Share

MASA LALU ASIH (2)

"Nia, tolong ... bantu kakak berjalan ke kamar. Rasanya sakit sekali perut ini," kataku pada adik ipar yang kebetulan keluar rumah.

"Aduh, Kak ... maaf ya. Nia buru-buru mau jalan sama temen nih," jawabnya seraya melengos. Dia sudah lulus SMA. Hobinya dandan, terus main bersama geng-nya. 

Astaghfirullloh ... hanya itu yang bisa kuucapkan setiap kali menerima perlakuan abai dari keluarga Kang Agung. Mereka tak pernah mempedulikanku. Andai saja aku tidak bekerja, mungkin aku dan anakku akan kelaparan, karena gaji Kang Agung—yang saat itu masih berstatus guru honorer—belum cukup untuk menafkahiku.

Akhirnya, aku pun berjalan tertatih-tatih ke kamar, sambil berpegangan ke dinding rumah. Betapa sakit dan pegal-pegal badanku waktu itu, hingga kasur butut pun bagaikan harta karun bagiku, aku berbaring dengan nyaman di atasnya.

Malam setelah Kang Agung pulang mengajar ngaji, aku mengutarakan keinginanku untuk pulang ke rumah ibu.

"Kenapa, Sih?" tanya Kang Agung.

"Aku ingin pulang dan dekat ibu. Perutku sakit, Kang. Tadi ditendang Pak Asep ...."

Kemudian aku pun menceritakan kejadiannya. Kang Agung sangat marah, dengan masih mengenakan sarung ia pergi ke dapur. Entah apa yang akan ia lakukan, yang jelas ibu mertua terdengar berteriak memanggil Kang Agung.

"Astaghfirulloh, itu kamu mau kemana bawa-bawa parang begitu? Istighfar, Gung ... istighfar!" 

"Aku mau ke rumah Pak Asep, Bu! Dia sudah menganiaya istriku, dan aku mau bikin perhitungan dengannya!" jawab Kang Agung.

"Menganiaya bagaimana? Ah ... sudah, sudah! Jangan kau berani melawan Asep, dia bukan tandingan kita. Mau lawan pakai hukum pidana ataupun ilmu hitam, ujung-ujungnya kita juga yang akan kena. Dia tak bisa dilawan. Mending kamu pasrah saja daripada cari perkara, sudah!" Ibu mertua memarahi Kang Agung. Jika sudah begitu, Kang Agung pun akan patuh karena memang begitulah sifatnya.

Aku hanya bisa mendengarkan keributan itu dari dalam kamar. Dalam hati aku pun bersyukur karena ibu mertua bisa menghalangi niat Kang Agung yang penuh amarah, aku tak bisa membayangkan jika sampai Kang Agung melakukan sesuatu dengan parang itu.

"Kamu itu jangan suka ngadu sama suamimu. Lihat apa yang terjadi, dia terbakar emosi! Hampir saja gelap mata mau menghilangkan nyawa orang," bentak ibu mertua. Tiba-tiba saja ia berdiri di ambang pintu kamar sambil berkacak pinggang memarahiku.

Aku tersentak, kaget sekali. Perutku pun makin melilit dibuatnya, bayi dalam perutku terus menendang-nendang seolah merasakan sakit yang sama. Mataku terhalang genangan air mata. Baru kali ini aku dibentak ibu mertua.

"Asih ditendang perutnya oleh Pak Asep, Bu. Dia sedang kesakitan sekarang. Apa Ibu tidak lihat? Dari tadi kan Ibu ada di rumah, kemana saja Ibu ini! Kenapa tak membawa Asih ke bidan, sekarang malah memarahinya. Ibu sudah keterlaluan dengan istriku!" Kang Agung menghampiriku dan membelaku.

Ibu terdiam, mungkin karena tidak bisa menjawab lagi. 

"Ayo, kita pulang saja ke rumah ibumu. Di sini memang membuatmu tertekan," ucap Kang Agung seraya mengusap air mataku, kemudian ia mengemas barang-barangku.

"Ya. Mending pulang aja sana! Serba salah saya serumah sama kamu. Kalau perlu, gak usah balik lagi. Dari awal juga saya gak setuju Agung nikah sama kamu," hardik ibu mertua. Menambah rasa perih dan sakit. Secara tak langsung, dia telah mengusirku.

Beruntung, Zulfa yang saat itu masih berumur dua tahun tengah dititipkan di rumah ibuku, jadi dia tak perlu melihat keributan yang terjadi.

*

Pagi harinya aku berada di rumah sakit karena pendarahan. Beberapa jam kemudian dokter memvonis aku keguguran. Betapa sakit dan hancurnya hatiku ketika mendengar vonis itu. Terlebih saat kulihat ibuku dan Kang Agung ikut menangis menerima kabar itu. 

Dokter bilang, kalau saja aku tidak terlambat dibawa ke rumah sakit ... maka kandunganku masih bisa diselamatkan. Dan pernyataan dokter itu, membuat ibu dan Kang Agung jadi ribut.

"Kalu saja ibumu kemarin langsung bawa Asih ke puskesmas, pasti gak begini ceritanya, Gung. Dasar ibumu itu menelantarkan menantunya sendiri! Aku tak terima anakku diperlakukan seperti itu! Mulai sekarang, Asih akan tinggal denganku dan tak akan kembali lagi ke rumah ibumu!" kata ibu penuh emosi. Semalam, ibu sudah mendengar cerita tentang penendangan perutku dan keributan di rumah mertua.

Mas Agung hanya menunduk. Ia sama sekali tak menjawab perkataan ibu. Kemudian memghampiriku yang tengah berbaring lemas di ranjang rumah sakit, sementara ibu pergi ke toilet.

"Semua ini gara-gara Asep!" Kang Agung menggeram. 

Kepalaku mendadak pusing karena mendengar orang-orang saling menyalahkan. "Kang, sudah ... aku mumet mendengar keributan terus. Ingin istirahat," ucapku.

Namun, tiba-tiba saja ada yang berbeda dengan ekspresi wajah Kang Agung, ia tampak melotot kepadaku dan wajahnya merah membara seolah murka. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status