Share

KUASA ALLOH

Penulis: Widanish
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-08 15:50:37

Memang, kemarin itu aku lihat Dewi sangat tertekan menahan sakit. Andai ia masih ada orangtua, aku yakin mereka akan melabrak Yuni atas perlakuannya terhadap Dewi.

"Ah, mungkin cuma kebetulan, Wi. Gak usah dipikirkan," responku menenangkan Dewi, karena ia terlihat khawatir dan merasa bersalah.

Namun dalam hati, aku merasa yang dikatakan Dewi bisa jadi benar. Doa seorang yang tersakiti dan terdzolimi bisa saja dikabulkan Alloh. Apalagi Dewi yatim piatu, satu-satunya tempat ia mengadu hanya Alloh.

"Bu, Dewi mau bantu-bantu Kak Sumi masak, ya. Maaf kalau Ibu terganggu dengan cerita Dewi barusan," ucapnya seraya berlalu ke dapur.

Keajaiban memang bisa saja terjadi dalam hidup ini, semua tak lepas dari kuasa Alloh. Siapa sangka, hidupku yang dulu susah bahkan untuk makan pun harus menjatah sehari sebesar dua puluh ribu rupiah, kini berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat. 

Aku mengelap piring saji dan menatanya. Satu per satu menu yang dimasak sudah matang, diantarkan Sumi kepadaku. 

"Ini segala macam tumisan kamu simpan di rak tengah, goreng-gorengan di rak atas. Terus sayur sop, sayur asem dan sayur lodeh di rak paling bawah ya, Sum!" perintahku.

Karena biasanya Yuni yang menyajikan menu di warung, aku memberitahu Sumi cara meletakkan menu ke rak saji. Ia pun menuangkan menu-menu yang sudah masak ke piring saji yang telah kutata.

"Nasinya udah matang?" tanyaku. "Saya lupa tadi tak sempat mengecek."

"Sudah, Bu," jawab Sumi.

Selang sedetik, Dewi membawa nasi yang sudah matang dari dapur dan memindahkan ke magic com. Sumi menghampiri Dewi dan segera merebut bakul nasi darinya.

"Ish, kan sudah kubilang, kamu di dapur saja bebersih cuci piring, gak usah nongol ke depan ... apalagi megang-megang makanan!" bisik Sumi kepada Dewi saat mereka menata menu lauk dan nasi.

"Kenapa, Kak? Walaupun pakaianku jelek, tapi kan bersih. Dewi bukan kotoran, Kak ...," lirih Dewi. 

"Ngejawab aja, kamu! Sengaja ya biar ibu denger aku ngomelin kamu?" 

Aku yang tengah membelakangi mereka sambil mengelap piring dan gelas, sesekali menoleh ke arah mereka dan mendengarkan keributan kecil itu. Aku langsung menegurnya, kemudian mengambil dua pasang seragam dari tas dan memberikannya pada Sumi dan Dewi. Seragam itu kupesan di tukang jahit untuk ketiga pegawaiku, agar mereka tak melulu meributkan pakaian siapa yang paling bagus dan pakaian siapa yang paling jelek. Kasihan Dewi, selalu jadi bahan ejekan karena pakaiannya model lama dan kumal, akhirnya aku berinisiatif membuatkan mereka seragam.

"Mulai sekarang, kalian pakai seragam kerja ini!" titahku.

"Wah, kayak PNS aja kerjanya pakai seragam, Bu," celetuk Sumi dengan tertawa kecil. Ia juga tampak malu karena aku memergokinya tengah 'membully' Dewi.

"Makasih, Bu," ucap Dewi.

Mereka bergegas ke belakang untuk ganti baju. Aku terpikir cara ini ketika mendengar percakapan anak Osis yang mampir makan siang sepulang sekolah. Mereka bilang, dengan memakai seragam, tak ada lagi perbedaan antara siswa yang kaya dan yang miskin. Semoga cara ini bisa berhasil kuterapkan di warungku.

Tepat jam tujuh pagi, Dewi dan Sumi yang telah memakai seragam kerja, kompak membuka warung. Mereka cekatan sekali melayani setiap pelanggan yang datang.

Seperti biasa, para supir dan penumpang yang hendak melakukan perjalanan ke kota, adalah pelanggan yang pertama kali datang untuk sarapan.

"Wah, pegawai Bu Asih sekarang pakai seragam, jadi gak pada ribut lagi soal baju siapa paling bagus ya, Bu. Cerdik Bu Asih ini mengakali 'keributan' anak buahnya," komentar Mang Duloh—Supir angkot 05.

Aku yang stand by di meja kasir, tersenyum tipis membalas pujian Mang Duloh. Kemudian kulirik Dewi dan Sumi, mereka sibuk dengan pekerjaannya. Sementara aku memperhatikan mereka dari sini sambil melihat tanggal di kalender. Sebentar lagi bulan puasa, aku harus memutar otak untuk menentukan menu jualan selama puasa, karena warung nasi ini pasti akan tutup. 

"Bikin takjil aja, Bu. Seperti tahun kemarin," saran Sumi saat ia telah selesai melayani pelanggan, dan duduk di sampingku.

"Iya itu pasti. Tapi apa? Kalau jualan takjil aja, pendapatan kita kurang, Sum," kataku.

"Menurut Dewi, jual takjil sekalian jual menu buka puasa juga, Bu. Tadi saya dengar, bulan puasa tahun ini diperkirakan akan banyak wisatawan, karena bertepatan dengan liburan sekolah. Mereka pasti akan singgah di sini, dan datang untuk berbuka puasa, jarak terminal ini ke tempat wisata kan cukup dekat. Ya, setidaknya kita punya peluang," Dewi yang baru saja bergabung, ikut memberi saran.

"Tumben kamu pinter, Wi! Otakmu kayaknya encer. Kok bisa kemarin salah ngasih kembalian?" tanya Sumi.

Dewi tersipu malu, ia baru saja akan menjawab pertanyaan Sumi ketika Yuni tiba-tiba datang.

"Bu Asih...." Yuni memanggil namaku dengan tergesa.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   Akhir

    "Waalaikumsalam," kulangkahkan kaki menghampiri pemilik suara di depan warung.Tiga orang bapak-bapak berpeci hitam. Mengenakan baju koko dan bersarung. Mereka pasti baru pulang sholat berjamaah di masjid. Aku tak mengenali mereka."Ini warung Neng Asih?" tanya seorang di antara mereka."Betul, Pak. Ada apa ya?" tanyaku, sedikit kaget karena takut mereka ada sangkut pautnya dengan warungku. Ingin menutupi warung karena dikira melihara jin, misalnya."Kami mau beli takjil dan berbuka puasa di sini, tapi rupanya warungnya sedang tutup, ya?" Aku menghembus napas lega. Ternyata mereka mau membeli, tak seperti perkiraanku."Boleh, Pak. Silakan masuk. Kami sedang berbuka, jadi tutup sebentar."Mereka duduk di meja makan, dan sambil menungguku menyiapkan makanan, mata mereka berkeliling ke sekitar warung dengan rasa kagum."Enak ya, suasananya. Adem dan segar," gumam mereka. "Biasanya kami makan masakan Neng Asih di masjid, tapi sudah beberapa hari ini kami tidak mencicipinya. Makanya kami

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   Bab 32

    Semenit kemudian, aku dan Sumi sudah ada di pinggir jalan dengan membawa tulisan 'Warung Takjil Katresna Akang', diiringi tanda panah mengarah ke warungku. Beberapa warga sekitar terminal memiringkan bibirnya ketika melihat kami promosi, seakan sangsi caraku akan berhasil.Entah ada angin apa, hari ini jalanan kembali ramai seperti biasa, para pengendara tidak semuanya lewat perempatan lagi. Sebuah kesempatan bagus. Apalagi ketika lima buah motor berbelok dan parkir di depan warungku. Gegas kuhampiri mereka, dan meminta Sumi tetap promosi sendirian."Selamat sore, adik-adik. Silakan duduk dulu," sambutku. Mereka masuk warung dan menunggu di kursi panjang yang kusediakan untuk para pengantre, agar mereka tak perlu berdiri di depan warung lagi ketika menunggu pesanan siap. "Wah ... seger sekali warung ini," ucap salah satu dari mereka, seraya melihat sekeliling dengan tatapan kagum. "Adem, ya," lanjutnya."Alhamdulillah kalau betah," kataku. "Mau pesan apa?" "Takjil sama lauknya ya,

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   Bab 31

    "Asih, ini tadi kok ada yang ngirim bahan-bahan kue ke rumah?" tanya Ibu dari kejauhan, setengah berteriak. Aku memesan bahan kue itu tadi pagi sebelum berangkat ke warung. "Asih mau buka pesanan kue kering untuk lebaran, Bu," jawabku setelah sampai di halaman rumah. Ibu menggelengkan kepala, ia menyuruhku menyimpan dua dus bahan kue ini ke dalam rumah. "Kamu yakin mau membuka pesanan kue? Gak takut rugi? Apa ada yang mau beli? Warungmu aja masih sepi," kata Ibu sangsi. "Justru itu yang membuat Asih makin semangat!" jawabku singkat. "Kamu suka nantangin orang. Entar mereka malah makin kesel sama kamu!" balas Ibu sambil terkekeh, ia tahu maksudku. "Mereka yang nantangin duluan, Bu. Dikiranya Asih bakalan diem aja warung dijatuhkan dengan gunjingan-gunjingan mereka. Mereka kan inginnya melihat Asih terpuruk, bangkrut, enggak dagang lagi. Ya gak bakalan Asih wujudkan keinginan mereka!" "Tapi, nanti kalau daganganmu gak laku lagi, apa gak malu?" tanya Ibu menggodaku. "Setidakny

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   Netizen

    "Sa-saya masih mau kerja di sini, Bu," jawab Yuni sambil terisak. Ia pasti sangat malu sekaligus tersinggung. Mungkin dalam hatinya ia ingin lari dari sini, kemudian mencari pekerjaan lagi di tempat lain, tetapi sadar bahwa susah mencari pekerjaan lagi. "Kalau begitu, mulai sekarang buang sifat jelekmu. Kalau mau kerja di sini harus kerjasama, gak boleh saling menjatuhkan. Saya ingin warung saya sukses lagi. Kalau kamu membuat rekan kerjamu gak nyaman, bagaimana semua itu bisa terwujud?" kataku.Yuni tertunduk cukup lama. Wajahnya sangat tegang. Siapa suruh memantik emosiku? Belum reda amarah karena Rosi, Yuni malah membuatku semakin panas. Mau tak mau ini harus terjadi—aku memarahinya.Tak ada lagi berani membuka suara untuk memecah keheningan. Kuperintahkan mereka untuk kembali bekerja. Kali ini waktunya masak. Bukan untuk dijual, melainkan untuk disedekahkan ke masjid."Masak menu seperti biasa. Bahan-bahannya ada dalam keresek di dapur, di atas bangku," kataku.Mereka berpandanga

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   29

    "Bu, Sudah Bu! Nanti dia bisa mati!" Sumi berusaha melepaskan tanganku dari Rosi. "Istighfar, Bu. Sudah cukup. Rosi sudah merasakan kesakitan. Wajahnya sudah memerah, dia seperti orang sekarat. Astaghfirulloh ... ya Alloh!" Yuni panik. Ia membantu Sumi menyingkirkan tanganku. Aku tahu batasanku, meski marahku seperti orang kerasukan, tapi aku tahu kapan harus berhenti. Kubiarkan Rosi bernapas lega kembali. Dia mengambil napas berkali-kali, dan menghembuskannya sepuas mungkin. Kedua tangannya memegangi leher, mungkin dia sedang mengucap syukur karena aku tak sampai memutuskan urat nadinya. Sudah cukup aku memberinya peringatan. Mulai sekarang, kupastikan dia tidak akan berani menggangguku lagi. "Apa maumu? Kalau aku merebut Kang Agung darimu, kamu mau apa, hah? Berkali-kali kamu ngirim santet, tak ada satu pun yang mempan. Sekarang kamu datang ke sini untuk menjual rasa cemburu, agar aku kasihan dan menjadi lembek. Setelah itu, kamu akan mengintimidasiku. Itu kan, rencanamu? Busuk!

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   Kebodohan Asih

    Sengaja aku mengambil jalan ke perempatan, agar lewat di depan toko Pak Asep, berharap bertemu dengan Rosi. Akan kuseret ia ke tempat sepi dan membuat perhitungan dengannya. Pagi hari dia bekerja di toko, sore hari berjualan takjil. Kulihat toko itu sudah buka dan cukup ramai. Beberapa karyawan melayani pembeli dan dua orang kuli angkut mengangkut barang yang baru datang dari mobil sales. Aku memperlambat langkah kaki, sambil terus mencari keberadaan Rosi di dalam sana. Namun, hanya tas kulit warna hitam miliknya yang kulihat di meja kasir. Aku berhenti sejenak. Amarahku terpanggil. Jika emosiku sedang dalam kondisi seperti ini, maka aku bisa berubah ganas. Tak akan peduli rasa malu dan kasihan, segala hal mengerikan bisa saja terjadi. Kakiku hendak melangkah ke dalam toko untuk mencari keberadaan Rosi, namun tertahan."Kalau kamu bisa bersabar dengan kemarahanmu, kamu akan terhindar dari penyesalan, Asih!" Tiba-tiba aku teringat nasihat ibu. Ia pernah mengatakannya ketika aku baru

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status