"Berlin!" panggil Sarah sembari berjalan menghampiri sang teman.
"..."
Tak ada sahutan apapun dari gadis cantik yang tengah didatangi oleh Sarah itu. Berlin diam mematung dan sibuk menatap Devan yang sudah berjalan semakin jauh darinya.
"Berlin!" panggil Sarah lagi dengan teriakan agak kencang.
Sudah hilang kesabaran karena tak kunjung mendapat jawaban, Sarah pun menjitak kepala Berlin dengan kesal hingga lamunan gadis itu pun buyar seketika.
"Aww!" pekik Berlin sembari memegangi kepalanya yang menjadi korban keganasan Sarah.
"Kau ini kenapa?" omel Berlin pada Sarah.
"Kau yang kenapa? Pelangganmu sudah menunggu!" omel Sarah balik sembari menarik tangan sang teman menuju tempat sugar daddy baru Berlin.
"Bagaimana? Lumayan, kan? Bukan pria tua dan kau bisa mendapatkan banyak uang," bisik Sarah.
Mood Berlin sudah terlanjur berantakan setelah ia mendengar perkataan Devan. Rasa cemas dan gelisah yang mulai bersarang pada dirinya, membuat gadis itu tak lagi antusias menyambut uang baru yang sudah ada di depan matanya.
"Berlin! Berhentilah melamun!" omel Sarah gemas melihat sikap Berlin yang terus diam dan melamun di depan pria yang akan menjadi sumber dompet terbarunya.
"Tuan, ini teman yang kuceritakan itu. Masih sangat muda dan cantik, kan? Temanku juga sangat penurut dan mudah diatur. Tuan bisa meminta hal apapun pada Berlin. Berlin akan menuruti semua aturan dari Tuan," terang Sarah mengoceh pada teman Devan bak sales yang tengah mempromosikan barang dagangan.
"Jadi, ini gadis yang bernama Berlin?" tanya seorang sugar daddy baru Berlin bernama Ken itu.
Pria itu menarik pergelangan tangan Berlin, kemudian mengecup punggung tangan Berlin tanpa sungkan.
Meskipun Berlin merasa risih dan tak nyaman, namun gadis itu hanya bisa menahan diri sembari menampakkan senyum palsu demi menyenangkan buaya darat yang membayarnya itu.
"Aku akan tinggalkan kalian di sini," bisik Sarah pada Berlin.
"Selamat bersenang-senang, Tuan!" pamit Sarah.
Walaupun sebenarnya mood Berlin tengah hancur berantakan, namun ia tak bisa seenaknya menampakkan wajah cemberutnya di depan sugar daddy yang akan membayarnya. Berlin tetap harus menjaga sikap dan menyenangkan Tuan baru yang akan menunjang kebutuhan finansialnya.
"Apa ada aturan khusus yang Tuan inginkan? Aku akan berusaha menurutinya," ujar Berlin sembari menyenderkan kepalanya ke bahu lebar Ken dan berbicara dengan nada manja.
"Kau sekarang tinggal dimana? Bagaimana kalau kau tinggal di apartemen baruku saja? Jadi, setiap kali aku membutuhkanmu, aku tidak perlu repot menghubungimu!" ujar Ken seraya menjalarkan tangannya ke tubuh Berlin dan menjamah gadis cantik itu di kelab yang ramai dengan pengunjung.
“Sial! Pria ini ingin menelanjangiku di sini?” omel Berlin dalam hati.
"Tuan, tempat ini agak terbuka. Aku ingin pindah saja!" rengek Berlin masih berlagak manja.
"Tentu. Aku akan membawamu ke tempat yang menyenangkan malam ini," cetus Ken sudah tak sabar "memakai" sugar baby barunya.
***
"Ini kuncinya untukmu," ujar Ken menyodorkan kartu akses apartemen miliknya pada Berlin.
Gadis yang masih terbalut selimut dengan tubuh polos itu meraih kartu yang disodorkan oleh Ken dan menyimpannya dengan hati-hati.
"Aku harus pulang sekarang. Istriku cukup cerewet. Aku akan kembali lagi besok malam," tukas Ken seraya membenarkan pakaiannya.
"Hati-hati di jalan!" ucap Berlin sekenanya sebagai tanda perhatian pada sang sugar daddy.
Ken mendaratkan kecupan hangat ke kening Berlin, kemudian menyelipkan kartu kredit ke dalam selimut yang dikenakan Berlin.
"Belilah barang yang kau mau!" ujar Ken lalu pergi meninggalkan Berlin di dalam apartemen mewah yang akan menjadi tempat tinggal gadis itu.
Berlin duduk termenung di dalam ruangan besar yang ditempatinya itu. Pikirannya kembali melayang mencemaskan perkataan Devan.
"Pria itu tidak akan menyebarkan hal yang tidak-tidak di kampus, kan?" gumam Berlin masih dilanda kegelisahan.
Gadis itu mengambil kartu yang diberikan oleh Ken padanya dan menatap nanar kartu tipis itu. "Apa uang bisa didapatkan dengan cara semudah ini?"
Berlin melirik ke arah jam dinding yang bertengger tepat di hadapannya. Waktu baru menunjukkan pukul sebelas malam. Gadis itu pun mencoba menghubungi ibu pantinya yang tengah beristirahat di bangunan panti asuhan yang sudah tua dan reyot.
"Halo? Kupikir Ibu sudah tidur?" tanya Berlin begitu panggilan teleponnya diangkat dalam waktu singkat.
"Kakak, ini Nana!" jawab suara seorang gadis kecil di seberang sana.
"Nana, kenapa belum tidur? Ibu mana?"
"Kak, Ibu baru saja dibawa ke rumah sakit oleh satpam kompleks. Sekarang Nana dan Kak Mei akan menyusul ke rumah sakit," ungkap gadis kecil bernama Nana itu.
"Ibu dibawa ke rumah sakit?!" jerit Berlin terkejut mendengar perkataan adik kecilnya itu.
"Di rumah sakit mana? Kakak akan segera ke sana!"
Berlin bergegas bangkit dari ranjang kemudian mengenakan pakaiannya dengan tergesa-gesa.
Begitu mendapatkan alamat rumah sakit tempat ibu pantinya dirawat, Berlin langsung berangkat menuju ke rumah sakit yang berada cukup jauh dari apartemen baru yang ditinggalinya kini.
"Untung saja aku sudah mendapatkan uang!" gumam Berlin lega melihat beberapa lembar uang yang didapatnya dari Ken sebagai tips malam pertama mereka.
Setidaknya gadis itu dapat mengunjungi ibu asuhnya dengan tenang dan sudah memiliki uang untuk mengurus segala biaya yang akan dibutuhkan nanti.
Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya Berlin tiba di rumah sakit tempat Bu Wanda mendapatkan perawatan medis.
"Nana!" panggil Berlin pada seorang gadis kecil yang tengah duduk terkantuk-kantuk di bangku lorong rumah sakit.
Gadis kecil itu sontak menoleh ke arah sumber suara, kemudian berlari menghampiri Berlin yang berdiri tak jauh darinya.
"Bagaimana keadaan Ibu?" tanya Berlin.
"Belum tahu. Ibu masih ditangani dokter," ungkap Nana dengan mata berkaca-kaca.
"Apa yang sebenarnya terjadi pada Ibu?"
Gadis kecil itu mengeluarkan amplop berisi surat yang tersimpan di dalam jaket mini yang dikenakannya.
Berlin membuka perlahan isi amplop untuk melihat coretan tinta yang menghiasi lembar kertas putih itu.
"Surat apa ini?" tanya Berlin dengan dahi berkerut.
"Tadi ada orang berbadan besar dan berwajah menyeramkan yang datang ke panti. Orang itu memberikan surat ini pada Ibu. Setelah Ibu membukanya, Ibu tiba-tiba menangis dan pingsan," terang Nana.
Berlin membaca dengan seksama kertas putih yang sudah agak kumal itu. Tangan Berlin meremas kertas itu begitu ia membaca isi suratnya.
"Apa ini? Surat sita jaminan? Memangnya siapa yang menggunakan sertifikat bangunan panti untuk mengambil pinjaman?" tanya Berlin dengan mata memerah menahan amarah.
"Keluarga Ibu Wanda!" panggil seorang perawat yang tiba-tiba keluar dari ruangan tempat Bu Wanda memperoleh penanganan medis.
Berlin menyimpan kembali surat yang ada di genggaman tangannya dan segera menghampiri perawat yang menangani Bu Wanda.
"Saya putrinya. Bagaimana keadaan Ibu saya? Apa kami sudah bisa menjenguk Ibu kami?" tanya Berlin dengan wajah cemas.
"Pasien sudah siuman. Tolong jangan terlalu lama menjenguk, pasien butuh istirahat!"
Berlin bergegas masuk ke dalam ruangan pasien dan mendapati ibu asuhnya yang tergolek lemas di atas brankar pasien. Bu Wanda melempar senyum tipis pada Berlin begitu manik matanya beradu pandang dengan anak asuh kesayangannya itu.
"Bagaimana keadaan Ibu?" tanya Berlin.
"Ah, tidak perlu dijawab! Aku sendiri yang akan bertanya pada dokter," sambungnya cepat.
"Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa Nana memberikan surat aneh padaku?" tanya Berlin dengan suara lembut.
Bu Wanda terdiam sejenak tanpa menjawab pertanyaan Berlin. Manik mata wanita paruh baya itu mulai mengembun dan meneteskan bulir bening di sudut mata.
"Ibu tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk mengurus adik-adikmu," ungkap Bu Wanda diiringi tangis pilu yang menyayat hati.
***
Berlin duduk termenung di pelataran rumah sakit di malam yang dingin. Waktu baru menunjukkan pukul tiga dini hari. Namun gadis itu tak dapat mengistirahatkan tubuh penatnya setelah beraktivitas seharian penuh.Bola matanya terus tertuju pada lembar kertas yang ada di genggaman tangannya. Dilihatnya angka-angka yang tertera pada kertas itu dengan seksama."Satu miliar? Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Kenapa bunganya bisa mengembang sampai sebanyak ini?" oceh Berlin mengomel seorang diri bersama kertas-kertas bertuliskan nominal uang yang belum pernah dilihatnya."Haruskah aku pergi ke dukun? Ikut pesugihan? Jaga lilin?" gerutu Berlin.Gadis itu menendangi kerikil yang berserakan di kakinya dengan kesal. Berlin mulai dibuat pusing dengan hutang yang seharusnya bukan menjadi tanggungjawabnya. Namun jika ia tidak melakukan sesuatu, Bu Wanda dan adik-adik asuhnya terpaksa harus meninggalkan panti karena penyitaan dari pihak pemberi pinjaman.
Berlin duduk termenung di toilet umum sembari menatap kartu nama Devan dengan gelisah. Gadis itu masih dilanda kegalauan untuk memutuskan akan menghubungi Devan atau tidak."Apa tidak aneh jika aku tiba-tiba menghubunginya?" gumam Berlin bimbang.Gadis itu melirik ke arah arloji kecil yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore hari. Berlin harus segera mendapatkan uang untuk biaya rumah sakit serta mengurus panti asuhan yang akan segera digusur.Gadis itu tak lagi memiliki banyak pilihan selain merampok pria kaya dengan cara halus."Coba saja dulu! Ayolah, Berlin! Tidak ada waktu lagi! Kalau ini tidak berhasil, aku akan menjual ginjal saja!" gumam Berlin menggebu-gebu.Berlin mulai sibuk memainkan ponselnya dan bersiap untuk menghubungi Devan. Dengan jantung berdegup kencang, gadis itu memberanikan diri menghubungi pria asing yang memberikan kartu nama padanya secara cuma-cuma."Halo?"&ldq
Tepat pukul lima sore, Berlin sudah berdiri di depan hotel yang akan menjadi tempat untuk kencan pertamanya bersama Devan.Gadis itu terus celingukan kesana-kemari dengan gelisah dan berusaha mencari sosok Devan yang tak kunjung muncul untuk menjemput dirinya."Pria itu tidak akan menipuku, kan? Hanya dia satu-satunya harapanku sekarang," gumam Berlin makin bertambah gelisah menanti kedatangan Devan.Sudah satu jam lamanya Berlin menunggu, namun pria yang dinanti-nantinya tak juga muncul menyapa dirinya."Riasanku sudah hampir luntur!" gerutu Berlin jengkel.Sementara di tempat lain, Devan terlihat duduk dengan santai sembari menyeruput secangkir kopi yang ada di tangannya. Manik mata pria itu tampak fokus menatap monitor yang menyuguhkan wajah Berlin sebagai bintang di la
Devan masih termenung menatap tanda lahir Berlin dan mencoba mengingat-ingat kapanserta di mana ia sempat melihat tanda yang nampak familiar itu.Dengan posisi sudah menindih tubuh Berlin di atas ranjang, Devan justru tak kunjung melanjutkan malam panasnya bersama gadis cantik yang sudah siap ia terkam.“Kenapa dia diam saja? Apa aku memang tidak menarik baginya?” batin Berlin bingung."Tuan!" panggil Berlin dengan nada manja pada Devan."Sampai kapan Tuan akan terus menatapku?" tanya Berlin kemudian.Lamunan Devan langsung buyar begitu ia mendengar suara Berlin. Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar, sebelum ia memulai kembali aksinya untuk menerkam gadis manis yang sudah terjebak dalam kungkungannya.
"Nana, bagaimana keadaan Ibu?" tanya Berlin pada adik kecilnya melalui telepon."Ibu sudah membaik, Kak. Kata dokter, Ibu sudah boleh pulang besok pagi," terang Nana."Kapan Kakak akan kemari?" tanya Nana penuh harap.Berlin nampak bingung harus memberikan jawaban apa pada adik kecilnya. Tubuhnya saat ini masih pegal dan sakit karena ulah Devan semalam. Belum lagi malam nanti pria itu akan kembali padanya untuk meminta "jatah"."Kakak akan berkunjung besok. Nanti Kakak akan mengirimkan uang untuk biaya rumah sakit Ibu. Katakan pada Kak Mei untuk mengurusnya, ya? Besok Kakak akan menjenguk Ibu. Hari ini Kakak masih ada banyak kelas di kampus," ujar Berlin mengarang cerita."Baiklah, aku akan menyampaikannya pada Kak Mei.""Titip pesan juga pada Ibu, besok Ibu bisa pulang ke panti dengan tenang. Katakan pada Ibu untuk banyak-banyak istirahat. Kakak sudah mengurus semuanya," pesan Berlin."Tentu. Akan kusampaikan pada Ibu," pungkas Nana, kemudian memati
"Bos, Nona Sheena sudah menunggu di luar ruangan sejak tadi. Apa tidak sebaiknya—""Biarkan saja dia menunggu! Sudah diusir dengan cara halus, kenapa dia masih saja tidak tahu diri?" sentak Devan tak peduli.Pria itu kembali fokus pada berkas-berkas kerja yang ada di mejanya tanpa menghiraukan keberadaan wanita cantik yang masih setia menunggu sapaan darinya."Bos, untuk beasiswa Nona Berlin—" Lagi-lagi perkataan Vernon terpotong begitu saja oleh Devan."Sudah kubilang untuk mencabutnya! Biarkan saja gadis itu mencari cara sendiri untuk mendapatkan beasiswanya lagi!"Vernon tak lagi berani bercicit dihadapan sang majikan. Asisten malang itu hanya diam sembari memainkan jemarinya yang kasar."Katakan pada Sheena kalau aku ada rapat sampai malam. Suruh dia pulang!" titah Devan pada Vernon.Begitu Vernon berlalu meninggalkan ruangannya, Devan melirik ponselnya sejenak dan mengotak-atik benda itu dengan antusias.Pria itu memasang kamera pengintai di
Tring, tring!Berlin terbangun dari acara tidur siangnya karena bunyi ponsel yang berdering kencang. Selama seharian penuh, gadis itu hanya menghabiskan waktu dengan berbincang bersama banyak orang melalui telepon, tanpa bisa meninggalkan hotel tempatnya beristirahat kini.Rasa lelah dan penat yang masih hinggap di tubuhnya, membuat Berlin malas menggerakkan tubuh bahkan untuk hal-hal rutin seperti mandi dan mengisi perutnya yang keroncongan."Kenapa sejak tadi ponselku berbunyi terus?!" gerutu Berlin mulai sebal."Halo?" jawab gadis itu dengan ketus tanpa melihat nama yang tertera di layar ponselnya."Begitukah caramu menyapa orang yang memberimu uang?" sentak Devan kembali dibuat naik pitam."Sial! Siapa ini yang menelepon?" jerit Berlin dalam hati.Gadis itu memeriksa layar ponselnya sejenak untuk melihat siapa nama pemanggil yang menghubunginya."Apa yang sudah kau lakukan pada dompetmu, Berlin!" batin Berlin pen
Bab 12. Sisi lain"Kenapa aku tidak merasakan apapun?" batin Berlin masih menunggu pukulan dari Devan dengan memejamkan mata."Dia jadi memukulku atau tidak sih?" batin Berlin mulai kehilangan kesabaran.Gadis itu memberanikan diri membuka mata dan melihat Devan yang melempar tatapan tajam padanya tanpa bersuara."Kenapa kau menutup mata? Kau pikir aku akan memukulmu?" sinis Devan.Berlin menundukkan kepala dalam-dalam tanpa berani menimpali perkataan Devan.Pria itu menarik pergelangan tangan Berlin kembali masuk ke dalam, kemudian menutup pintu kamar hotel rapat-rapat."B-bolehkah aku pergi sebentar? Hanya sebentar saja—""Apa kau tidak mengerti bahasa manusia? Apa perkataanku kurang jelas?" sentak Devan.Pria itu mendorong tubuh Berlin hingga terhempas ke ranjang dan melucuti pakaian gadis itu satu persatu secara paksa.Sementara, Berlin sendiri hanya pasrah dan tak berani memberontak pada pria y