MasukMobil hitam yang dikendarai Arman melaju pelan di jalan kampung yang sempit. Suasana dalam mobil itu sunyi, hanya suara deru mesin yang terdengar. Rini sibuk dengan ponselnya, sementara Farhan duduk di kursi belakang dengan pandangan kosong menatap keluar jendela.
Baru saja mereka berbelok ke jalan utama, mobil itu tiba-tiba berhenti mendadak. Arman menginjak rem dengan keras, nyaris membuat Rini dan Farhan terhempas ke depan. "Apaan sih, Man?!" protes Rini kesal. Tapi Arman tak menjawab. Matanya terpaku ke depan. Di tengah jalan berdiri beberapa orang, wajah mereka serius. Di antara mereka, tampak Pak RT, Pak RW, dan Pak Hadi — tokoh masyarakat yang tadi membantu mediasi di rumah Mak Asih. Arman menghela napas panjang. "Aduh… apalagi, sih?" gumamnya, jelas tak sabar. Pak RT melangkah mendekat, memberi isyarat agar Arman menurunkan kaca jendela. Dengan enggan, Arman mematuhinya. "Maaf, Man, Rin, Farhan… Kami nggak bisa biarkan kalian pergi sebelum masalah ini benar-benar selesai," kata Pak RT dengan suara tegas namun tetap tenang. "Pak, tadi kan kita udah ikut mediasi," Rini langsung menyahut. "Apa lagi yang harus diselesaikan? Toh, itu masalah Emak sama Pak Ali." "Masalah ini bukan cuma urusan Emak kalian, Nak," suara Pak Hadi terdengar lebih tajam. "Ini juga tanggung jawab kalian sebagai anak. Apapun keputusannya nanti, kalian berhak tahu dan terlibat." "Pak, kami punya urusan lain," Arman mulai kehilangan kesabaran. "Kami udah denger penjelasan Emak, dan kami udah kasih pendapat. Kalau Emak masih bersikeras nggak mau jual tanah itu, ya itu urusan dia." "Kalian lupa, Nak?" Pak RW angkat bicara. "Rumah dan tanah itu bukan cuma milik Emak kalian. Itu peninggalan almarhum Bapak kalian. Kalian juga punya hak di situ. Dan lebih dari itu… kalian punya kewajiban untuk menjaga orang tua kalian." Rini mendengus pelan. "Kenapa, sih, semua orang jadi ikut campur urusan keluarga kami?" Pak Hadi menatap Rini tajam. "Kami ikut campur karena kami peduli. Dan kami nggak mau lihat seorang ibu yang sudah berkorban segalanya untuk anak-anaknya malah dibiarkan berjuang sendirian di hari tuanya." Farhan yang dari tadi diam akhirnya bersuara. "Jadi, maksud Bapak-bapak ini… kami nggak boleh pulang?" Pak RT mengangguk. "Bukan nggak boleh pulang. Tapi kami minta kalian tetap di sini sampai keputusan yang adil dibuat. Apapun risikonya, kalian berhak tahu dan ikut memutuskan." Suasana di dalam mobil semakin panas. Arman memijit pelipisnya, berusaha menahan emosi. "Jadi, kalau kami tetap mau pergi?" Pak RW melipat tangan di dada. "Kami nggak akan memaksa. Tapi kalau kalian pergi sekarang, kalian harus siap menanggung omongan warga. Dan lebih dari itu… siap menanggung penyesalan seumur hidup kalau sesuatu terjadi sama Emak kalian." Kata-kata itu membuat ketiganya terdiam. Rini menggigit bibir, matanya melirik Arman dan Farhan. Mereka bertiga saling pandang, seolah menimbang situasi. Akhirnya, dengan suara penuh kekesalan, Arman menghela napas keras. "Baik. Kami tetap di sini. Tapi saya harap ini nggak berlarut-larut. Kami juga punya kehidupan sendiri." Pak RT tersenyum tipis. "Terima kasih. Percayalah, ini keputusan terbaik." Dengan enggan, Arman memutar balik mobilnya, kembali ke rumah Mak Asih. Di dalam mobil, tak satu pun dari mereka bicara. Tapi ketegangan yang terasa lebih nyata dari sebelumnya. Mak Asih hampir tak percaya saat mendengar suara langkah kaki di depan rumah. Saat pintu kayu itu terbuka, dan dilihatnya Arman, Rini, dan Farhan berdiri di sana, matanya langsung membesar. "Rini… Arman… Farhan…" suaranya gemetar, antara terkejut dan haru. Rini mengangguk pelan. "Iya, Mak. Kami pulang." Mak Asih tersenyum lebar, air matanya menggenang seketika. Sejenak ia lupa segala luka dan kata-kata tajam yang mereka ucapkan sebelumnya. Yang ada hanya rasa bahagia karena anak-anaknya kembali. "Masuk, Nak… Masuk…" katanya, suaranya bergetar penuh rasa syukur. Mereka bertiga masuk tanpa banyak bicara. Wajah mereka masih menyimpan ketegangan, tapi Mak Asih terlalu sibuk dengan kebahagiaannya untuk menyadarinya. Baginya, rumah kecil yang biasanya sepi itu terasa lebih hangat dengan kehadiran mereka. Setelah memastikan mereka duduk, Mak Asih langsung bergegas ke dapur. Ada semangat baru yang mengalir di tubuh tuanya. "Emak masakin makanan enak, ya? Kalian pasti lapar, kan? Udah lama nggak makan masakan Emak." "Mak, nggak usah repot-repot—" Farhan mencoba bicara, tapi Mak Asih sudah tak mendengar. Hatinya dipenuhi keinginan untuk menyenangkan anak-anaknya. Ia tahu dapurnya tak punya banyak persediaan. Hanya ada beras, sedikit sayur, dan tempe. Itu tak cukup untuk menjamu anak-anaknya yang jarang pulang. Mak Asih termenung sejenak, lalu teringat pada ayam kampung yang selama ini ia pelihara di belakang rumah. Ayam-ayam itu sebenarnya untuk persiapan Lebaran atau acara penting, tapi bukankah kepulangan anak-anaknya jauh lebih berharga? Tanpa pikir panjang, Mak Asih menangkap satu ayam yang paling gemuk. Dengan napas terengah, ia pergi ke pasar, berniat menukarkannya dengan lauk-pauk yang lebih bervariasi. Namun langkah Mak Asih terhenti di lapak penjual daging. Telinganya menangkap bisikan-bisikan yang pelan tapi tajam. "Eh, lihat tuh, Mak Asih. Biasa makan sayur bening doang, sekarang mau belanja lauk. Pasti karena anak-anaknya pulang, tuh." "Iya… katanya anaknya sukses semua. Tapi kok orang tuanya makan aja susah, ya?" "Jangan-jangan mereka pulang gara-gara urusan tanah itu, bukan karena sayang sama Emaknya." Mak Asih pura-pura tak mendengar. Tapi dada tuanya sesak. Tangan yang memegang ayam terasa lemas, hampir saja ia menjatuhkannya. Setelah tawar-menawar dengan suara yang sedikit gemetar, Mak Asih akhirnya pulang dengan kantong plastik berisi ikan dan beberapa bahan masakan. Senyum kecil tersungging di wajahnya, meski hatinya masih berat. Yang penting, anak-anaknya bisa makan enak. Saat sampai di rumah, Mak Asih langsung menuju dapur dan mulai memasak. Namun tubuhnya tak sekuat dulu. Baru beberapa saat mengolah bumbu, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Tangannya bergetar, dan pandangannya berkunang-kunang. Tapi ia terus memaksa. Demi anak-anaknya. Demi kebahagiaan yang jarang ia rasakan belakangan ini. Saat akhirnya makanan terhidang di meja, Mak Asih berdiri dengan napas terengah. Senyumnya tetap merekah. "Anak-anakku… ayo makan. Emak udah masakin makanan kesukaan kalian," katanya dengan suara lemah, tapi penuh cinta. Rini hanya memandang hidangan itu dengan tatapan datar, sementara Arman menyandarkan tubuh ke kursi dengan wajah lelah. Farhan malah sibuk menatap ponselnya, seolah tak mendengar ajakan ibunya. "Kenapa diem aja? Ayo, makan…" Mak Asih mencoba tersenyum, meski mulai merasa ada yang tak beres. Rini akhirnya bicara, tapi kalimat yang keluar jauh dari yang diharapkan Mak Asih. "Mak… buat apa sih repot-repot masak kayak gini? Kami nggak lapar." Mak Asih terdiam, senyumnya perlahan memudar. "Tapi… ini kan makanan kesukaan kalian. Dulu kalau Emak masak ini, kalian selalu lahap makannya." "Itu dulu, Mak," potong Arman, suaranya dingin. "Sekarang kami udah biasa makan yang lain. Kami nggak terbiasa makan kayak gini lagi." Seketika dada Mak Asih terasa sesak. Matanya melirik ikan goreng yang baru saja ia tukar dengan ayam peliharaannya. Sayur lodeh yang ia buat dengan sisa tenaga. Semuanya terasa tak berarti di hadapan penolakan anak-anaknya.Pak Lurah menatap tajam ke arah ketiga anak Mak Asih. Suasana di ruang tamu itu semakin mencekam, hanya suara napas tertahan yang terdengar. Para perangkat desa pun ikut diam, menunggu jawaban yang tak kunjung keluar."Jadi… kalian benar-benar tidak memikirkan nasib ibu kalian setelah ini?" suara Pak Lurah mulai bergetar, menahan amarah. "Rumah ini satu-satunya tempat tinggal Mak Asih. Kalau diserahkan ke Pak Ali, di mana beliau akan tinggal? Siapa yang akan merawatnya?"Rini menghela napas panjang, wajahnya terlihat tidak sabar. "Pak, kami juga punya kehidupan masing-masing. Saya punya keluarga, punya anak-anak yang harus diurus. Kalau disuruh merawat Ibu, saya… saya nggak sanggup.""Alasan!" suara Pak Lurah tiba-tiba meninggi, membuat semua orang terkejut. "Jangan lupa, Rini… kalau bukan karena Mak Asih, kamu nggak akan bisa jadi seperti sekarang! Beliau yang banting tulang menyekolahkan kalian, menjual harta benda satu-satunya buat kuliah kalian. Masa sekarang, saat beliau butuh, k
Mak Asih berdiri di ambang pintu rumah Sita, membawa rantang penuh makanan yang seharusnya dinikmati anak-anaknya. Matanya sembab, air matanya masih belum kering. Ia berusaha tersenyum, tapi bibirnya bergetar.Sita yang membuka pintu terkejut melihat keadaan Mak Asih. "Mak? Ada apa? Kenapa bawa rantang?"Mak Asih menelan ludah, mencoba menahan sesak di dadanya. "Anak-anak… mereka nggak mau makan, Nak. Emak… Emak udah masak banyak, tapi nggak ada yang tersentuh. Jadi… Emak pikir, mungkin kamu sama ibumu mau makan ini. Mereka lebih memilih makan diluar nak. Katanya lebih enak. Lebih higienis. Mungkin mereka lupa, mereka tumbuh besar juga berkat masakan emak," ucap Mak Asih, sesekali tangan tua itu menyeka air mata yang turun tanpa di komando.Sita terdiam, hatinya mencelos. Dengan cepat ia meraih rantang itu, lalu menggenggam tangan Mak Asih. "Mak, ayo masuk dulu. Emak nggak boleh sendirian dalam keadaan kayak gini. Istirahat dulu di dalam yuk," ajak Sita lagi.Tapi Mak Asih menggeleng
Mobil hitam yang dikendarai Arman melaju pelan di jalan kampung yang sempit. Suasana dalam mobil itu sunyi, hanya suara deru mesin yang terdengar. Rini sibuk dengan ponselnya, sementara Farhan duduk di kursi belakang dengan pandangan kosong menatap keluar jendela.Baru saja mereka berbelok ke jalan utama, mobil itu tiba-tiba berhenti mendadak. Arman menginjak rem dengan keras, nyaris membuat Rini dan Farhan terhempas ke depan."Apaan sih, Man?!" protes Rini kesal.Tapi Arman tak menjawab. Matanya terpaku ke depan. Di tengah jalan berdiri beberapa orang, wajah mereka serius. Di antara mereka, tampak Pak RT, Pak RW, dan Pak Hadi — tokoh masyarakat yang tadi membantu mediasi di rumah Mak Asih.Arman menghela napas panjang. "Aduh… apalagi, sih?" gumamnya, jelas tak sabar.Pak RT melangkah mendekat, memberi isyarat agar Arman menurunkan kaca jendela. Dengan enggan, Arman mematuhinya."Maaf, Man, Rin, Farhan… Kami nggak bisa biarkan kalian pergi sebelum masalah ini benar-benar selesai," kat
Dua hari kemudian, suara deru mobil berhenti di depan rumah Mak Asih. Beberapa tetangga yang duduk di teras rumah mereka segera menoleh, penasaran. Mobil hitam mengkilap itu bukan pemandangan yang biasa di kampung kecil ini.Pintu mobil terbuka, dan seorang pria turun dengan wajah masam. Menyusul di belakangnya, seorang perempuan dengan kacamata hitam dan langkah cepat, diikuti seorang lagi pria dengan ekspresi tak kalah kesal.Mak Asih yang tengah duduk di teras segera berdiri. Jantungnya berdegup kencang, antara lega dan cemas. Anak-anaknya pulang. Akhirnya mereka pulang."Anak-anakku…" suaranya nyaris bergetar saat mereka mendekat. Tapi sambutan yang ia harapkan tak kunjung datang."Emak bikin apa lagi, sih?" suara perempuan itu, Rini, terdengar tajam. Ia melepas kacamatanya, menatap ibunya dengan pandangan yang penuh kejengkelan. "Kita ini lagi sibuk, tahu nggak? Kenapa harus dipanggil segala?""Rini, jangan gitu sama Emak," potong Sita yang sedari tadi berdiri di dekat pintu. Ia
Mak Asih terdiam, ponsel masih tergenggam erat di tangannya yang bergetar. Hatinya terasa hancur berkeping-keping. Anak-anak yang selama ini ia besarkan dengan penuh cinta, yang ia perjuangkan pendidikannya sampai sarjana dengan segala pengorbanan, kini justru menutup pintu rapat-rapat saat ia membutuhkan mereka.Sita menatap Mak Asih dengan mata berkaca-kaca. Ia mencoba menguatkan perempuan tua itu dengan menggenggam tangannya pelan. "Sabar ya, Mak… Mungkin mereka lagi banyak pikiran. Nanti kalau suasana udah lebih tenang, coba hubungi lagi."Mak Asih menggeleng lemah. "Nggak, Nak… Mereka udah bilang semuanya. Mereka nggak mau tau… Mereka nggak peduli sama Emak."Suara Mak Asih terdengar begitu lirih, penuh luka. Ia menghela napas panjang, mencoba menahan air matanya yang terus mengalir. "Dulu… mereka yang minta kuliah. Mereka yang bilang pengen jadi orang sukses, pengen angkat derajat keluarga. Emak cuma nurut, Nak. Emak cuma pengen mereka bahagia, nggak kekurangan, nggak hidup susa
Sosok di depan pintu itu berdiri tegap meski usianya sudah tak muda lagi. Wajahnya keras, dengan sorot mata tajam yang membuat nyali siapa pun menciut. Napasnya terdengar berat, dan raut mukanya menunjukkan amarah yang sulit disembunyikan."Ali?" suara Mak Asih bergetar, hampir tak percaya dengan penglihatannya."Assalamu'alaikum," jawab Pak Ali pendek, tapi tak ada kelembutan di sana. Tanpa menunggu dipersilakan, ia melangkah masuk dengan langkah cepat dan pasti, membuat Mak Asih terpaksa menyingkir dari ambang pintu.Pak Ali, adik ipar almarhum suaminya, sudah lama tak pernah menginjakkan kaki di rumah ini. Terakhir kali mereka bertemu, kalau Mak Asih tak salah ingat, adalah di pemakaman Pak Suroyo — suaminya. Sejak saat itu, hubungan mereka tak pernah benar-benar baik.Mak Asih menutup pintu perlahan, hatinya mulai tak enak. "Ada apa, Ali? Kok datang malam-malam begini? Apa nggak sebaiknya besok pagi aja biar kita bisa bicara lebih tenang?" tanyanya, berusaha meredakan ketegangan y







