LOGINMak Asih terdiam, ponsel masih tergenggam erat di tangannya yang bergetar. Hatinya terasa hancur berkeping-keping. Anak-anak yang selama ini ia besarkan dengan penuh cinta, yang ia perjuangkan pendidikannya sampai sarjana dengan segala pengorbanan, kini justru menutup pintu rapat-rapat saat ia membutuhkan mereka.
Sita menatap Mak Asih dengan mata berkaca-kaca. Ia mencoba menguatkan perempuan tua itu dengan menggenggam tangannya pelan. "Sabar ya, Mak… Mungkin mereka lagi banyak pikiran. Nanti kalau suasana udah lebih tenang, coba hubungi lagi." Mak Asih menggeleng lemah. "Nggak, Nak… Mereka udah bilang semuanya. Mereka nggak mau tau… Mereka nggak peduli sama Emak." Suara Mak Asih terdengar begitu lirih, penuh luka. Ia menghela napas panjang, mencoba menahan air matanya yang terus mengalir. "Dulu… mereka yang minta kuliah. Mereka yang bilang pengen jadi orang sukses, pengen angkat derajat keluarga. Emak cuma nurut, Nak. Emak cuma pengen mereka bahagia, nggak kekurangan, nggak hidup susah kayak Emak dulu. Tapi sekarang… sekarang mereka lupa sama Emak." Sita menggenggam tangan Mak Asih lebih erat. "Mak jangan mikir gitu. Mungkin mereka belum sadar. Nanti kalau mereka udah tenang, pasti mereka bakal ingat lagi sama pengorbanan Mak." Tapi Mak Asih hanya tersenyum pahit. "Emak nggak butuh mereka sadar nanti, Nak… Emak butuh mereka sekarang." Suasana hening menyelimuti mereka. Hanya suara isakan pelan Mak Asih yang terdengar, sementara Sita duduk di sampingnya tanpa tahu harus berkata apa lagi. Hatinya ikut sakit melihat Mak Asih yang begitu rapuh malam itu. "Kalau tanah itu diambil, Mak mau tinggal di mana?" tanya Sita pelan, meski ia sendiri takut mendengar jawabannya. Mak Asih mengangkat bahu dengan pasrah. "Mungkin di musala, mungkin di mana aja yang bisa nerima Emak. Emak nggak punya tempat lagi, Nak. Rumah ini satu-satunya peninggalan almarhum Bapakmu. Kalau ini diambil, Emak nggak tau lagi harus ke mana." Sita terdiam, matanya memanas menahan tangis. Ia tahu Mak Asih bukan hanya kehilangan rumah — perempuan tua itu juga sedang kehilangan harapan, kehilangan kepercayaan pada anak-anak yang selama ini menjadi alasan hidupnya. "Mak, biar aku coba bicara sama mereka nanti," kata Sita akhirnya. "Mungkin kalau aku yang ngomong, mereka bisa lebih tenang." Mak Asih hanya mengangguk pelan, meski hatinya tak lagi berani berharap. Ia sudah cukup terluka malam ini. * Pagi itu, suasana kampung masih sepi. Matahari baru saja merangkak naik, dan suara ayam berkokok masih terdengar dari kejauhan. Mak Asih sedang menyapu halaman kecil di depan rumahnya, berusaha mengalihkan pikirannya dari beban yang terus menghimpit. Tapi ketenangan itu tak bertahan lama. Tiba-tiba, suara langkah cepat dan berat terdengar mendekat. Tak lama, pintu kayu rumahnya digedor dengan keras. “ASIH! KELUAR KAMU!” suara Pak Ali menggelegar, membuat Mak Asih terlonjak kaget. Tetangga yang mendengar suara itu mulai keluar dari rumah mereka, mengintip dari balik pagar dan jendela. Suasana yang awalnya tenang mendadak berubah tegang. Mak Asih buru-buru membuka pintu, dan wajah Pak Ali yang merah padam karena amarah langsung menyambutnya. “Apa-apaan ini, Ali? Kenapa pagi-pagi udah marah-marah?” tanya Mak Asih dengan suara gemetar. “KESABARANKU UDAH HABIS, ASIH!” bentak Pak Ali. “Aku udah kasih kamu waktu, tapi mana? Nggak ada itikad baik sama sekali! Kamu kira aku main-main?” “Ali, aku mohon… kasih aku waktu sedikit lagi…” suara Mak Asih bergetar, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku sudah mencoba menghubungi anak-anakku, tapi mereka—” “Aku nggak mau dengar alasan!” potong Pak Ali kasar. “Kalau hari ini kamu nggak bisa bayar, aku bawa perangkat desa buat urus tanah ini! Biar semua tahu siapa yang sebenarnya nggak punya tanggung jawab di sini!” Mak Asih tersentak. “Jangan, Ali… tolong…” Namun suara permohonannya hanya menjadi tontonan. Tetangga yang semakin banyak berkumpul mulai berbisik-bisik, membicarakan Mak Asih yang terpojok di depan rumahnya sendiri. “Kasihan, ya… anak-anaknya ke mana sih? Kok nggak ada yang bantuin?” “Padahal disekolahin sampai sarjana… Eh, malah begini jadinya.” “Makanya, kalau miskin jangan sok nyekolahin anak tinggi-tinggi…” Kalimat-kalimat itu menusuk hati Mak Asih seperti belati. Air matanya jatuh semakin deras, tapi ia tetap berdiri di sana, memohon kepada Pak Ali dengan suara yang semakin lemah. Sita yang melihat kejadian itu dari jendela rumahnya tak tahan lagi. Ia segera keluar dan mendekat. “Pak Ali, sabar dulu. Jangan begini di depan orang banyak,” ucapnya berusaha menenangkan situasi. “Ini bukan urusan kamu!” bentak Pak Ali. “Tapi Pak, nggak elok marah-marah begini di depan tetangga,” Sita tetap berusaha tenang. “Kalau memang ada masalah, lebih baik kita duduk bersama, bicarakan baik-baik.” Pak Ali mendengus. “Aku nggak butuh omongan manis. Aku butuh uang atau tanah ini! Dan kalau nggak ada juga, aku panggil perangkat desa sekarang juga biar urusan ini selesai!” “Kalau begitu biar saya yang panggil perangkat desa,” potong Sita tegas. “Biar masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin dan ada saksi.” Tanpa menunggu jawaban, Sita berbalik dan berlari menuju rumah Pak RT. Tetangga-tetangga mulai semakin ramai, berbisik-bisik dengan nada penasaran. Tak lama kemudian, Pak RT, Pak RW, dan seorang tokoh masyarakat, Pak Hadi, tiba di rumah Mak Asih. Mereka langsung menengahi, meminta semua pihak duduk di ruang tamu kecil rumah itu. Pak RT memulai pembicaraan. “Baik, tolong jelaskan dari awal. Kenapa masalah ini sampai jadi seperti ini?” Pak Ali langsung bicara dengan suara tinggi, menceritakan tentang hutang yang katanya belum lunas. Ia menuntut tanah Mak Asih sebagai pelunasan. Mak Asih menjawab dengan suara bergetar, menjelaskan bahwa ia yakin hutang itu sudah lunas dengan penyerahan sebidang tanah di ujung sawah. Tapi Pak Ali tetap bersikeras, mengklaim bahwa jumlah hutang jauh lebih besar dari tanah yang sudah diberikan. Pak Hadi mengangkat tangan, meminta mereka tenang. “Apakah ada bukti tertulis soal hutang ini?” tanyanya kepada Pak Ali. “Ada!” Pak Ali mengeluarkan selembar kertas kusut dari sakunya dan menyerahkannya ke Pak RT. Pak RT membacanya dengan seksama, kemudian menghela napas panjang. “Tapi di sini juga nggak tertera jumlah yang jelas. Hanya disebutkan pinjaman, tanpa rincian pelunasan. Ini bisa ditafsirkan macam-macam, Pak Ali.” “Jangan coba-coba membela Asih!” bentak Pak Ali. “Bukan membela,” sahut Pak RW tegas. “Tapi kita harus adil. Dan saya rasa, kita perlu panggil anak-anak Mak Asih untuk ikut duduk di sini. Mereka juga bagian dari keluarga dan harus tahu situasi ini.” Mak Asih menggeleng pelan, air matanya jatuh lagi. “Mereka… mereka nggak mau datang, Pak…” suaranya nyaris tak terdengar. Pak Hadi menatap Mak Asih dengan iba. “Kalau begitu, kami yang akan panggil mereka. Masalah keluarga seperti ini seharusnya diselesaikan bersama-sama.” Dan siang itu, harapan baru muncul, meski tipis. Sita berjanji akan membantu menghubungi anak-anak Mak Asih. Tapi apakah mereka mau datang? Itu masih menjadi tanda tanya besar.Mesin monitor perlahan kembali menunjukkan grafik yang lebih stabil setelah tindakan darurat dilakukan. Dokter memberi tanda lega, lalu meninggalkan ruangan, memberi kesempatan Rini bersama keluarganya.Arman buru-buru mendekat lagi, menggenggam tangan kakaknya. Jemarinya gemetar, matanya masih basah. “Mbak… jangan bikin aku takut begini lagi. Aku belum siap…”Rini membuka kelopak mata perlahan. Napasnya berat, tapi ada kesadaran yang kuat di dalam tatapannya. Dengan tangan lemah, ia memberi isyarat agar Arman mendekat lebih dekat.Arman menunduk, hampir menempelkan telinganya ke bibir Rini.“Man…” suara Rini parau, hampir tertelan bunyi mesin. “Dengarkan aku baik-baik. Aku nggak tahu berapa lama aku masih bisa bicara…”Air mata Arman kembali jatuh. “Mbak, jangan bicara begitu. Kamu akan sembuh. Kamu harus sembuh.”Namun Rini tersenyum samar, seolah tahu lebih banyak dari Arman. “Kalau aku pergi nanti… jaga Farhan. Dia masih muda, jangan sampai salah jalan. Jangan biarkan dia merasa s
Tangannya menepis lemah gelas yang disodorkan Sita, hingga hampir tumpah. Nafasnya tersengal, keringat dingin membasahi pelipisnya.Sita tercekat, dadanya sesak mendengar kata-kata itu. “Mbak Rini… astaga, jangan bicara begitu.” Ia berlutut di samping Rini, mencoba menahan tangannya. “Kamu jangan bilang akan mati. Kamu masih punya kesempatan… ayo makan dulu, minum dulu. Tubuhmu butuh tenaga.”Namun Rini justru menangis tersedu, kepalanya tertunduk. “Tidak, Sita… kamu tidak tahu… penyakitku ini… sudah tidak ada obatnya. Aku hanya tinggal menunggu waktu.”Sita terdiam, tubuhnya kaku. Kata-kata Rini menggema seperti pisau yang menusuk hati. Ia ingin menyangkal, ingin berteriak bahwa semua masih bisa ditolong, tapi melihat wajah pucat dan tubuh ringkih Rini, keraguannya makin besar.“Kalau pun aku mati… biarkan aku di rumah ini… biar aku pulang ke pangkuan Mak…” bisik Rini lirih, matanya terpejam, air matanya jatuh tanpa henti.Sita menutup mulutnya dengan telapak tangan, menahan isak yan
Ketukan pelan terdengar dari pintu kamar. Seorang perawat berseragam putih masuk sambil membawa papan catatan. Senyum tipis terpasang di wajahnya, meski matanya sedikit ragu melihat kondisi Rini yang masih pucat.“Selamat sore, Mbak Rini,” sapa perawat itu lembut. “Bagaimana perasaannya sekarang?”Rini hanya mampu mengangguk pelan, tenggorokannya masih tercekat.Perawat itu melirik ke tumpukan barang di sudut ruangan, lalu kembali menatap Rini. “Mbak, saya ingin memastikan. Untuk administrasi, siapa yang bertanggung jawab dengan biaya rumah sakit ini? Karena pihak kasir sudah menanyakan jaminannya.”Pertanyaan itu menancap seperti pisau di dada Rini. Dadanya sesak. Biaya rumah sakit? Ia bahkan tak tahu bagaimana membayar tagihan rumah sakit yang pasti tidak kecil.Tangan Rini gemetar. Ia menggigit bibir, mencoba menjawab. “Sa-saya… tidak punya siapa-siapa, Mbak..”Perawat itu menatapnya iba, tapi tetap profesional. “Kalau begitu, Mbak bisa menyerahkan jaminan sementara. Apapun, asal b
Rini masih duduk terpuruk di lantai, tangannya gemetar memegang pipi yang memerah. Air matanya sudah mengering, berganti dengan tatapan kosong yang dingin. Ancaman Bu Desy tadi seakan menggema terus di telinganya. Namun, pelan-pelan ia mengibaskan kepala, berusaha menyingkirkan bayangan menakutkan itu.“Penyakit kelamin? Hah… belum tentu juga menular kepadaku,” gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri sendiri. Ia menegakkan badan, meski lututnya masih lemas. “Aku sehat-sehat saja… aku baik-baik saja.”Bibirnya melengkung getir, seolah menertawakan nasibnya sendiri. “Kalau pun benar, itu urusan nanti. Yang penting sekarang… aku harus keluar dari tempat ini.”Matanya menatap sekitar, lorong kontrakan yang kini sepi. Ia sadar, tak ada seorang pun yang mau membelanya. Bahkan pemilik kos sekalipun. Rini meremas gaunnya, lalu berdiri dengan langkah gontai menuju kamar. Sesampainya di dalam, ia menghempaskan diri di kasur, menarik napas panjang yang bergetar.Tangannya meraih ponsel di meja
Mata Rini langsung melebar, darahnya seakan membeku. “I… istri sah?” suaranya tercekat, wajahnya pucat pasi.Desy mengangguk mantap, lalu melambaikan tangan. Dari balik pagar, muncul dua lelaki berperawakan besar, bertato di lengan, wajah keras khas preman pasar. Mereka berdiri di sisi kanan dan kiri Desy, bersedekap dengan tatapan tajam, membuat suasana makin mencekam.Rini spontan mundur setapak, tubuhnya gemetar meski bibirnya berusaha tetap tegar. “Sa… saya tidak tahu maksud Ibu apa. Mungkin Ibu salah orang.”Tatapan Desy langsung berubah tajam, suaranya meninggi penuh wibawa. “Jangan pura-pura bodoh, Rini! Saya sudah tahu semuanya. Saya tahu kamu main belakang dengan suami saya. Pertanyaannya sekarang…” ia mencondongkan tubuh, sorot matanya menusuk tajam, “…sejak kapan kamu jadi simpanan Herman?”Rini tersentak, nyalinya menciut melihat sorot mata penuh amarah itu. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia memaksa tersenyum kaku, melirik sekilas ke arah dua preman yang berdiri b
Pak Narto menoleh cepat, keningnya berkerut melihat adiknya berdiri di ambang pintu dengan wajah kok tiba-tiba datang malam-malam begini?” suaranya berat, penuh tanda tanya.Paklik Anto melangkah masuk tanpa basa-basi, matanya langsung menajam ke arah Arman. “Saya tadi dengar dari tetangga, katanya Arman ini sering main ke rumah Sita. Dan sekarang… ternyata niatnya memang sudah sejauh ini?”Suasana ruang tamu seketika mencekam. Arman menunduk dalam, tubuhnya terasa kaku. Farhan menoleh panik, hendak bicara, tapi lidahnya kelu.Arman menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. Suasana ruang tamu begitu sunyi, hanya terdengar detak jarum jam dinding yang seakan mempertegas rasa tegang. Ia memberanikan diri mengangkat wajah, meski pandangan masih setengah ragu.“Paklik…” suaranya pelan tapi jelas, “apa Paklik marah kalau saya benar-benar serius dengan Sita? Bukankah…Mas Agung juga punya alasan untuk tidak memilih Sita? Saya hanya…” ia terhenti, menarik napas dalam, lalu melanjutkan denga







