LOGINDua hari kemudian, suara deru mobil berhenti di depan rumah Mak Asih. Beberapa tetangga yang duduk di teras rumah mereka segera menoleh, penasaran. Mobil hitam mengkilap itu bukan pemandangan yang biasa di kampung kecil ini.
Pintu mobil terbuka, dan seorang pria turun dengan wajah masam. Menyusul di belakangnya, seorang perempuan dengan kacamata hitam dan langkah cepat, diikuti seorang lagi pria dengan ekspresi tak kalah kesal. Mak Asih yang tengah duduk di teras segera berdiri. Jantungnya berdegup kencang, antara lega dan cemas. Anak-anaknya pulang. Akhirnya mereka pulang. "Anak-anakku…" suaranya nyaris bergetar saat mereka mendekat. Tapi sambutan yang ia harapkan tak kunjung datang. "Emak bikin apa lagi, sih?" suara perempuan itu, Rini, terdengar tajam. Ia melepas kacamatanya, menatap ibunya dengan pandangan yang penuh kejengkelan. "Kita ini lagi sibuk, tahu nggak? Kenapa harus dipanggil segala?" "Rini, jangan gitu sama Emak," potong Sita yang sedari tadi berdiri di dekat pintu. Ia memang sering menemani Mak Asih. "Emak lagi ada masalah besar, makanya kalian dipanggil." "Memangnya kapan Emak nggak ada masalah?" sela Arman, anak sulung Mak Asih. Wajahnya terlihat lelah, tapi bukan karena perjalanan. Lebih karena ketidaksabaran. "Setiap kali kita pulang, pasti ada urusan. Nggak bisa tenang, deh." Mak Asih menahan napas, berusaha menekan perih yang mulai mengembang di dadanya. Tapi ia menelan itu semua. Yang penting mereka sudah pulang. "Masuk dulu, Nak. Kita bicara baik-baik." Suaranya pelan, hampir memohon. Dengan enggan, mereka akhirnya masuk ke rumah kecil itu. Ruang tamu sederhana itu terasa makin sempit dengan ketegangan yang melingkupinya. Pak RT, Pak RW, dan Pak Hadi sudah menunggu, duduk dengan wajah serius. "Terima kasih kalian sudah mau datang," kata Pak RT membuka pembicaraan. "Kita di sini mau menyelesaikan masalah sebaik mungkin." Arman bersandar di kursinya dengan tangan terlipat di dada. "Sebenarnya masalahnya apa, sih?" Pak Ali yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. Dengan suara lantang, ia menjelaskan tentang hutang piutang yang menurutnya belum dilunasi. "Ini buktinya!" katanya sambil melempar selembar kertas ke meja. "Emak kalian itu nggak punya itikad baik. Aku udah sabar, tapi sekarang kesabaran itu habis!" Arman mengambil kertas itu, membacanya sekilas, lalu mendengus. "Ini apa, Mak? Kenapa bikin perjanjian kayak gini?" "Saya kira hutangnya udah lunas…" suara Mak Asih semakin pelan, hampir tak terdengar. "Lunas gimana? Nggak ada bukti jelas!" Arman semakin meninggikan suara. "Kenapa sih, Mak? Kenapa selalu gampang percaya sama orang?" Rini ikut angkat bicara. "Udah tahu nggak ngerti soal administrasi, kenapa bikin perjanjian tanpa ngomong dulu sama kita? Sekarang kayak begini, siapa yang repot? Kita juga, kan!" "Maaf, Nak… Emak nggak—" "Selalu kayak gini," potong Rini tajam. "Kita udah capek, Mak. Hidup kita juga nggak gampang. Tapi Mak nggak pernah ngerti itu." Farhan, yang dari tadi diam, akhirnya membuka suara. "Jadi gimana, Mak? Mau sampai kapan kayak gini terus? Kita kan juga punya kehidupan masing-masing." Pak Hadi berdehem, mencoba menengahi. "Saya rasa yang terpenting sekarang kita cari solusi. Kalau terus saling menyalahkan, masalah ini nggak akan selesai." Arman menghela napas kasar. "Solusinya ya jelas. Kalau Mak nggak bisa bayar, ya tanah ini dijual. Udah selesai." Air mata Mak Asih menetes tanpa suara. Rumah ini… satu-satunya peninggalan almarhum suaminya, satu-satunya tempat yang ia miliki. "Saya nggak mau tanah ini dijual, Nak…" suaranya bergetar. "Rumah ini penuh kenangan sama Bapak kalian…" "Kenangan nggak bisa bayar hutang, Mak!" sergah Rini. "Realistis sedikit, dong!" Suasana makin memanas. Sita yang tak tahan akhirnya bicara. "Kalian ini kenapa sih? Ini Emak kalian! Dia berjuang buat kalian, ngeluarin semua yang dia punya buat kalian bisa jadi orang!" Arman menatap Sita tajam. "Jangan ikut campur urusan keluarga kami!" "Saya ikut campur karena saya peduli! Nggak kayak kalian yang cuma datang pas ada masalah!" Ruangan itu hening. Hanya suara isakan pelan Mak Asih yang terdengar. Pak RW akhirnya angkat bicara. "Saya rasa kita semua butuh waktu buat mendinginkan kepala. Bagaimana kalau kita jadwalkan pertemuan lagi setelah ini, biar keputusan yang diambil nggak dalam keadaan emosi?" Semua orang mengangguk setuju, kecuali Mak Asih yang hanya bisa terdiam dalam luka yang semakin dalam. * Rumah kecil itu terasa sunyi setelah para perangkat desa dan tetangga pulang. Hanya Mak Asih dan ketiga anaknya yang tersisa di ruang tamu. Tapi kesunyian itu bukan ketenangan — ia lebih mirip badai yang sedang menunggu waktu untuk meledak. Mak Asih menatap anak-anaknya satu per satu. Rini sibuk memainkan ponselnya, tak peduli pada wajah ibunya yang masih berurai air mata. Arman duduk bersandar dengan ekspresi jengah, sementara Farhan menatap kosong ke luar jendela. Hati Mak Asih terasa remuk. Ini anak-anak yang dulu ia besarkan dengan penuh cinta dan pengorbanan. Anak-anak yang dulu ia belikan buku dengan uang hasil menjual beras dari sawah. Anak-anak yang dulu ia doakan setiap malam agar menjadi orang sukses. Dan mereka berhasil. Tapi di saat Mak Asih membutuhkan mereka… "Rini… Arman… Farhan…" suara Mak Asih pelan, nyaris bergetar. "Apa kalian beneran nggak bisa bantu Emak?" Ketiganya diam. "Emak nggak minta banyak… cuma kalau bisa kalian iuran sedikit-sedikit buat nyelamatin rumah ini. Kan kalian udah sukses semua. Rini kerja di bank, Arman jadi manajer, Farhan kerja di perusahaan besar…" suara Mak Asih semakin lirih. "Nggak mungkin kalian nggak bisa…" Rini mendengus pelan, meletakkan ponselnya di meja. "Emak kira semudah itu? Iya, kerjaanku bagus, gajiku lumayan. Tapi Emak tahu nggak berapa banyak cicilan yang harus aku bayar tiap bulan? Kredit rumah, mobil, kartu kredit…" Arman mengangguk setuju. "Aku juga, Mak. Emak pikir jadi manajer itu gampang? Tuntutannya tinggi. Aku juga harus jaga image. Ada banyak biaya yang harus aku keluarin buat urusan kerja." Farhan, yang dari tadi diam, akhirnya bicara. "Aku baru aja mulai nabung buat beli rumah sendiri, Mak. Kalau harus keluar uang banyak sekarang, tabunganku habis. Terus gimana masa depanku?" Mak Asih menatap mereka dengan mata yang semakin basah. "Tapi ini rumah kita, Nak… Rumah tempat kalian lahir dan dibesarkan…" "Mak juga harus mikir realistis," potong Rini tajam. "Kalau memang nggak bisa bayar, ya udah. Jual aja tanah itu. Selesai urusannya." "Tapi Emak nggak mau jual rumah ini…" suara Mak Asih bergetar. "Rumah ini satu-satunya peninggalan Bapak kalian…" "Kenangan nggak bisa bayar hutang, Mak!" sahut Arman dengan nada kesal. "Kita ini juga punya hidup masing-masing. Emak nggak bisa terus-terusan jadi tanggungan kita." Mak Asih terdiam. Kata-kata itu seperti tamparan keras di wajahnya. "Tanggungan?" bisiknya pelan. "Emak ini tanggungan kalian?" "Ya kalau kayak gini terus, iya," jawab Rini tanpa ragu. "Setiap ada masalah, kita yang harus turun tangan. Sampai kapan, Mak?" Air mata Mak Asih jatuh tanpa bisa ditahan. Ia tak pernah menyangka kata-kata seperti itu akan keluar dari mulut anak-anak yang dulu ia besarkan dengan penuh kasih. "Emak cuma minta sedikit bantuan…" suaranya semakin lemah. "Apa segitu sulitnya buat kalian?" "Mak nggak ngerti situasi kita," Farhan berdiri, merapikan jaketnya. "Kita juga berjuang buat hidup kita sendiri. Kita udah cukup berkorban buat sekolah, buat jadi sukses. Sekarang giliran Emak yang harus bisa berdiri sendiri." Arman ikut berdiri. "Kita nggak bisa bantu, Mak. Kalau memang harus dijual, ya dijual aja. Itu solusi paling logis." Rini mengambil tasnya, menatap ibunya dengan dingin. "Kami udah nggak bisa lama-lama di sini. Kami pulang." Dan tanpa menunggu jawaban, ketiganya berjalan keluar. "Rini… Arman… Farhan…" panggil Mak Asih dengan suara putus asa. Tapi mereka tak menoleh. Beberapa saat kemudian, suara mobil itu kembali terdengar, menjauh. Membawa pergi harapan terakhir Mak Asih. Ia berdiri di ambang pintu, memandangi jalan yang semakin sepi, lalu berbalik masuk dengan langkah gontai. Rumah itu terasa lebih dingin, lebih sunyi.Mesin monitor perlahan kembali menunjukkan grafik yang lebih stabil setelah tindakan darurat dilakukan. Dokter memberi tanda lega, lalu meninggalkan ruangan, memberi kesempatan Rini bersama keluarganya.Arman buru-buru mendekat lagi, menggenggam tangan kakaknya. Jemarinya gemetar, matanya masih basah. “Mbak… jangan bikin aku takut begini lagi. Aku belum siap…”Rini membuka kelopak mata perlahan. Napasnya berat, tapi ada kesadaran yang kuat di dalam tatapannya. Dengan tangan lemah, ia memberi isyarat agar Arman mendekat lebih dekat.Arman menunduk, hampir menempelkan telinganya ke bibir Rini.“Man…” suara Rini parau, hampir tertelan bunyi mesin. “Dengarkan aku baik-baik. Aku nggak tahu berapa lama aku masih bisa bicara…”Air mata Arman kembali jatuh. “Mbak, jangan bicara begitu. Kamu akan sembuh. Kamu harus sembuh.”Namun Rini tersenyum samar, seolah tahu lebih banyak dari Arman. “Kalau aku pergi nanti… jaga Farhan. Dia masih muda, jangan sampai salah jalan. Jangan biarkan dia merasa s
Tangannya menepis lemah gelas yang disodorkan Sita, hingga hampir tumpah. Nafasnya tersengal, keringat dingin membasahi pelipisnya.Sita tercekat, dadanya sesak mendengar kata-kata itu. “Mbak Rini… astaga, jangan bicara begitu.” Ia berlutut di samping Rini, mencoba menahan tangannya. “Kamu jangan bilang akan mati. Kamu masih punya kesempatan… ayo makan dulu, minum dulu. Tubuhmu butuh tenaga.”Namun Rini justru menangis tersedu, kepalanya tertunduk. “Tidak, Sita… kamu tidak tahu… penyakitku ini… sudah tidak ada obatnya. Aku hanya tinggal menunggu waktu.”Sita terdiam, tubuhnya kaku. Kata-kata Rini menggema seperti pisau yang menusuk hati. Ia ingin menyangkal, ingin berteriak bahwa semua masih bisa ditolong, tapi melihat wajah pucat dan tubuh ringkih Rini, keraguannya makin besar.“Kalau pun aku mati… biarkan aku di rumah ini… biar aku pulang ke pangkuan Mak…” bisik Rini lirih, matanya terpejam, air matanya jatuh tanpa henti.Sita menutup mulutnya dengan telapak tangan, menahan isak yan
Ketukan pelan terdengar dari pintu kamar. Seorang perawat berseragam putih masuk sambil membawa papan catatan. Senyum tipis terpasang di wajahnya, meski matanya sedikit ragu melihat kondisi Rini yang masih pucat.“Selamat sore, Mbak Rini,” sapa perawat itu lembut. “Bagaimana perasaannya sekarang?”Rini hanya mampu mengangguk pelan, tenggorokannya masih tercekat.Perawat itu melirik ke tumpukan barang di sudut ruangan, lalu kembali menatap Rini. “Mbak, saya ingin memastikan. Untuk administrasi, siapa yang bertanggung jawab dengan biaya rumah sakit ini? Karena pihak kasir sudah menanyakan jaminannya.”Pertanyaan itu menancap seperti pisau di dada Rini. Dadanya sesak. Biaya rumah sakit? Ia bahkan tak tahu bagaimana membayar tagihan rumah sakit yang pasti tidak kecil.Tangan Rini gemetar. Ia menggigit bibir, mencoba menjawab. “Sa-saya… tidak punya siapa-siapa, Mbak..”Perawat itu menatapnya iba, tapi tetap profesional. “Kalau begitu, Mbak bisa menyerahkan jaminan sementara. Apapun, asal b
Rini masih duduk terpuruk di lantai, tangannya gemetar memegang pipi yang memerah. Air matanya sudah mengering, berganti dengan tatapan kosong yang dingin. Ancaman Bu Desy tadi seakan menggema terus di telinganya. Namun, pelan-pelan ia mengibaskan kepala, berusaha menyingkirkan bayangan menakutkan itu.“Penyakit kelamin? Hah… belum tentu juga menular kepadaku,” gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri sendiri. Ia menegakkan badan, meski lututnya masih lemas. “Aku sehat-sehat saja… aku baik-baik saja.”Bibirnya melengkung getir, seolah menertawakan nasibnya sendiri. “Kalau pun benar, itu urusan nanti. Yang penting sekarang… aku harus keluar dari tempat ini.”Matanya menatap sekitar, lorong kontrakan yang kini sepi. Ia sadar, tak ada seorang pun yang mau membelanya. Bahkan pemilik kos sekalipun. Rini meremas gaunnya, lalu berdiri dengan langkah gontai menuju kamar. Sesampainya di dalam, ia menghempaskan diri di kasur, menarik napas panjang yang bergetar.Tangannya meraih ponsel di meja
Mata Rini langsung melebar, darahnya seakan membeku. “I… istri sah?” suaranya tercekat, wajahnya pucat pasi.Desy mengangguk mantap, lalu melambaikan tangan. Dari balik pagar, muncul dua lelaki berperawakan besar, bertato di lengan, wajah keras khas preman pasar. Mereka berdiri di sisi kanan dan kiri Desy, bersedekap dengan tatapan tajam, membuat suasana makin mencekam.Rini spontan mundur setapak, tubuhnya gemetar meski bibirnya berusaha tetap tegar. “Sa… saya tidak tahu maksud Ibu apa. Mungkin Ibu salah orang.”Tatapan Desy langsung berubah tajam, suaranya meninggi penuh wibawa. “Jangan pura-pura bodoh, Rini! Saya sudah tahu semuanya. Saya tahu kamu main belakang dengan suami saya. Pertanyaannya sekarang…” ia mencondongkan tubuh, sorot matanya menusuk tajam, “…sejak kapan kamu jadi simpanan Herman?”Rini tersentak, nyalinya menciut melihat sorot mata penuh amarah itu. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia memaksa tersenyum kaku, melirik sekilas ke arah dua preman yang berdiri b
Pak Narto menoleh cepat, keningnya berkerut melihat adiknya berdiri di ambang pintu dengan wajah kok tiba-tiba datang malam-malam begini?” suaranya berat, penuh tanda tanya.Paklik Anto melangkah masuk tanpa basa-basi, matanya langsung menajam ke arah Arman. “Saya tadi dengar dari tetangga, katanya Arman ini sering main ke rumah Sita. Dan sekarang… ternyata niatnya memang sudah sejauh ini?”Suasana ruang tamu seketika mencekam. Arman menunduk dalam, tubuhnya terasa kaku. Farhan menoleh panik, hendak bicara, tapi lidahnya kelu.Arman menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. Suasana ruang tamu begitu sunyi, hanya terdengar detak jarum jam dinding yang seakan mempertegas rasa tegang. Ia memberanikan diri mengangkat wajah, meski pandangan masih setengah ragu.“Paklik…” suaranya pelan tapi jelas, “apa Paklik marah kalau saya benar-benar serius dengan Sita? Bukankah…Mas Agung juga punya alasan untuk tidak memilih Sita? Saya hanya…” ia terhenti, menarik napas dalam, lalu melanjutkan denga







