Share

Bab 4

Author: Evie Yuzuma
last update Huling Na-update: 2023-04-25 13:57:33

“Kamu yakin mau ikut? Mas akan coba pulang dulu ke Surabaya, Dek! Mungkin benar, kalau nunggu dari konten ini menghasilkan akan terlalu lama! Mas mau pinjam uang modal pada keluarga, Mas!

Kamu beneran mau ikut, tapi harus siap menghadapi sikap keluarga Mas yang memang belum merestui pernikahan kita, Dek! Mas cuma takut kamu gak kuat!” lirihnya.

Aku terdiam. Dilemma datang. Sudah dua tahun menikah, bahkan aku belum mengenal seperti apa rupa mertuaku dan saudara-saudara Mas Yasa. Pilihan yang Mas Yasa ambil telah benar-benar membuatnya menjadi orang terbuang juga dari keluarganya.

“Aku akan coba, Mas!” lirihku.

Dia tersenyum, menatap dengan sorot netra sendu. Hatinya pasti sangat luka dengan semua ucapan Bapak.

“Pegang dulu Alika, Mas!” Aku memberikan putri kami yang sejak tadi ketakutan dalam dekapanku.

“Ika, Cayang!” ucap Mas Yasa sambil menghujani wajah mungil buah hati kami dengan ciuman.

Aku segera membereskan pakaianku. Tekadku sudah bulat, mau ikut ke mana pun Mas Yasa pergi. Lagi pula, sikap Bapak sudah sangat keterlaluan. Di mana-mana rasanya tak ada orang tua yang ingin menjodohkan anaknya yang bersuami pada pria lain. Bapak sudah benar-benar kelewatan dan egois.

Tas gendong usangku sudah penuh dengan pakaian. Yang kubawa kebanyakan pakaian Alika. Punyaku hanya beberapa potong saja.

Ada rasa pedih menatap kamar yang sudah dua puluh emat tahun kutempati ini, kini harus kutinggalkan. Meski rumah ini sering membuatku tidak nyaman, tapi kamar ini menyimpan semua kisah dan kenang.

“Sudah, Dek?” tanya Mas Yasa padaku yang diam mematung mengedarkan pandang ke seluruh penjuru ruangan.

Aku menoleh padanya. Sejenak beradu tatap dengan netra teduhnya. Lalu memaksakan diri untuk tersenyum sebagai jawaban kalau aku baik-baik saja.

“Kalau kamu belum yakin, gak usah pergi! Mas gak lama, secepatnya akan menjemputmu kembali!” ujarnya lembut.

“Aku mau ikut kemanapun kamu pergi, Mas!” ucapku.

“Ya sudah, ayo kita pamitan dulu sama Bapak dan Ibu!” ajak Mas Yasa.

Kami berdua melangkah keluar dari kamar. Berjalan menuju ke depan di mana tadi Bapak mencak-mencak pada kami.

“Loh, kalian bawa tas besar mau ke mana?” Wanita penuh cinta yang kukasihi menatap heran.

“Kami mau pamit, Bu!” ujar Mas Yasa sambil tersenyum. Lalu diraihnya punggung tangan ibu dan diciumnya. Aku mengikutinya.

“Pamit ke mana?” Ibu menatap kami. Tatapannya mulai memancarkan kecemasan.

“Bapak suruh mereka pergi, Bu! Buat apa tinggal di sini kalau cuma jadi benalu! Sudah besar bukannya nyenengin orang tua, malah nyusahin terus! Bikin malu!” ujar Bapak ketus.

Nyesss!

Kembali ada benda tak kasat mata menghujam dadaku. Aku menghela napas panjang.

“Bapak! Mereka itu anak mantu kita, Pak! Bapak gak baik ngomong seperti itu! Mereka pergi? Pergi ke mana? Mereka belum punya rumah, Pak! Lagi pula tiap hari juga Mela jualan sayur, gak bebanin juga sama kita! Bapak kenapa, sih?!” Kali ini Ibu menatap tajam pada Bapak.

“Ibu itu terus saja manjain si Mela, jadinya ngelunjak! Makin seneng aja kalau Ibu belain terus kayak gini! Biar aja mereka pergi! Paling dua hari juga balik lagi karena gak dapat makan!” ejek Bapak semakin menyesakkan.

“Enggak, Mela gak boleh pergi! Ibu gak mau anak cucu ibu pergi! Kasihan Alika, Pak! Istighfar!” pekik Ibu lagi dengan napas yang turun naik mungkin menahan kesal.

“Sudah, Bu! Gak apa! Mela pergi sama Mas Yasa, kok! Mela mau ikut ke Surabaya! Kami akan baik-baik saja! Nanti Mela akan tengokin Ibu!” ucapku menenangkan.

“Hah? Apa? Surabaya?!” tanya Ibu dengan air mata sudah berlinang. Aku mengangguk pelan.

“Enggak, Mel! Ibu mohon jangan pergi! Ibu bisa mati karena kangen sama Alika!” ujarnya dengan tangan gemetar meraih tanganku.

“Biarkan, Bu! Biar mereka pergi! Biar si Mela tahu kalau hidup itu butuh duit, bukan hanya mau makan cinta!” ucap Bapak menimpali sambil menyulut batang rokok. Setiap ucapannya makin tajam saja.

“Bapak istighfar! Mela itu anak kandung Bapak juga! Alika---cucuku gak boleh pergi!” ucap Ibu dengan suara semakin parau karena tersela isak.

“Maafkan kami, Bu! Bapak sudah tidak berkenan kami tinggal di sini! Kami pergi! Assalamu’alaikum!” ucap Mas Yasa sambil melangkah. Aku mengayun langkah juga mengikutinya.

Bugh!

Suara benda terjatuh. Aku menoleh dan tampak Ibu terkulai lemas tak sadarkan diri.

“Ibuuu!” Aku memutar tubuh cepat. Melepaskan tas usangku dan memburunya. Wanita yang sangat kusayangi sepenuh hati itu tidak boleh kenapa-kenapa.

“Ibu sadar, Bu! Jangan buat Mela makin sedih!” Aku menggenggam jemari tangannya yang terasa dingin.

Mas Yasa mendekat. Lalu memeriksa denyut nadi Ibu. Sementara aku terisak tanpa henti.

“Ibu hanya pingsan! Mas panggilkan dokter, ya, Dek!” bisiknya sambil mengusap lembut punggungku.

Aku mengangguk sambil terus memeluk tubuh ibu yang terkulai lemas dipangkuanku.

“Kamu gendong Alika dulu, biar Mas bawa Ibu ke dalam! Setelah itu Mas panggil dokter klinik ke sini! Sebaiknya kamu gak usah ikut pergi! Khawatir kondisi kesehatan Ibu malah memburuk karena kehilangan!” ucap Mas Yasa.

Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya isak tangis yang ada kini. Kupeluk Alika dan kuciumi pucuk kepalanya.

Mas Yasa membawa Ibu ke ruang tengah. Sementara Bapak terlihat masih sinis saja pada Mas Yasa. Bapak memang keterlaluan sekali.

Setelah itu, Mas Yasa mendekatkan bibirnya ke telingaku.

“Mas, pamit ya, Dek! Tunggu Mas ke sini jemput kamu sama Alika! Semoga gak lama! Mas hanya butuh kamu untuk menunggu dan setia!

Untuk biaya dokter perawatan Ibu, biar Mas yang bayar nanti! Mas pergi, jaga Alika baik-baik! Assalamu’alaikum!” ucapnya. Satu kecupan mendarat di keningku. Begitupun wajah mungil Alika diciuminya berulang kali.

“Wa’alaikumsalam! Mas …,” lirihku. Sesak tapi tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Sekarang selain pasrah pada takdir kehidupan aku tak bisa berbuat apa-apa. Seolah berada di dua tepian curam. Aku sayang Ibu, sangat menyayanginya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 37

    Bapak dari Mela sudah kembali dibawa pulang, keadaannya masih belum ada perubahan. Penyakit stroke bukan hal yang bisa cepat diobati. Butuh waktu, butuh biaya dan butuh kesabaran. Utang Miranda pada Mela dan Yasa sudah dilunasi, kini dia membeli satu buah rumah kecil dari bambu untuknya tinggal. Tidak jauh dari rumah orang tuanya hingga bisa bolak balik juga menjenguk kondisi Bapaknya bergantian dengan Mela.Kini, Miranda mau tidak mau harus berpikir untuk menapkahi kehidupannya karena Hasim masih mendekam dalam penjara. Jika dulu dia selalu mencibir Mela dan merendahkannya karena suaminya tidak memiliki pekerjaan tetap dan status Mela harus kerja keras menjual sayuran, kini berbalik. Miranda kini berjualan sayur keliling dengan mengambil sayur-mayur dari kebun Mela, nanti setiap mengambil yang baru dia akan setor uang penjualan tadi pagi.Seminggu dua kali, Yasa mengantar mertuanya ke rumah sakit untuk berobat, bagaimanapun ini sudah jadi tanggung jawab dia untuk berbakti, seburuk

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 36

    Lelaki sepuh itu segera dibopong oleh Yasa---menantu yang selama ini dinistakannya. Menantu yang selalu dihina karena tidak memiliki pekerjaan tetap, menantu yang bahkan diusir dan tidak dianggap.Ada tetesan bening mengalir di sudut netra lelaki tua itu. Dia mencoba bicara tetapi tidak jelas.Di dalam mobil, Mela memangku kepala sang Bapak sambil tak henti berdoa. Dipijatnya lembut tangan keriput yang tiba-tiba menjadi kaku itu. “Bapak, sabar, ya … sebentar lagi kita akan tiba di rumah sakit,” lirih Mela sambil menghapus air mata. Anak mana yang tega melihat orang tuanya terkapar seperti itu. Bu Tati---sang istri duduk dan memijat bagian kaki. Beruntung Alika mau duduk sendiri di kursi depan. Dia sesekali nemplok pada sandaran kursi dan melihat semua yang terjadi di belakang.“Kakek kok bobok, Mah?” tanyanya sambil menatap Mela. “Iya, Sayang … Kakek lagi sakit,” jawab Mela singkat. “Nenek sama Mama kenapa nangis?” tanya Alika lagi.“Mama lagi berdoa biar Allah sembuhkan kakek,” j

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 35

    “Mbak, bolehkah aku berada di dekat suamimu sebentar, saja!” batin Yesa merangkai kata. Namun gegas dia menepisnya. Tidak mungkin berkata demikian karena pasti akan menyakiti Mela.“Aku tidak akan merebut Mas Abi, Mbak! Aku hanya ingin tinggal satu atap dengan dia.” Lagi-lagi batinnya menepisnya. Meskipun perasaannya sudah terlanjur tumbuh tetapi logikanya masih berjalan. Yesa masih menggunakan rasa empatinya. Jika dia berada di posisi Mela, pasti akan sakit mendengarnya. Namun apakah jika Mela berada di posisinya akankah berpikir sama juga? “Kami pulang dulu, Bro!” Suara Ilham membuyarkan pikiran Yesa yang sedang kacau tak karuan. “Ya sudah hati-hati, salam buat keluarga di Surabaya,” ucap Yasa. “Oke, maen lah sono! Nyokap Lu pasti seneng jika bisa melihat cucu cantiknya,” ucap Ilham sambil mencubit gemas pipi Alika. “Iya, nanti pasti mereka akan gue ajak ke Surabaya, kok!” ucap Yasa datar. Bahkan dia pun belum tahu kapan. “Pulang dulu, ya, Mbak! Makasih sudah menampung adikku y

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 34

    “Aku harus sudah pulang, semuanya sudah selesai di sini … padahal aku enggan, ingin tinggal di sini lebih lama lagi!” gumam Yesa sambil membereskan pakaiannya. “Jika di Surabaya nanti, aku hanya bisa menatapnya lewat layar kaca, tetapi jika di sini setidaknya aku bisa sesekali bercengkrama dengannya meski aku hanya memposisikan diri sebagai adiknya agar mereka tidak curiga.Ah, andai waktu bisa berputar, dulu aku ikut saja dengannya merantau! Semenjak hari itu, bahkan aku belum pernah lagi merasakan jatuh cinta pada lelaki lain! Trauma itu menyisakkan sesuatu yang janggal dan ketika bertemu dengannya kembali hati ini terasa aman dan damai!” ucap Yesa sambil menatap pantulan wajahnya pada cermin. “Ye, kita makan siang dulu!” Suara Mela membuatnya menoleh. Perempuan itu tengah berdiri di depan kamarnya. “Iya, Mbak!” jawab Yesa datar. Sementara itu, Mela sudah kembali menghilang. Gadis itu masih meneruskan mengemasi pakaian. “Mas, Abi … maaf jika di hati ini terselip sesuatu yang sa

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 33

    Yasa sudah pulang dari acara manggungnya. Kini dia dan Ilham tengah mengusut tentang beberapa foto yang tersebar pada Instagram Yesa. Ternyata benar, jejaring sosial media Yesa dihacker orang yang tidak bertanggung jawab.Sementara itu, Yesa dan Mela tengah bersiap karena sebentar lagi mereka akan melaksanakan konferensi pers. Meskipun hanya lewat media youtube akan tetapi mereka tetap harus tampil maksimal. “Mbak Mela, aku ajarin cara make up saja, ya! Produk perawatan kulitnya dipakai tiap hari ‘kan?” selidik Yesa yang sudah rapi dengan gaya casualnya.“Dipake, Ye!” jawab Mela singkat. “Mbak Mela ke salon, gak? Kayaknya ini kulit wajahnya pada kering lagi? Emang gak maskeran?” Yesa memegang pipi Mela yang hendak dia polesi make up. “Mana sempat Mbak ke salon, Ye! Kan kalian pergi, gak ada yang jagain Alika!” ucap Mela sejujurnya. “Hadeuh dasar ibu-ibu ngeyelan, suruh rawat diri saja males kayak gitu! Nih, Mbak … Mas Abi itu setiap hari banyak bertemu dengan wanita-wanita cantik,

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 32

    “Kita lihat siapa yang akan menyesal, Mbak?” gumamku dalam dada. Aku bergegas ke luar meninggalkannya yang berada di dapur. Toh niatku ke sini untuk berkunjung pada Ibu, bukan untuk bertengkar dengan Mbak Miranda. Sementara itu, dari dalam rumah tampak Mbak Miranda membawa sayuran yang kubawa untuk ibu dan dua ekor ikan mentah dalam plastiknya. Rupanya tidak ada yang matang, maka yang mentah pun jadi. Setidaknya, kini dia mau membawa bahan masakan mentah meskipun sama-sama mengeruk dari sini juga. Tanpa basa-basi, apalagi ucapan terima kasih atas bahan makanan yang kubawa tadi. Dia tergesa berlalu meninggalkan kami. Bu Sari dan Bu Wati saling melempar pandang lalu melirik ke arahku.“Sabar, ya, Mbak Mela … sudah suaminya seperti itu, saudara satu-satunya seperti ini,” ujar Bu Sari. “Iya, ditambah Bapak Mbak Mela juga sejak dulu sudah seperti itu,” tambah Bu Wati.“Mungkin kalau Bapaknya Mbak Mela, sih karena udah tua makanya jadi pemarah. Mbak Mela sabarin saja, ya!” titah Bu Sari

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status