Share

3

Penulis: Anik Safitri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-13 15:30:16

Mak Asih terdiam, ponsel masih tergenggam erat di tangannya yang bergetar. Hatinya terasa hancur berkeping-keping. Anak-anak yang selama ini ia besarkan dengan penuh cinta, yang ia perjuangkan pendidikannya sampai sarjana dengan segala pengorbanan, kini justru menutup pintu rapat-rapat saat ia membutuhkan mereka.

Sita menatap Mak Asih dengan mata berkaca-kaca. Ia mencoba menguatkan perempuan tua itu dengan menggenggam tangannya pelan. "Sabar ya, Mak… Mungkin mereka lagi banyak pikiran. Nanti kalau suasana udah lebih tenang, coba hubungi lagi."

Mak Asih menggeleng lemah. "Nggak, Nak… Mereka udah bilang semuanya. Mereka nggak mau tau… Mereka nggak peduli sama Emak."

Suara Mak Asih terdengar begitu lirih, penuh luka. Ia menghela napas panjang, mencoba menahan air matanya yang terus mengalir. "Dulu… mereka yang minta kuliah. Mereka yang bilang pengen jadi orang sukses, pengen angkat derajat keluarga. Emak cuma nurut, Nak. Emak cuma pengen mereka bahagia, nggak kekurangan, nggak hidup susah kayak Emak dulu. Tapi sekarang… sekarang mereka lupa sama Emak."

Sita menggenggam tangan Mak Asih lebih erat. "Mak jangan mikir gitu. Mungkin mereka belum sadar. Nanti kalau mereka udah tenang, pasti mereka bakal ingat lagi sama pengorbanan Mak."

Tapi Mak Asih hanya tersenyum pahit. "Emak nggak butuh mereka sadar nanti, Nak… Emak butuh mereka sekarang."

Suasana hening menyelimuti mereka. Hanya suara isakan pelan Mak Asih yang terdengar, sementara Sita duduk di sampingnya tanpa tahu harus berkata apa lagi. Hatinya ikut sakit melihat Mak Asih yang begitu rapuh malam itu.

"Kalau tanah itu diambil, Mak mau tinggal di mana?" tanya Sita pelan, meski ia sendiri takut mendengar jawabannya.

Mak Asih mengangkat bahu dengan pasrah. "Mungkin di musala, mungkin di mana aja yang bisa nerima Emak. Emak nggak punya tempat lagi, Nak. Rumah ini satu-satunya peninggalan almarhum Bapakmu. Kalau ini diambil, Emak nggak tau lagi harus ke mana."

Sita terdiam, matanya memanas menahan tangis. Ia tahu Mak Asih bukan hanya kehilangan rumah — perempuan tua itu juga sedang kehilangan harapan, kehilangan kepercayaan pada anak-anak yang selama ini menjadi alasan hidupnya.

"Mak, biar aku coba bicara sama mereka nanti," kata Sita akhirnya. "Mungkin kalau aku yang ngomong, mereka bisa lebih tenang."

Mak Asih hanya mengangguk pelan, meski hatinya tak lagi berani berharap. Ia sudah cukup terluka malam ini.

*

Pagi itu, suasana kampung masih sepi. Matahari baru saja merangkak naik, dan suara ayam berkokok masih terdengar dari kejauhan. Mak Asih sedang menyapu halaman kecil di depan rumahnya, berusaha mengalihkan pikirannya dari beban yang terus menghimpit. Tapi ketenangan itu tak bertahan lama.

Tiba-tiba, suara langkah cepat dan berat terdengar mendekat. Tak lama, pintu kayu rumahnya digedor dengan keras.

“ASIH! KELUAR KAMU!” suara Pak Ali menggelegar, membuat Mak Asih terlonjak kaget.

Tetangga yang mendengar suara itu mulai keluar dari rumah mereka, mengintip dari balik pagar dan jendela. Suasana yang awalnya tenang mendadak berubah tegang.

Mak Asih buru-buru membuka pintu, dan wajah Pak Ali yang merah padam karena amarah langsung menyambutnya.

“Apa-apaan ini, Ali? Kenapa pagi-pagi udah marah-marah?” tanya Mak Asih dengan suara gemetar.

“KESABARANKU UDAH HABIS, ASIH!” bentak Pak Ali. “Aku udah kasih kamu waktu, tapi mana? Nggak ada itikad baik sama sekali! Kamu kira aku main-main?”

“Ali, aku mohon… kasih aku waktu sedikit lagi…” suara Mak Asih bergetar, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku sudah mencoba menghubungi anak-anakku, tapi mereka—”

“Aku nggak mau dengar alasan!” potong Pak Ali kasar. “Kalau hari ini kamu nggak bisa bayar, aku bawa perangkat desa buat urus tanah ini! Biar semua tahu siapa yang sebenarnya nggak punya tanggung jawab di sini!”

Mak Asih tersentak. “Jangan, Ali… tolong…”

Namun suara permohonannya hanya menjadi tontonan. Tetangga yang semakin banyak berkumpul mulai berbisik-bisik, membicarakan Mak Asih yang terpojok di depan rumahnya sendiri.

“Kasihan, ya… anak-anaknya ke mana sih? Kok nggak ada yang bantuin?”

“Padahal disekolahin sampai sarjana… Eh, malah begini jadinya.”

“Makanya, kalau miskin jangan sok nyekolahin anak tinggi-tinggi…”

Kalimat-kalimat itu menusuk hati Mak Asih seperti belati. Air matanya jatuh semakin deras, tapi ia tetap berdiri di sana, memohon kepada Pak Ali dengan suara yang semakin lemah.

Sita yang melihat kejadian itu dari jendela rumahnya tak tahan lagi. Ia segera keluar dan mendekat. “Pak Ali, sabar dulu. Jangan begini di depan orang banyak,” ucapnya berusaha menenangkan situasi.

“Ini bukan urusan kamu!” bentak Pak Ali.

“Tapi Pak, nggak elok marah-marah begini di depan tetangga,” Sita tetap berusaha tenang. “Kalau memang ada masalah, lebih baik kita duduk bersama, bicarakan baik-baik.”

Pak Ali mendengus. “Aku nggak butuh omongan manis. Aku butuh uang atau tanah ini! Dan kalau nggak ada juga, aku panggil perangkat desa sekarang juga biar urusan ini selesai!”

“Kalau begitu biar saya yang panggil perangkat desa,” potong Sita tegas. “Biar masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin dan ada saksi.”

Tanpa menunggu jawaban, Sita berbalik dan berlari menuju rumah Pak RT. Tetangga-tetangga mulai semakin ramai, berbisik-bisik dengan nada penasaran.

Tak lama kemudian, Pak RT, Pak RW, dan seorang tokoh masyarakat, Pak Hadi, tiba di rumah Mak Asih. Mereka langsung menengahi, meminta semua pihak duduk di ruang tamu kecil rumah itu.

Pak RT memulai pembicaraan. “Baik, tolong jelaskan dari awal. Kenapa masalah ini sampai jadi seperti ini?”

Pak Ali langsung bicara dengan suara tinggi, menceritakan tentang hutang yang katanya belum lunas. Ia menuntut tanah Mak Asih sebagai pelunasan.

Mak Asih menjawab dengan suara bergetar, menjelaskan bahwa ia yakin hutang itu sudah lunas dengan penyerahan sebidang tanah di ujung sawah. Tapi Pak Ali tetap bersikeras, mengklaim bahwa jumlah hutang jauh lebih besar dari tanah yang sudah diberikan.

Pak Hadi mengangkat tangan, meminta mereka tenang. “Apakah ada bukti tertulis soal hutang ini?” tanyanya kepada Pak Ali.

“Ada!” Pak Ali mengeluarkan selembar kertas kusut dari sakunya dan menyerahkannya ke Pak RT.

Pak RT membacanya dengan seksama, kemudian menghela napas panjang. “Tapi di sini juga nggak tertera jumlah yang jelas. Hanya disebutkan pinjaman, tanpa rincian pelunasan. Ini bisa ditafsirkan macam-macam, Pak Ali.”

“Jangan coba-coba membela Asih!” bentak Pak Ali.

“Bukan membela,” sahut Pak RW tegas. “Tapi kita harus adil. Dan saya rasa, kita perlu panggil anak-anak Mak Asih untuk ikut duduk di sini. Mereka juga bagian dari keluarga dan harus tahu situasi ini.”

Mak Asih menggeleng pelan, air matanya jatuh lagi. “Mereka… mereka nggak mau datang, Pak…” suaranya nyaris tak terdengar.

Pak Hadi menatap Mak Asih dengan iba. “Kalau begitu, kami yang akan panggil mereka. Masalah keluarga seperti ini seharusnya diselesaikan bersama-sama.”

Dan siang itu, harapan baru muncul, meski tipis. Sita berjanji akan membantu menghubungi anak-anak Mak Asih. Tapi apakah mereka mau datang? Itu masih menjadi tanda tanya besar.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    7

    Pak Lurah menatap tajam ke arah ketiga anak Mak Asih. Suasana di ruang tamu itu semakin mencekam, hanya suara napas tertahan yang terdengar. Para perangkat desa pun ikut diam, menunggu jawaban yang tak kunjung keluar."Jadi… kalian benar-benar tidak memikirkan nasib ibu kalian setelah ini?" suara Pak Lurah mulai bergetar, menahan amarah. "Rumah ini satu-satunya tempat tinggal Mak Asih. Kalau diserahkan ke Pak Ali, di mana beliau akan tinggal? Siapa yang akan merawatnya?"Rini menghela napas panjang, wajahnya terlihat tidak sabar. "Pak, kami juga punya kehidupan masing-masing. Saya punya keluarga, punya anak-anak yang harus diurus. Kalau disuruh merawat Ibu, saya… saya nggak sanggup.""Alasan!" suara Pak Lurah tiba-tiba meninggi, membuat semua orang terkejut. "Jangan lupa, Rini… kalau bukan karena Mak Asih, kamu nggak akan bisa jadi seperti sekarang! Beliau yang banting tulang menyekolahkan kalian, menjual harta benda satu-satunya buat kuliah kalian. Masa sekarang, saat beliau butuh, k

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    6

    Mak Asih berdiri di ambang pintu rumah Sita, membawa rantang penuh makanan yang seharusnya dinikmati anak-anaknya. Matanya sembab, air matanya masih belum kering. Ia berusaha tersenyum, tapi bibirnya bergetar.Sita yang membuka pintu terkejut melihat keadaan Mak Asih. "Mak? Ada apa? Kenapa bawa rantang?"Mak Asih menelan ludah, mencoba menahan sesak di dadanya. "Anak-anak… mereka nggak mau makan, Nak. Emak… Emak udah masak banyak, tapi nggak ada yang tersentuh. Jadi… Emak pikir, mungkin kamu sama ibumu mau makan ini. Mereka lebih memilih makan diluar nak. Katanya lebih enak. Lebih higienis. Mungkin mereka lupa, mereka tumbuh besar juga berkat masakan emak," ucap Mak Asih, sesekali tangan tua itu menyeka air mata yang turun tanpa di komando.Sita terdiam, hatinya mencelos. Dengan cepat ia meraih rantang itu, lalu menggenggam tangan Mak Asih. "Mak, ayo masuk dulu. Emak nggak boleh sendirian dalam keadaan kayak gini. Istirahat dulu di dalam yuk," ajak Sita lagi.Tapi Mak Asih menggeleng

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    5

    Mobil hitam yang dikendarai Arman melaju pelan di jalan kampung yang sempit. Suasana dalam mobil itu sunyi, hanya suara deru mesin yang terdengar. Rini sibuk dengan ponselnya, sementara Farhan duduk di kursi belakang dengan pandangan kosong menatap keluar jendela.Baru saja mereka berbelok ke jalan utama, mobil itu tiba-tiba berhenti mendadak. Arman menginjak rem dengan keras, nyaris membuat Rini dan Farhan terhempas ke depan."Apaan sih, Man?!" protes Rini kesal.Tapi Arman tak menjawab. Matanya terpaku ke depan. Di tengah jalan berdiri beberapa orang, wajah mereka serius. Di antara mereka, tampak Pak RT, Pak RW, dan Pak Hadi — tokoh masyarakat yang tadi membantu mediasi di rumah Mak Asih.Arman menghela napas panjang. "Aduh… apalagi, sih?" gumamnya, jelas tak sabar.Pak RT melangkah mendekat, memberi isyarat agar Arman menurunkan kaca jendela. Dengan enggan, Arman mematuhinya."Maaf, Man, Rin, Farhan… Kami nggak bisa biarkan kalian pergi sebelum masalah ini benar-benar selesai," kat

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    4

    Dua hari kemudian, suara deru mobil berhenti di depan rumah Mak Asih. Beberapa tetangga yang duduk di teras rumah mereka segera menoleh, penasaran. Mobil hitam mengkilap itu bukan pemandangan yang biasa di kampung kecil ini.Pintu mobil terbuka, dan seorang pria turun dengan wajah masam. Menyusul di belakangnya, seorang perempuan dengan kacamata hitam dan langkah cepat, diikuti seorang lagi pria dengan ekspresi tak kalah kesal.Mak Asih yang tengah duduk di teras segera berdiri. Jantungnya berdegup kencang, antara lega dan cemas. Anak-anaknya pulang. Akhirnya mereka pulang."Anak-anakku…" suaranya nyaris bergetar saat mereka mendekat. Tapi sambutan yang ia harapkan tak kunjung datang."Emak bikin apa lagi, sih?" suara perempuan itu, Rini, terdengar tajam. Ia melepas kacamatanya, menatap ibunya dengan pandangan yang penuh kejengkelan. "Kita ini lagi sibuk, tahu nggak? Kenapa harus dipanggil segala?""Rini, jangan gitu sama Emak," potong Sita yang sedari tadi berdiri di dekat pintu. Ia

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    3

    Mak Asih terdiam, ponsel masih tergenggam erat di tangannya yang bergetar. Hatinya terasa hancur berkeping-keping. Anak-anak yang selama ini ia besarkan dengan penuh cinta, yang ia perjuangkan pendidikannya sampai sarjana dengan segala pengorbanan, kini justru menutup pintu rapat-rapat saat ia membutuhkan mereka.Sita menatap Mak Asih dengan mata berkaca-kaca. Ia mencoba menguatkan perempuan tua itu dengan menggenggam tangannya pelan. "Sabar ya, Mak… Mungkin mereka lagi banyak pikiran. Nanti kalau suasana udah lebih tenang, coba hubungi lagi."Mak Asih menggeleng lemah. "Nggak, Nak… Mereka udah bilang semuanya. Mereka nggak mau tau… Mereka nggak peduli sama Emak."Suara Mak Asih terdengar begitu lirih, penuh luka. Ia menghela napas panjang, mencoba menahan air matanya yang terus mengalir. "Dulu… mereka yang minta kuliah. Mereka yang bilang pengen jadi orang sukses, pengen angkat derajat keluarga. Emak cuma nurut, Nak. Emak cuma pengen mereka bahagia, nggak kekurangan, nggak hidup susa

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    2

    Sosok di depan pintu itu berdiri tegap meski usianya sudah tak muda lagi. Wajahnya keras, dengan sorot mata tajam yang membuat nyali siapa pun menciut. Napasnya terdengar berat, dan raut mukanya menunjukkan amarah yang sulit disembunyikan."Ali?" suara Mak Asih bergetar, hampir tak percaya dengan penglihatannya."Assalamu'alaikum," jawab Pak Ali pendek, tapi tak ada kelembutan di sana. Tanpa menunggu dipersilakan, ia melangkah masuk dengan langkah cepat dan pasti, membuat Mak Asih terpaksa menyingkir dari ambang pintu.Pak Ali, adik ipar almarhum suaminya, sudah lama tak pernah menginjakkan kaki di rumah ini. Terakhir kali mereka bertemu, kalau Mak Asih tak salah ingat, adalah di pemakaman Pak Suroyo — suaminya. Sejak saat itu, hubungan mereka tak pernah benar-benar baik.Mak Asih menutup pintu perlahan, hatinya mulai tak enak. "Ada apa, Ali? Kok datang malam-malam begini? Apa nggak sebaiknya besok pagi aja biar kita bisa bicara lebih tenang?" tanyanya, berusaha meredakan ketegangan y

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status