"Ngomong apa kamu sama Dewi, Yun?" Aku menghampiri Yuni di dapur, ia masih mencuci piring.
"Memangnya kenapa, Bu? Tadi dia ke sini, saya cuma bilang kalau hari ini warung rugi lima puluh ribu, gara-gara dia salah ngasih kembalian," jawabnya dengan muka manis.
"Terus ngomong apa lagi?" tanyaku, agak membentak. Yuni jadi ketakutan. Memang, baru kali ini aku 'keras' terhadapnya.
"Sa—saya bilang, adik saya lebih pintar—" Yuni menunduk.
"Astaghfirulloh, Yuni! Dia masih kecil, umurnya aja jauh di bawah kamu. Kok kamu julid sama anak kecil, sih? Pantes aja dia nangis, kamu ngomongnya keterlaluan! Lagipula, apa maksudmu membandingkan Dewi dengan adikmu? Apa kamu mau membuat Dewi gak betah kerja di sini, agar adikmu bisa menggantikannya?" cecarku.
Berkali-kali Yuni membuat 'kabur' pegawaiku, berkali-kali pula aku mencari pegawai baru dan tak meloloskan niat Yuni yang ingin memasukkan adiknya di warung nasiku.
"Ma—maaf, Bu. Saya cuma merasa sayang dengan warung ini jika terus-terusan merugi," ucapnya.
Alasannya klise, padahal aku tahu tujuannya adalah untuk menyingkirkan Dewi.
"Ini warung saya, Yun. Saya sudah memaafkan Dewi. Terserah saya mau rugi atau untung. Tugasmu hanya kerja dengan baik dan jangan ganggu pegawaiku yang lain!" tegasku.
Yuni mengangguk patuh. Aku pun kembali ke depan untuk beres-beres, hari sudah sore, sudah waktunya tutup. Sempat menoleh ke belakang untuk memastikan, aku melihat Yuni lanjut mencuci piring dengan mulut komat-kamit. Pasti dia lagi ngedumel. Begitulah kelakuannya.
Sampai meja kasir, aku mendapati Sumi tengah menghitung pendapatan hari ini.
"Dapat berapa, Sum?" tanyaku.
"Satu juta, modal kembali. Tapi untungnya cuma dapat empat ratus ribu, harusnya empat ratus lima puluh," jawabnya.
"Iya, itu tadi Dewi salah ngasih kembalian. Gak apa-apa. Kau ambil modalnya untuk belanja nanti sebelum subuh, giliranmu ya. Besok subuh saya mau jemput Dewi ke rumahnya, untuk membujuk agar dia mau kerja lagi di sini."
Sumi mengangguk, ia memperlihatkan uang itu padaku. Menyerahkan laba penjualan, dan menyimpan modal ke dalam dompetnya untuk dibelanjakan kembali.
"Bu, sudah tiga hari warung hilang uang lima puluh ribu. Benar kata Yuni, ini antara Dewi salah ngasih kembalian atau memang dia nyuri uangnya, Bu! Masa tiap hari uang yang hilang jumlahnya sama, lima puluh ribu? Lagipula, sebodoh apa sih Dewi, sampai gak bisa menghitung kembalian dengan benar, Bu," ucap Sumi.
Astaghfirulloh. Aku tak henti beristighfar dalam hati. Jadi Yuni juga menghasut Sumi agar mau ikut-ikutan suudzon sama Dewi?
"Yuni ngomong gitu, Sum? Jangan dengerin dia, ya. Dewi biar saya yang urus. Kalian kerja saja seperti biasa dan jangan saling menggunjing," titahku. "Sekarang kamu tutup warung, nanti kuncinya antar ke rumah. Saya mau pulang duluan."
Anggukan Sumi mengakhiri perbincangan kami.
***
Menjelang Maghrib, aku mengantar putri semata wayangku ke mesjid untuk mengaji sore. Namanya Zulfa, berusia lima tahun. Di sana ia akan diajari oleh ayahnya yang juga mantan suamiku—Kang Agung.
Kang Agung adalah seorang guru SD, dan setiap sore hingga selepas Isya, ia meluangkan waktu untuk mengajari anak-anak mengaji di mesjid, termasuk Zulfa. Selepas bercerai dan hak asuh anak jatuh padaku, hanya setiap sore lah Kang Agung bisa bertemu Zulfa untuk mengajarinya mengaji.
"Bu, nanti pulangnya boleh ikut sama Bapak?" tanya Zulfa di tengah perjalanan, sambil menarik bajuku. Biasanya, kalau sudah begini, dia akan memaksa agar keinginannya dikabulkan.
"Zulfa, Ibu kan sudah bilang, sekarang kamu tinggalnya sama Ibu, bukan sama Bapak," jawabku.
Zulfa pun cemberut. Sebenarnya kasihan sekali anakku, setiap malam selalu minta menginap di rumah bapaknya. Bukannya aku tak membolehkan, tapi sekarang mantan suamiku sudah beristri lagi, Rosi namanya, ia amat tak suka dengan Zulfa. Aku khawatir anakku akan diperlakukan tidak baik olehnya, karena pernah kejadian Rosi mencubit paha Zulfa sampai membiru. Dan Kang Agung hanya diam saja melihat kelakuan istri barunya.
"Kenapa, Bu?" tanya Zulfa.
"Di rumah bapakmu ada Bi Rosi," bisikku.
Zulfa langsung menunduk, ia selalu takut setiap mendengar nama Rosi. Bagaimana tidak, wanita itu memang 'istimewa'. Galak dan suka menghasut, mirip Yuni. Bedanya, Yuni tak galak, dia lemah lembut, tapi sifat hasad nya sangat mematikan. Sementara Rosi, selain galak dan hasad, ia juga tak segan menyingkirkan orang lain yang menghalangi keinginannya.
Rosi telah merebut Kang Agung dari sisiku, setelah sebelumnya ia merebut posisiku sebagai orang kepercayaan Pak Asep waktu aku masih bekerja di toko kelontong. Rosi juga memfitnahku mencuri uang milik toko, dan Pak Asep langsung memecatku dengan cara menendang tubuhku ke luar toko, disaksikan banyak orang. Rasa malu dan sakit sekujur badan mendera diriku. Belum lagi, rasa sakit itu masih membekas di hati hingga saat ini.
"Waalaikumsalam," kulangkahkan kaki menghampiri pemilik suara di depan warung.Tiga orang bapak-bapak berpeci hitam. Mengenakan baju koko dan bersarung. Mereka pasti baru pulang sholat berjamaah di masjid. Aku tak mengenali mereka."Ini warung Neng Asih?" tanya seorang di antara mereka."Betul, Pak. Ada apa ya?" tanyaku, sedikit kaget karena takut mereka ada sangkut pautnya dengan warungku. Ingin menutupi warung karena dikira melihara jin, misalnya."Kami mau beli takjil dan berbuka puasa di sini, tapi rupanya warungnya sedang tutup, ya?" Aku menghembus napas lega. Ternyata mereka mau membeli, tak seperti perkiraanku."Boleh, Pak. Silakan masuk. Kami sedang berbuka, jadi tutup sebentar."Mereka duduk di meja makan, dan sambil menungguku menyiapkan makanan, mata mereka berkeliling ke sekitar warung dengan rasa kagum."Enak ya, suasananya. Adem dan segar," gumam mereka. "Biasanya kami makan masakan Neng Asih di masjid, tapi sudah beberapa hari ini kami tidak mencicipinya. Makanya kami
Semenit kemudian, aku dan Sumi sudah ada di pinggir jalan dengan membawa tulisan 'Warung Takjil Katresna Akang', diiringi tanda panah mengarah ke warungku. Beberapa warga sekitar terminal memiringkan bibirnya ketika melihat kami promosi, seakan sangsi caraku akan berhasil.Entah ada angin apa, hari ini jalanan kembali ramai seperti biasa, para pengendara tidak semuanya lewat perempatan lagi. Sebuah kesempatan bagus. Apalagi ketika lima buah motor berbelok dan parkir di depan warungku. Gegas kuhampiri mereka, dan meminta Sumi tetap promosi sendirian."Selamat sore, adik-adik. Silakan duduk dulu," sambutku. Mereka masuk warung dan menunggu di kursi panjang yang kusediakan untuk para pengantre, agar mereka tak perlu berdiri di depan warung lagi ketika menunggu pesanan siap. "Wah ... seger sekali warung ini," ucap salah satu dari mereka, seraya melihat sekeliling dengan tatapan kagum. "Adem, ya," lanjutnya."Alhamdulillah kalau betah," kataku. "Mau pesan apa?" "Takjil sama lauknya ya,
"Asih, ini tadi kok ada yang ngirim bahan-bahan kue ke rumah?" tanya Ibu dari kejauhan, setengah berteriak. Aku memesan bahan kue itu tadi pagi sebelum berangkat ke warung. "Asih mau buka pesanan kue kering untuk lebaran, Bu," jawabku setelah sampai di halaman rumah. Ibu menggelengkan kepala, ia menyuruhku menyimpan dua dus bahan kue ini ke dalam rumah. "Kamu yakin mau membuka pesanan kue? Gak takut rugi? Apa ada yang mau beli? Warungmu aja masih sepi," kata Ibu sangsi. "Justru itu yang membuat Asih makin semangat!" jawabku singkat. "Kamu suka nantangin orang. Entar mereka malah makin kesel sama kamu!" balas Ibu sambil terkekeh, ia tahu maksudku. "Mereka yang nantangin duluan, Bu. Dikiranya Asih bakalan diem aja warung dijatuhkan dengan gunjingan-gunjingan mereka. Mereka kan inginnya melihat Asih terpuruk, bangkrut, enggak dagang lagi. Ya gak bakalan Asih wujudkan keinginan mereka!" "Tapi, nanti kalau daganganmu gak laku lagi, apa gak malu?" tanya Ibu menggodaku. "Setidakny
"Sa-saya masih mau kerja di sini, Bu," jawab Yuni sambil terisak. Ia pasti sangat malu sekaligus tersinggung. Mungkin dalam hatinya ia ingin lari dari sini, kemudian mencari pekerjaan lagi di tempat lain, tetapi sadar bahwa susah mencari pekerjaan lagi. "Kalau begitu, mulai sekarang buang sifat jelekmu. Kalau mau kerja di sini harus kerjasama, gak boleh saling menjatuhkan. Saya ingin warung saya sukses lagi. Kalau kamu membuat rekan kerjamu gak nyaman, bagaimana semua itu bisa terwujud?" kataku.Yuni tertunduk cukup lama. Wajahnya sangat tegang. Siapa suruh memantik emosiku? Belum reda amarah karena Rosi, Yuni malah membuatku semakin panas. Mau tak mau ini harus terjadi—aku memarahinya.Tak ada lagi berani membuka suara untuk memecah keheningan. Kuperintahkan mereka untuk kembali bekerja. Kali ini waktunya masak. Bukan untuk dijual, melainkan untuk disedekahkan ke masjid."Masak menu seperti biasa. Bahan-bahannya ada dalam keresek di dapur, di atas bangku," kataku.Mereka berpandanga
"Bu, Sudah Bu! Nanti dia bisa mati!" Sumi berusaha melepaskan tanganku dari Rosi. "Istighfar, Bu. Sudah cukup. Rosi sudah merasakan kesakitan. Wajahnya sudah memerah, dia seperti orang sekarat. Astaghfirulloh ... ya Alloh!" Yuni panik. Ia membantu Sumi menyingkirkan tanganku. Aku tahu batasanku, meski marahku seperti orang kerasukan, tapi aku tahu kapan harus berhenti. Kubiarkan Rosi bernapas lega kembali. Dia mengambil napas berkali-kali, dan menghembuskannya sepuas mungkin. Kedua tangannya memegangi leher, mungkin dia sedang mengucap syukur karena aku tak sampai memutuskan urat nadinya. Sudah cukup aku memberinya peringatan. Mulai sekarang, kupastikan dia tidak akan berani menggangguku lagi. "Apa maumu? Kalau aku merebut Kang Agung darimu, kamu mau apa, hah? Berkali-kali kamu ngirim santet, tak ada satu pun yang mempan. Sekarang kamu datang ke sini untuk menjual rasa cemburu, agar aku kasihan dan menjadi lembek. Setelah itu, kamu akan mengintimidasiku. Itu kan, rencanamu? Busuk!
Sengaja aku mengambil jalan ke perempatan, agar lewat di depan toko Pak Asep, berharap bertemu dengan Rosi. Akan kuseret ia ke tempat sepi dan membuat perhitungan dengannya. Pagi hari dia bekerja di toko, sore hari berjualan takjil. Kulihat toko itu sudah buka dan cukup ramai. Beberapa karyawan melayani pembeli dan dua orang kuli angkut mengangkut barang yang baru datang dari mobil sales. Aku memperlambat langkah kaki, sambil terus mencari keberadaan Rosi di dalam sana. Namun, hanya tas kulit warna hitam miliknya yang kulihat di meja kasir. Aku berhenti sejenak. Amarahku terpanggil. Jika emosiku sedang dalam kondisi seperti ini, maka aku bisa berubah ganas. Tak akan peduli rasa malu dan kasihan, segala hal mengerikan bisa saja terjadi. Kakiku hendak melangkah ke dalam toko untuk mencari keberadaan Rosi, namun tertahan."Kalau kamu bisa bersabar dengan kemarahanmu, kamu akan terhindar dari penyesalan, Asih!" Tiba-tiba aku teringat nasihat ibu. Ia pernah mengatakannya ketika aku baru