"Waalaikumsalam," kulangkahkan kaki menghampiri pemilik suara di depan warung.Tiga orang bapak-bapak berpeci hitam. Mengenakan baju koko dan bersarung. Mereka pasti baru pulang sholat berjamaah di masjid. Aku tak mengenali mereka."Ini warung Neng Asih?" tanya seorang di antara mereka."Betul, Pak. Ada apa ya?" tanyaku, sedikit kaget karena takut mereka ada sangkut pautnya dengan warungku. Ingin menutupi warung karena dikira melihara jin, misalnya."Kami mau beli takjil dan berbuka puasa di sini, tapi rupanya warungnya sedang tutup, ya?" Aku menghembus napas lega. Ternyata mereka mau membeli, tak seperti perkiraanku."Boleh, Pak. Silakan masuk. Kami sedang berbuka, jadi tutup sebentar."Mereka duduk di meja makan, dan sambil menungguku menyiapkan makanan, mata mereka berkeliling ke sekitar warung dengan rasa kagum."Enak ya, suasananya. Adem dan segar," gumam mereka. "Biasanya kami makan masakan Neng Asih di masjid, tapi sudah beberapa hari ini kami tidak mencicipinya. Makanya kami
Semenit kemudian, aku dan Sumi sudah ada di pinggir jalan dengan membawa tulisan 'Warung Takjil Katresna Akang', diiringi tanda panah mengarah ke warungku. Beberapa warga sekitar terminal memiringkan bibirnya ketika melihat kami promosi, seakan sangsi caraku akan berhasil.Entah ada angin apa, hari ini jalanan kembali ramai seperti biasa, para pengendara tidak semuanya lewat perempatan lagi. Sebuah kesempatan bagus. Apalagi ketika lima buah motor berbelok dan parkir di depan warungku. Gegas kuhampiri mereka, dan meminta Sumi tetap promosi sendirian."Selamat sore, adik-adik. Silakan duduk dulu," sambutku. Mereka masuk warung dan menunggu di kursi panjang yang kusediakan untuk para pengantre, agar mereka tak perlu berdiri di depan warung lagi ketika menunggu pesanan siap. "Wah ... seger sekali warung ini," ucap salah satu dari mereka, seraya melihat sekeliling dengan tatapan kagum. "Adem, ya," lanjutnya."Alhamdulillah kalau betah," kataku. "Mau pesan apa?" "Takjil sama lauknya ya,
"Asih, ini tadi kok ada yang ngirim bahan-bahan kue ke rumah?" tanya Ibu dari kejauhan, setengah berteriak. Aku memesan bahan kue itu tadi pagi sebelum berangkat ke warung. "Asih mau buka pesanan kue kering untuk lebaran, Bu," jawabku setelah sampai di halaman rumah. Ibu menggelengkan kepala, ia menyuruhku menyimpan dua dus bahan kue ini ke dalam rumah. "Kamu yakin mau membuka pesanan kue? Gak takut rugi? Apa ada yang mau beli? Warungmu aja masih sepi," kata Ibu sangsi. "Justru itu yang membuat Asih makin semangat!" jawabku singkat. "Kamu suka nantangin orang. Entar mereka malah makin kesel sama kamu!" balas Ibu sambil terkekeh, ia tahu maksudku. "Mereka yang nantangin duluan, Bu. Dikiranya Asih bakalan diem aja warung dijatuhkan dengan gunjingan-gunjingan mereka. Mereka kan inginnya melihat Asih terpuruk, bangkrut, enggak dagang lagi. Ya gak bakalan Asih wujudkan keinginan mereka!" "Tapi, nanti kalau daganganmu gak laku lagi, apa gak malu?" tanya Ibu menggodaku. "Setidakny
"Sa-saya masih mau kerja di sini, Bu," jawab Yuni sambil terisak. Ia pasti sangat malu sekaligus tersinggung. Mungkin dalam hatinya ia ingin lari dari sini, kemudian mencari pekerjaan lagi di tempat lain, tetapi sadar bahwa susah mencari pekerjaan lagi. "Kalau begitu, mulai sekarang buang sifat jelekmu. Kalau mau kerja di sini harus kerjasama, gak boleh saling menjatuhkan. Saya ingin warung saya sukses lagi. Kalau kamu membuat rekan kerjamu gak nyaman, bagaimana semua itu bisa terwujud?" kataku.Yuni tertunduk cukup lama. Wajahnya sangat tegang. Siapa suruh memantik emosiku? Belum reda amarah karena Rosi, Yuni malah membuatku semakin panas. Mau tak mau ini harus terjadi—aku memarahinya.Tak ada lagi berani membuka suara untuk memecah keheningan. Kuperintahkan mereka untuk kembali bekerja. Kali ini waktunya masak. Bukan untuk dijual, melainkan untuk disedekahkan ke masjid."Masak menu seperti biasa. Bahan-bahannya ada dalam keresek di dapur, di atas bangku," kataku.Mereka berpandanga
"Bu, Sudah Bu! Nanti dia bisa mati!" Sumi berusaha melepaskan tanganku dari Rosi. "Istighfar, Bu. Sudah cukup. Rosi sudah merasakan kesakitan. Wajahnya sudah memerah, dia seperti orang sekarat. Astaghfirulloh ... ya Alloh!" Yuni panik. Ia membantu Sumi menyingkirkan tanganku. Aku tahu batasanku, meski marahku seperti orang kerasukan, tapi aku tahu kapan harus berhenti. Kubiarkan Rosi bernapas lega kembali. Dia mengambil napas berkali-kali, dan menghembuskannya sepuas mungkin. Kedua tangannya memegangi leher, mungkin dia sedang mengucap syukur karena aku tak sampai memutuskan urat nadinya. Sudah cukup aku memberinya peringatan. Mulai sekarang, kupastikan dia tidak akan berani menggangguku lagi. "Apa maumu? Kalau aku merebut Kang Agung darimu, kamu mau apa, hah? Berkali-kali kamu ngirim santet, tak ada satu pun yang mempan. Sekarang kamu datang ke sini untuk menjual rasa cemburu, agar aku kasihan dan menjadi lembek. Setelah itu, kamu akan mengintimidasiku. Itu kan, rencanamu? Busuk!
Sengaja aku mengambil jalan ke perempatan, agar lewat di depan toko Pak Asep, berharap bertemu dengan Rosi. Akan kuseret ia ke tempat sepi dan membuat perhitungan dengannya. Pagi hari dia bekerja di toko, sore hari berjualan takjil. Kulihat toko itu sudah buka dan cukup ramai. Beberapa karyawan melayani pembeli dan dua orang kuli angkut mengangkut barang yang baru datang dari mobil sales. Aku memperlambat langkah kaki, sambil terus mencari keberadaan Rosi di dalam sana. Namun, hanya tas kulit warna hitam miliknya yang kulihat di meja kasir. Aku berhenti sejenak. Amarahku terpanggil. Jika emosiku sedang dalam kondisi seperti ini, maka aku bisa berubah ganas. Tak akan peduli rasa malu dan kasihan, segala hal mengerikan bisa saja terjadi. Kakiku hendak melangkah ke dalam toko untuk mencari keberadaan Rosi, namun tertahan."Kalau kamu bisa bersabar dengan kemarahanmu, kamu akan terhindar dari penyesalan, Asih!" Tiba-tiba aku teringat nasihat ibu. Ia pernah mengatakannya ketika aku baru