"Berlin, kan?" tanya pria itu lagi.
Berlin hanya mengangguk tanpa bersuara. Gadis itu menundukkan kepala dalam-dalam dan berusaha menyembunyikan wajahnya dari Devandra.
"Ayo, masuk!" ujar pria berusia dua puluh delapan tahun itu.
Berlin nampak bingung bagaimana ia harus bersikap di depan Devan.
Tentu gadis itu tak ingin identitasnya sebagai sugar baby diketahui oleh orang lain, terutama oleh orang yang ia temui di kampus.
Devan bisa menjadi ancaman besar bagi Berlin jika pria itu sampai mengenalinya dan menyebarkan cerita yang tidak-tidak ke seluruh kampus mengenai dirinya yang menjadi sugar baby pria kaya.
"Ayo!" ajak Devan memberanikan diri menarik tangan halus Berlin untuk masuk ke dalam mobilnya.
“Orang ini tidak akan mengenaliku, kan? Penampilanku saat ini sangat berbeda dengan tampilanku saat di kampus. Tidak mungkin dia bisa mengenaliku. Dia hanya sempat melihat wajahku sekilas sore tadi. Seharusnya dia tidak mengingat wajahku, kan?” batin Berlin berkecamuk.
Berlin hanya pasrah saat tangannya ditarik oleh Devan. Gadis itu duduk dengan canggung dan gugup selama berada di dalam kendaraan Devan. Jantung Berlin terus berdegup kencang tak karuan, khawatir nasibnya akan berakhir tragis jika ia sampai ketahuan oleh Devan.
"Kudengar ini kencan pertama kalian?" tanya Devan membuka perbincangan.
“Aku bahkan tidak tahu akan bertemu dengan siapa. Apa yang dilakukan Sarah? Dia benar-benar sudah mendapatkan pria kaya untukku?” batin Berlin bingung.
"Iya," jawab Berlin sekenanya.
"Sebaiknya kau berhati-hati. Temanku suka bermain kasar," ungkap Devan.
"B–benarkah? Aku baru akan bertemu dengannya. Apa dia sudah punya istri?" tanya Berlin tak tahu apapun mengenai sugar daddy baru yang akan ia temui kali ini.
"Sudah. Temanku bahkan baru menikah beberapa bulan yang lalu," ujar Devan santai.
“Kalau masih ingin mengencani sugar baby, untuk apa dia menikah?” gerutu Berlin dalam hati.
"Tenang saja. Temanku tidak pelit. Kau pasti bisa meraup banyak uang jajan darinya," cibir Devan menyindir Berlin.
Gadis itu hanya diam tanpa menanggapi cemoohan Devan. Berlin cukup sadar diri dan bisa memaklumi jika Devan memandang sebelah mata padanya.
“Biarkan saja, Berlin! Lagipula ini bukan pertama kalinya kau menerima hinaan. Tidak perlu dimasukkan ke dalam hati,” batin Berlin mencoba meredam amarahnya karena ejekan Devan yang menganggap remeh dirinya.
"Berapa yang kau dapatkan dari Daddy yang sebelumnya? Kalau dilihat-lihat, kau masih sangat muda. Uang jajanmu pasti tidak banyak, kan?" oceh Devan masih melanjutkan perbincangan meskipun Berlin bersikap cuek padanya.
"Maaf, aku tidak membahas hal pribadi dengan orang asing," tukas Berlin ketus.
"Katakan saja, tidak perlu malu. Aku bisa menawarkanmu pada teman-temanku jika kau sudah dibuang oleh Ken," cibir Devan dengan tatapan remeh.
"Aku ingin turun saja!" ujar Berlin makin tak nyaman berada di dekat Devan. Bukan hanya karena takut ketahuan, gadis itu juga mulai kesal dengan cibiran dan ledekan Devan yang tiada habisnya.
"Sudah hampir dekat," cegah Devan sembari mengusap lembut punggung tangan Berlin.
“Dasar hidung belang!” umpat Berlin dalam hati tanpa berani memaki langsung pada Devan.
"Kau masih sekolah? Atau kuliah?" tanya Devan.
"K–kuliah," jawab Berlin tergagap.
"Di mana?" tanya Devan lagi.
"Hanya universitas kecil di pinggir kota. Kau tidak mungkin tahu," tukas Berlin.
"Apa masih jauh? Aku ingin menghubungi temanku," ujar Berlin mencoba mengalihkan pembicaraan agar Devan tak bertanya lebih jauh tentang kehidupan pribadinya.
Gadis itu segera menyingkirkan tangan Devan yang masih setia bertengger di punggung tangannya. Berlin mencoba menyibukkan diri dengan ponsel agar Devan tak lagi mengajaknya berbincang mengenai hal pribadi.
"Sarah! Apa yang kau lakukan padaku?" omel Berlin dengan suara pelan melalui telepon.
"Kenapa? Kau sudah dijemput, kan? Bukan orangnya yang menjemput, tapi temannya. Kau akan dibawa ke kelab pusat kota. Sugar daddy barumu bernama Ken," terang Sarah.
"Aku ingin ganti orang saja! Pria tua juga tidak masalah," rengek Berlin.
"Kenapa? Kau belum melihat orangnya, kan? Masih muda dan cukup tampan. Kau tidak perlu melayani pria tua!" bujuk Sarah.
"Aku tidak nyaman dengan orang-orang di sekitarnya,"
"Kenapa? Kau dijemput oleh pria tua? Lagipula itu hanya temannya. Kau tidak punya urusan dengan teman-temannya!"
"Kau tidak akan mengerti! Ini menyangkut kehidupan kampus—"
Tut!
Sarah tiba-tiba memutuskan sambungan telepon dari Berlin secara sepihak.
"Sial!" Gadis itu mengumpat kesal tanpa menghiraukan keberadaan Devan.
"Sudah sampai," ujar Devan mengakhiri perjalanan panjang mereka yang penuh kecanggungan.
Berlin bersiap memegang handle pintu, namun Devan dengan sigap mencegah Berlin yang hendak keluar terlebih dahulu.
"Kau duduk saja. Aku yang akan membukakan pintu untukmu," tukas Devan penuh rayuan gombal.
Berlin melirik Devan dengan wajah malas dan hanya pasrah menuruti keinginan pria asing itu.
Devan berlari kecil untuk membukakan pintu Berlin, kemudian menggandeng gadis cantik itu memasuki kelab. Devan bahkan melingkarkan tangannya ke pinggang Berlin dengan santai. Gadis itu benar-benar diperlakukan seperti wanita murahan oleh Devan dan disentuh seenaknya oleh pria berkulit putih itu.
“Semoga aku tidak bertemu pria ini lagi di kampus. Semoga aku tidak akan pernah bertemu pria ini lagi di kelab malam. Semoga dia tidak mengenali wajahku!” batin Berlin masih mencemaskan identitasnya yang mungkin terbongkar.
"Kau pasti sering kemari?" bisik Devan begitu dekat di telinga Berlin.
"Hanya kadang," jawab Berlin sekenanya.
Kedua orang itu berjalan berkeliling kelab untuk mencari Sarah dan sugar daddy yang dicarikan oleh Sarah.
"Kau terlihat dingin sekali untuk ukuran sugar baby. Apa semua sugar baby hanya akan bertingkah manis di depan pria yang mereka layani?" sindir Devan mulai kesal dengan respon datar yang diberikan oleh Berlin padanya.
Tak ingin mengoceh panjang lebar, Berlin pun hanya menampakkan senyum kecut pada Devan. Kalau bukan karena membutuhkan uang banyak dengan cepat, Berlin juga tak akan memilih pekerjaan yang merendahkan harga dirinya.
"Berhati-hatilah pada istri temanku. Jika kau sampai ketahuan, hidupmu akan digilas dengan mudah Nona Muda kaya istri dari temanku itu," cibir Devan.
Pria itu menunjuk ke salah satu meja yang diduduki oleh sang kawan yang akan menjadi sugar daddy baru Berlin. Devan hanya mengantar Berlin sampai pada temannya, kemudian meninggalkan Berlin bersama pria hidung belang yang akan menjadi dompet barunya.
"Hubungi aku jika temanku sudah bosan padamu," bisik Devan di telinga Berlin sembari menyelipkan kartu nama ke tas kecil yang ditenteng oleh gadis itu.
"Sampai jumpa di kampus, Pencuri Roti!" imbuh Devan.
Deg!
Jantung Berlin berpacu kencang dan keringat dingin mengalir deras dari dahinya. Gadis itu sungguh tak menyangka ternyata pria yang dilihatnya secara sekilas di kampus tadi dapat mengenali dirinya dengan mudah meskipun Berlin sudah berpenampilan berbeda.
“Kenapa dia bisa mengenaliku?” pekik Berlin dalam hati.
***
"Berlin!" panggil Sarah sembari berjalan menghampiri sang teman."..."Tak ada sahutan apapun dari gadis cantik yang tengah didatangi oleh Sarah itu. Berlin diam mematung dan sibuk menatap Devan yang sudah berjalan semakin jauh darinya."Berlin!" panggil Sarah lagi dengan teriakan agak kencang.Sudah hilang kesabaran karena tak kunjung mendapat jawaban, Sarah pun menjitak kepala Berlin dengan kesal hingga lamunan gadis itu pun buyar seketika."Aww!" pekik Berlin sembari memegangi kepalanya yang menjadi korban keganasan Sarah."Kau ini kenapa?" omel Berlin pada Sarah."Kau yang kenapa? Pelangganmu sudah menunggu!" omel Sarah balik sembari menarik tangan sang teman menuju tempat sugar daddy baru Berlin."Bagaimana? Lumayan, kan? Bukan pria tua dan kau bisa mendapatkan banyak uang," bisik Sarah.Mood Berlin sudah terlanjur berantakan setelah ia mendengar perkataan Devan. Rasa cemas dan gelisah yang mulai b
Berlin duduk termenung di pelataran rumah sakit di malam yang dingin. Waktu baru menunjukkan pukul tiga dini hari. Namun gadis itu tak dapat mengistirahatkan tubuh penatnya setelah beraktivitas seharian penuh.Bola matanya terus tertuju pada lembar kertas yang ada di genggaman tangannya. Dilihatnya angka-angka yang tertera pada kertas itu dengan seksama."Satu miliar? Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Kenapa bunganya bisa mengembang sampai sebanyak ini?" oceh Berlin mengomel seorang diri bersama kertas-kertas bertuliskan nominal uang yang belum pernah dilihatnya."Haruskah aku pergi ke dukun? Ikut pesugihan? Jaga lilin?" gerutu Berlin.Gadis itu menendangi kerikil yang berserakan di kakinya dengan kesal. Berlin mulai dibuat pusing dengan hutang yang seharusnya bukan menjadi tanggungjawabnya. Namun jika ia tidak melakukan sesuatu, Bu Wanda dan adik-adik asuhnya terpaksa harus meninggalkan panti karena penyitaan dari pihak pemberi pinjaman.
Berlin duduk termenung di toilet umum sembari menatap kartu nama Devan dengan gelisah. Gadis itu masih dilanda kegalauan untuk memutuskan akan menghubungi Devan atau tidak."Apa tidak aneh jika aku tiba-tiba menghubunginya?" gumam Berlin bimbang.Gadis itu melirik ke arah arloji kecil yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore hari. Berlin harus segera mendapatkan uang untuk biaya rumah sakit serta mengurus panti asuhan yang akan segera digusur.Gadis itu tak lagi memiliki banyak pilihan selain merampok pria kaya dengan cara halus."Coba saja dulu! Ayolah, Berlin! Tidak ada waktu lagi! Kalau ini tidak berhasil, aku akan menjual ginjal saja!" gumam Berlin menggebu-gebu.Berlin mulai sibuk memainkan ponselnya dan bersiap untuk menghubungi Devan. Dengan jantung berdegup kencang, gadis itu memberanikan diri menghubungi pria asing yang memberikan kartu nama padanya secara cuma-cuma."Halo?"&ldq
Tepat pukul lima sore, Berlin sudah berdiri di depan hotel yang akan menjadi tempat untuk kencan pertamanya bersama Devan.Gadis itu terus celingukan kesana-kemari dengan gelisah dan berusaha mencari sosok Devan yang tak kunjung muncul untuk menjemput dirinya."Pria itu tidak akan menipuku, kan? Hanya dia satu-satunya harapanku sekarang," gumam Berlin makin bertambah gelisah menanti kedatangan Devan.Sudah satu jam lamanya Berlin menunggu, namun pria yang dinanti-nantinya tak juga muncul menyapa dirinya."Riasanku sudah hampir luntur!" gerutu Berlin jengkel.Sementara di tempat lain, Devan terlihat duduk dengan santai sembari menyeruput secangkir kopi yang ada di tangannya. Manik mata pria itu tampak fokus menatap monitor yang menyuguhkan wajah Berlin sebagai bintang di la
Devan masih termenung menatap tanda lahir Berlin dan mencoba mengingat-ingat kapanserta di mana ia sempat melihat tanda yang nampak familiar itu.Dengan posisi sudah menindih tubuh Berlin di atas ranjang, Devan justru tak kunjung melanjutkan malam panasnya bersama gadis cantik yang sudah siap ia terkam.“Kenapa dia diam saja? Apa aku memang tidak menarik baginya?” batin Berlin bingung."Tuan!" panggil Berlin dengan nada manja pada Devan."Sampai kapan Tuan akan terus menatapku?" tanya Berlin kemudian.Lamunan Devan langsung buyar begitu ia mendengar suara Berlin. Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar, sebelum ia memulai kembali aksinya untuk menerkam gadis manis yang sudah terjebak dalam kungkungannya.
"Nana, bagaimana keadaan Ibu?" tanya Berlin pada adik kecilnya melalui telepon."Ibu sudah membaik, Kak. Kata dokter, Ibu sudah boleh pulang besok pagi," terang Nana."Kapan Kakak akan kemari?" tanya Nana penuh harap.Berlin nampak bingung harus memberikan jawaban apa pada adik kecilnya. Tubuhnya saat ini masih pegal dan sakit karena ulah Devan semalam. Belum lagi malam nanti pria itu akan kembali padanya untuk meminta "jatah"."Kakak akan berkunjung besok. Nanti Kakak akan mengirimkan uang untuk biaya rumah sakit Ibu. Katakan pada Kak Mei untuk mengurusnya, ya? Besok Kakak akan menjenguk Ibu. Hari ini Kakak masih ada banyak kelas di kampus," ujar Berlin mengarang cerita."Baiklah, aku akan menyampaikannya pada Kak Mei.""Titip pesan juga pada Ibu, besok Ibu bisa pulang ke panti dengan tenang. Katakan pada Ibu untuk banyak-banyak istirahat. Kakak sudah mengurus semuanya," pesan Berlin."Tentu. Akan kusampaikan pada Ibu," pungkas Nana, kemudian memati
"Bos, Nona Sheena sudah menunggu di luar ruangan sejak tadi. Apa tidak sebaiknya—""Biarkan saja dia menunggu! Sudah diusir dengan cara halus, kenapa dia masih saja tidak tahu diri?" sentak Devan tak peduli.Pria itu kembali fokus pada berkas-berkas kerja yang ada di mejanya tanpa menghiraukan keberadaan wanita cantik yang masih setia menunggu sapaan darinya."Bos, untuk beasiswa Nona Berlin—" Lagi-lagi perkataan Vernon terpotong begitu saja oleh Devan."Sudah kubilang untuk mencabutnya! Biarkan saja gadis itu mencari cara sendiri untuk mendapatkan beasiswanya lagi!"Vernon tak lagi berani bercicit dihadapan sang majikan. Asisten malang itu hanya diam sembari memainkan jemarinya yang kasar."Katakan pada Sheena kalau aku ada rapat sampai malam. Suruh dia pulang!" titah Devan pada Vernon.Begitu Vernon berlalu meninggalkan ruangannya, Devan melirik ponselnya sejenak dan mengotak-atik benda itu dengan antusias.Pria itu memasang kamera pengintai di
Tring, tring!Berlin terbangun dari acara tidur siangnya karena bunyi ponsel yang berdering kencang. Selama seharian penuh, gadis itu hanya menghabiskan waktu dengan berbincang bersama banyak orang melalui telepon, tanpa bisa meninggalkan hotel tempatnya beristirahat kini.Rasa lelah dan penat yang masih hinggap di tubuhnya, membuat Berlin malas menggerakkan tubuh bahkan untuk hal-hal rutin seperti mandi dan mengisi perutnya yang keroncongan."Kenapa sejak tadi ponselku berbunyi terus?!" gerutu Berlin mulai sebal."Halo?" jawab gadis itu dengan ketus tanpa melihat nama yang tertera di layar ponselnya."Begitukah caramu menyapa orang yang memberimu uang?" sentak Devan kembali dibuat naik pitam."Sial! Siapa ini yang menelepon?" jerit Berlin dalam hati.Gadis itu memeriksa layar ponselnya sejenak untuk melihat siapa nama pemanggil yang menghubunginya."Apa yang sudah kau lakukan pada dompetmu, Berlin!" batin Berlin pen