama Mas Bram?" tanya Silvi serius.
Aku menggelengkan kepalaku. Dan meraih cangkir berisi teh manis. Dalam hitungan menit teh itu sudah berpindah ke perutku. "Mas Bram jarang pulang, Sil." ucapku dengan mata mengarah keluar. Silvi tampak tenang, melangkah mendekati aku. "Mungkin ia sibuk dengan perusahaannya di Surabaya Mbak. Yakinlah kalau Mas Bram tak bakal macam-macam." Aku tersenyum masam mendengar penuturan Silvi. Tentu saja ia membela kakaknya. Aku yakin kalau Silvi tau yang sebenarnya. Ia pasti menutupinya. "Mas Bram itu orangnya polos dan jujur. Mana mungkin mau berbuat aneh- aneh. Ia sangat mencintai Mbak Kinan," ungkap Silvi lagi. Aku gigit bibirku sendiri, dalam hatiku percuma aku mengatakan yang sebenarnya sama Silvi tentang Mas Bram yang pasti Silvi membelanya. "Tapi, benarkah Mas Bram tak pernah ke sini?" Silvi tampak heran menatapku, dan menggelengkan kepalanya. "Memang ada apa sih Mbak? Mbak Kinan bertengkar ya sama Mas Bram?" "Nggak, Nggak Silvi. Aku hanya ingin tau, apa Mas Bram nggak pernah ke sini. Sebab akhir- akhir ini Mas Bram jarang pulang. Kalau memang ia menginap di sini atau di rumah ibu, buatku tak masalah." Aku berdiri memandang jam yang melingkar di pergelangan tanganku. "Ya sudah aku pulang dulu, aku hendak menjemput Jenar. Kasian dia, dia baru sembuh dari sakit." Aku berdiri, meraih kontak mobil yang aku letakkan di meja. Aku melihat mata Silvi bingung melihat tingkahku. "Sakit? Memang Jenar sakit apa Mbak? Kenapa nggak kabar-kabar Mbak?" cerocos Silvi dengan menatapku tajam. "Besok insya Allah aku ke sana kalau Mas Rendy pulang." Aku mengangguk dengan melangkah keluar rumah Silvi. "Kok buru- buru sih Mbak?" tanya Silvi menatap tajam. "Ya, aku harus cepat- cepat sampai ke sekolahan Jenar. Oo ya, kalau mau ke rumahku hubungi aku dulu!" teriakku dengan membuka pintu mobil, dan kuhempaskan tubuhku di jog mobil. Tampak Silvi berdiri di teras rumah dengan melambaikan tangan ke arahku. Dari pembicaraanku dengan Silvi aku bisa menganalisa kalau Silvi tak tau tentang Mas Bram menikah lagi. Dan aku belum bisa menceritakan perselingkuhan itu dengan Silvi. Aku jalankan mobilku dengan pelan sambil berpikir, Tiba-tiba aku teringat mertuaku. "Ya, Ibu. Aku harus menemui Ibunya Mas Bram." Secepat kilat kuraih ponselku untuk menghubungi Arman sopirku agar menjemput Jenar di sekolahan. Setelah mendapat jawaban dari Arman aku segera memacu mobilku menuju rumah Bu Marlin mertuaku yang berada di perkampungan. Mobil kupacu dengan kecepatan sedang. Drett ... Drett ... Terdengar getaran ponselku yang kuletakkan di dekat hand rem. Aku segera memarkir mobilku ke tepi jalanan yang menurutku aman. "Mas Bram ...!" gumam ku saat melihat sepintas layar ponselku yang tertera nama Mas Bram. Aku raih segera ponselku dan aku tempelkan ke telingaku. "Kamu dimana? Kenapa Jenar tidak kamu jemput?" terdengar suara Mas Bram dalam ponsel dengan nada tinggi tanpa basa basi. "Lho! Aku sudah menyerahkan sama Arman. Arman yang aku suruh jemput. Aku lagi metting di kantor!" "Sudah aku bilang. Kamu urus tuh anak kita. Kamu jadi wanita keras sekali aturannya! Nanti kalau ada apa-apa dengan Jenar aku tak bakal memaafkan kamu!" "Tapi Mas, buat apa aku menggaji sopir. Yang ujung ujungnya aku yang harus melakukan semuanya!" sanggahku dengan nada tinggi. "Aku tak mau tau. Pokok mulai hari ini kamu harus urus Jenar!" Belum sempat aku menjawab, Mas Bram sudah menutup pembicaraannya. "Haloo ... Haloo ...!" Tak ada jawaban dari Mas Bram. Berarti Mas Bram sudah mematikan ponselnya. Aku diam terpaku. Meletakkan kembali ponselku. "Dasar egois!" ucapku dengan rasa kesal. Kupukul keras-keras benda yang berbentuk lingkaran yang ada di depanku. Sudah setengah perjalanan menuju ke rumah mertuaku. Sayang sekali jika aku harus pulang kembali. "Aku tak perduli ancamanmu Mas, aku harus bisa buktikan perselingkuhan kamu." Aku kembali memutar kontak mobilku. Mobil aku pacu dengan kecepatan tinggi membelah jalan raya menerjang rintiknya hujan. Dan sesekali petir mengeluarkan cahaya di ujung langit yang sudah tampak berwarna kelabu. Aku ingin secepatnya mengadu pada mertuaku. Lenguhan panjang sesekali keluar dari mulutku. Rasa kesal kembali menyelimuti pikiranku dengan ulah Mas Bram yang mau menang sendiri. "Ahh ... Masa bodoh dengan Mas Bram, dia sok ngatur hidupku. Sedangkan dianya sendiri selingkuh, malah menikah dengan sahabatku sendiri." Dalam perjalanan tak henti hentinya aku menggerutu dengan menyumpahi Mas Bram. Butuh waktu satu jam lebih, aku sampai ke perkampungan tempat tinggal mertuaku. Mobil aku belokkan ke jalan menuju arah rumah mertuaku. Dari kejauhan tampak dengan samar pandanganku melihat sebuah mobil sedan hitam yang terparkir persis di pinggir jalan depan rumah mertuaku. Aku amati dengan teliti mobil itu. "Bukankah itu mobil Mas Bram?" gumamku dengan memperlambat laju mobilku. Saat aku meyakini diriku sendiri kalau itu mobil Mas Bram. Aku dengan cepat mencari tempat nyaman untuk memarkir mobilku. Dan kebetulan ada rumah tanpa pagar dengan halaman luas. Aku sengaja menitipkan mobilku ke tempat orang itu, tepatnya tetangga selisih lima rumah dari rumah mertuaku. Beruntung tetangga mertuaku tidak begitu mengenalku dan tak banyak bertanya. Aku berjalan menuju rumah mertuaku dengan cara diam-diam. Aku ingin tau dulu siapa yang diajak Mas Bram ke rumah mertuaku. "Berarti Mas Bram telpon aku tadi sudah berada di rumah Ibu?" tanyaku dalam hati. Merasa aman dan tak ada orang yang tau. Aku munyusup ke halaman rumah orang tua Mas Bram yang tak begitu luas dengan mengendap-endap seperti pencuri. Terdengar suara Mas Bram dari ruang tengah yang tengah berbicara dengan seorang wanita. Aku meyakini kalau suara itu, suara Bu Marlin mertuaku. Timbul pikiranku ingin mengetahui apa yang tengah diperbincangkan Mas Bram dengan Ibunya. Dan ingin merekam percakapan mereka. Dengan cepat kutarik ponselku yang ada di saku celanaku. Dan kunyalakan tanda rekaman pada ponselku. Perlahan aku sandarkan tubuhku ke dinding dengan sedikit aku pasang telinga. "Apa Kinan sudah tau tentang pernikahan kamu Bram? Kamu harus bisa menyimpan rahasia ini Bram, sebelum harta Kinan jatuh ke tanganmu." "Ya Bu, tapi aku sudah berusaha secepat mungkin Kinan menyerahkan semua aset perusahaan, Ibu tadi sudah mendengar pembicaraanku sama Kinan, kan?" Deg, jantungku seakan berhenti berdetak. Tubuhku gemetar. Mendengar percakapan Mas Bram dan Bu Marlin. Aku tak menyangka sama sekali Mas Bram mempunyai niat ingin menguasai hartaku. Aku yakin niat itu sudah direncanakan Mas Bram lama. Sepertinya Bu Marlin mendukungnya. "Trus istrimu Neni yang sekarang tinggal di mana? Besok aku sama adik- adikmu akan ke sana menjenguknya." "Sudah aku belikan rumah Bu, di Surabaya. Rumah Neni sendiri aku suruh jual. Malah Neni hendak aku beri modal untuk buka toko swalayan di Surabaya, Bu." Mendengar penuturan Mas Bram emosiku semakin memuncak, rasanya aku ingin keluar dari persembunyianku dan melabrak Mas Bram dan mertuaku. Tapi aku kembali menahan emosiku. Aku ingin lebih tau apa yang Mas Bram bicarakan dengan mertuaku mengenai aku. "Bu, kita harus merahasiakan ini sama Kinan. jangan sampai bocor sebelum aset Kinan jatuh ke tanganku. Dan bilang sama Silvi dan Mira jangan membocorkan rahasia ini pada Kinan." "Percayalah, adik- adikmu nggak bakal cerita pada Kinan. Yang penting bagaimana caranya agar kamu secepatnya menguasai perusahaan Kinan." Degg ...! Jantungku seolah hendak copot mendengar penuturan mertuaku. Berarti selama ini Mas Bram dan keluarganya sudah mempunyai rencana jahat padaku. Braakkk ... Aku tersentak tubuhku gemetar saat mendengar benda jatuh yang tak jauh dari tempatku sembunyi. "Siapa itu ...!" Suara keras Mas Bram membuat tubuhku lemas seketika.Anggi menatapku tajam. "Jadi, jadi Jeng Kinan sudah tau?" Aku diam sejenak dengan menyuapkan nasi ke dalam mulutku sembari sedikit mengunyah aku menganggukkan kepala."Kenapa ibu- ibu menyembunyikan keburukan? Bukankah mereka orang beragama? bisa memilah itu benar atau salah. Karuan Neni merebut suami orang kenapa masih ditutupi!" protesku emosi. Anggi mengangkat ke dua bahunya. "Ibu- ibu hanya tak ingin ada keributan dalam arisan. Toh Jeng Neni sekarang sudah keluar dari grup arisan," jelas Anggi yang tidak membuatku terkejut. Aku juga sudah mengira kalau Neni setelah menikah bakal keluar dari arisan itu sudah pasti. Tentu bakal malu sendiri jika bertemu denganku. "Huh, dasar pelakor!" batinku. Kesalku semakin meronta Apalagi setelah mengetahui ternyata ibu- ibu arisan lebih membela Neni daripada aku, semua itu terlontar dari mulut Anggi. "Sepertinya Bu Nora ... Mmm..."Anggi diam sejenak sepertinya tak meneruskan ucapannya. Ia malah menunduk membuatku penasaran. "Bu Nora kena
Aku menggelengkan kepala dan mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan keadaan Jenar semalam. "Tuan Kecil tidak apa-apa, Nyonya." "Ya sudah, bikinkan sarapan kesukaan Jenar, nasi goreng telur." Aku berdiri melangkah meninggalkan Bibi Nur yang membersihkan meja makan. ***Sesuai janjiku pada Alliandro, jam sepuluh tepat aku sudah berada di lokasi. Ternyata Alliandro sudah seperempat jam menungguku dengan duduk di sudut ruangan restoran. Sepertinya ia sengaja sudah memboking tempat dan makanan. Alliandro menyambut kedatanganku dengan tersenyum ceria. Ia menarik kursi memberi tempat duduk untukku. "Selamat siang Tuan Putri. Senang bertemu denganmu," canda Alliandro dengan menunjukkan tempat duduk untukku. Aku mendelik sambil nyengir. Kata-kata yang terbiasa keluar dari mulut Alliandro waktu di SMA dulu. "Dah lama menungguku All?" Aku menghempaskan tubuhku ke atas kursi. "Menunggu orang secantik kamu, menurutku tak ada kata lama." Alliandro tersenyum dan kembali duduk seperti se
Tatapan Mas Bram sungguh tak nyaman buatku. Setelah Mas Bram bersalaman dengan Alliandro dan Nyonya Michel ia mengajakku keluar dari ruangan untuk bergabung dengan teman- teman lainnya. "Kamu menyembunyikan sesuatu dariku?" tanya Mas Bram tiba-tiba setelah berada di ruang pesta. "Maksudmu?" "Alah gak usah kau berpura-pura bego didepanku. Kau sebenarnya sudah tau kalau undangan itu dari mantan pacarmu! Makanya kau tak menolak waktu ku ajak." Aku tak habis pikir dengan ucapan Mas Bram. Aku juga tak tau maksud ucapan itu. "Kamu ngomong apa sih Mas? Kamu kan yang mengajakku datang? Kamu kan yang dapat undangan? Kenapa aku yang disalahkan?" sanggahku. Tapi Mas Bram gak mau kalah. Ia terus berkilah menyalahkan aku. Hingga pertengkaran terjadi. Mas Bram marah dan meninggalkan aku di dalam pesta itu tanpa sepengetahuanku. Aku dibuat kalang kabut. Aku bingung untuk mencari tumpangan untuk pulang, apalagi jam sudah menunjukkan pukul satu malam. Aku mencoba menghubungi Mas Bram berkali-
Tiba-tiba seekor kucing melompat dari atas meja teras rumah menabrak kaleng bekas kue. "Ohh kucing, aku kira apa?" gumam Mas Bram.Aku mengambil nafas lega mendengar ucapan Mas Bram. Tampak bayangan Mas Bram yang ada di dinding sedang berdiri. Sepertinya ia hendak pulang. Sungguh perkiraanku tak meleset. Mas Bram pamit pulang. "Ya sudah Bu. Aku pulang dulu. Ini sedikit uang untuk Ibu. Lusa aku jemput Ibu. Kita berangkat sama- sama ke Surabaya," terdengar lagi kata-kata Mas Bram. Perlahan aku beranjak dari tempat persembunyianku melangkah meninggalkan rumah mertuaku. Setelah mengetahui Mas Bram hendak pulang. Jantungku tak berhenti berdetak, rasa takut menyelimuti diriku jika Mas Bram atau mertuaku mengetahui keberadaanku. Aku berjalan cepat menuju tempat parkir mobilku dan pamit pada tuan rumah yang aku titipi mobil. Mobil aku pacu kembali ke rumah rasanya ingin secepatnya bertemu Jenar.Hanya butuh waktu satu jam aku sudah sampai ke rumah. "Jenar ... Jenar ... Mama datang Nak!"
Silvi menghentikan aktivitasnya dengan meletakkan secangkir teh manis yang barusan diaduk dan menyodorkan ke arahku. "Mas Bram jarang ke sini, Mbak, kalau nggak ada kepentingan. Memang ada apa sih Mbak? Mbak bertengkar sama Mas Bram?" tanya Silvi serius. Aku menggelengkan kepalaku. Dan meraih cangkir berisi teh manis. Dalam hitungan menit teh itu sudah berpindah ke perutku. "Mas Bram jarang pulang, Sil." ucapku dengan mata mengarah keluar. Silvi tampak tenang, melangkah mendekati aku. "Mungkin ia sibuk dengan perusahaannya di Surabaya Mbak. Yakinlah kalau Mas Bram tak bakal macam-macam." Aku tersenyum masam mendengar penuturan Silvi. Tentu saja ia membela kakaknya. Aku yakin kalau Silvi tau yang sebenarnya. Ia pasti menutupinya. "Mas Bram itu orangnya polos dan jujur. Mana mungkin mau berbuat aneh- aneh. Ia sangat mencintai Mbak Kinan," ungkap Silvi lagi. Aku gigit bibirku sendiri, dalam hatiku percuma aku mengatakan yang sebenarnya sama Silvi tentang Mas Bram yang pasti S
"Ginjal Dok!" suaraku menekan. Seolah tak percaya dengan tulisan yang tertera pada kertas hasil diagnosa. Dokter Frans mengangguk berat. "Ya Nyonya, masih stadium dua. Dia butuh perhatian khusus. Tubuhku semakin lemas dan seperti tak punya tenaga sama sekali saat dokter Frans mengatakan kalau Jenar terkena penyakit Ginjal stadium dua. Aku ingin menjerit sekuat tenaga, aku merasa Allah tak adil dengan kehidupanku. "Ya, ini salahku ... Salahku! Aku memburu egoku sendiri. Aku tak memperhatikan anakku. Aku terlalu mementingkan diriku sendiri," batinku dengan menyandarkan kepalaku di sandaran kursi dengan menatap dokter Frans. "Kenapa bukan aku saja yang sakit, Dok?" ucapku melemah. "Nyonya nggak usah khawatir. Semua ada jalan keluarnya. gagal ginjal stadium 2 masih lebih besar potensinya untuk membaik, meski belum tentu sembuh sempurna." Dokter menegaskan. Dan Dokter memberi saran setiap tiga hari sekali, Jenar harus kontrol ulang. Penjelasan Dokter membuatku sedikit agak lega.