Berlin duduk termenung di pelataran rumah sakit di malam yang dingin. Waktu baru menunjukkan pukul tiga dini hari. Namun gadis itu tak dapat mengistirahatkan tubuh penatnya setelah beraktivitas seharian penuh.
Bola matanya terus tertuju pada lembar kertas yang ada di genggaman tangannya. Dilihatnya angka-angka yang tertera pada kertas itu dengan seksama.
"Satu miliar? Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Kenapa bunganya bisa mengembang sampai sebanyak ini?" oceh Berlin mengomel seorang diri bersama kertas-kertas bertuliskan nominal uang yang belum pernah dilihatnya.
"Haruskah aku pergi ke dukun? Ikut pesugihan? Jaga lilin?" gerutu Berlin.
Gadis itu menendangi kerikil yang berserakan di kakinya dengan kesal. Berlin mulai dibuat pusing dengan hutang yang seharusnya bukan menjadi tanggungjawabnya. Namun jika ia tidak melakukan sesuatu, Bu Wanda dan adik-adik asuhnya terpaksa harus meninggalkan panti karena penyitaan dari pihak pemberi pinjaman.
"Sebenarnya siapa orang gila yang sudah seenaknya mengambil pinjaman atas nama Ibu dan menggunakan bangunan panti sebagai jaminan? Apa sebaiknya aku lapor polisi saja?" gumam Berlin masih buntu dalam mencari solusi untuk menyelamatkan rumah kecil tempat tinggal adik-adiknya.
Berlin merogoh ponsel kecil yang ada di kantongnya dan melihat daftar kontak yang dimilikinya.
"Hanya satu milliar saja mungkin bukan jumlah yang besar untuk Ken. Apa aku coba untuk meminta uang padanya saja?"
"Tapi aku baru satu hari berkencan dengannya. Bagaimana kalau dia marah karena aku sudah berani meminta banyak uang padanya?" oceh Berlin memilah-milah alternatif solusi yang bisa ia coba untuk membantunya keluar dari lilitan hutang yang hampir menelantarkan keluarganya di panti asuhan.
"Sial! Aku benar-benar buntu!" rengek Berlin mulai stress memikirkan uang.
Gadis itu pun beralih mencari bangku yang bisa ia jadikan tempat untuk beristirahat. Berlin mencoba menutup mata sejenak dan membiarkan otak serta tubuhnya bersantai sebentar setelah menjalani hari yang panjang nan melelahkan.
Meskipun tak bisa rehat dengan tenang, setidaknya Berlin telah berhasil memejamkan mata walaupun hanya dua jam lamanya.
Tepat pukul lima pagi, gadis itu sudah terbangun dan bergegas menghubungi Ken untuk meminta bantuan.
Tanpa mempedulikan rambutnya yang acak-acakan serta lingkaran hitam di matanya, Berlin mencoba menghubungi sugar daddy yang menjadi harapan terakhirnya untuk mendapatkan uang.
"Halo, Tuan Ken?" sapa Berlin dengan suara lemah lembut.
"Siapa kau?"
Sayangnya nasib sedang tak berpihak pada gadis malang itu. Bukannya mendapatkan sapaan dari Ken, panggilan telepon dari Berlin justru diangkat oleh seorang wanita yang tak lain ialah istri dari Ken.
“Gawat! Kenapa suara wanita yang mengangkatnya? Bukankah seharusnya para pria hidung belang ini memiliki ponsel khusus untuk sugar baby mereka?” jerit Berlin dalam hati.
"Jadi, Ken memiliki ponsel lain hanya demi menghubungi gadis murahan sepertimu?" sentak istri Ken melalui telepon.
Tut!
Berlin segera mematikan telepon sebelum ucapan caci maki terdengar ke telinganya. Berakhir sudah kencannya bersama dengan sang sugar daddy baru bernama Ken. Belum ada satu hari gadis itu berkencan dengan Ken, namun Berlin sudah dilanda nasib sial dan dipergoki oleh istri dari Ken.
"Astaga! Dompet baruku melayang begitu saja? Bagaimana aku bisa membayar tagihan rumah sakit?" gerutu Berlin semakin dibuat pusing dengan masalah baru yang muncul menjepit keuangannya.
Gadis itu bergegas kembali ke apartemen kecil miliknya dan memutar otak lagi untuk mencari cara mendapatkan uang yang banyak dalam waktu singkat.
Ketika tengah sibuk mengotak-atik barang, Berlin menemukan kartu nama yang terselip di dalam tas kecil miliknya.
"Apa ini?" gumam Berlin.
"Devandra?"
Berlin membaca kertas kotak itu dengan seksama sembari mengingat-ingat kembali mengenai kartu nama yang tiba-tiba terselip di antaranya barangnya.
"Astaga! Aku hampir lupa! Pria yang di kampus itu sudah tahu kalau aku ayam kampus yang berkencan dengan sugar daddy!" pekik Berlin baru teringat mengenai Devan.
"Bagaimana kalau dia menyebar berita aneh di kampus?!"
Tak cukup dipusingkan dengan hutang dan istri Ken, Berlin masih harus dihadapkan dengan ancaman kampus yang mungkin akan merusak reputasinya. Hal terburuk yang mungkin terjadi ialah beasiswa yang sudah didapatkan Berlin dengan susah payah mungkin akan hilang begitu saja karena image buruk yang akan melekat pada dirinya.
"Semoga tidak terjadi apapun di kampus!" gumam Berlin sembari bersiap mengenakan masker dan topi untuk berangkat ke universitas tempatnya menimba ilmu.
Gadis itu ingin memastikan kemungkinan yang akan terjadi jika Devan benar-benar menyebarkan berita buruk mengenai dirinya.
Keringat dingin yang mengucur deras mengiringi langkah Berlin menuju bangunan besar yang sudah menjadi tempatnya belajar selama tiga tahun lamanya.
Begitu dirinya sampai di halaman kampus, terlihat para mahasiswa nampak bergerombol di papan pengumuman yang terpajang di dekat pintu masuk.
Tubuh Berlin perlahan bergetar hebat saat ia melihat gerombolan orang yang sibuk berbisik membicarakan kertas yang tertempel di papan pengumuman.
Suara-suara sumbang lekas bersahutan di telinganya hingga akhirnya ia mendengar dengan jelas seseorang menyebutkan namanya dengan gamblang.
“Mereka tidak sedang menggosipkanku, kan?” batin Berlin cemas.
Gadis itu memberanikan diri membaur dalam kerumunan dan mencoba melihat isi papan pengumuman.
Benar saja, gadis yang menjadi sorotan dan bahan pembicaraan panas para mahasiswa itu adalah dirinya. "Berliana Soraya, mahasiswi berprestasi yang menjadi ayam kampus", begitulah kira-kira judul kertas yang tertempel di pusat informasi itu.
“Siapa yang menuliskan hal konyol seperti ini?” geram Berlin dalam hati.
Saat dirinya tengah sibuk menatap tempelan kertas di papan pengumuman, tiba-tiba seseorang mencengkeram erat tangannya dan menariknya keluar dari kerumunan.
Orang itu tiba-tiba menarik topi dan masker yang dikenakan oleh Berlin, kemudian mendaratkan tamparan keras ke wajah cantik gadis malang itu.
Plak!
Berlin mendongakkan wajahnya dan beradu pandang dengan seorang wanita berpenampilan glamour yang melotot penuh benci padanya.
"Menjauhlah dari suamiku sebelum aku menguburmu hidup-hidup!" ancam wanita itu dengan angkuhnya.
“Apa dia istri Ken? Kenapa dia bisa menemukanku secepat ini? Kekuatan uang benar-benar mengerikan,” batin Berlin bergidik ngeri.
"Aku tidak percaya Ken bisa terpikat dengan gadis miskin sepertimu!" cibir wanita itu.
Berlin hanya diam menerima hinaan dari istri Ken. Bagaimanapun juga, Berlin memang sudah melakukan kesalahan dan tidak sepantasnya dia melontarkan pembelaan.
"Ken pasti sudah buta! Apa kalian para pria di sini juga menganggap kalau gadis ini cantik?" sinis wanita itu sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling mahasiswa yang mengerubungi Berlin dan melihat pertikaian mereka.
"Kembalikan semua barang yang sudah diberikan Ken padamu! Jangan sampai aku melihatmu lagi di masa depan!" pungkas wanita itu meninggalkan Berlin setelah puas melayangkan tamparan pada gadis itu.
Berlin mengusap pipinya yang memerah dengan kepala tertunduk dalam-dalam. Begitu istri Ken pergi, gadis itu kembali mendapatkan cibiran dan caci maki dari para mahasiswa di kampusnya.
Sementara dari kejauhan, nampak Devan hanya berdiri mematung menyaksikan Berlin menjadi bahan olok-olokan di depan banyak orang. Dengan senyum liciknya, Devan tak menampakkan rasa iba sedikitpun melihat Berlin yang dilempari banyak barang serta disoraki oleh orang-orang di halaman kampus itu.
"Tontonan yang membosankan!" gumam Devan berlalu begitu saja meninggalkan halaman kampus yang masih ramai.
"Pak Devandra?" panggil seorang dosen pada Devan.
Pria itu menoleh dengan penuh kharisma sembari melepar senyum ramah pada dosen itu.
"Iya?"
"Sebentar lagi ada rapat untuk membahas daftar kelanjutan beasiswa untuk beberapa mahasiswa. Apa—"
"Keluarkan mahasiswi bernama Berliana Soraya dari daftar. Aku tidak ingin menghabiskan uang hanya untuk ayam kampus!" potong Devan cepat.
Pria itu merogoh ponsel di kantongnya dan bergegas pergi meninggalkan dosen itu. Devan mengangkat panggilan telepon dari asistennya dan secara kebetulan tengah membahas mengenai bangunan panti asuhan.
"Surat penyitaan sudah diturunkan, Bos. Tapi itu hanya bangunan tua yang berada di tempat terpencil, Bos. Bagaimana kalau kita lepaskan saja mereka dan kita berikan keringanan cicilan?" usul si asisten sesopan mungkin.
"Dua miliar!"
"Iya?"
"Katakan pada mereka tagihannya akan menjadi dua miliar kalau mereka tidak membayarnya besok pagi. Kita lihat kemana gadis itu akan mencari uang," cetus Devan dengan kejamnya.
Sementara di tempat lain, nampak seorang gadis tengah menangis pilu sendirian di sela-sela semak yang rimbun.
Berlin begitu terpukul dengan perlakuan buruk yang diperolehnya di lingkungan kampus. Terlebih lagi saat ia menerima kabar mengenai tagihan pembebasan penyitaan yang semula bernilai satu miliar, tiba-tiba berubah menjadi dua miliar. Ditambah lagi dengan pihak kampus yang mendadak mencabut beasiswanya hingga membuat gadis itu terancam putus kuliah.
"Apa yang harus kulakukan sekarang?" gumam Berlin lekas putus asa dengan keadaan yang hampir menggilas hancur harapannya untuk melanjutkan hidup.
Gadis itu menangis sesenggukan tanpa henti sampai berjam-jam lamanya hingga air matanya mengering.
Berlin mengobrak-abrik tas kecil yang dibawanya dan mendapati kartu nama Devan yang masih tersimpan dengan baik.
"Lagi pula aku sudah tidak memiliki pelanggan. Apa aku hubungi saja dia?"
"Devandra Wildantara. Mungkin ini tidak akan berhasil, tapi setidaknya aku harus mencoba!"
***
Berlin duduk termenung di toilet umum sembari menatap kartu nama Devan dengan gelisah. Gadis itu masih dilanda kegalauan untuk memutuskan akan menghubungi Devan atau tidak."Apa tidak aneh jika aku tiba-tiba menghubunginya?" gumam Berlin bimbang.Gadis itu melirik ke arah arloji kecil yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore hari. Berlin harus segera mendapatkan uang untuk biaya rumah sakit serta mengurus panti asuhan yang akan segera digusur.Gadis itu tak lagi memiliki banyak pilihan selain merampok pria kaya dengan cara halus."Coba saja dulu! Ayolah, Berlin! Tidak ada waktu lagi! Kalau ini tidak berhasil, aku akan menjual ginjal saja!" gumam Berlin menggebu-gebu.Berlin mulai sibuk memainkan ponselnya dan bersiap untuk menghubungi Devan. Dengan jantung berdegup kencang, gadis itu memberanikan diri menghubungi pria asing yang memberikan kartu nama padanya secara cuma-cuma."Halo?"&ldq
Tepat pukul lima sore, Berlin sudah berdiri di depan hotel yang akan menjadi tempat untuk kencan pertamanya bersama Devan.Gadis itu terus celingukan kesana-kemari dengan gelisah dan berusaha mencari sosok Devan yang tak kunjung muncul untuk menjemput dirinya."Pria itu tidak akan menipuku, kan? Hanya dia satu-satunya harapanku sekarang," gumam Berlin makin bertambah gelisah menanti kedatangan Devan.Sudah satu jam lamanya Berlin menunggu, namun pria yang dinanti-nantinya tak juga muncul menyapa dirinya."Riasanku sudah hampir luntur!" gerutu Berlin jengkel.Sementara di tempat lain, Devan terlihat duduk dengan santai sembari menyeruput secangkir kopi yang ada di tangannya. Manik mata pria itu tampak fokus menatap monitor yang menyuguhkan wajah Berlin sebagai bintang di la
Devan masih termenung menatap tanda lahir Berlin dan mencoba mengingat-ingat kapanserta di mana ia sempat melihat tanda yang nampak familiar itu.Dengan posisi sudah menindih tubuh Berlin di atas ranjang, Devan justru tak kunjung melanjutkan malam panasnya bersama gadis cantik yang sudah siap ia terkam.“Kenapa dia diam saja? Apa aku memang tidak menarik baginya?” batin Berlin bingung."Tuan!" panggil Berlin dengan nada manja pada Devan."Sampai kapan Tuan akan terus menatapku?" tanya Berlin kemudian.Lamunan Devan langsung buyar begitu ia mendengar suara Berlin. Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar, sebelum ia memulai kembali aksinya untuk menerkam gadis manis yang sudah terjebak dalam kungkungannya.
"Nana, bagaimana keadaan Ibu?" tanya Berlin pada adik kecilnya melalui telepon."Ibu sudah membaik, Kak. Kata dokter, Ibu sudah boleh pulang besok pagi," terang Nana."Kapan Kakak akan kemari?" tanya Nana penuh harap.Berlin nampak bingung harus memberikan jawaban apa pada adik kecilnya. Tubuhnya saat ini masih pegal dan sakit karena ulah Devan semalam. Belum lagi malam nanti pria itu akan kembali padanya untuk meminta "jatah"."Kakak akan berkunjung besok. Nanti Kakak akan mengirimkan uang untuk biaya rumah sakit Ibu. Katakan pada Kak Mei untuk mengurusnya, ya? Besok Kakak akan menjenguk Ibu. Hari ini Kakak masih ada banyak kelas di kampus," ujar Berlin mengarang cerita."Baiklah, aku akan menyampaikannya pada Kak Mei.""Titip pesan juga pada Ibu, besok Ibu bisa pulang ke panti dengan tenang. Katakan pada Ibu untuk banyak-banyak istirahat. Kakak sudah mengurus semuanya," pesan Berlin."Tentu. Akan kusampaikan pada Ibu," pungkas Nana, kemudian memati
"Bos, Nona Sheena sudah menunggu di luar ruangan sejak tadi. Apa tidak sebaiknya—""Biarkan saja dia menunggu! Sudah diusir dengan cara halus, kenapa dia masih saja tidak tahu diri?" sentak Devan tak peduli.Pria itu kembali fokus pada berkas-berkas kerja yang ada di mejanya tanpa menghiraukan keberadaan wanita cantik yang masih setia menunggu sapaan darinya."Bos, untuk beasiswa Nona Berlin—" Lagi-lagi perkataan Vernon terpotong begitu saja oleh Devan."Sudah kubilang untuk mencabutnya! Biarkan saja gadis itu mencari cara sendiri untuk mendapatkan beasiswanya lagi!"Vernon tak lagi berani bercicit dihadapan sang majikan. Asisten malang itu hanya diam sembari memainkan jemarinya yang kasar."Katakan pada Sheena kalau aku ada rapat sampai malam. Suruh dia pulang!" titah Devan pada Vernon.Begitu Vernon berlalu meninggalkan ruangannya, Devan melirik ponselnya sejenak dan mengotak-atik benda itu dengan antusias.Pria itu memasang kamera pengintai di
Tring, tring!Berlin terbangun dari acara tidur siangnya karena bunyi ponsel yang berdering kencang. Selama seharian penuh, gadis itu hanya menghabiskan waktu dengan berbincang bersama banyak orang melalui telepon, tanpa bisa meninggalkan hotel tempatnya beristirahat kini.Rasa lelah dan penat yang masih hinggap di tubuhnya, membuat Berlin malas menggerakkan tubuh bahkan untuk hal-hal rutin seperti mandi dan mengisi perutnya yang keroncongan."Kenapa sejak tadi ponselku berbunyi terus?!" gerutu Berlin mulai sebal."Halo?" jawab gadis itu dengan ketus tanpa melihat nama yang tertera di layar ponselnya."Begitukah caramu menyapa orang yang memberimu uang?" sentak Devan kembali dibuat naik pitam."Sial! Siapa ini yang menelepon?" jerit Berlin dalam hati.Gadis itu memeriksa layar ponselnya sejenak untuk melihat siapa nama pemanggil yang menghubunginya."Apa yang sudah kau lakukan pada dompetmu, Berlin!" batin Berlin pen
Bab 12. Sisi lain"Kenapa aku tidak merasakan apapun?" batin Berlin masih menunggu pukulan dari Devan dengan memejamkan mata."Dia jadi memukulku atau tidak sih?" batin Berlin mulai kehilangan kesabaran.Gadis itu memberanikan diri membuka mata dan melihat Devan yang melempar tatapan tajam padanya tanpa bersuara."Kenapa kau menutup mata? Kau pikir aku akan memukulmu?" sinis Devan.Berlin menundukkan kepala dalam-dalam tanpa berani menimpali perkataan Devan.Pria itu menarik pergelangan tangan Berlin kembali masuk ke dalam, kemudian menutup pintu kamar hotel rapat-rapat."B-bolehkah aku pergi sebentar? Hanya sebentar saja—""Apa kau tidak mengerti bahasa manusia? Apa perkataanku kurang jelas?" sentak Devan.Pria itu mendorong tubuh Berlin hingga terhempas ke ranjang dan melucuti pakaian gadis itu satu persatu secara paksa.Sementara, Berlin sendiri hanya pasrah dan tak berani memberontak pada pria y
Devan mengerjapkan mata dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan asing tempatnya terbaring lemas.Wajah pucat dan keringat dingin mulai mengucur deras membasahi pelipis pria itu.Nafas Devan mulai tersengal dan tenggorokannya mendadak tercekat. Hatinya menjerit, namun mulutnya tak sanggup mengeluarkan suara sedikitpun. Manik mata Devan melotot ke arah remaja laki-laki yang tergeletak tak jauh darinya. Darah yang mengalir deras di lantai membuat tubuh pria itu bergetar hebat dilanda kepanikan."I-ibu ... aku takut!" gumam Devan lirih."Aku takut!" gumamnya lagi diiringi air mata yang sudah mengalir membasahi pipi."Kenapa dengan pria ini?" gumam Berlin menatap Devan yang mengingau dengan tubuh berkeringat dingin.Ternyata kepanikan dan ketakutan Devan hanyalah sebuah mimpi buruk yang menyapanya dengan kenangan kelam yang pernah dilaluinya dulu.Devan terus meracau tidak jelas dengan mata tertutup, sementa