Share

BAB 4

Namaku Nuri Wulandari. Aku adalah anak tunggal. Ralat, aku memiliki 2 orang saudara kandung beda ibu. Namun sejak kecil aku tidak pernah tau tentang kedua kakakku itu. Mereka hampir tidak pernah berkunjung ke rumah kami. Aku hanya mengetahui keberadaan mereka dari cerita ayah dan ibuku dahulu sewaktu aku kecil. Yang kuingat, pertama dan terakhir kali aku bertemu mereka pada saat pemakaman ayahku, waktu itu usiaku baru 8 tahun. Beberapa bulan yang lalu aku mengambil cuti tahunan yang berbarengan dengan jadwal libur sekolah Aldy anakku dan pulang kerumah ibu di kampung. Kami bertiga aku, Aldy dan Nanda hampir 2 minggu berada dirumah ibu. Suatu hari, aku membersihkan gudang dirumah ibu dan menemukan beberapa catatan ayah serta diary usang milik ibu di masa mudanya. Iseng kubuka buku usang yang berisi catatan pesanan pelanggan konfeksi ayah. Ya, ayah dulunya membuka usaha konfeksi setelah resign dari profesinya sebagai guru, ini cerita yg kudengar dari ibu bahwa sebelum aku lahir ayah adalah seorang guru pegawai negeri namun kemudian resign dan membuka usaha menjahit.

Dari buku tersebut aku menemukan jejak keberadaan kedua kakakku. Aku penasaran seperti apa mereka sekarang? Mengapa tak pernah sekalipun mengunjungiku? Padahal dalam agama Islam saudara seayah adalah saudara kandung, artinya kami saudara kandung. Kemudian kuputuskan untuk mencari mereka setelah kembali dari rumah ibu dengan bantuan Eko, orang kepercayaan Mas Andri. Tak lupa kubawa buku ayah dan diary ibu yang kutemukan digudang rumah ibu.

Dan disinilah aku sekarang, di alamat yang dikirimkan Eko lewat aplikasi W******p tadi. Tidak mudah menemukan titik alamat ini, perlu waktu 2 minggu Eko menelusuri jejak petunjuk alamat awal yang ada di buku catatan ayah. Rupanya selama ini mereka sudah berkali-kali berpindah tempat tinggal.

Mas Andri menatapku kemudian memegang tanganku seolah memberiku kekuatan untuk masuk ke dalam rumah tujuan kami. Sejenak kulupakan masalah diantara kami. Ah ralat, sepertinya masalahku sendiri karena sampai detik ini Mas Andri tidak membahas apapun dan tetap sama seperti Mas Andri yang telah bersamaku selama 13 tahun pernikahan.

'Ayo dik, kita masuk. Biar gak kemalaman pulangnya, kasian anak-anak," ucap Mas Andri sambil meremas tanganku. Dia tau aku gugup akan bertemu dengan saudara yang mungkin tidak pernah menganggap aku ada.

"Assalamualaikum," sapaku sambil mengetuk pintu rumah yang terlihat sederhana itu.

"Walaikumsalam." Terdengar sahutan dari dalam rumah. Kemudian muncullah seorang ibu yang sebaya dengan ibuku.

"Ini Nuri ya, silahkan masuk. Mari kita bicara didalam," katanya sambil membuka lebar pintu mempersilahkan kami masuk.

"Maaf bu saya Andri suaminya Nuri, kami langsung saja pada tujuan kami kesini. Istri saya ingin bertemu dengan kakak-kakaknya Amir dan Rizal. Apakah benar mereka tinggal disini?" tanya suamiku setelah kami duduk. Aku melihat beberapa map lusuh diatas meja. Walaupun penasaran, aku memilih tidak menanyakannya.

Ibu itu menghela nafas panjang kemudian menghembuskannya. Perlahan tangannya meraih map yang ada dimeja kemudian membukanya pelan. "Saya bu Lina, adik dari ibunya Amir dan Rizal. Sebenarnya saya bingung harus mulai dari mana menceritakan kepada nak Nuri. Silahkan ambil dan baca berkas-berkas ini. Ibu harap ini bisa menjelaskan semuanya."

Dengan sigap kuambil berkas yang disodorkan bu Lina padaku, aku penasaran mengapa mau bertemu saudaraku tapi yang disodorkan adalah map-map lusuh ini. Perlahan kubuka map pertama, kubaca berkas paling atas kertas berkop Kepolisian Negara Republik Indonesia. Aku mengerutkan dahi saat membaca "surat penahanan" atas nama Rizal Arifin yang ditahan atas dakwaan kasus pembunuhan. Lututku terasa lemas, badanku bergetar setelah membacanya. Aku merasakan Mas Andri memeluk pundakku dan mengusap bahuku memberiku kekuatan. Kututup map itu kemudian beralih membuka map yang satunya. Netraku seketika berembun membaca berkas selanjutnya pada map itu, surat keterangan pemakaman atas nama Amir Mulyadi kakak pertamaku. Yang dilengkapi dengan surat keterangan dari rumah sakit bahwa penyebab meninggalnya karena overdosis. Ya Allah, tak sanggup lagi kutahan air mataku. Niat untuk bertemu kembali dengan kedua kakak ku membawaku pada kenyataan pahit seperti ini. Kakak pertamaku sudah meninggal 7 tahun lalu dan kakak keduaku sedang menjalani hukuman penjara karena kasus pembunuhan. Cobaan apa lagi ini ya Robb, sesungguhnya hanya kepada-Mu aku bersandar. Aku menagis didada Mas Andri, dia membelaiku lembut memberi kekuatan.

***

"Masih pusing dik?" tanya Mas Andri ketika kami sudah di kamar. Aku tadi memang meminta untuk mampir ke apotek membeli obat sakit kepala sepulang dari rumah bu Lina. Kepalaku terasa berat menghadapi beberapa kejadian beruntun hari ini.

"Sudah agak mendingan, istirahatlah, Mas. Aku mau ke kamar Nanda dulu, seharian ini aku tidak memberinya perhatian karena fokus ke pemulihan Aldy," kataku. Aku berjalan keluar kamar tanpa menunggu jawaban Mas Andri.

Saat kembali kekamar, kulihat mas Andri belum tidur dan masih memainkan gawainya sambil tersenyum. Sepertinya dia lagi asyik chatting dengan seseorang hingga tak menyadari kehadiranku. Kusibak bed cover disebelahnya kemudian tidur memunggunginya. Tiba-tiba tangan kekarnya memeluk pinggangku dari belakang. Ahhh, aku kembali teringat kejadian tadi siang di restoran. Ingin rasanya kutepis tangannya. Namun disisi lain hatiku merasa sangat nyaman dalam pelukannya. Aku sudah melalui hari yang berat hari ini dan aku benar-benar perlu tempat untuk bersandar. Inilah yang membuatku terdiam dan menikmati dekapan mas Andri.

"Dik, tadi sore katanya ada yang mau dibicarakan dengan mas? Apa yang ingin adik bicarakan?" tanyanya lembut di telingaku. Aku bergidik merasakan hembusan nafasnya yang mengenai telinga dan leherku. Kuubah posisiku menghadapnya, kamipun bertatapan.

"Iya, Mas, Ada hal yang ingin kutanyakan padamu. Tapi sepertinya tidak malam ini, aku terlalu lelah dan masih syok dengan berita tentang kakak kandungku. Taukah kamu Mas, mereka seperti itu karena perpisahan orang tua mereka yaitu ayahku dan ibu mereka. Aku pernah membaca sepenggal diary ibu yang kutemukan di gudang rumah ibu. Sejak ayah menikah dengan ibu, kedua kakakku dan ibunya kemudian menjauh dan tidak mau berhubungan lagi dengan ayah. Bahkan Kak Amir dan Kak Rizal kemudian sepertinya sangat membenci ayah, ibu dan aku. Itulah mengapa diwaktu kecil mereka tidak pernah mengunjungi kami, cerita tentang mereka berdua hanya kudengar dari mulut ayah. Ayah sangat menyayangi dan membanggakan mereka, ayah menceritakan semua tentang mereka padaku." aku bercerita panjang sambil menahan rasa sesak di dadaku mengingat masa kecil dan ayahku. Mas Andri mendengarkanku dengan seksama. 

Matanya menatap tajam kepadaku dan tangannya mengusap-usap kepalaku.

"Mas, aku tidak mengerti kenapa Kak Amir dan Kak Rizal membenciku. Aku memang lahir dari pernikahan kedua ayah, itu yang membuat mereka membenciku dan ibu. Mereka menganggap kami merebut kasih sayang ayah." Aku menyeka air mataku.

"Sudahlah, Dik, itu semua sudah takdir dari Allah. Kita manusia hanya perlu pasrah dan menerima apa yang sudah digariskan oleh-Nya," katanya. Dia memelukku, membenamkan kepalaku di dadanya.

"Semoga rumah tangga kita dan keturunan kita tidak mengalami hal seperti itu ya, Mas." Aku mendongakkan kepalaku menatap matanya. Lelaki itu diam tidak menjawab. Dia mengeratkan pelukannya padaku.

"Istirahatlah sayang, aku mencintaimu," sahutnya lirih kemudian mengecup bibirku sekilas.

(Bersambung)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status