Share

5. Kapal yang karam

Berlin duduk termenung di pelataran rumah sakit di malam yang dingin. Waktu baru menunjukkan pukul tiga dini hari. Namun gadis itu tak dapat mengistirahatkan tubuh penatnya setelah beraktivitas seharian penuh.

Bola matanya terus tertuju pada lembar kertas yang ada di genggaman tangannya. Dilihatnya angka-angka yang tertera pada kertas itu dengan seksama.

"Satu miliar? Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Kenapa bunganya bisa mengembang sampai sebanyak ini?" oceh Berlin mengomel seorang diri bersama kertas-kertas bertuliskan nominal uang yang belum pernah dilihatnya.

"Haruskah aku pergi ke dukun? Ikut pesugihan? Jaga lilin?" gerutu Berlin.

Gadis itu menendangi kerikil yang berserakan di kakinya dengan kesal. Berlin mulai dibuat pusing dengan hutang yang seharusnya bukan menjadi tanggungjawabnya. Namun jika ia tidak melakukan sesuatu, Bu Wanda dan adik-adik asuhnya terpaksa harus meninggalkan panti karena penyitaan dari pihak pemberi pinjaman.

"Sebenarnya siapa orang gila yang sudah seenaknya mengambil pinjaman atas nama Ibu dan menggunakan bangunan panti sebagai jaminan? Apa sebaiknya aku lapor polisi saja?" gumam Berlin masih buntu dalam mencari solusi untuk menyelamatkan rumah kecil tempat tinggal adik-adiknya.

Berlin merogoh ponsel kecil yang ada di kantongnya dan melihat daftar kontak yang dimilikinya.

"Hanya satu milliar saja mungkin bukan jumlah yang besar untuk Ken. Apa aku coba untuk meminta uang padanya saja?" 

"Tapi aku baru satu hari berkencan dengannya. Bagaimana kalau dia marah karena aku sudah berani meminta banyak uang padanya?" oceh Berlin memilah-milah alternatif solusi yang bisa ia coba untuk membantunya keluar dari lilitan hutang yang hampir menelantarkan keluarganya di panti asuhan.

"Sial! Aku benar-benar buntu!" rengek Berlin mulai stress memikirkan uang.

Gadis itu pun beralih mencari bangku yang bisa ia jadikan tempat untuk beristirahat. Berlin mencoba menutup mata sejenak dan membiarkan otak serta tubuhnya bersantai sebentar setelah menjalani hari yang panjang nan melelahkan.

Meskipun tak bisa rehat dengan tenang, setidaknya Berlin telah berhasil memejamkan mata walaupun hanya dua jam lamanya.

Tepat pukul lima pagi, gadis itu sudah terbangun dan bergegas menghubungi Ken untuk meminta bantuan.

Tanpa mempedulikan rambutnya yang acak-acakan serta lingkaran hitam di matanya, Berlin mencoba menghubungi sugar daddy yang menjadi harapan terakhirnya untuk mendapatkan uang.

"Halo, Tuan Ken?" sapa Berlin dengan suara lemah lembut.

"Siapa kau?" 

Sayangnya nasib sedang tak berpihak pada gadis malang itu. Bukannya mendapatkan sapaan dari Ken, panggilan telepon dari Berlin justru diangkat oleh seorang wanita yang tak lain ialah istri dari Ken.

Gawat! Kenapa suara wanita yang mengangkatnya? Bukankah seharusnya para pria hidung belang ini memiliki ponsel khusus untuk sugar baby mereka?” jerit Berlin dalam hati.

"Jadi, Ken memiliki ponsel lain hanya demi menghubungi gadis murahan sepertimu?" sentak istri Ken melalui telepon.

Tut!

Berlin segera mematikan telepon sebelum ucapan caci maki terdengar ke telinganya. Berakhir sudah kencannya bersama dengan sang sugar daddy baru bernama Ken. Belum ada satu hari gadis itu berkencan dengan Ken, namun Berlin sudah dilanda nasib sial dan dipergoki oleh istri dari Ken.

"Astaga! Dompet baruku melayang begitu saja? Bagaimana aku bisa membayar tagihan rumah sakit?" gerutu Berlin semakin dibuat pusing dengan masalah baru yang muncul menjepit keuangannya.

Gadis itu bergegas kembali ke apartemen kecil miliknya dan memutar otak lagi untuk mencari cara mendapatkan uang yang banyak dalam waktu singkat.

Ketika tengah sibuk mengotak-atik barang, Berlin menemukan kartu nama yang terselip di dalam tas kecil miliknya.

"Apa ini?" gumam Berlin.

"Devandra?" 

Berlin membaca kertas kotak itu dengan seksama sembari mengingat-ingat kembali mengenai kartu nama yang tiba-tiba terselip di antaranya barangnya.

"Astaga! Aku hampir lupa! Pria yang di kampus itu sudah tahu kalau aku ayam kampus yang berkencan dengan sugar daddy!" pekik Berlin baru teringat mengenai Devan.

"Bagaimana kalau dia menyebar berita aneh di kampus?!"

Tak cukup dipusingkan dengan hutang dan istri Ken, Berlin masih harus dihadapkan dengan ancaman kampus yang mungkin akan merusak reputasinya. Hal terburuk yang mungkin terjadi ialah beasiswa yang sudah didapatkan Berlin dengan susah payah mungkin akan hilang begitu saja karena image buruk yang akan melekat pada dirinya.

"Semoga tidak terjadi apapun di kampus!" gumam Berlin sembari bersiap mengenakan masker dan topi untuk berangkat ke universitas tempatnya menimba ilmu.

Gadis itu ingin memastikan kemungkinan yang akan terjadi jika Devan benar-benar menyebarkan berita buruk mengenai dirinya.

Keringat dingin yang mengucur deras mengiringi langkah Berlin menuju bangunan besar yang sudah menjadi tempatnya belajar selama tiga tahun lamanya.

Begitu dirinya sampai di halaman kampus, terlihat para mahasiswa nampak bergerombol di papan pengumuman yang terpajang di dekat pintu masuk.

Tubuh Berlin perlahan bergetar hebat saat ia melihat gerombolan orang yang sibuk berbisik membicarakan kertas yang tertempel di papan pengumuman.

Suara-suara sumbang lekas bersahutan di telinganya hingga akhirnya ia mendengar dengan jelas seseorang menyebutkan namanya dengan gamblang.

Mereka tidak sedang menggosipkanku, kan?” batin Berlin cemas.

Gadis itu memberanikan diri membaur dalam kerumunan dan mencoba melihat isi papan pengumuman.

Benar saja, gadis yang menjadi sorotan dan bahan pembicaraan panas para mahasiswa itu adalah dirinya. "Berliana Soraya, mahasiswi berprestasi yang menjadi ayam kampus", begitulah kira-kira judul kertas yang tertempel di pusat informasi itu.

Siapa yang menuliskan hal konyol seperti ini?” geram Berlin dalam hati.

Saat dirinya tengah sibuk menatap tempelan kertas di papan pengumuman, tiba-tiba seseorang mencengkeram erat tangannya dan menariknya keluar dari kerumunan.

Orang itu tiba-tiba menarik topi dan masker yang dikenakan oleh Berlin, kemudian mendaratkan tamparan keras ke wajah cantik gadis malang itu.

Plak!

Berlin mendongakkan wajahnya dan beradu pandang dengan seorang wanita berpenampilan glamour yang melotot penuh benci padanya.

"Menjauhlah dari suamiku sebelum aku menguburmu hidup-hidup!" ancam wanita itu dengan angkuhnya.

Apa dia istri Ken? Kenapa dia bisa menemukanku secepat ini? Kekuatan uang benar-benar mengerikan,” batin Berlin bergidik ngeri.

"Aku tidak percaya Ken bisa terpikat dengan gadis miskin sepertimu!" cibir wanita itu.

Berlin hanya diam menerima hinaan dari istri Ken. Bagaimanapun juga, Berlin memang sudah melakukan kesalahan dan tidak sepantasnya dia melontarkan pembelaan.

"Ken pasti sudah buta! Apa kalian para pria di sini juga menganggap kalau gadis ini cantik?" sinis wanita itu sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling mahasiswa yang mengerubungi Berlin dan melihat pertikaian mereka.

"Kembalikan semua barang yang sudah diberikan Ken padamu! Jangan sampai aku melihatmu lagi di masa depan!" pungkas wanita itu meninggalkan Berlin setelah puas melayangkan tamparan pada gadis itu.

Berlin mengusap pipinya yang memerah dengan kepala tertunduk dalam-dalam. Begitu istri Ken pergi, gadis itu kembali mendapatkan cibiran dan caci maki dari para mahasiswa di kampusnya.

Sementara dari kejauhan, nampak Devan hanya berdiri mematung menyaksikan Berlin menjadi bahan olok-olokan di depan banyak orang. Dengan senyum liciknya, Devan tak menampakkan rasa iba sedikitpun melihat Berlin yang dilempari banyak barang serta disoraki oleh orang-orang di halaman kampus itu.

"Tontonan yang membosankan!" gumam Devan berlalu begitu saja meninggalkan halaman kampus yang masih ramai.

"Pak Devandra?" panggil seorang dosen pada Devan.

Pria itu menoleh dengan penuh kharisma sembari melepar senyum ramah pada dosen itu.

"Iya?"

"Sebentar lagi ada rapat untuk membahas daftar kelanjutan beasiswa untuk beberapa mahasiswa. Apa—"

"Keluarkan mahasiswi bernama Berliana Soraya dari daftar. Aku tidak ingin menghabiskan uang hanya untuk ayam kampus!" potong Devan cepat.

Pria itu merogoh ponsel di kantongnya dan bergegas pergi meninggalkan dosen itu. Devan mengangkat panggilan telepon dari asistennya dan secara kebetulan tengah membahas mengenai bangunan panti asuhan.

"Surat penyitaan sudah diturunkan, Bos. Tapi itu hanya bangunan tua yang berada di tempat terpencil, Bos. Bagaimana kalau kita lepaskan saja mereka dan kita berikan keringanan cicilan?" usul si asisten sesopan mungkin.

"Dua miliar!"

"Iya?"

"Katakan pada mereka tagihannya akan menjadi dua miliar kalau mereka tidak membayarnya besok pagi. Kita lihat kemana gadis itu akan mencari uang," cetus Devan dengan kejamnya.

Sementara di tempat lain, nampak seorang gadis tengah menangis pilu sendirian di sela-sela semak yang rimbun.

Berlin begitu terpukul dengan perlakuan buruk yang diperolehnya di lingkungan kampus. Terlebih lagi saat ia menerima kabar mengenai tagihan pembebasan penyitaan yang semula bernilai satu miliar, tiba-tiba berubah menjadi dua miliar. Ditambah lagi dengan pihak kampus yang mendadak mencabut beasiswanya hingga membuat gadis itu terancam putus kuliah.

"Apa yang harus kulakukan sekarang?" gumam Berlin lekas putus asa dengan keadaan yang hampir menggilas hancur harapannya untuk melanjutkan hidup.

Gadis itu menangis sesenggukan tanpa henti sampai berjam-jam lamanya hingga air matanya mengering.

Berlin mengobrak-abrik tas kecil yang dibawanya dan mendapati kartu nama Devan yang masih tersimpan dengan baik.

"Lagi pula aku sudah tidak memiliki pelanggan. Apa aku hubungi saja dia?"

"Devandra Wildantara. Mungkin ini tidak akan berhasil, tapi setidaknya aku harus mencoba!"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status