Share

Bab 5

Author: Evie Yuzuma
last update Last Updated: 2023-04-25 13:58:01

Dua hari setelah kepergian Mas Yasa, kondisi ibu membaik. Kehadiran Alika memang benar-benar obat yang mujarab untuknya. Meskipun ada cucu lain dari Mbak Miranda, tapi Ibu selalu memperlakukan Alika istimewa.

Ya, meski bukan memanjakannya dengan kemewahan tapi itulah yang aku rasakan. Alika bagi ibu seperti segalanya.

Mbak Miranda memiliki dua anak laki-laki. Mungkin karena itulah, Alika jadi cucu perempuan satu-satunya. Jafran bahkan kadang mengeluh pada Mbak Miranda katanya kasih sayang Nenek berat sebelah. Anak bungsu Mbak Miranda itu meskipun lelaki dia adalah seorang pengadu. Padahal usianya baru juga empat tahun.

Sementara anak pertamanya sudah duduk di sekolah dasar kelas dua. Agis nama putra pertama Mbak Miranda.

“Mel, kapan kamu bisa nyetriakin baju, Mbak? Itu di rumah udah numpuk!” ujarnya sambil menurunkan Jafran dari gendongannya. Anak lelaki itu langsung berlari bermain ke rumah tetangga.

“Iya, Mbak! Entar aku setrikain! Ini lagi mau nidurin dulu Alika biar Ibu gak capek jagainnya nanti!” ujarku sambil membuatkan ayunan untuk Alika tidur.

Rumah kami memang sudah berlantai keramik seperti para tetangga yang lain. Hasil jual warisan ibu katanya. Namun bagian atasnya belum dipasang plafon hingga sekarang. Karenanya mudah bagiku untuk membuat ayunan dari tambang yang diikat langsung dengan bambu yang ada di atas. Mas Yasa yang membuatkannya untukku waktu itu.

“Nanti langsung saja ke rumah, ya! Ada Agis di rumah … Mbak lagi mau arisan dulu sebentar! Siapa tau dapet nih sekarang, bisa buat jalan-jalan, deh!” celotehnya.

Sudah sejak lama aku memang membantu menyetrika di rumah Mbak Miranda. Meskipun sikapnya kerap kali menyebalkan, tetapi kami tumbuh sejak kecil. Jadi sudah terbiasa bertengkar terus berbaikan kembali. Lagipula, kalau aku menyetrika di rumahnya lumayan bisa buat tambah-tambah uang harian. Ya, nominal tiga puluh ribu bagi sebagian orang memang kecil. Namun bagiku nilai segitu sangat berarti. Bisa ditabung buat beli baju Alika nanti.

Alika kuayunkan. Setelah ia terlelap, gegas aku memanggil Ibu yang sedang membuat sapu lidi di samping rumah. Kebetulan di depan rumah kami ada pohon kelapa. Jadi kadang ada dua tiga ikat sapu lidi yang ibu jual juga. Maklum kehidupan Bapak dan Ibu dari dulu berasal dari pertanian. Untuk hidup kami bersumber dari padi hasil sawah milik Bapak yang dikelola oleh adiknya. Jadi kami hanya terima hasil setiap kali usai panen. Cukup untuk makan setahun.

“Bu, titip Alika, ya! Aku mau nyetrika dulu ke rumah Mbak Miranda!” tukasku.

“Iya,” jawab Ibu singkat.

Aku bergegas ke tempat Mbak Miranda. Kuketuk pintu yang tidak dikunci. Ada Agis sedang duduk menonton televisi. Aku langsung masuk ke kamar paling belakang. Di sana biasanya tumpukan pakaian kering sudah menggunung.

Betul saja. Setidaknya ini akan menghabiskan waktu sekitar dua jam baru bisa selesai. Segera kusiapkan alas setrika dengan tumpukan kain. Kuisi pewangi dan bergegas mengerjakannya.

Sambil menyetrika, pikiranku berlarian entah ke mana. Apakah hidupku benar-benar akan berubah nanti? Kuharap Mas Yasa akan segera kembali.

Baru saja aku menyelesaikan beberapa helai pakaian. Derit pintu terdengar nyaring. Kukira Agis atau Mbak Miranda yang pulang. Namun salah, ternyata kakak iparku ada di rumah.

“Eh Mas Hasim ada di rumah? Aku kira masuk kerja!” Aku berbasa-basi. Jarang berbicara sebetulnya aku dengannya.

“Lagi ambil cuti, ada perlu!” katanya sambil mematung di ambang pintu.

“Oh, iya, Mas!” Aku kembali melanjutkan menyetrika.

“Mel, kamu bisa kerikin, gak?” tanyanya tanpa kusangka.

“Bisa, Mas! Siapa yang masuk angin, Mas? Agis?” Aku menoleh padanya, kukira Agis masuk angin. Dia menatapku dengan tatapan tak biasa.

“Mas masuk angin, tadi minta kerikin sama Mbakmu, gak mau katanya buru-buru! Hmmm ….” Mas Hasim terdiam sebentar. Aku menyimpan setrikaan itu dan mengambil ponsel jadul dari dasterku. Hendaklah menelpon Mbak Miranda karena suaminya masuk angin.

“Oh, bentar aku teleponin Mbak Miranda kalau gitu! Eh, tapi aku lupa kalau belum isi pulsa, Mas!” ucapku sambil nyengir kuda. Ketika kupijit nomor tidak terhubung padanya. Kumasukan kembali gawai jadul pada saku dasterku.

Dia tidak menjawab. Masih mematung di dekat pintu.

“Gak usah telepon Mbakmu, kamu saja yang kerikin Mas! Bentar doang paling! Udah gak enak banget ini rasanya!” ucapnya sambil mendekat.

“Maaf, Mas! Gak enak kalau aku yang ngerikin … takut jadi fitnah! Aku pulang dulu saja, ya! Aku panggilin Ibu!” ucapku sambil mematikan setrikaan. Risih rasanya berduaan di kamar dengan lelaki lain selain suamiku. Terlebih dia itu kakak iparku sendiri.

Aku baru hendak berdiri ketika Mas Hasim menutup pintu dan menguncinya. Perasaanku sudah semakin tidak karuan. Kutatap wajahnya yang kini terasa menyeramkan. Memandang dengan tatapan mengharap padaku.

“Mas, kok dikunci pintunya?” Aku berdiri sambil mundur beberapa langkah.

Ada seringai menyeramkan dari bibirnya.

“Mbak kamu lagi dateng bulan! Kayaknya kalau kamu gak mau ngerikin, kamu bisa layanin Mas saja! Sudah gak tahan soalnya!” ucapannya sontak membuatku gemetar.

“Astagfirulloh! Istighfar, Mas! Aku ini adik iparmu!” ucapku sambil menggeleng-geleng kepala. Sudut netraku memutar mencari benda untuk melawan.

“Sebentar doang, Mel! Lagipula kamu baru punya anak satu, pasti rasanya beda!” ucapannya semakin menjijikan. Dia melangkah mendekat.

“Mas, jangan macam-macam atau aku akan teriak?!” ancamku sambil masih memikirkan cara untuk menghindar.

“Kamu jangan sok jual mahal gitu, Mel! Mas bisa kasih kamu uang kalau kamu tutup mulut! Lagian ‘kan kamu pasti kesepian juga! Yasa bukannya sudah diusir Bapak, ya?” seringainya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 37

    Bapak dari Mela sudah kembali dibawa pulang, keadaannya masih belum ada perubahan. Penyakit stroke bukan hal yang bisa cepat diobati. Butuh waktu, butuh biaya dan butuh kesabaran. Utang Miranda pada Mela dan Yasa sudah dilunasi, kini dia membeli satu buah rumah kecil dari bambu untuknya tinggal. Tidak jauh dari rumah orang tuanya hingga bisa bolak balik juga menjenguk kondisi Bapaknya bergantian dengan Mela.Kini, Miranda mau tidak mau harus berpikir untuk menapkahi kehidupannya karena Hasim masih mendekam dalam penjara. Jika dulu dia selalu mencibir Mela dan merendahkannya karena suaminya tidak memiliki pekerjaan tetap dan status Mela harus kerja keras menjual sayuran, kini berbalik. Miranda kini berjualan sayur keliling dengan mengambil sayur-mayur dari kebun Mela, nanti setiap mengambil yang baru dia akan setor uang penjualan tadi pagi.Seminggu dua kali, Yasa mengantar mertuanya ke rumah sakit untuk berobat, bagaimanapun ini sudah jadi tanggung jawab dia untuk berbakti, seburuk

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 36

    Lelaki sepuh itu segera dibopong oleh Yasa---menantu yang selama ini dinistakannya. Menantu yang selalu dihina karena tidak memiliki pekerjaan tetap, menantu yang bahkan diusir dan tidak dianggap.Ada tetesan bening mengalir di sudut netra lelaki tua itu. Dia mencoba bicara tetapi tidak jelas.Di dalam mobil, Mela memangku kepala sang Bapak sambil tak henti berdoa. Dipijatnya lembut tangan keriput yang tiba-tiba menjadi kaku itu. “Bapak, sabar, ya … sebentar lagi kita akan tiba di rumah sakit,” lirih Mela sambil menghapus air mata. Anak mana yang tega melihat orang tuanya terkapar seperti itu. Bu Tati---sang istri duduk dan memijat bagian kaki. Beruntung Alika mau duduk sendiri di kursi depan. Dia sesekali nemplok pada sandaran kursi dan melihat semua yang terjadi di belakang.“Kakek kok bobok, Mah?” tanyanya sambil menatap Mela. “Iya, Sayang … Kakek lagi sakit,” jawab Mela singkat. “Nenek sama Mama kenapa nangis?” tanya Alika lagi.“Mama lagi berdoa biar Allah sembuhkan kakek,” j

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 35

    “Mbak, bolehkah aku berada di dekat suamimu sebentar, saja!” batin Yesa merangkai kata. Namun gegas dia menepisnya. Tidak mungkin berkata demikian karena pasti akan menyakiti Mela.“Aku tidak akan merebut Mas Abi, Mbak! Aku hanya ingin tinggal satu atap dengan dia.” Lagi-lagi batinnya menepisnya. Meskipun perasaannya sudah terlanjur tumbuh tetapi logikanya masih berjalan. Yesa masih menggunakan rasa empatinya. Jika dia berada di posisi Mela, pasti akan sakit mendengarnya. Namun apakah jika Mela berada di posisinya akankah berpikir sama juga? “Kami pulang dulu, Bro!” Suara Ilham membuyarkan pikiran Yesa yang sedang kacau tak karuan. “Ya sudah hati-hati, salam buat keluarga di Surabaya,” ucap Yasa. “Oke, maen lah sono! Nyokap Lu pasti seneng jika bisa melihat cucu cantiknya,” ucap Ilham sambil mencubit gemas pipi Alika. “Iya, nanti pasti mereka akan gue ajak ke Surabaya, kok!” ucap Yasa datar. Bahkan dia pun belum tahu kapan. “Pulang dulu, ya, Mbak! Makasih sudah menampung adikku y

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 34

    “Aku harus sudah pulang, semuanya sudah selesai di sini … padahal aku enggan, ingin tinggal di sini lebih lama lagi!” gumam Yesa sambil membereskan pakaiannya. “Jika di Surabaya nanti, aku hanya bisa menatapnya lewat layar kaca, tetapi jika di sini setidaknya aku bisa sesekali bercengkrama dengannya meski aku hanya memposisikan diri sebagai adiknya agar mereka tidak curiga.Ah, andai waktu bisa berputar, dulu aku ikut saja dengannya merantau! Semenjak hari itu, bahkan aku belum pernah lagi merasakan jatuh cinta pada lelaki lain! Trauma itu menyisakkan sesuatu yang janggal dan ketika bertemu dengannya kembali hati ini terasa aman dan damai!” ucap Yesa sambil menatap pantulan wajahnya pada cermin. “Ye, kita makan siang dulu!” Suara Mela membuatnya menoleh. Perempuan itu tengah berdiri di depan kamarnya. “Iya, Mbak!” jawab Yesa datar. Sementara itu, Mela sudah kembali menghilang. Gadis itu masih meneruskan mengemasi pakaian. “Mas, Abi … maaf jika di hati ini terselip sesuatu yang sa

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 33

    Yasa sudah pulang dari acara manggungnya. Kini dia dan Ilham tengah mengusut tentang beberapa foto yang tersebar pada Instagram Yesa. Ternyata benar, jejaring sosial media Yesa dihacker orang yang tidak bertanggung jawab.Sementara itu, Yesa dan Mela tengah bersiap karena sebentar lagi mereka akan melaksanakan konferensi pers. Meskipun hanya lewat media youtube akan tetapi mereka tetap harus tampil maksimal. “Mbak Mela, aku ajarin cara make up saja, ya! Produk perawatan kulitnya dipakai tiap hari ‘kan?” selidik Yesa yang sudah rapi dengan gaya casualnya.“Dipake, Ye!” jawab Mela singkat. “Mbak Mela ke salon, gak? Kayaknya ini kulit wajahnya pada kering lagi? Emang gak maskeran?” Yesa memegang pipi Mela yang hendak dia polesi make up. “Mana sempat Mbak ke salon, Ye! Kan kalian pergi, gak ada yang jagain Alika!” ucap Mela sejujurnya. “Hadeuh dasar ibu-ibu ngeyelan, suruh rawat diri saja males kayak gitu! Nih, Mbak … Mas Abi itu setiap hari banyak bertemu dengan wanita-wanita cantik,

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 32

    “Kita lihat siapa yang akan menyesal, Mbak?” gumamku dalam dada. Aku bergegas ke luar meninggalkannya yang berada di dapur. Toh niatku ke sini untuk berkunjung pada Ibu, bukan untuk bertengkar dengan Mbak Miranda. Sementara itu, dari dalam rumah tampak Mbak Miranda membawa sayuran yang kubawa untuk ibu dan dua ekor ikan mentah dalam plastiknya. Rupanya tidak ada yang matang, maka yang mentah pun jadi. Setidaknya, kini dia mau membawa bahan masakan mentah meskipun sama-sama mengeruk dari sini juga. Tanpa basa-basi, apalagi ucapan terima kasih atas bahan makanan yang kubawa tadi. Dia tergesa berlalu meninggalkan kami. Bu Sari dan Bu Wati saling melempar pandang lalu melirik ke arahku.“Sabar, ya, Mbak Mela … sudah suaminya seperti itu, saudara satu-satunya seperti ini,” ujar Bu Sari. “Iya, ditambah Bapak Mbak Mela juga sejak dulu sudah seperti itu,” tambah Bu Wati.“Mungkin kalau Bapaknya Mbak Mela, sih karena udah tua makanya jadi pemarah. Mbak Mela sabarin saja, ya!” titah Bu Sari

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status