Rini, gadis itu bahkan sampai melukai dirinya sendiri karena tidak sanggup berada di posisinya sekarang. Lalu aku menambah perih lukanya dengan makianku padanya. Namun sisi lain hatiku masih memendam amarah. Wajar saja aku marah, wajar saja aku memaki. Suamiku menikahinya, apapun alasannya aku tetap tersakiti, sangat tersakiti. Kutarik tubuhku menjauh dari mas Andri ketika sisi amarahku kembali menguasai. Mas Andri menatapku sayu."Maafkan Mas, Sayang. Mas bahkan tidak tau apa kata maaf bisa mengobati luka yang sudah Mas torehkan. Sungguh, Mas tidak pernah berniat bahkan tidak pernah terlintas dalam pikiran untuk menduakanmu. Katakan apa yang harus Mas lakukan agar kita kembali seperi dulu lagi. Mas bahkan belum menyentuh Rini," ucapnya. Aku menatap matanya, tidak ada kebohongan di sana, hanya ada binar kesedihan.“Mas hanya sebatas menyentuh dan memegang tangannya, itu karena dia juga rapuh, Dik. Dia sendirian tak ada tempat mengadu. Rini sungguh menghormati dan menyayangimu, Dik. Di
Dua hari setelah peristiwa yang membuatku dengan terpaksa menikahi Rini, aku tidak melihat wanita itu datang kekantor. Ada sedikit rasa khawatir dalam hatiku, apalagi Rini tinggal seorang diri di rumah kontrakannya. Entah kenapa hari ini, aku merasa penasaran apakah dia benar-benar tidak masuk kerja atau memang kebetulan tidak telihat olehku. Perlahan aku menuju divisi marketing."Selamat pagi Pak Andri," sapa Meli karyawanku di bagian marketing yang juga adalah teman seruangan Rini."Selamat pagi Meli, saya sedang mencari Rini ada yang hendak kudiskusikan dengannya. Apa kau melihatnya?" sahutku.“Rini sudah 3 hari ini tidak masuk, Pak, ponselnya juga tidak aktif. Bahkan kemarin saya ke rumah kontrakannya tapi sepertinya dia lagi tidak ada di rumah. Saya tadinya mau menanyakan ke bagaian HRD apakah Rini mengajukan cuti.”3 hari? Bukankan baru 2 hari ini dia tidak masuk kerja? Ahh iya 3 hari yang lalu hari di mana aku menikahinya dia memang tidak sempat ke kantor karena kusuruh Eko lan
"Rini mencoba bunuh diri dengan melukai pergelangan tangannya, Pak" Eko menatapku sambil menarik nafas panjang.“Astaghfirullahaladzim .... Aku tak menyangka Rini bisa senekat itu.”"Beruntung saya datang tepat waktu, Pak. Jika tidak ...." Dia tak meneruskan kalimatnya."Lalu bagaimana lukanya, Ko? Apa kata dokter?" cecarku."Bapak bisa menanyakannya sendiri nanti. Akan kurang etis jika saya yang menjelaskan karena saya bukan petugas medis." Entah mengapa aku merasa Eko sedikit sinis ketika mengucapkannya."Maaf, Pak. Bukannya saya bermaksud lancang menggurui Bapak. Saya hanya ingin mengingatkan bapak agar lebih memperhatikan Mbak Rini. Sungguh malang nasib gadis yatim itu, dan gadis itu adalah istri bapak yang sah di hadapan Allah. Sekali lagi maaf, saya hanya mengingatkan Napak sebagai sesama umat muslim," ucap Eko sambil menunduk."Tidak apa-apa, Ko. Saya mengerti. Terima kasih sudah mengingatkanku. Dan terima kasih juga sudah membawanya kemari tepat waktu. Maafkan jika tingkah la
"Aku rindu pelukan ibuku," gumamnya."Sebaiknya tahan dulu rindumu, Rin. Beliau akan sangat sedih jika melihatmu dalam kondisi seperti ini. Kumohon pulihkanlah dulu kesehatanmu agar bisa bertemu beliau dalam kondisi sehat. Apa kau sudah menghubungi beliau. Kabarilah beliau dengan berita yang baik-baik agar beliau tidak kepikiran." Rini menggeleng."Apa kau hapal nomor ponselnya? Biar kuhubungi dengan ponselku. Obatilah rindumu dengan mendengar suara beliau." Aku tau ponselnya pasti ada di rumah kontrakannya. Karena Eko membawanya ke sini dalam kondisi pingsan.Rini mengangguk, kemudian menyebutkan beberapa digit nomor ponsel Bu Endang.Kubiarkan Rini berbicara dengan Bu Endang melalui ponselku setelah terhubung dengan ponsel beliau. Aku mencuci mukaku di wastafel yang ada di ruangan ini. Kupandangi wajahku sendiri di cermin yang ada di atas wastafel. Aku hampir tidak mengenali diriku sendiri, rambutku kusut dan mataku merah. Bahkan kemarin putraku Aldy juga menanyakan kenapa mataku m
Aku tidak tau harus berkata apa, tiba-tiba ada rasa bersalah terselip dalam hatiku. Kemarin aku begitu marah dan memaki Rini dengan kata-kata kasar. Mendengar semua cerita mas Andri membuatku sedikit merasa menyesal. Rini, gadis itu bahkan sampai melukai dirinya sendiri karena tidak sanggup berada di posisinya sekarang. Lalu aku menambah perih lukanya dengan makianku padanya. Namun sisi lain hatiku masih memendam amarah. Wajar saja aku marah, wajar saja aku memaki. Suamiku menikahinya, apapun alasannya aku tetap tersakiti, sangat tersakiti. Kutarik tubuhku menjauh dari mas Andri ketika sisi amarahku kembali menguasai. Mas Andri menatapku sayu."Maafkan Mas, Sayang. Mas bahkan tidak tau apa kata maaf bisa mengobati luka yang sudah Mas torehkan. Sungguh, Mas tidak pernah berniat bahkan tidak pernah terlintas dalam pikiran untuk menduakanmu. Katakan apa yang harus Mas lakukan agar kita kembali seperi dulu lagi. Mas bahkan belum menyentuh Rini," ucapnya. Aku menatap matanya, tidak ada ke
"Ri, kamu sakit?" Andin teman sekantorku yang biasa disapa Bu Nyai itu menyapaku."Nggak Din, cuma sedikit kelelahan aja.""Istirahat kalau capek, Ri. Kamu masih ingatkan bunyi undang-undang per-ibu-an?""Undang-undang apaan tu Din?""Itu loh undang-undang yang bunyinya gini. Satu, Ibu-ibu gak boleh sakit. Dua, jika ibu-ibu sakit, maka kembali ke pasal satu."Aku tertawa. Andin memang selalu begitu, suka melucu. Tapi jangan ditanya jika lagi serius, dari mulutnya akan keluar kalimat-kalimat sakti. Oleh sebab itulah dia dijuluki Bu Nyai. Karena gaya bicaranya saat memberi masukan atau nasehat sudah seperti Bu Nyai di pesantren-pesantren."Din, aku mau nanya nih. Misalnya nih ya, seseorang dihadapkan pada kondisi di mana dia harus menikah padahal sebenarnya kedua belah pihak tidak ada keinginan menikah terlebih pihak si pria juga sudah memiliki istri. Dan pernikahan itu terjadi tanpa sepengetahuan istrinya. Itu gimana hukumnya?""Wah berat nih pertanyaanmu, Ri. Aku takut salah dalam men
Entah kenapa sekarang perasaanku sudah tenang bertemu dengannya. Sesungguhnya Allah maha membolak balikkan hati manusia. Bahkan kemarin aku masih begitu emosi dan marah ketika mendengar namanya. Tapi sekarang, tanpa dia mendatangiku pun aku pasti akan mencarinya, bukan untuk memakinya seperti yang kulakukan saat terakhir kali bertemu dengannya. Tapi untuk mengajaknya berbicara tentang bagaimana hubungan kami kedepannya. Walaupun aku sama sekali belum punya pandangan akan seperti apa hubungan kami kedepan."Nuri, Andin, besok kalian ikut saya ke Lapas pinggir kota ya. Kita akan mendampingi kasus di sana. Ini berkas kasusnya silahkan kalian pelajari dan cari solusi apa kira-kira yang akan kita ajukan." Pak Indera atasan kami di kantor memberi instruksi padaku dan Andin.Kami ditempatkan bekerja pada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Kami selalu berurusan dengan kasus-kasus yang melibatkan perempuan dan anak. Entah itu kasus KDRT, kasus eksploitasi anak, maupun kasus is
"Pernikahanmu dan Mas Andri sah di hadapan Allah. Namun aku bukan wanita yang menyetujui poligami. Mengenai keinginanmu meminta talak pada suamimu itu bukanlah urusanku. Karena kelak kepadamulah Allah akan bertanya alasanmu meminta ditalak oleh suamimu, bukan kepadaku." Air mata Rini mulai menetes membasahi pipinya."Aku malu berhadapan denganmu, Mbak. Sungguh hatimu begitu kuat. Sedangkan aku? Baru dihadapkan pada sedikit masalah saja sudah membuatku berpikiran picik sampai berani melukai diriku sendiri. Padahal aku tak sedikitpun punya hak atas tubuh ini.""Sudahlah, Rin. Aku juga punya kekurangan, bahkan sangat banyak. Beruntungnya Allah masih menutupi aib-aib ku sehingga tidak terlihat olehmu. Maafkan aku jika kemarin melukai hatimu dengan lisanku, sungguh aku meminta maaf.""Tidak, Mbak. Aku tidak pernah terluka olehmu. Justru aku yang melukaimu, Mbak.""Maaf, Rin. Aku harus balik sekarang. Anak-anak menungguku." "Iya Mbak, terima kasih sudah sudi menemuiku," jawabnya.Kami mel