Share

Bab 2

Namaku Rina, usiaku sekarang menginjak tiga puluh tahu dan kini aku sudah dikaruniai dua orang anak dari hasil pernikahan ku dengan mas Arman selama sepuluh tahun, yang pertama Dani, 7 tahun dan yang kedua Kirani 3 tahun.

Awal menikah semua nya masih terlihat baik-baik saja. Ibu mertuaku, bu Nani terlihat sayang padaku, namun semua berubah setelah aku dinyatakan hamil dan terpaksa harus berhenti bekerja dan semua uang tabungan ku habis karena ikuti membantu membiayai membangun rumah di tanah yang sebelumnya sudah di belikan oleh orang tua mas Arman.

Waktu itu ibu ku pernah bilang, "Nak, kenapa nggak bangun rumah di sini saja? Tanah Ibu masih luas. Itu tanah ibu mertua kamu, kalau nanti ada apa-apa, kamu tidak bisa menggugat nya, apalagi kamu berniat mengeluarkan semua uang tabungan mu demi membangun rumah itu. Kalau ibu boleh kasih saran, sebaiknya jangan, Nak. Kecuali, kalau kamu membangun rumah di atas tanah yang kalian beli selama menikah baru boleh, karena itu termasuk harta Gono-gini dan kamu punya hak di situ," ucap ibu ku waktu itu sekitar 6 tahun yang lalu.

Namun aku yang bodoh. Aku selalu berprasangka baik kepada semua orang, termasuk mertua ku. Aku sudah menganggap nya seperti orang tua ku sendiri, namun kenyataannya mereka tidak pernah menganggap ku seorang anak, bahkan di mata nya aku hanyalah semut yang layak di injak.

Seandainya saja waktu itu aku mendengarkan ucapan ibuku, mungkin nasib ku tidak akan seperti ini.

Astagfirullah ya Allah, cobaan macam apa ini? Kenapa engkau mengujiku dengan cobaan yang seberat ini? Aku tidak tahu harus berbuat apa?

Sepulang dari rumah mertuaku aku terus saja menangis, tanpa sadar, Athalla putra sulung ku dia juga ikut menangis sambil memeluk ku, semetara si bungsu Kirana dia sudah tertidur pulas di atas ranjang.

"Mamah ... Mamah jangan sedih. Aku jadi ikutan sedih. Ada aku. Nanti kalau aku sudah besar, sudah punya uang yang banyak aku akan membangun ruang untuk Mamah," ucap nya lirih.

"Masya Allah, Nak ... ." Aku menggapai tubuh mungil putra ku dan mendekap nya erta-erat sambil ku ciumi pucuk kepalanya dan sesekali ku kecup pipinya. Di usia nya yang masih terbilang sangat kecil, tapi putra ku bisa berpikir seperti itu.

Aku bersyukur kepada Allah karena telah dikaruniai putra seperti Athalla, aku berharap putra ku akan tumbuh menjadi anak yang Shole dan juga berbakti kepada kedua orang tuanya.

"Mamah, aku bilang jangan menangis," ucap nya sambil mengusap air mata ku dengan tangan mungilnya.

Aku kemudian mengusap air mata ku dan mencoba menarik sudut bibir ku. "Mamah sudah berhenti nangis nya. Lihat! Mamah sudah bias tersenyum," kata ku, walaupun berat aku berusaha untuk tersenyum.

Dani tersenyum haru lalu dia memeluk ku lagi. "Mamah, ini sudah malam. Kita tidur yuk!" ucap nya.

Aku mengangguk mengiakan, lalu ke rebahkan tubuh ku di samping si sulung dan di bungsu Kirani, ku usap dengan lembut kepala kedua anakku lalu ku panjatkan doa untuk mereka.

Malam semakin larut namun aku masih belum bisa tidur, ucapan kedua mertuaku terus terngiang-ngiang di benak ku, seketika itu juga air mataku tumpah kembali. Ingin rasanya aku menelpon mas Arman sekarang juga, namun aku urungkan karena besok pagi mas Arman juga akan pulang.

Aku mencoba berdamai dengan hati ku dan sebisa mungkin untuk melupakan semuanya walaupun itu rasanya mustahil. Hinaan mertua ku seakan menembus kedalam hati ku yang paling dalam dan aku tidak akan pernah melupakan nya sampai kapanpun.

Di tengah malam yang sunyi, aku bangun dari duduk ku, lalu bergegas pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Setelah selesai wudhu, lalu aku mengambil sajadah dan mukena yang ada di dalam lemari.

Di pertengahan malam, sekitar pukul 02:00 aku bersujud kepada Allah, mengadukan semua masalah yang sedang aku hadapi saat ini. Di atas sajadah itu aku tumpahkan rasa sakit hati ku dan memohon kepada Allah supaya aku di berikan kekuatan serta rejeki yang luas, seluas samudra.

Setelah mengadu padanya, baru hati ku mulai merasa tenang dan aku bisa tertidur di penghujung malam.

****

"Ayah!" pekik Dani.

"Kakak. Dimana Kirani sama mamah, Nak?" tanya mas Arman, lembut.

"Mamah sama adik ada di dalam," jawab Dani.

Anak itu terlihat sangat senang dengan kedatangan Ayah nya yang baru saja pulang dari luar kota, dan si bungsu Kirani, gadis kecil itu juga langsung turun dari pangkuan ku dan lari menghampiri mas Arman saat melihat Ayah nya pulang. Semetara aku, aku hanya diam mematung sambil terus melihat kedua anak-anak ku yang terlihat sangat menyayangi ayah nya itu.

"Ayah, kemarin Nenek sama kakek hajat sama Mamah," ucap Dani dengan wajah polosnya.

"Jahat sama mamah? Kenapa emangnya?" tanya mas Arman sambil melirik ke arah ku yang masih berdiri beberapa centimeter dari nya.

"Ia. Mamah di bentak-bentak sama kakek dan nenek. Kasihan mamah, Ayah. Dia menangis sepanjang malam. Untung ada aku. Aku janji sama Mamah, kalau aku sudah besar nanti dan aku akan mencari uang ya banyak untuk Mamah. Biar nenek sama kakek jangan marahin mamah lagi," ucap Dani.

"Dani, kamu ajak main Kirani dulu yah, Nak. Ayah mau bicara dulu sama Mamah" pinta nya.

"Baik Ayah. Kirani, ayo kita main!" ajak Dani kepada adiknya. Kirani manggut, lalu ia ikut Dani bermain di halaman rumah.

Sementara mas Arman, dia menghampiri ku yang dari tadi hanya berdiri tanpa sebuah senyum di bibir ku.

"Rina, apa maksud dari ucap Dani? Kenapa dia berkata seperti itu? Apa benar semua yang di katakan oleh Dani?" tanya mas Arman pada ku.

"Ia, Mas. Semua yang di katakan Dani benar. Kemarin ibu datang kesini, dan mencai maki aku, Mas!" jawab ku sambil terisak. Entah mengapa, lagi-lagi air mataku tak dapat aku tahan dan meluncur begitu saja. Mungkin karena rasa sakit ku terlalu dalam sehingga air mataku seakan mewakili perasaan ku.

"Astaghfirullah. Tapi kenapa? Kenapa ibu bisa sampe semarah itu sama kamu, Rina?" tanya nya lagi.

"Masalahnya sepele, Mas. Kemarin pagi, adik kamu menelepon ku dan meminta aku untuk bilang sama kamu, kalau dia lagi sakit. Waktu itu aku menelpon kamu Mas. Tapi nomor nya tidak aktif dan juga baterai ponsel ku habis. Tapi entah ibu tahu dari mana kalau Arga menelpon ku.

Tiba-tiba saja dia datang marah-marah dan mencai aku di depan semua orang, Mas. Bukan cuma cacian yang aku dapat, melainkan juga hinaan. Aku memang miskin, Mas! Tapi aku juga punya harga diri." Aku menceritakan dengan jelas bagaimana kejadiannya kepada mas Arman dan laki-laki yang ada di hadapan ku itu hanya diam tanpa berkata apapun.

"Mas, katakan sesuatu. Jangan hanya diam seperti ini. Apa hati mu tidak merasa kasihan kepada ku, Mas. Orang tua mu sudah menghina ku mati-matian di depan umum. Apa kamu tidak akan membela istri mu ini."

"Terus aku harus apa, Rina!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status