Share

4

Penulis: Anik Safitri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-13 15:30:49

Dua hari kemudian, suara deru mobil berhenti di depan rumah Mak Asih. Beberapa tetangga yang duduk di teras rumah mereka segera menoleh, penasaran. Mobil hitam mengkilap itu bukan pemandangan yang biasa di kampung kecil ini.

Pintu mobil terbuka, dan seorang pria turun dengan wajah masam. Menyusul di belakangnya, seorang perempuan dengan kacamata hitam dan langkah cepat, diikuti seorang lagi pria dengan ekspresi tak kalah kesal.

Mak Asih yang tengah duduk di teras segera berdiri. Jantungnya berdegup kencang, antara lega dan cemas. Anak-anaknya pulang. Akhirnya mereka pulang.

"Anak-anakku…" suaranya nyaris bergetar saat mereka mendekat. Tapi sambutan yang ia harapkan tak kunjung datang.

"Emak bikin apa lagi, sih?" suara perempuan itu, Rini, terdengar tajam. Ia melepas kacamatanya, menatap ibunya dengan pandangan yang penuh kejengkelan. "Kita ini lagi sibuk, tahu nggak? Kenapa harus dipanggil segala?"

"Rini, jangan gitu sama Emak," potong Sita yang sedari tadi berdiri di dekat pintu. Ia memang sering menemani Mak Asih. "Emak lagi ada masalah besar, makanya kalian dipanggil."

"Memangnya kapan Emak nggak ada masalah?" sela Arman, anak sulung Mak Asih. Wajahnya terlihat lelah, tapi bukan karena perjalanan. Lebih karena ketidaksabaran. "Setiap kali kita pulang, pasti ada urusan. Nggak bisa tenang, deh."

Mak Asih menahan napas, berusaha menekan perih yang mulai mengembang di dadanya. Tapi ia menelan itu semua. Yang penting mereka sudah pulang.

"Masuk dulu, Nak. Kita bicara baik-baik." Suaranya pelan, hampir memohon.

Dengan enggan, mereka akhirnya masuk ke rumah kecil itu. Ruang tamu sederhana itu terasa makin sempit dengan ketegangan yang melingkupinya. Pak RT, Pak RW, dan Pak Hadi sudah menunggu, duduk dengan wajah serius.

"Terima kasih kalian sudah mau datang," kata Pak RT membuka pembicaraan. "Kita di sini mau menyelesaikan masalah sebaik mungkin."

Arman bersandar di kursinya dengan tangan terlipat di dada. "Sebenarnya masalahnya apa, sih?"

Pak Ali yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. Dengan suara lantang, ia menjelaskan tentang hutang piutang yang menurutnya belum dilunasi.

"Ini buktinya!" katanya sambil melempar selembar kertas ke meja. "Emak kalian itu nggak punya itikad baik. Aku udah sabar, tapi sekarang kesabaran itu habis!"

Arman mengambil kertas itu, membacanya sekilas, lalu mendengus. "Ini apa, Mak? Kenapa bikin perjanjian kayak gini?"

"Saya kira hutangnya udah lunas…" suara Mak Asih semakin pelan, hampir tak terdengar.

"Lunas gimana? Nggak ada bukti jelas!" Arman semakin meninggikan suara. "Kenapa sih, Mak? Kenapa selalu gampang percaya sama orang?"

Rini ikut angkat bicara. "Udah tahu nggak ngerti soal administrasi, kenapa bikin perjanjian tanpa ngomong dulu sama kita? Sekarang kayak begini, siapa yang repot? Kita juga, kan!"

"Maaf, Nak… Emak nggak—"

"Selalu kayak gini," potong Rini tajam. "Kita udah capek, Mak. Hidup kita juga nggak gampang. Tapi Mak nggak pernah ngerti itu."

Farhan, yang dari tadi diam, akhirnya membuka suara. "Jadi gimana, Mak? Mau sampai kapan kayak gini terus? Kita kan juga punya kehidupan masing-masing."

Pak Hadi berdehem, mencoba menengahi. "Saya rasa yang terpenting sekarang kita cari solusi. Kalau terus saling menyalahkan, masalah ini nggak akan selesai."

Arman menghela napas kasar. "Solusinya ya jelas. Kalau Mak nggak bisa bayar, ya tanah ini dijual. Udah selesai."

Air mata Mak Asih menetes tanpa suara. Rumah ini… satu-satunya peninggalan almarhum suaminya, satu-satunya tempat yang ia miliki.

"Saya nggak mau tanah ini dijual, Nak…" suaranya bergetar. "Rumah ini penuh kenangan sama Bapak kalian…"

"Kenangan nggak bisa bayar hutang, Mak!" sergah Rini. "Realistis sedikit, dong!"

Suasana makin memanas. Sita yang tak tahan akhirnya bicara. "Kalian ini kenapa sih? Ini Emak kalian! Dia berjuang buat kalian, ngeluarin semua yang dia punya buat kalian bisa jadi orang!"

Arman menatap Sita tajam. "Jangan ikut campur urusan keluarga kami!"

"Saya ikut campur karena saya peduli! Nggak kayak kalian yang cuma datang pas ada masalah!"

Ruangan itu hening. Hanya suara isakan pelan Mak Asih yang terdengar.

Pak RW akhirnya angkat bicara. "Saya rasa kita semua butuh waktu buat mendinginkan kepala. Bagaimana kalau kita jadwalkan pertemuan lagi setelah ini, biar keputusan yang diambil nggak dalam keadaan emosi?"

Semua orang mengangguk setuju, kecuali Mak Asih yang hanya bisa terdiam dalam luka yang semakin dalam.

*

Rumah kecil itu terasa sunyi setelah para perangkat desa dan tetangga pulang. Hanya Mak Asih dan ketiga anaknya yang tersisa di ruang tamu. Tapi kesunyian itu bukan ketenangan — ia lebih mirip badai yang sedang menunggu waktu untuk meledak.

Mak Asih menatap anak-anaknya satu per satu. Rini sibuk memainkan ponselnya, tak peduli pada wajah ibunya yang masih berurai air mata. Arman duduk bersandar dengan ekspresi jengah, sementara Farhan menatap kosong ke luar jendela.

Hati Mak Asih terasa remuk. Ini anak-anak yang dulu ia besarkan dengan penuh cinta dan pengorbanan. Anak-anak yang dulu ia belikan buku dengan uang hasil menjual beras dari sawah. Anak-anak yang dulu ia doakan setiap malam agar menjadi orang sukses.

Dan mereka berhasil. Tapi di saat Mak Asih membutuhkan mereka…

"Rini… Arman… Farhan…" suara Mak Asih pelan, nyaris bergetar. "Apa kalian beneran nggak bisa bantu Emak?"

Ketiganya diam.

"Emak nggak minta banyak… cuma kalau bisa kalian iuran sedikit-sedikit buat nyelamatin rumah ini. Kan kalian udah sukses semua. Rini kerja di bank, Arman jadi manajer, Farhan kerja di perusahaan besar…" suara Mak Asih semakin lirih. "Nggak mungkin kalian nggak bisa…"

Rini mendengus pelan, meletakkan ponselnya di meja. "Emak kira semudah itu? Iya, kerjaanku bagus, gajiku lumayan. Tapi Emak tahu nggak berapa banyak cicilan yang harus aku bayar tiap bulan? Kredit rumah, mobil, kartu kredit…"

Arman mengangguk setuju. "Aku juga, Mak. Emak pikir jadi manajer itu gampang? Tuntutannya tinggi. Aku juga harus jaga image. Ada banyak biaya yang harus aku keluarin buat urusan kerja."

Farhan, yang dari tadi diam, akhirnya bicara. "Aku baru aja mulai nabung buat beli rumah sendiri, Mak. Kalau harus keluar uang banyak sekarang, tabunganku habis. Terus gimana masa depanku?"

Mak Asih menatap mereka dengan mata yang semakin basah. "Tapi ini rumah kita, Nak… Rumah tempat kalian lahir dan dibesarkan…"

"Mak juga harus mikir realistis," potong Rini tajam. "Kalau memang nggak bisa bayar, ya udah. Jual aja tanah itu. Selesai urusannya."

"Tapi Emak nggak mau jual rumah ini…" suara Mak Asih bergetar. "Rumah ini satu-satunya peninggalan Bapak kalian…"

"Kenangan nggak bisa bayar hutang, Mak!" sahut Arman dengan nada kesal. "Kita ini juga punya hidup masing-masing. Emak nggak bisa terus-terusan jadi tanggungan kita."

Mak Asih terdiam. Kata-kata itu seperti tamparan keras di wajahnya. "Tanggungan?" bisiknya pelan. "Emak ini tanggungan kalian?"

"Ya kalau kayak gini terus, iya," jawab Rini tanpa ragu. "Setiap ada masalah, kita yang harus turun tangan. Sampai kapan, Mak?"

Air mata Mak Asih jatuh tanpa bisa ditahan. Ia tak pernah menyangka kata-kata seperti itu akan keluar dari mulut anak-anak yang dulu ia besarkan dengan penuh kasih.

"Emak cuma minta sedikit bantuan…" suaranya semakin lemah. "Apa segitu sulitnya buat kalian?"

"Mak nggak ngerti situasi kita," Farhan berdiri, merapikan jaketnya. "Kita juga berjuang buat hidup kita sendiri. Kita udah cukup berkorban buat sekolah, buat jadi sukses. Sekarang giliran Emak yang harus bisa berdiri sendiri."

Arman ikut berdiri. "Kita nggak bisa bantu, Mak. Kalau memang harus dijual, ya dijual aja. Itu solusi paling logis."

Rini mengambil tasnya, menatap ibunya dengan dingin. "Kami udah nggak bisa lama-lama di sini. Kami pulang."

Dan tanpa menunggu jawaban, ketiganya berjalan keluar.

"Rini… Arman… Farhan…" panggil Mak Asih dengan suara putus asa. Tapi mereka tak menoleh.

Beberapa saat kemudian, suara mobil itu kembali terdengar, menjauh. Membawa pergi harapan terakhir Mak Asih.

Ia berdiri di ambang pintu, memandangi jalan yang semakin sepi, lalu berbalik masuk dengan langkah gontai. Rumah itu terasa lebih dingin, lebih sunyi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    7

    Pak Lurah menatap tajam ke arah ketiga anak Mak Asih. Suasana di ruang tamu itu semakin mencekam, hanya suara napas tertahan yang terdengar. Para perangkat desa pun ikut diam, menunggu jawaban yang tak kunjung keluar."Jadi… kalian benar-benar tidak memikirkan nasib ibu kalian setelah ini?" suara Pak Lurah mulai bergetar, menahan amarah. "Rumah ini satu-satunya tempat tinggal Mak Asih. Kalau diserahkan ke Pak Ali, di mana beliau akan tinggal? Siapa yang akan merawatnya?"Rini menghela napas panjang, wajahnya terlihat tidak sabar. "Pak, kami juga punya kehidupan masing-masing. Saya punya keluarga, punya anak-anak yang harus diurus. Kalau disuruh merawat Ibu, saya… saya nggak sanggup.""Alasan!" suara Pak Lurah tiba-tiba meninggi, membuat semua orang terkejut. "Jangan lupa, Rini… kalau bukan karena Mak Asih, kamu nggak akan bisa jadi seperti sekarang! Beliau yang banting tulang menyekolahkan kalian, menjual harta benda satu-satunya buat kuliah kalian. Masa sekarang, saat beliau butuh, k

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    6

    Mak Asih berdiri di ambang pintu rumah Sita, membawa rantang penuh makanan yang seharusnya dinikmati anak-anaknya. Matanya sembab, air matanya masih belum kering. Ia berusaha tersenyum, tapi bibirnya bergetar.Sita yang membuka pintu terkejut melihat keadaan Mak Asih. "Mak? Ada apa? Kenapa bawa rantang?"Mak Asih menelan ludah, mencoba menahan sesak di dadanya. "Anak-anak… mereka nggak mau makan, Nak. Emak… Emak udah masak banyak, tapi nggak ada yang tersentuh. Jadi… Emak pikir, mungkin kamu sama ibumu mau makan ini. Mereka lebih memilih makan diluar nak. Katanya lebih enak. Lebih higienis. Mungkin mereka lupa, mereka tumbuh besar juga berkat masakan emak," ucap Mak Asih, sesekali tangan tua itu menyeka air mata yang turun tanpa di komando.Sita terdiam, hatinya mencelos. Dengan cepat ia meraih rantang itu, lalu menggenggam tangan Mak Asih. "Mak, ayo masuk dulu. Emak nggak boleh sendirian dalam keadaan kayak gini. Istirahat dulu di dalam yuk," ajak Sita lagi.Tapi Mak Asih menggeleng

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    5

    Mobil hitam yang dikendarai Arman melaju pelan di jalan kampung yang sempit. Suasana dalam mobil itu sunyi, hanya suara deru mesin yang terdengar. Rini sibuk dengan ponselnya, sementara Farhan duduk di kursi belakang dengan pandangan kosong menatap keluar jendela.Baru saja mereka berbelok ke jalan utama, mobil itu tiba-tiba berhenti mendadak. Arman menginjak rem dengan keras, nyaris membuat Rini dan Farhan terhempas ke depan."Apaan sih, Man?!" protes Rini kesal.Tapi Arman tak menjawab. Matanya terpaku ke depan. Di tengah jalan berdiri beberapa orang, wajah mereka serius. Di antara mereka, tampak Pak RT, Pak RW, dan Pak Hadi — tokoh masyarakat yang tadi membantu mediasi di rumah Mak Asih.Arman menghela napas panjang. "Aduh… apalagi, sih?" gumamnya, jelas tak sabar.Pak RT melangkah mendekat, memberi isyarat agar Arman menurunkan kaca jendela. Dengan enggan, Arman mematuhinya."Maaf, Man, Rin, Farhan… Kami nggak bisa biarkan kalian pergi sebelum masalah ini benar-benar selesai," kat

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    4

    Dua hari kemudian, suara deru mobil berhenti di depan rumah Mak Asih. Beberapa tetangga yang duduk di teras rumah mereka segera menoleh, penasaran. Mobil hitam mengkilap itu bukan pemandangan yang biasa di kampung kecil ini.Pintu mobil terbuka, dan seorang pria turun dengan wajah masam. Menyusul di belakangnya, seorang perempuan dengan kacamata hitam dan langkah cepat, diikuti seorang lagi pria dengan ekspresi tak kalah kesal.Mak Asih yang tengah duduk di teras segera berdiri. Jantungnya berdegup kencang, antara lega dan cemas. Anak-anaknya pulang. Akhirnya mereka pulang."Anak-anakku…" suaranya nyaris bergetar saat mereka mendekat. Tapi sambutan yang ia harapkan tak kunjung datang."Emak bikin apa lagi, sih?" suara perempuan itu, Rini, terdengar tajam. Ia melepas kacamatanya, menatap ibunya dengan pandangan yang penuh kejengkelan. "Kita ini lagi sibuk, tahu nggak? Kenapa harus dipanggil segala?""Rini, jangan gitu sama Emak," potong Sita yang sedari tadi berdiri di dekat pintu. Ia

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    3

    Mak Asih terdiam, ponsel masih tergenggam erat di tangannya yang bergetar. Hatinya terasa hancur berkeping-keping. Anak-anak yang selama ini ia besarkan dengan penuh cinta, yang ia perjuangkan pendidikannya sampai sarjana dengan segala pengorbanan, kini justru menutup pintu rapat-rapat saat ia membutuhkan mereka.Sita menatap Mak Asih dengan mata berkaca-kaca. Ia mencoba menguatkan perempuan tua itu dengan menggenggam tangannya pelan. "Sabar ya, Mak… Mungkin mereka lagi banyak pikiran. Nanti kalau suasana udah lebih tenang, coba hubungi lagi."Mak Asih menggeleng lemah. "Nggak, Nak… Mereka udah bilang semuanya. Mereka nggak mau tau… Mereka nggak peduli sama Emak."Suara Mak Asih terdengar begitu lirih, penuh luka. Ia menghela napas panjang, mencoba menahan air matanya yang terus mengalir. "Dulu… mereka yang minta kuliah. Mereka yang bilang pengen jadi orang sukses, pengen angkat derajat keluarga. Emak cuma nurut, Nak. Emak cuma pengen mereka bahagia, nggak kekurangan, nggak hidup susa

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    2

    Sosok di depan pintu itu berdiri tegap meski usianya sudah tak muda lagi. Wajahnya keras, dengan sorot mata tajam yang membuat nyali siapa pun menciut. Napasnya terdengar berat, dan raut mukanya menunjukkan amarah yang sulit disembunyikan."Ali?" suara Mak Asih bergetar, hampir tak percaya dengan penglihatannya."Assalamu'alaikum," jawab Pak Ali pendek, tapi tak ada kelembutan di sana. Tanpa menunggu dipersilakan, ia melangkah masuk dengan langkah cepat dan pasti, membuat Mak Asih terpaksa menyingkir dari ambang pintu.Pak Ali, adik ipar almarhum suaminya, sudah lama tak pernah menginjakkan kaki di rumah ini. Terakhir kali mereka bertemu, kalau Mak Asih tak salah ingat, adalah di pemakaman Pak Suroyo — suaminya. Sejak saat itu, hubungan mereka tak pernah benar-benar baik.Mak Asih menutup pintu perlahan, hatinya mulai tak enak. "Ada apa, Ali? Kok datang malam-malam begini? Apa nggak sebaiknya besok pagi aja biar kita bisa bicara lebih tenang?" tanyanya, berusaha meredakan ketegangan y

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status