“Bagaimana keadaanmu, Devan? Kau sudah membaik?” tanya ibunda dari Devan, Nyonya Sella.Devan terus menatap ke arah jendela dengan tatapan kosong, tanpa menghiraukan pertanyaan sang ibu yang mencemaskannya.“Ayah, bagaimana ini? Sepertinya kondisi Devan masih sama saja,” ujar Nyonya Sella pada sang suami dengan manik mata mengembun dan menatap pilu pada putranya yang malang.“Kalau begitu, tidak ada pilihan lain. Kita kirim saja Devan kembali ke Jerman!” ungkap Tuan Wildan.“Untuk apa repot-repot mengirimku ke sana lagi? Kalian malu membuat putra yang gila seperti aku?” sinis Devan tanpa menoleh sedikitpun ke arah kedua orang tuanya.“Devan baru saja pulang beberapa bulan yang lalu. Ayah ingin mengirimnya kembali ke sana?” rengek Nyonya Sella.“Tidak ada pilihan lain! Devan lebih baik menjalani pengobatan dengan psikolog di sana daripada—““Daripada apa? Daripada aku berada di sini dan membuat malu Ayah?” potong Devan dengan sindiran ketus.“Jaga bicaramu!” bentak Tuan Wildan.“Katakan
Berlin dan Devan duduk dengan canggung berdua di dalam ruangan Devan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Vernon sudah pergi menghilang entah kemana, meninggalkan kedua orang itu agar bisa saling berbincang dengan leluasa tanpa gangguan.“Maaf!” ucap Devan tiba-tiba memecah keheningan.“Kau berharap aku akan mengucapkan hal itu?” sinis Devan.“Kau masih ingin menertawaiku?” sambungnya lagi.“Aku tidak berpikir sejauh itu. Kenapa kau terus menuduh yang tidak-tidak sejak tadi?” sungut Berlin.Devan menatap nanar ke arah Berlin dengan wajah muram. “Apa aku terlihat payah? Kau pasti menganggapku gila, kan?” tanya Devan dengan senyum kecut.“Aku tidak beranggapan begitu. Tuan memang sakit, kan? Aku bisa memahaminya, tidak perlu malu dan merasa kecil hati.”“Semua orang memperlakukanku seperti pasien rumah sakit jiwa,” ungkap Devan dengan ekspresi murung.“Tuan hanya sakit. Tidak perlu berpikir berlebihan,” hibur Ber
"Apa yang sudah kau lakukan?" bisik Berlin sembari berdecak kesal di tengah kepungan preman berbadan kekar dan bertampang menyeramkan yang mengelilingi dirinya serta Devan."Tidak perlu takut! Ada aku di sini!" tukas Devan seraya menggenggam erat tangan mungil Berlin.Pria itu celingukan di sekitar lorong untuk mencari Vernon, namun sayangnya pria itu tak melihat sosok sang asisten di sekitar lorong tempatnya terkepung."Kemana perginya babu pemalas itu?" gerutu Devan dalam hati."Pelajaran apa yang akan kau berikan pada kami? Kau pikir badan kurusmu itu mampu menginjak kakiku?" cibir pria paruh baya itu pada Devan.Devan semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Berlin tanpa mengucapkan sepatah katapun. Pria itu mengedarkan pandangan ke sekeliling lorong, mencoba mencari celah untuk melarikan diri dari kepungan puluhan preman itu."SATPAM! ADA PREMAN YANG INGIN MERAMPOK!" pekik Devan sembari menunjuk ke sembarang arah untuk mengalihkan perhatian para preman itu.Begitu seluruh pri
Berlin terus menatap ke arah Devan dengan pipi merah merona. Gadis itu tak dapat memalingkan wajah sedikitpun dari Devan dan memandangi wajah tampan pria galak itu tanpa berkedip."Aku tahu aku tampan, tapi kau tidak perlu melihatku sampai seperti itu!" sindir Devan."A-apa? Aku tidak melihat! Aku ... fokus melihat tahi lalat!" kilah Berlin gelagapan sembari memalingkan wajah dari Devan."T-tuan tidak lelah? Aku bisa berjalan sendiri," ujar Berlin."Kakimu berdarah. Kalau berjalan pincang seperti siput, sampai kapan kita akan tiba di rumah sakit?" omel Devan."B-bagaimana kalau preman tadi masih di sana? Apa tidak sebaiknya kita tunggu dulu sebentar di sini sambil menunggu para preman itu meninggalkan rumah sakit?" usul Berlin."Kau masih ingin berada di sini? Dengan kaki yang berdarah? Siapa yang tadi menangis karena kakinya berdarah?" ejek Devan."A-aku hanya terkejut saja melihat darah di kakiku!" kilah Berlin.Devan mengamati Berlin lekat-lekat dan mulai menyadari wajah Berlin yan
Tengah malam, Berlin menggeliat di atas ranjangnya sembari berguling kesana-kemari di kasur single bed tempatnya beristirahat."Kok sempit sih?" racau Berlin dengan mata tertutup.Gadis itu membuka mata perlahan dan merasa ada tubuh lain yang terbaring di atas kasur kecilnya.Benar saja! Tubuh jangkung Devan ikut terlentang di sampingnya dan membuat brankar milik rumah sakit itu terasa sesak seketika."Kenapa dia ada di sini?" gerutu Berlin kesal melihat Devan memenuhi ranjang tempatnya berbaring.Devan yang merasakan pergerakan Berlin, ikut terbangun karena gadis di sampingnya yang terus menggeliat hingga mengusik tidur lelapnya."Bisakah kau diam? Apa kau tidak lelah?" protes Devan."Siapa yang seharusnya mengomel di sini?" batin Berlin jengkel."S-sempit," rengek Berlin lirih."Apanya?""Kasurnya sempit," gerutu Berlin pelan dengan wajah cemberut."Sempit apanya? Ranjangnya sangat cukup untuk kita berdua! Berhentilah mengoceh! Aku mengantuk," omel Devan sembari menarik tubuh Berlin
Berlin mengaduk-aduk makanannya dengan pandangan kosong tanpa merasa berselera.Gadis itu masih memikirkan permintaan Devan yang mengajak dirinya pergi ke Jerman."Untuk apa dia mengajakku ke Jerman? Memangnya apa hal yang bisa kulakukan untuknya?" gumam Berlin bingung bagaimana ia harus memberikan jawaban yang tepat bagi Devan untuk menolak ajakan pria itu."Apa yang harus kukatakan padanya?" rengek Berlin frustasi.Brak!Pintu kamar Berlin tiba-tiba terbuka, dan muncullah Devan dari balik pintu. Pria itu menghampiri Berlin dengan semangat untuk menagih jawaban dari sugar baby-nya itu."Berlin, bagaimana dengan tawaranku—""M-maaf! Aku harus ke toilet!" Berlin langsung berlari menuju toilet dengan panik tanpa membiarkan Devan menyelesaikan kalimatnya.Gadis itu mengunci toilet rapat-rapat dan sengaja berdiam diri di dalam sana selama mungkin untuk menghindar dari Devan."Apa yang harus kukatakan padanya? Apa sebaiknya aku bilang saja pada Devan kalau aku sudah tidak ingin menjadi sug
"Aku ingin pernikahanku dan Devan dipercepat!" ujar Sheena pada ibunya, Nyonya Firda."Untuk apa terburu-buru, Sayang? Tuan Wildan bilang, Devan akan kembali ke Jerman untuk sementara waktu. Kita tunggu saja sampai Devan kembali," tukas Nyonya Firda."Justru karena Devan akan kembali ke Jerman, aku harus menikah dengan Devan sebelum Devan kembali ke Jerman!" pinta Sheena."Devan akan berangkat dalam minggu ini, Sheena. Mana bisa kita mengatur—""Setidaknya daftarkan dulu pernikahanku dengan Devan! Aku bisa mengurus pesta pernikahan di Jerman nanti," potong Sheena.Nyonya Firda menggelengkan kepala pelan begitu mendengar permintaan putrinya yang memaksa untuk segera dinikahkan dengan Devan."Tunggu saja nanti saat waktunya sudah tiba, Sheena. Kau tidak perlu tergesa-gesa—""Bagaimana kalau Devan tidak kembali lagi? Sampai kapan aku harus menunggu? Bagaimana kalau Devan menemukan gadis lain di Jerman?" cetus Sheena mulai tak tenang setelah melihat tunangannya berpelukan dengan gadis lai
"Berlin!" Devan segera berlari menangkap Berlin, sebelum gadis itu melarikan diri dari kejarannya."Jangan harap kau bisa melarikan diri lagi!" sentak Devan sembari menarik tangan Berlin."A-aku tidak melarikan diri—"Devan langsung membungkam mulut Berlin dengan kecupan ganas untuk menghentikan ocehan gadis itu.Pria itu meraup bibir merah Berlin dengan ciuman yang menuntut dan menyesakkan nafas. Devan menyesap bibir lembut gadis itu makin dalam dan menyelami kenikmatan sesapan madu bersama Berlin di kamar tempat Berlin dirawat."J-jangan di sini!" protes Berlin sembari menatap pintu kamarnya yang tidak tertutup rapat.Bukannya mendengarkan permintaan Berlin, Devan justru semakin terbakar gairah karena sudah beberapa hari tak menjamah tubuh Berlin.Pria itu menarik pakaian Berlin dengan kasar dan tak mempedulikan banyaknya perban luka yang masih menempel di tubuh gadis itu.Suara lenguhan dan desahan pun mulai memenuhi ruangan pasien tersebut. Devan dengan santainya "menancapkan bende