Share

MASA LALU ASIH

Matanya terlihat sembab seperti habis menangis, Yuni memelas meminta belas kasihan.

"Bu, tolong saya ...," ucapnya lirih.

Aku membawanya ke belakang karena malu dilihat pelanggan. Biar warung dijaga Sumi dan Dewi selagi aku bicara dengan Yuni.

"Kenapa kamu?" tanyaku setelah kami duduk di bangku tempat mengiris sayuran.

"Ardi tiba-tiba gagu, gak bisa bicara, tadi malam suhu badannya panas. Saya sudah bawa ke dokter tapi kata dokter Ardi baik-baik saja, tidak terdeteksi sakit secara medis, Bu," katanya.

"Kok aneh, bisa tidak terdeteksi begitu? Coba ingat-ingat, Yun ... barangkali kamu punya dosa sama orang, sehingga orang itu sakit hati. Bisa jadi penyakit anakmu karena lidahmu telah melukai perasaan orang lain, dan orang itu tidak terima," kataku, mencoba memberinya nasihat.

Yuni mengelap air matanya yang menetes, dengan menggunakan sapu tangan. Ia terlihat tidak terima ketika aku bicara seperti barusan. Kadang, ia memang selalu memperlihatkan sifat bengalnya.

"Bu, apa Ibu bicara begitu karena masalah Dewi kemarin? Saya kan bicara apa adanya, kalau dia tidak bisa berhitung," katanya membela diri.

"Ya sudah kalau kamu merasa begitu. Hanya kamu sendiri yang tahu niatmu seperti apa sampai-sampai harus selalu menyindir Dewi."

Sudah berkali-kali ia berusaha menyingkirkan pegawai baruku, agar bisa memasukkan adiknya kerja di sini. Sekarang Yuni terdiam, mungkin menyadari maksud perkataanku. 

"Lalu, ada apa datang kemari? Kamu mau minta tolong sama saya, wong dokter aja gak bisa nolongin ... apalagi saya, Yun," cetusku.

"Anu, Bu ... saya mau pinjam uang untuk bayar dokter. Ini saya ninggalin anak saya di klinik karena gak bawa uang, tadi ...," katanya.

Ampun ... selain mulutnya yang berbisa dan bengal, ia muka tembok juga. Sudah berani mengababaikan nasihatku, sekarang hendak meminjam uangku.

"Berapa?" tanyaku.

"Tiga ratus ribu." Dia pun berlalu setelah menerima uang.

Saat kembali ke dalam warung, meja tampak kosong, para pelanggan sudah selesai makan. Dewi sedang mencuci piring di dapur, sementara Sumi mengelap meja.

"Ada apa Yuni ke sini, Bu?" tanya Sumi.

"Pinjam uang," jawabku.

"Lho? Kemarin kan dia pinjam uang juga ke saya, Bu," cerita Sumi.

"Berapa memangnya?

"Seratus ribu."

"Oh, ya sudah. Ikhlas aja, mungkin dia memang beneran butuh," jawabku.

Sumi tampak merengut sambil terus mengelap meja. Kadang, Yuni dan Sumi suka tak akur juga. Mereka suka saingan dalam hal-hal kecil. Tapi kalau sudah ngomongin orang alias menggunjing, mereka klop banget. 

Aku menghampiri Dewi di dapur karena teringat dengan anaknya Yuni, siapa tahu anak kecil itu jadi gagu gara-gara ulah ibunya yang telah menyakiti Dewi. 

"Dewi, sekarang bagaimana perasaanmu terhadap Yuni? tanyaku. 

Dewi tak menjawab, tapi wajahnya sangat masam, menyiratkan perasaan dendam yang tersembunyi di balik dadanya.

"Kamu mirip saya dulu, waktu kerja di toko Pak Asep. Kamu tahu kan, toko kelontong yang di perempatan jalan raya itu?" tanyaku memamcing.

Dewi mengangguk, tangannya penuh busa sabun cuci piring, ia belum berhenti dari aktivitasnya itu.

"Dulu saya juga sering dipanas-panasi waktu kerja di sana, dibully, diperlakukan tidak adil, bahkan difitnah." Aku bercerita untuk memancing Dewi agar mau mengutarakan perasaannya. Siapa tahu, jika dia merasa punya teman senasib, ia akan mau bercerita. "Hingga akhirnya saya dipecat dengan tuduhan palsu. Saya menjadi dendam pada orang-orang itu."

Dewi membilas piring-piring yang telah digosok, kemudian menyimpannya ke rak piring dengan rapi. Ia tampak buru-buru melakukannya karena ingin segera duduk di sampingku dan mendengarkan ceritaku.

"Saya melakukan banyak cara agar dendam saya terbalaskan, Wi. Apalagi teman saya yang bernama Rosi itu telah merebut suami saya. Pernah saya pergi ke dukun untuk menyantet Rosi dan Pak Asep, saking dendamnya saya terhadap mereka," ceritaku. Dewi tampak antusias mendengarkan.

"Lalu bagaimana kelanjutannya?" tanya Dewi.

Aku menghela napas dan membenarkan posisi jilbab Dewi yang miring. "Yang pasti, dendam itu tidak membawa kebaikan. Jika kamu masih menyimpan dendam terhadap seseorang, lebih baik lepaskan ... jangan dipelihara," kataku padanya.

➖➖➖➖➖➖➖➖➖

Tiga tahun yang lalu setelah insiden 'penendangan' sekaligus pemecatanku dari toko kelontong Pak Asep, aku pulang dengan menaiki becak.

Waktu itu aku masih tinggal serumah dengan mertua. Ketika tiba di halaman rumah, ibu mertuaku segera menghampiri, dia berpikir aku membawa uang karena hari itu bertepatan tanggal gajian.

"Bu, Asih dipecat, boro-boro gajian ...," jawabku lirih karena menahan sakit.

Wajah ibu mertua berubah kecut. Bukannya menolong, ia malah mengomel. "Haduuuh! Beras, minyak, gas, listrik ... sudah habis semua. Mana suamimu juga belum terima honor, lagi!" katanya sambil terus berlalu meninggalkanku. Ia sama sekali tidak mempedulikan keadaanku yang merintih kesakitan akibat tendangan Pak Asep di perutku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status