Share

Bab 7 pesta.

Author: Adira
last update Last Updated: 2025-06-17 15:21:08

Tatapan Mas Bram sungguh tak nyaman buatku. Setelah Mas Bram bersalaman dengan Alliandro dan Nyonya Michel ia mengajakku keluar dari ruangan untuk bergabung dengan teman- teman lainnya.

"Kamu menyembunyikan sesuatu dariku?" tanya Mas Bram tiba-tiba setelah berada di ruang pesta.

"Maksudmu?"

"Alah gak usah kau berpura-pura bego didepanku. Kau sebenarnya sudah tau kalau undangan itu dari mantan pacarmu! Makanya kau tak menolak waktu ku ajak."

Aku tak habis pikir dengan ucapan Mas Bram. Aku juga tak tau maksud ucapan itu.

"Kamu ngomong apa sih Mas? Kamu kan yang mengajakku datang? Kamu kan yang dapat undangan? Kenapa aku yang disalahkan?" sanggahku.

Tapi Mas Bram gak mau kalah. Ia terus berkilah menyalahkan aku. Hingga pertengkaran  terjadi. Mas Bram marah dan meninggalkan aku di dalam pesta itu tanpa sepengetahuanku.

Aku dibuat kalang kabut. Aku bingung untuk mencari tumpangan untuk pulang, apalagi jam sudah menunjukkan pukul satu malam.

Aku mencoba menghubungi Mas Bram berkali-kali tapi ponsel tak di angkat dan malah dirijek.

Aku menghubungi Arman sopirku. Tapi Arman juga tak mengangkat telponku. Aku berpikir kemungkinan Arman sudah dihubungi Mas Bram agar tak mengangkat telponku.

"Kamu kok masih di sini?" suara yang tak asing aku dengar dari arah belakang.

Sontak kuarahkan pandanganku menuju arah suara itu.

"All ...!" sambutku dengan mata mengembun.

Tanpa bicara apapun, Alliandro menarik tanganku dan membawaku ke tempat parkir.

"Apa maksudmu All?" suaraku gemetar, takut terjadi sesuatu.

"Gak usah takut, aku tau suamimu cemburu. Ayok aku antar pulang, hari sudah malam."

Aku ikuti kata- kata Alliandro. Aku percaya Alliandro berniat baik.

Aku segera masuk mobil Alliandro setelah Alliandro membuka pintu mobil untukku. Mobil sedan warna hitam keluar dari area parkir rumah mewah Alliandro.

Dalam perjalanan aku banyak diam. Pikiranku masih fokus ke Mas Bram. Kenapa ia tega meninggalkan aku sendiri.

"Kinan, maafkan aku, aku sudah membuat suamimu cemburu. Padahal aku mengundang itu khusus untuk kamu bukan suamimu. Sebab kamulah yang punya perusahaan itu."

Aku tersentak. Dengan cepat aku menatap Alliandro yang duduk di belakang kemudi.

"Undangan? Bukankah undangan itu untuk suamiku? Mas Bram yang mengajakku!" kilahku.

Aliandro menggelengkan kepalanya.

"Aku kemarin yang memberikan undangan ke kantor kamu. Aku serahkan ke resepsionis kamu, sebab kamu tak ada."

Aku bengong, dengan mata masih menatap Alliandro yang fokus dengan kemudinya. Aku bisa menganalisa berarti kemarin Mas Bram datang ke kantorku sebelum ke rumah ibunya, dan Wanda resepsionisku memberikan undangan itu pada Mas Bram.

"Mas Bram sudah membohongiku," batinku.

Aku kembali menunduk, mempermainkan jemariku. "Ya, maafkan aku All, Wanda resepsionisku tak memberitahu aku."

Tak terasa mobil sudah memasuki kawasan jalan menuju rumahku. Alliandro mengingatkanku agar aku tak lupa pertemuan besok jam sepuluh pagi di restoran Mayangkara.

Aku mengangguk pelan dan keluar dari mobil Alliandro dengan mengucap banyak terima kasih.

Aku melangkah masuk setelah Dodi satpamku membuka pintu pagar.

"Tuan Bram sudah pulang?" tanyaku pada Dodi.

"Sudah Bu, tiga puluh menit yang lalu," jawab Dodi dengan tangan menyeret pintu pagar untuk menutupnya.

Bergegas aku pacu langkahku masuk rumah, aku tak perduli kemarahan Mas Bram. Yang  seharusnya marah bukan Mas Bram tapi aku.

Pintu kamar aku buka kasar. Tampak Mas Bram berbaring di ranjang meringkuk memeluk guling.  Dengkuran halus terdengar keluar dari nafas Mas Bram. Sepertinya Mas Bram sengaja tidur duluan.

Aku mengamati dari depan pintu kamar wajah Mas Bram, senyum kesal menyeringai bibirku, aku tau kalau Mas Bram pura-pura tidur.

Braakk ... Sepatu yang aku pakai aku lempar hingga menimbulkan suara.

"Tau begini, aku tak mau kau ajak pergi. Aku tau kau menjebakku. Undangan itu untukku bukan untukmu." Kuperkeras suaraku agar Mas Bram mendengarnya.

Tapi tak ada reaksi dari Mas Bram. Ia tetap dengan kepura- puraannya tidur, membuat aku semakin kesal dan keluar kamar menuju kamar Jenar setelah menghapus make up, dan mengganti pakaianku dengan pakaian tidur.

"Gila, aku bisa gila sendiri menuruti sikap Mas Bram." gerutuku dengan menghempaskan tubuhku di ranjang samping Jenar tidur.

Kuamati Jenar yang tidur pulas di sampingku. Rasa iba timbul dalam hatiku. "Maafkan Papamu ya, Nak! Dan maafkan Mama yang seharian tak bisa menunggu kamu."

Kusentuh wajahnya lembut dan ku cium perlahan. Tak terasa air mataku menetes jatuh mengenai pipi halus Jenar.

Entah malam itu sepertinya aku sangat takut kehilangan Jenar. Aku tak ingin jauh dari anak semata wayangku.

"Mama ...!" suara pelan Jenar tiba-tiba membuatku tersentak. Dengan cepat ku usap air mataku.

"Mama kok belum tidur," ucapnya lagi. Tangannya menggapai tubuhku. Dan memelukku dengan membenamkan kepalanya ke dadaku.

Aku memeluknya erat, hatiku semakin tersentuh. Air mataku tak bisa aku tahan, hingga luruh mengenai rambut Jenar.

"Mama bertengkar sama Papa?" bisiknya.

Secepatnya aku usap air mataku. Dengan terbata aku mengatakan bohong, kalau diriku baik- baik saja.

"Aku hanya kangen sama kamu, tidurlah!" Kuelus lagi rambutnya, dan kucium berkali-kali.

Jam di sudut ruang kamar berdentang dua kali. Mataku tetap tak bisa terpejam. Pikiranku bagaikan benang kusut yang tak bisa tertata kembali.

Apalagi jika mengingat peristiwa di pesta undangan Alliandro tadi. Rasa malu terus bergelayut dalam otakku yang mana kelakuan Mas Bram seperti anak kecil.

Malam semakin larut, hingga pagi mulai menyentuh. Aku yang hanya bisa memejamkan mata tiga puluh menit. Sudah terjaga dari tidurku kala terdengar suara ketukan pintu kamar Jenar.

Kubuka mataku perlahan, kusatukan jiwaku agar bisa normal kembali.

"Ya sebentar," teriaku dengan melirik jam yang berada di sudut ruangan.  "Masih jam lima kurang,"

Aku menyibakkan selimut yang menutupi tubuhku. Dan melompat turun untuk membuka pintu kamar.

Mas Bram sudah berdiri di depan pintu dengan pakaian rapi.

"Jam berapa kamu pulang?" tanya Mas Bram seolah tanpa punya salah. Dan terabaikan peristiwa tadi malam, seolah tak terjadi apa-apa.

Aku diam tanpa menjawab pertanyaan Mas Bram. Hatiku masih dongkol.

Kuseret kakiku menuju kamar mandi untuk sikat gigi dan cuci muka.

Aku kembali menemui Mas Bram yang sudah duduk menghadap meja makan.

"Undangan tadi malam, undangan untuk siapa?" tanyaku tanpa basa basi.

Ku tuang secangkir kopi panas dan kusodorkan ke meja depan Mas Bram.

Mas Bram tersenyum sinis. "Ya tentu untuk kamu, kamu kan mantan pacarnya?"

"Tapi kenapa kamu gak bilang sama aku kalau aku yang dapat undangan bukan kamu!" protesku sedikit menyeruput teh yang aku tuang ke dalam cangkirku.

"Aku suamimu, apa salahnya?" Tanpa bersalah Mas Bram menjawab santai sambil mengunyah sisa roti bakar yang ada di mulutnya.

"Tapi gak segitunya, kau tinggal aku di acara pesta. Apa maksudnya? Kau cemburu?"

"Cemburu?!" Mas Bram menarik kedua ujung bibirnya sembari tersenyum mengejek. "Kalau aku cemburu, tentu kamu gak aku pertemukan sama mantan pacarmu itu!"

Mas Bram berdiri, meraih kontak mobil yang tergeletak di meja.

"Sudahlah, ngapain kita berdebat terus, aku hendak ke Surabaya dua hari. Urusan bisnis lebih penting daripada membahas hal yang tak penting."

Aku menatap tajam Mas Bram aku tau kalau Mas Bram hendak menemui Neni. seperti pembicaraan dalam ponsel yang aku intip kemarin.

"Jam sepuluh aku mau ke rumah Neni, katanya Neni pindah rumah ke Surabaya." Sengaja aku menyinggung nama Neni dengan sedikit melirik ekspresi Mas Bram.

Tampak Mas Bram sedikit  kaget, namun bukan Mas Bram kalau tak bisa menyembunyikan kebohongannya.

"Ya datanglah kamu kesana, itu kan urusan wanita." terdengar suara santai Mas Bram sambil berdiri dan meraih tas yang tergeletak di meja makan.

"Kamu nggak ikut? Bukankah kamu juga sangat dekat dengan Neni?" Hatiku mendorong untuk membongkar perselingkuhan itu.

"Kamu kenapa sih? Setiap tamu bulanan kamu datang, kamu uring-uringan terus, tak ada kata lembut untukku. Sudahlah kita gak usah membahas hal yang tak penting."

Mas Bram melangkah mendekatiku dan mencium keningku seperti biasa  kalau hendak pergi. Seolah Mas Bram menghindari pembicaraan tentang Neni.

Lagi- lagi aku tak kuasa untuk membongkar perselingkuhan itu. Aku tak ingin pertengkaran terjadi sampai terdengar oleh Jenar.

Aku hanya diam menatap kepergian Mas Bram tanpa beranjak dari tempat dudukku. Dan tak sedikitpun jawaban keluar dari mulutku. Aku juga tak membalas kemesraan Mas Bram saat mengusap lembut kepalaku.

Namun sepeninggal Mas Bram, emosiku kembali meluap.

Braakk ...

"Huh, kenapa aku selalu tak berkutik di depannya?" Aku pukul meja makan hingga menimbulkan bunyi yang membuat bibi Nur tergopoh-gopoh masuk ruang makan.

Bibi Nur menatapku penuh kekhawatiran.

"Nyonya tidak apa-apa?"

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 46 Tamu ke dua.

    Aku segera menempelkan ponselku ke telingaku. Namun aku sama sekali tak mengucapkan salam untuk All terlebih dulu. Entah aku merasa neg dan muak. Ingin rasanya ponselku ku banting biar tak mendengar suaranya. "Halo Kinan ... Kamu ada di rumah?" ucap All dalam telpon. Aku tak menjawab ucapan All. Aku tetap diam, hingga ia mengulangi lagi pertanyaannya. Dan aku mulai menjawab dengan nada cuek. "Maaf, aku tak ingin di ganggu. Aku mau istirahat." Dengan cepat ku tutup ponselku. Baru saja aku meraih piring yang berisi nasi. Terdengar lagi suara ponselku berdering. Dalam layar ponsel tetap nama All yang tertera. Aku membiarkan ponsrl itu berdering sampai selesai. "Mbak, kenapa ponselnya tak diangkat. Mungkin ada hal penting ?" tanya Bibik yang aku jawab dengan santai sambil memasukkan makanan ke dalam mulut. "Malam-malam Bik, malas untuk meladeni telpon. Dah Bik, kalau Bibik Mar mengantuk. Bibik istirahat saja, Besok Bibik kan harus bangun pagi." "Ya Mbak, saya ke kamar dulu ya!"

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 45 kecewa berat.

    Mobil yang aku tumpangi bersama Ardan masuk  area parkir kantor Alliandro. Dalam hitungan menit aku sudah sampai di Loby kantor Alliandro. "Ya tunggu Nona!" ucap seorang resepsionis kantor. Aku pun duduk menunggu keputusan sang resepsionis. Apakah aku di perbolehkan masuk atau tidak. Aku menyadari kalau toh tak boleh aku harus menerimanya sebab aku tak ada jadwal janji dengan AlliandroDisamping itu aku juga tak menghubungi Alliandro."Nona, maaf Tuan Alliandro sepertinya belum datang. Sebab saya hubungi tidak bisa. Kalau memang Nona sangat penting tunggu saja di sini, mungkin sebentar lagi datang." Aku menatap jam yang melingkar di tanganku. Aku mengernyitkan keningku menatap resepsionis yang ada didepanku."Sudah jam satu lebih Nona, berarti Tuan Alliandro tak ada di kantor." ucapku membalikkan tubuhku untuk kembali pulang. "Ooh ya, mungkin Nona ada pesan? Boleh saya ingin tau nama Nona? Nanti saya sampaikan sama T

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 44 Clara marah.

    "Neni ...!" teriak Bram dengan panik. Ia dengan cepat mengangkat tubuh Neni dan membaringkannya di atas sofa. Ia segera berlari ke kotak obat, dan mengobatinya kening Neni untuk sementara agar darahnya berhenti keluar dengan meneteskan betandin pada luka Neni. "Lukanya nggak parah, mungkin ia hanya pingsan sandiwara!" pikir Bram dengan duduk kembali di atas sofa dekat Neni berbaring. Ia menunggu Neni siuman untuk beberapa saat. Sepintas ia memandang Neni yang matanya masih belum terbuka. Ia kembali menatap langit-langit kamar, pikirannya kembali menerawang jauh tentang tertangkapnya Lola dan dijebloskan ke dalam penjara. "kok bisa dia tertangkap, ceroboh benar Lola. Dia pasti sudah bernyanyi di depan polisi dan mengaku tentang persekongkolan denganku, aku harus pergi?" Bram merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya. "Halo Bibi Pur, cepat ke sini! Aku ada di ruang rapat," suara Bram dalam telpon menghubungi Bibi Pur yang bekerja sebagai pembantu dapur di markas. "Baik

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 43 Lola tertangkap.

    Aku geram mendengar cerita Selvi. Tapi aku yakin memang Selvi tidak bohong. Namun aku tak semudah itu melepas Selvi tanpa hukuman. "Trus kamu semalam tidur bersama Tuan All?" tanyaku menyelidik. Selvi tampak kaget. Ia memandangku, "Sebejat- bejat diriku aku tak akan mau merebut pacar temanku. Tanyakan sendiri pada Tuan All!" Aku diam, aku percaya ucapan Selvi kali ini tidak bohong. All tak mungkin melakukan hal sebejat itu. "Bagaimana kau percaya kan sama aku? Sekarang lepaskan tali ini. Dan untuk yang seterusnya aku akan bantu Kamu. Mengungkap pembunuhan orang tua kamu dan anak kamu. Tapi tolong lindungi keluargaku." Aku manggut-manggut. Aku segera mengambil ponselku dan membatalkan pihak kepolisian. Beruntung pihak Kepolisian sangat pro sama aku. Jadi dengan mudah membatalkan sesuatu. "Ya, akan aku lepas kamu!" Aku melangkah mendekati tempat duduk Selvi. "Jangan dilepas, dia pengkhianat yang bersekongkol dengan Bram!" Terdengar suara dari pintu ruang makan. Aku

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 42 Pengakuan Lola.

    Jarum jam di sudut ruangan kamarku menunjukkan angka lima. Bergegas kusibakkan selimutku. Dan aku turun dari ranjang dengan melangkah ke wastafel untuk menggosok gigi. Aku menunda untuk mandi. Kulangkahkan kakiku keluar kamar, yang pertama aku tuju kamar tamu dimana All hampir semalam dengan kelelahan tubuhku tak aku hiraukan. "Kam?!" sapaku melihat All sudah berpakaian rapi. Duduk di depan meja dengan secangkir teh. "Aku mau pulang Kinan, aku ada janji sama temen bisnis." Aku diam menatapnya. Dan berjalan menghampiri Alliandro. "Trus tentang Selvi?" "Tenang semalam aku dan Ardan sudah mengintrograsinya. Nanti tinggal menyuruh dia pulang. Kau ingin tau rekamannya?"All menyodorkan sebuah benda kecil berbentuk kotak panjang. "Jangan di putar sekarang. Nanti saja setelah Selvi pulang. Biar dia tak curigai." Aku mengangguk. Mengantarkan  Al sampai ke halaman rumah. "All bukanlah kamar yang di pakai Selvi aku kunci semalam."

  • SUAMIKU SEORANG PENDUSTA   Bab 41 pengakuan Selvi.

    Aku mengernyitkan dahiku saat menyebut dirinya Selvi. Aku mengingat ingat sepertinya aku pernah dengar suara wanita yang ada di depanku. Tapi siapa aku belum menemukan."Saya ke sini mau gabung dengan bisnis Nyonya yang ada di Jogjakarta. Kebetulan saya dulu juga kiprah di model saya banyak menelorkan murid yang sudah sukses." ucap Selvi dengan tersenyum."Sebentar, saya belum bisa menerima dan juga belum menolak. Sebab akhir-akhir ini saya di sibukkan dengan urusan bisnis lainnya." ungkapku cukup waspada. Aku takut ini sebuah jebakan dari Bram menyuruh wanita lain.Selvi manggut-manggut. Bagaimana tentang kasus Nyonya Citra apakah sudah kelar?" Aku sedikit agak kaget, entah tiba-tiba aku tertarik dengan pertanyaan Selvi. "Entahlah. Aku sudah berusaha untuk mencari siapa dalang di balik semua itu. Tapi sedikit banyak sudah mencapai titik terang. Satu persatu orang yang di ajak kerjasama oleh pelaku sudah mengaku semua!" M

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status