Share

3. Bermuka dua

"Berlin, kan?" tanya pria itu lagi.

Berlin hanya mengangguk tanpa bersuara. Gadis itu menundukkan kepala dalam-dalam dan berusaha menyembunyikan wajahnya dari Devandra.

"Ayo, masuk!" ujar pria berusia dua puluh delapan tahun itu.

Berlin nampak bingung bagaimana ia harus bersikap di depan Devan. 

Tentu gadis itu tak ingin identitasnya sebagai sugar baby diketahui oleh orang lain, terutama oleh orang yang ia temui di kampus.

Devan bisa menjadi ancaman besar bagi Berlin jika pria itu sampai mengenalinya dan menyebarkan cerita yang tidak-tidak ke seluruh kampus mengenai dirinya yang menjadi sugar baby pria kaya.

"Ayo!" ajak Devan memberanikan diri menarik tangan halus Berlin untuk masuk ke dalam mobilnya.

Orang ini tidak akan mengenaliku, kan? Penampilanku saat ini sangat berbeda dengan tampilanku saat di kampus. Tidak mungkin dia bisa mengenaliku. Dia hanya sempat melihat wajahku sekilas sore tadi. Seharusnya dia tidak mengingat wajahku, kan?” batin Berlin berkecamuk.

Berlin hanya pasrah saat tangannya ditarik oleh Devan. Gadis itu duduk dengan canggung dan gugup selama berada di dalam kendaraan Devan. Jantung Berlin terus berdegup kencang tak karuan, khawatir nasibnya akan berakhir tragis jika ia sampai ketahuan oleh Devan.

"Kudengar ini kencan pertama kalian?" tanya Devan membuka perbincangan.

Aku bahkan tidak tahu akan bertemu dengan siapa. Apa yang dilakukan Sarah? Dia benar-benar sudah mendapatkan pria kaya untukku?” batin Berlin bingung.

"Iya," jawab Berlin sekenanya.

"Sebaiknya kau berhati-hati. Temanku suka bermain kasar," ungkap Devan.

"B–benarkah? Aku baru akan bertemu dengannya. Apa dia sudah punya istri?" tanya Berlin tak tahu apapun mengenai sugar daddy baru yang akan ia temui kali ini.

"Sudah. Temanku bahkan baru menikah beberapa bulan yang lalu," ujar Devan santai.

Kalau masih ingin mengencani sugar baby, untuk apa dia menikah?” gerutu Berlin dalam hati.

"Tenang saja. Temanku tidak pelit. Kau pasti bisa meraup banyak uang jajan darinya," cibir Devan menyindir Berlin.

Gadis itu hanya diam tanpa menanggapi cemoohan Devan. Berlin cukup sadar diri dan bisa memaklumi jika Devan memandang sebelah mata padanya.

Biarkan saja, Berlin! Lagipula ini bukan pertama kalinya kau menerima hinaan. Tidak perlu dimasukkan ke dalam hati,” batin Berlin mencoba meredam amarahnya karena ejekan Devan yang menganggap remeh dirinya.

"Berapa yang kau dapatkan dari Daddy yang sebelumnya? Kalau dilihat-lihat, kau masih sangat muda. Uang jajanmu pasti tidak banyak, kan?" oceh Devan masih melanjutkan perbincangan meskipun Berlin bersikap cuek padanya. 

"Maaf, aku tidak membahas hal pribadi dengan orang asing," tukas Berlin ketus.

"Katakan saja, tidak perlu malu. Aku bisa menawarkanmu pada teman-temanku jika kau sudah dibuang oleh Ken," cibir Devan dengan tatapan remeh.

"Aku ingin turun saja!" ujar Berlin makin tak nyaman berada di dekat Devan. Bukan hanya karena takut ketahuan, gadis itu juga mulai kesal dengan cibiran dan ledekan Devan yang tiada habisnya.

"Sudah hampir dekat," cegah Devan sembari mengusap lembut punggung tangan Berlin.

Dasar hidung belang!” umpat Berlin dalam hati tanpa berani memaki langsung pada Devan.

"Kau masih sekolah? Atau kuliah?" tanya Devan.

"K–kuliah," jawab Berlin tergagap.

"Di mana?" tanya Devan lagi.

"Hanya universitas kecil di pinggir kota. Kau tidak mungkin tahu," tukas Berlin.

"Apa masih jauh? Aku ingin menghubungi temanku," ujar Berlin mencoba mengalihkan pembicaraan agar Devan tak bertanya lebih jauh tentang kehidupan pribadinya.

Gadis itu segera menyingkirkan tangan Devan yang masih setia bertengger di punggung tangannya. Berlin mencoba menyibukkan diri dengan ponsel agar Devan tak lagi mengajaknya berbincang mengenai hal pribadi.

"Sarah! Apa yang kau lakukan padaku?" omel Berlin dengan suara pelan melalui telepon.

"Kenapa? Kau sudah dijemput, kan? Bukan orangnya yang menjemput, tapi temannya. Kau akan dibawa ke kelab pusat kota. Sugar daddy barumu bernama Ken," terang Sarah.

"Aku ingin ganti orang saja! Pria tua juga tidak masalah," rengek Berlin.

"Kenapa? Kau belum melihat orangnya, kan? Masih muda dan cukup tampan. Kau tidak perlu melayani pria tua!" bujuk Sarah.

"Aku tidak nyaman dengan orang-orang di sekitarnya,"

"Kenapa? Kau dijemput oleh pria tua? Lagipula itu hanya temannya. Kau tidak punya urusan dengan teman-temannya!" 

"Kau tidak akan mengerti! Ini menyangkut kehidupan kampus—"

Tut!

Sarah tiba-tiba memutuskan sambungan telepon dari Berlin secara sepihak.

"Sial!" Gadis itu mengumpat kesal tanpa menghiraukan keberadaan Devan.

"Sudah sampai," ujar Devan mengakhiri perjalanan panjang mereka yang penuh kecanggungan.

Berlin bersiap memegang handle pintu, namun Devan dengan sigap mencegah Berlin yang hendak keluar terlebih dahulu.

"Kau duduk saja. Aku yang akan membukakan pintu untukmu," tukas Devan penuh rayuan gombal.

Berlin melirik Devan dengan wajah malas dan hanya pasrah menuruti keinginan pria asing itu. 

Devan berlari kecil untuk membukakan pintu Berlin, kemudian menggandeng gadis cantik itu memasuki kelab. Devan bahkan melingkarkan tangannya ke pinggang Berlin dengan santai. Gadis itu benar-benar diperlakukan seperti wanita murahan oleh Devan dan disentuh seenaknya oleh pria berkulit putih itu.

Semoga aku tidak bertemu pria ini lagi di kampus. Semoga aku tidak akan pernah bertemu pria ini lagi di kelab malam. Semoga dia tidak mengenali wajahku!” batin Berlin masih mencemaskan identitasnya yang mungkin terbongkar.

"Kau pasti sering kemari?" bisik Devan begitu dekat di telinga Berlin.

"Hanya kadang," jawab Berlin sekenanya.

Kedua orang itu berjalan berkeliling kelab untuk mencari Sarah dan sugar daddy yang dicarikan oleh Sarah.

"Kau terlihat dingin sekali untuk ukuran sugar baby. Apa semua sugar baby hanya akan bertingkah manis di depan pria yang mereka layani?" sindir Devan mulai kesal dengan respon datar yang diberikan oleh Berlin padanya.

Tak ingin mengoceh panjang lebar, Berlin pun hanya menampakkan senyum kecut pada Devan. Kalau bukan karena membutuhkan uang banyak dengan cepat, Berlin juga tak akan memilih pekerjaan yang merendahkan harga dirinya.

"Berhati-hatilah pada istri temanku. Jika kau sampai ketahuan, hidupmu akan digilas dengan mudah Nona Muda kaya istri dari temanku itu," cibir Devan.

Pria itu menunjuk ke salah satu meja yang diduduki oleh sang kawan yang akan menjadi sugar daddy baru Berlin. Devan hanya mengantar Berlin sampai pada temannya, kemudian meninggalkan Berlin bersama pria hidung belang yang akan menjadi dompet barunya.

"Hubungi aku jika temanku sudah bosan padamu," bisik Devan di telinga Berlin sembari menyelipkan kartu nama ke tas kecil yang ditenteng oleh gadis itu.

"Sampai jumpa di kampus, Pencuri Roti!" imbuh Devan.

Deg!

Jantung Berlin berpacu kencang dan keringat dingin mengalir deras dari dahinya. Gadis itu sungguh tak menyangka ternyata pria yang dilihatnya secara sekilas di kampus tadi dapat mengenali dirinya dengan mudah meskipun Berlin sudah berpenampilan berbeda.

Kenapa dia bisa mengenaliku?” pekik Berlin dalam hati.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status