Memang, kemarin itu aku lihat Dewi sangat tertekan menahan sakit. Andai ia masih ada orangtua, aku yakin mereka akan melabrak Yuni atas perlakuannya terhadap Dewi.
"Ah, mungkin cuma kebetulan, Wi. Gak usah dipikirkan," responku menenangkan Dewi, karena ia terlihat khawatir dan merasa bersalah.
Namun dalam hati, aku merasa yang dikatakan Dewi bisa jadi benar. Doa seorang yang tersakiti dan terdzolimi bisa saja dikabulkan Alloh. Apalagi Dewi yatim piatu, satu-satunya tempat ia mengadu hanya Alloh.
"Bu, Dewi mau bantu-bantu Kak Sumi masak, ya. Maaf kalau Ibu terganggu dengan cerita Dewi barusan," ucapnya seraya berlalu ke dapur.
Keajaiban memang bisa saja terjadi dalam hidup ini, semua tak lepas dari kuasa Alloh. Siapa sangka, hidupku yang dulu susah bahkan untuk makan pun harus menjatah sehari sebesar dua puluh ribu rupiah, kini berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat.
Aku mengelap piring saji dan menatanya. Satu per satu menu yang dimasak sudah matang, diantarkan Sumi kepadaku.
"Ini segala macam tumisan kamu simpan di rak tengah, goreng-gorengan di rak atas. Terus sayur sop, sayur asem dan sayur lodeh di rak paling bawah ya, Sum!" perintahku.
Karena biasanya Yuni yang menyajikan menu di warung, aku memberitahu Sumi cara meletakkan menu ke rak saji. Ia pun menuangkan menu-menu yang sudah masak ke piring saji yang telah kutata.
"Nasinya udah matang?" tanyaku. "Saya lupa tadi tak sempat mengecek."
"Sudah, Bu," jawab Sumi.
Selang sedetik, Dewi membawa nasi yang sudah matang dari dapur dan memindahkan ke magic com. Sumi menghampiri Dewi dan segera merebut bakul nasi darinya.
"Ish, kan sudah kubilang, kamu di dapur saja bebersih cuci piring, gak usah nongol ke depan ... apalagi megang-megang makanan!" bisik Sumi kepada Dewi saat mereka menata menu lauk dan nasi.
"Kenapa, Kak? Walaupun pakaianku jelek, tapi kan bersih. Dewi bukan kotoran, Kak ...," lirih Dewi.
"Ngejawab aja, kamu! Sengaja ya biar ibu denger aku ngomelin kamu?"
Aku yang tengah membelakangi mereka sambil mengelap piring dan gelas, sesekali menoleh ke arah mereka dan mendengarkan keributan kecil itu. Aku langsung menegurnya, kemudian mengambil dua pasang seragam dari tas dan memberikannya pada Sumi dan Dewi. Seragam itu kupesan di tukang jahit untuk ketiga pegawaiku, agar mereka tak melulu meributkan pakaian siapa yang paling bagus dan pakaian siapa yang paling jelek. Kasihan Dewi, selalu jadi bahan ejekan karena pakaiannya model lama dan kumal, akhirnya aku berinisiatif membuatkan mereka seragam.
"Mulai sekarang, kalian pakai seragam kerja ini!" titahku.
"Wah, kayak PNS aja kerjanya pakai seragam, Bu," celetuk Sumi dengan tertawa kecil. Ia juga tampak malu karena aku memergokinya tengah 'membully' Dewi.
"Makasih, Bu," ucap Dewi.
Mereka bergegas ke belakang untuk ganti baju. Aku terpikir cara ini ketika mendengar percakapan anak Osis yang mampir makan siang sepulang sekolah. Mereka bilang, dengan memakai seragam, tak ada lagi perbedaan antara siswa yang kaya dan yang miskin. Semoga cara ini bisa berhasil kuterapkan di warungku.
Tepat jam tujuh pagi, Dewi dan Sumi yang telah memakai seragam kerja, kompak membuka warung. Mereka cekatan sekali melayani setiap pelanggan yang datang.
Seperti biasa, para supir dan penumpang yang hendak melakukan perjalanan ke kota, adalah pelanggan yang pertama kali datang untuk sarapan.
"Wah, pegawai Bu Asih sekarang pakai seragam, jadi gak pada ribut lagi soal baju siapa paling bagus ya, Bu. Cerdik Bu Asih ini mengakali 'keributan' anak buahnya," komentar Mang Duloh—Supir angkot 05.
Aku yang stand by di meja kasir, tersenyum tipis membalas pujian Mang Duloh. Kemudian kulirik Dewi dan Sumi, mereka sibuk dengan pekerjaannya. Sementara aku memperhatikan mereka dari sini sambil melihat tanggal di kalender. Sebentar lagi bulan puasa, aku harus memutar otak untuk menentukan menu jualan selama puasa, karena warung nasi ini pasti akan tutup.
"Bikin takjil aja, Bu. Seperti tahun kemarin," saran Sumi saat ia telah selesai melayani pelanggan, dan duduk di sampingku.
"Iya itu pasti. Tapi apa? Kalau jualan takjil aja, pendapatan kita kurang, Sum," kataku.
"Menurut Dewi, jual takjil sekalian jual menu buka puasa juga, Bu. Tadi saya dengar, bulan puasa tahun ini diperkirakan akan banyak wisatawan, karena bertepatan dengan liburan sekolah. Mereka pasti akan singgah di sini, dan datang untuk berbuka puasa, jarak terminal ini ke tempat wisata kan cukup dekat. Ya, setidaknya kita punya peluang," Dewi yang baru saja bergabung, ikut memberi saran.
"Tumben kamu pinter, Wi! Otakmu kayaknya encer. Kok bisa kemarin salah ngasih kembalian?" tanya Sumi.
Dewi tersipu malu, ia baru saja akan menjawab pertanyaan Sumi ketika Yuni tiba-tiba datang.
"Bu Asih...." Yuni memanggil namaku dengan tergesa.
Matanya terlihat sembab seperti habis menangis, Yuni memelas meminta belas kasihan."Bu, tolong saya ...," ucapnya lirih.Aku membawanya ke belakang karena malu dilihat pelanggan. Biar warung dijaga Sumi dan Dewi selagi aku bicara dengan Yuni."Kenapa kamu?" tanyaku setelah kami duduk di bangku tempat mengiris sayuran."Ardi tiba-tiba gagu, gak bisa bicara, tadi malam suhu badannya panas. Saya sudah bawa ke dokter tapi kata dokter Ardi baik-baik saja, tidak terdeteksi sakit secara medis, Bu," katanya."Kok aneh, bisa tidak terdeteksi begitu? Coba ingat-ingat, Yun ... barangkali kamu punya dosa sama orang, sehingga orang itu sakit hati. Bisa jadi penyakit anakmu karena lidahmu telah melukai perasaan orang lain, dan orang itu tidak terima," kataku, mencoba memberinya nasihat.Yuni mengelap air matanya yang menetes, dengan menggunakan sapu tangan. Ia terlihat tidak terima ketika aku bicara seperti barusan. Kadang, ia memang selalu memperlihatkan sifat bengalnya."Bu, apa Ibu bicara begit
"Nia, tolong ... bantu kakak berjalan ke kamar. Rasanya sakit sekali perut ini," kataku pada adik ipar yang kebetulan keluar rumah."Aduh, Kak ... maaf ya. Nia buru-buru mau jalan sama temen nih," jawabnya seraya melengos. Dia sudah lulus SMA. Hobinya dandan, terus main bersama geng-nya. Astaghfirullloh ... hanya itu yang bisa kuucapkan setiap kali menerima perlakuan abai dari keluarga Kang Agung. Mereka tak pernah mempedulikanku. Andai saja aku tidak bekerja, mungkin aku dan anakku akan kelaparan, karena gaji Kang Agung—yang saat itu masih berstatus guru honorer—belum cukup untuk menafkahiku.Akhirnya, aku pun berjalan tertatih-tatih ke kamar, sambil berpegangan ke dinding rumah. Betapa sakit dan pegal-pegal badanku waktu itu, hingga kasur butut pun bagaikan harta karun bagiku, aku berbaring dengan nyaman di atasnya.Malam setelah Kang Agung pulang mengajar ngaji, aku mengutarakan keinginanku untuk pulang ke rumah ibu."Kenapa, Sih?" tanya Kang Agung."Aku ingin pulang dan dekat ibu
Bayi yang keguguran itu berjenis kelamin laki-laki yang sangat dinantikan Kang Agung, mungkin itulah sebabnya ia merasa sangat down dan emosi pada saat itu. Karena anak impiannya harus gugur."Ini semua juga gara-gara kamu, keras kepala! Dari dulu sudah kubilang tak perlu bekerja di sana, tapi kau tak mau menurut. Lihat, sekarang jadi begini kejadiannya! Asep menendang bayi laki-lakiku hingga gugur!" katanya menyalahkan sambil membentakku, dengan suara yang begitu keras.Tangan Kang Agung melayang di udara namun terhenti, karena ibu membuka pintu sehabis dari toilet. Betapa terkejutnya ibu melihat Kang Agung tengah mengepalkan tangannya ke arahku."Astaghfirulloh ... Agung! Ternyata kamu tukang mukul!" pekik ibu.Kang Agung menurunkan tangannya dengan lemas, kemudian ia jatuh terduduk di lantai, tak berdaya. Suster datang setelah ibu memanggilnya, lalu membaringkan Kang Agung di ranjang sebelahku.Ibu masih terlihat kecewa pada Kang Agung, ia terus mengusap-usap keningku. "Apa selama
Mereka terperanjat kaget saat kupergoki. Aku pun segera menarik tangan Kang Agung agar ia keluar dari warung bakso itu. Saat itu juga Rosi menghalangiku, dia ikut menarik tangan Kang Agung."Rosi, lepaskan suamiku! berani-beraninya kamu jalan dengan suami orang!" kataku setengah membentak. "Kamu juga, Kang ... apa tidak malu suap-suapan dengan wanita lain sambil dilihat banyak orang? Mereka tahu kamu suamiku, di mana urat malumu, Kang?" lanjutku pada Kang Agung, ia hanya diam tak menjawab.Rosi mendorong dadaku, "heh, coba tanya suamimu ... siapa yang mengajak jalan duluan? Tadi habis Ashar dia menjemputku di rumah," jawab Rosi membela diri."Terus kenapa kamu mau? Sudah tahu dia suamiku!" balasku."Aku tak bisa menolak, Asih. Aku masih mencintainya. Dan harus kamu ingat, kamu lah yang telah merebut dia dariku!" Rosi membalas dengan tak kalah galaknya, seolah dia lah yang menderita.Rosi adalah cinta pertama Kang Agung. Sebelum melamarku, Kang Agung lebih dulu melamar Rosi tapi ditola
Aku diam terpaku, hilang akal beberapa saat, kosong. Beruntung ibu yang mendengar percakapan kami langsung menghampiri."Ya sudah kalau kamu memang tak mau lagi dengan Asih. Saya ridho menerima Asih kembali. Silakan kamu pergi, segeralah urus perceraianmu. Tapi ingat ... anakku bukan pencuri!" Ibu berkata dengan penekanan yang begitu kuat. Rasa sakit hati, tersinggung dan kesal seolah menjadi satu dalam benaknya. "Kamu hanya menjadikan gunjingan warga sebagai alasan. Mentang-mentang mau jadi PNS, lupa sama Asih. Waktu kamu melarat anakku setia menemanimu bahkan ikut membantu cari nafkah, sekarang saat kamu sukses malah membuangnya!" Kang Agung tertunduk seperti biasa, ia tak pernah berani melawan orangtua. Sementara aku memandanginya dengan tatapan kosong. Masih tak percaya dengan apa yang menimpaku. Mimpikah aku, menjadi janda di usia dua puluh tujuh tahun? Belum reda gunjingan warga tentang tuduhan mencuri, mereka pasti akan menggunjingku lagi karena diceraikan."Besok akan saya u
*Rumah Mbah dukun jauh dari pemukiman warga. Di seberang rumahku, ada hamparan sawah berpetak-petak yang sangat luas, yang dibatasi pagar bambu. Di antara sawah-sawah itu, ada sebuah jalan setapak yang jika dilewati hingga ke ujung, akan sampai di sebuah jalan kereta (rel) yang sudah tidak dipakai. Untuk sampai di rumah Mbah Dukun, harus melangkahi rel itu kemudian berjalan lagi beberapa ratus meter, menelusuri semak belukar."Mbah!" Aku menyeru sambil mengetuk pintu. Bau dupa semerbak hingga ke tempat di mana aku berdiri malam itu. Rumah yang menyerupai gubuk itu tampak sepi, karena hanya diterangi cahaya damar. Samar kudengar suara orang batuk dari dalam. Lama-kelamaan, suara itu semakin mendekat ke arah pintu, yang kemudian terbuka."Siapa?" tanyanya di depanku."Saya Asih, Mbah," jawabku.Mbah mempersilakanku masuk. Tidak ada sesajen dan peralatan yang biasa dimiliki dukun-dukun. Hanya bau dupa yang tercium di sana. "Ada perlu apa?" Mbah bertanya setelah mempersilakanku duduk d
"Salah dukun?" Aku bertanya tak mengerti.Ibu menghembuskan napas lagi, layaknya seorang yang baru selamat dari musibah."Ibu kira tadi kamu ke rumah dukun yang di Bojongsoang. Syukurlah kalau kamu tidak ke sana. Sudah, cepat tidur. Ini sudah jam setengah satu malam!"*Pagi itu, ibu menyuruhku mandi dan mengucap istighfar untuk membersihkan tubuh sekaligus dosa-dosaku, karena telah berbuat musyrik dengan mendatangi dukun."Percuma, Bu. Rosi dan Asep pasti sedang merasa kesakitan sekarang. Aku terlanjur melakukannya," kataku."Apa kamu menyesal?" tanya ibu."Di satu sisi tidak, di sisi lain iya!" jawabku."Rosi dan Asep tidak apa-apa, mereka baik-baik saja. Pagi tadi Rosi sudah resmi jadi istri Agung, mereka menikah di KUA. Dan Asep ... tadi Ibu melihatnya sedang memarahi karyawannya. Puas kamu, Asih?" Dadaku bergejolak lagi. Bukankah semalam aku sudah menyantet mereka?"Kenapa bisa begitu, Bu? Aku tak terima! Mereka harusnya kesakitan dan menderita," teriakku histeris. Aku menangis
"Kalau menuruti hawa nafsu, pasti saya berontak. Tapi saya sudah sadar bahwa hawa nafsu dapat mencelakai diri sendiri, jadi lebih baik saya fokus memperbaiki hidup saya," jelasku.Dewi mendengarkan dengan seksama. Tiba-tiba, Sumi yang sudah selesai menggoreng, menghampiri kami dan ikut menanggapi, "saya juga sangat ingin bisa seperti Ibu. Baik hati dan tidak sombong," katanya."Kalau saya jadi Ibu, saya tidak akan bisa melupakan kejahatan orang-orang itu, Bu," ujar Dewi.Bahkan, anak sekecil Dewi pun bisa berkata begitu, saking kesalnya mendengar cerita masa laluku yang ditindas."Memelihara dendam itu tidak baik, saya sudah mengalaminya sendiri. Percayalah. Kalau kamu punya rasa sakit hati dengan seseorang, lebih baik sembuhkan saja hatimu. Tak usah berpikiran untuk membalas, biarlah itu menjadi urusan Alloh. Toh, semua perbuatan manusia pasti akan mendapatkan balasannya," kataku menasihati Dewi. Kulihat, ia masih punya 'uneg-uneg' terhadap Yuni."Kalau kamu, Wi?" tanya Sumi sambil m