“Dia akan murka, lihat saja!” Ian terdengar ikut marah pada keputusan Ash yang bodoh, tapi sebenarnya sedang amat panik. Membayangkan masa depan Ash yang mendadak suram.“Aku tidak akan mengumumkannya bukan? Aku tidak bodoh.” Ash mendesis lalu menunjuk kursi. Menyuruh Ian tenang dan kembali duduk. Ash bukan tidak tahu, karena itu ia membawa Mae ke Reading. Ia tidak ada di dekat sini.“Tt…tapi bukan berarti dia tidak akan tahu. Dia membuat puluhan anak kehilangan tempat tinggal hanya karena kau menemukannya dulu. Kau lupa? Kau pikir apa yang akan dilakukannya kalau sampai ia tahu lagi yang ini?!” Ian sudah kembali duduk, tapi tidak bisa berhenti panik. “Kau jangan membuat masalah, Ash. Nanti…”“Aku tidak mungkin meninggalkannya sendiri.” Ash menyela. Keputusannya liar tapi perlu.“Kau hanya ingin membantunya bukan? Kembalikan kemana kau menemukannya, bantu saja dari jauh. Kembalikan sebelum ayahmu tahu.” Ian menunjuk ke pintu, menyuruh Ash melakukannya sekarang juga. Terdengar sepert
Mae berlari dengan air mata turun deras di pipinya. Paru-parunya menjerit karena entah sudah berapa lama memaksakan diri berlari. Tapi Mae tahu ia akan mati kalau berhenti. Pria yang saat ini mengejar akan membunuhnya pasti, dan langkah kaki monster itu sangat dekat.“AGH!”Mae menjerit nyaring saat rambutnya tertarik, ia langsung terjerembab jatuh, dan tubuh besar menindih punggungnya. Napas Mae semakin sesak.“Lepas…”“Tidak akan pernah, Mary. Kau milikku.” Bisikan berat di depan telinganya, membuat Mae menggigil dan gemetar, belum lagi elusan tangan di pipinya.“Aku membayar mahal untuk memilikimu, Mary. Kita sudah menikah. Ini yang kau inginkan bukan?” Mae memejamkan mata, tidak mampu lagi menahan isakan saat lidah basah menyentuh telinganya. Menjijikkan, tidak lebih seperti lidah makhluk buas yang siap memangsa.“Kau bandel hari ini, mencoba lari. Apa kau sengaja? Kau menyukai hukuman itu?” bisikan lain yang membuat tangis Mae semakin keras. Hukuman itu adalah mimpi buruk, Mae t
Ash sangat bisa menahan atau mungkin mendorong tubuh Mae agar ciuman itu tidak terus terjadi, tapi sekali lagi akal sehat yang tadi diniatkan untuk tetap ada, luluh berkeping-keping seketika. Ash tidak menginginkannya, tapi bukan tidak punya nafsu yang siap sedia. Apalagi sudah beberapa bulan ini ia tidak menjalin hubungan serius.Bibir yang menyapu dengan liar tentu menyalakan api dengan mudah, menelan umpatan terkejut yang tadi hampir terucap, menggantinya dengan desah yang menyerukan nikmat. Hembusan napas Mae menggelitik, memacu desiran detak jantung, membutakan rasa bersalah Ash, menutupi emosi penyesalan yang tadi siang begitu mengganggu.Tapi saat tangannya merengkuh, dinginnya tubuh Mae, kembali dengan mudah mengembalikan semua itu. Mae mungkin merasa bisa menipu kalau mencium Ash dengan lebih liar, tapi kenyataannya tidak semudah itu.Ash mengambil pergelangan tangan Mae, lalu menggeleng dan mundur menjauh.“Apa lagi? Apa yang salah?!” Mae marah pastinya, dan mengibaskan tang
Ash mengangguk, tapi dengan mata memandang ke segala arah. Memikirkan jawaban terbaik.“Aku tidak mencari itu.” Ash menegaskan.“Lalu?”“Aku… sendirian di sini. Aku tidak ingin sendirian.” Ash menunjuk sekitar. Alasan yang bahkan tidak meyakinkan dirinya sendiri, tapi lumayan karena bisa membuat kecurigaan Mae mereda. Kerutan di keningnya mengendur.“Kau… tidak ingin kesepian? Begitu maksudmu?” Mae mencerna.“Ya.”“Kesepian tapi tidak ingin tidur bersama?” Mae masih menemukan titik janggal, dan jantung Ash hampir tidak bisa menanggung. “Bukan tidak ingin! Tapi tidak ingin kalau kau tidak menginginkannya juga!” Ash mendesiskan jawaban, karena pembicaraan tentang tidur berulang kali bukan tidak menimbulkan akibat apapun. Akal sehatnya akan semakin tipis kalau hal itu terus disebut oleh Mae yang sedang memakai baju seksi. Bayangan tubuh telanjang Mae yang sudah terlanjur dilihatnya kemarin, saat ini menari dengan bebas dalam benaknya.“Lalu apa? Kau menyuruhku seperti apa? Kau ingin ak
Mae tersedak teh yang baru saja diminumnya, saat tiba-tiba Ash muncul dari pintu belakang dan masuk ke dapur.“Aku pikir kau beruang atau sebangsanya!” seru Mae sambil mengusap wajah dan lehernya yang basah. Penampakan Ash mirip beruang memang.Ash memakai hoodie coklat menutupi kepala—juga celana dengan warna yang sama. Tubuhnya juga cukup besar. Mae yang baru saja terbangun kurang dari setengah jam lalu, hanya mampu mencerna sosok itu sebagai beruang yang menerobos masuk.“Rumah ini mungkin di desa, tapi kita ada di Reading. Tidak ada beruang di sini,” kata Ash, sambil menurunkan hoodie. Mereka cukup dekat dengan kota dan hutan di sekitar situ tipis. Ash bahkan tidak yakin apakah ada beruang liar di seluruh negara.“Apa kau berlari mengelilingi Inggris?” Mae sedang mengomentari keringat Ash.Dari penampilan, jelas Ash baru saja berjogging. Tapi sedikit berlebihan. Rambutnya bukan hanya basah, tapi seperti ada orang yang menyiram seember air padanya. Hoodie yang dipakainya sama, basa
Ash menjelaskan beberapa hal yang akan dilakukannya nanti, termasuk mengganti sofa dan memperbaiki beberapa jendela yang memang sudah lapuk. “Akan sedikit lama, tapi…” Mae menghentikan penjelasan itu, dengan menempelkan telunjuk ke bibir Ash. “Berhenti dulu, bernapas dulu.” Mae lalu mencubit pipi Ash. “Aw?” Ash tidak merasa amat sakit, hanya heran, dan mengelus pipinya yang tidak bersalah tapi mendapat serangan. “Untuk apa itu?” tanya Ash. “Memastikan bukan mimpi,” kata Mae lalu kembali menopang kepalanya. “Kau memastikan mimpi atau bukan dengan mencubit pipiku? Biasanya memastikan mimpi atau bukan dengan mencubit diri sendiri, bukan orang lain.” Ash masih mengusap pipinya dengan heran. “Apa rasanya sakit?” tanya Mae. “Tentu.” “Well, kalau begitu ini bukan mimpi. Kau bisa merasakan sakit. Sama saja bukan? Tidak perlu aku yang sakit.” “Logika macam apa itu?” Ash antara ingin jengkel, tapi ingin tertawa juga, tapi memutuskan kalau membahas logika Mae akan menjadi panjang. Ia
“Ini! Aku menemukannya di sini! Terlihat jelas!”Dex dengan tergesa membawa laptopnya kepada Evelyn. Menunjukkan foto yang ditemukannya. Evelyn juga melakukan hal yang sama tapi Dex yang lebih dulu menemukannya. Foto pria yang menyerang Dex.Mereka sudah melapor ke polisi, tapi tentu sulit untuk membuat tuntutan karena tidak tahu identitas dari siapa yang melukai Dex.“Ini yang paling jelas.” Evelyn setuju. Iya tadi menemukan beberapa foto, tapi hanya tampak samping dan belakang. Foto yang ditemukan Dex itu lebih jelas. Pria itu berdiri sambil menatap ke depan, berjajar bersama tamu lain.“Dia bukan sedang menatap Dad, tapi jalang itu!” desis Evelyn dengan jijik, saat menyadari arah pandangan mata dalam foto itu. Mae masih ada di dekat peti mati ayahnya.“Sepertinya dia pria Mae.” Dex kini yakin.“Memang akan jalang sampai kapanpun. Berani sekali betina itu membawa pria saat pemakaman suaminya?! Lebih dari menjijikan!” Evelyn mencela sambil menggelengkan kepala. Tidak habis pikir.“La
“Kami sudah mencoba apapun, tapi tanpa transplantasi itu, tidak ada yang bisa dilakukan lagi. Komplikasinya sudah terlalu buruk.” Dokter Faraday menggeleng dengan murung.Mae bukan belum pernah mendengar hal itu, tapi rasanya sama saja. Seperti ada yang mengikat lehernya—sesak. Putus ada yang menghimpit sampai membuatnya sulit bernapas. Apalagi ditambah pembicaraan kalau keadaan ginjal Daisy yang memburuk, rasa mencekik itu semakin nyata.“Apa tidak ada yang bisa dilakukan untuk mempercepat perolehan donornya? Saya tidak bisa melihat Daisy terus seperti itu.” Mae hanya melihat, tapi Daisy yang menjalaninya, pasti lebih buruk. Hati Mae terasa tertusuk setiap kali harus membayangkan Daisy menanggung rasa sakit dengan tubuhnya yang kurus itu.Dokter Faraday tampak mengusap dagu, berpikir keras. “Ada tapi mungkin tidak akan murah.”Dokter Faraday menunduk dan berbisik di telinga Mae, berhati-hati agar tidak ada yang mendengar. “Aku biasanya tidak akan menyarankan hal ini karena bisa dikat