Share

ASAL MENGHAKIMI

Penulis: Widanish
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-08 15:49:08

"Pencuri! Enyah kau dari sini! Jangan sekali-kali kau atau keluargamu lewat di depan ruko ini lagi! Haram mataku melihat kalian!" hardik Pak Asep ketika aku berlutut di kakinya untuk bersumpah, bahwa aku tak mencuri uangnya sebanyak sebelas juta.

"Demi Alloh—"

Belum selesai aku bersumpah dan menjelaskan duduk perkaranya, Pak Asep menendang tubuhku hingga terpental ke luar toko. Kakinya kuat menghantam perutku yang tengah mengandung tujuh bulan, hingga esok harinya aku keguguran. Kang Agus yang saat itu masih jadi suamiku, murka karena aku gagal melahirkan anak kedua.

Semua orang menyaksikan, para pejalan kaki dan pengemudi kendaraan seketika berhenti melihat kejadian waktu itu. Ya, toko kelontong Pak Asep terletak di pinggir jalan raya, sehingga semua orang dapat melihatnya.

Sejak saat itulah aku berhenti kerja di tokonya, karena Rosi telah memfitnahku mencuri uang Pak Asep sebesar sebelas juta. Padahal, uang itu dipinjam Rosi dariku. Hingga Pak Asep menanyakan uang itu, Rosi belum juga bisa membayar, ia malah menuduhku telah mencurinya. Karena merasa dirugikan, Pak Asep langsung menendangku, ia tak bertanya dulu duduk perkaranya. Ya, waktu itu aku memang dipercaya untuk mengurus toko, dari mulai memegang keuangan hingga melayani pembeli. Aku hanya diwajibkan setor setiap sebulan sekali.

Itulah mengapa aku mau memaafkan kesalahan Dewi, dan kasihan melihatnya selalu disindir-sindir Yuni. Bagiku, sebagai majikan mereka, aku harus bisa berlaku bijaksana dan adil. Tak mau seperti Pak Asep yang dulu langsung termakan hasutan Rosi.

"Bu, sudah sampai. Kenapa Ibu melamun?" ucap Zulfa, ia menyadarkanku dari lamunan pahit tiga tahun yang lalu.

"Eh, iya. Maaf, Nak. Ayo cepat masuk ke mesjid berkumpul sama teman-temanmu. Belajar yang pinter, dan jangan nakal ya. Nanti Ibu jemput sehabis Isya," ucapku.

Suasana mesjid riuh dengan teriakan dan lari-larian anak-anak. Tampak Kang Agung melambaikan tangan pada Zulfa, sekilas ia melirikku dan dan kemudian mengangguk dengan ekspresi malu.

Sebelum pulang, aku akan mampir ke rumah Dewi. Kebetulan rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari mesjid. Ia tinggal di rumah panggung (rumah yang terbuat dari kayu). Dewi yatim piatu, ia tinggal bersama neneknya.

Aku membawa sekantong keresek beras dan dua plastik oseng tempe kesukaannya. Rumahnya sepi.

"Assalamualaikum," ucapku sambil mengetuk pintu.

Setelah beberapa lama, Mak Narsih menyambut kedatanganku. Beliau memakai baju kebaya. Badannya sudah membungkuk karena usia yang renta. 

"Mak, ini saya, Asih," ucapku setengah berteriak karena pendengaran beliau sudah mulai lemah.

"Asih?" responnya, menyipitkan mata. Maklum, hari sudah gelap dan penglihatan beliau pun sudah melemah.

"Ada Dewi, Mak?" tanyaku.

"Tuh, habis nangis!" jawabnya sambil menunjuk kamar Dewi. 

Kemudian Mak Narsih kembali lagi ke dalam dan mengabaikanku. Usianya yang sudah renta membuatnya mudah lupa, baru saja kedatangan tamu, malah sudah ditinggal. Akhirnya aku masuk walau tanpa disuruh. Kalau dipikir-pikir, kasihan Dewi. Ia harus merawat neneknya yang renta. Jika nanti Mak Narsih sudah tiada, Dewi akan hidup sebatang kara.

"Dewi, ini saya," ucapku dari depan pintu kamarnya yang hanya terhalangi gorden. 

"Ada apa, Bu?" tanyanya setelah membuka gorden. 

"Kamu sudah makan?" 

"Be-belum, Bu. Dewi gak punya nasi," jawabnya dengan terisak. Kelopak matanya bengkak akibat menangis.

"Jadi kamu sama nenekmu belum makan apa-apa?" 

"Cu-cuma makan kue aja tadi pagi, dikasih tetangga."

"Tadi di warung kamu gak makan?"

Dewi menggeleng. "Enggak, Bu. Tadi pas waktunya makan, Dewi disuruh melayani pelanggan oleh Kak Yuni. Jadi enggak sempet makan sampai sekarang."

Astaghfirulloh, aku baru ingat. Iya benar tadi Dewi gak istirahat selama di warung. Ia sibuk melayani pelanggan dari pagi hingga menjelang tutup warung. Ampuni aku ya Alloh, telah lalai terhadap pegawaiku. Aku malah terlena karena diajak ngobrol oleh Yuni, hingga membiarkan Dewi kehilangan jatah istirahatnya, padahal seharusnya ia bergantian dengan Yuni.

"Nasi di warung sudah habis, hanya sisa oseng tempe. Nah ini beras, kamu masak nasi aja. Cepat makan. Besok kembali bekerja, ya," kataku sambil menyerahkan keresek yang kubawa pada Dewi.

"Dewi mau berhenti kerja, Bu."

"Sudah! Besok saya jemput. Gak usah takut sama Yuni, kan yang majikan kamu itu saya, bukan Yuni."

*

"Sih, sampai kapan kamu betah menjanda. Ini sudah tiga tahun," ucap Ibu ketika aku menyiapkan makan malam di rumah. "Mantan suamimu saja sudah menikah lagi," lanjutnya.

Aku hanya bisa menghela napas dan menghembuskan perlahan. Tidak mudah mencari suami baru, apalagi aku janda dengan satu anak perempuan. Lagipula, aku masih trauma dengan pernikahanku sebelumnya. Itulah alasan kenapa aku masih belum mau menikah lagi.

"Apa kamu sengaja tak mau menikah lagi, karena masih ngarep sama mantan suamimu yang 'tukang mukul' itu!" bentak Ibu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   Akhir

    "Waalaikumsalam," kulangkahkan kaki menghampiri pemilik suara di depan warung.Tiga orang bapak-bapak berpeci hitam. Mengenakan baju koko dan bersarung. Mereka pasti baru pulang sholat berjamaah di masjid. Aku tak mengenali mereka."Ini warung Neng Asih?" tanya seorang di antara mereka."Betul, Pak. Ada apa ya?" tanyaku, sedikit kaget karena takut mereka ada sangkut pautnya dengan warungku. Ingin menutupi warung karena dikira melihara jin, misalnya."Kami mau beli takjil dan berbuka puasa di sini, tapi rupanya warungnya sedang tutup, ya?" Aku menghembus napas lega. Ternyata mereka mau membeli, tak seperti perkiraanku."Boleh, Pak. Silakan masuk. Kami sedang berbuka, jadi tutup sebentar."Mereka duduk di meja makan, dan sambil menungguku menyiapkan makanan, mata mereka berkeliling ke sekitar warung dengan rasa kagum."Enak ya, suasananya. Adem dan segar," gumam mereka. "Biasanya kami makan masakan Neng Asih di masjid, tapi sudah beberapa hari ini kami tidak mencicipinya. Makanya kami

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   Bab 32

    Semenit kemudian, aku dan Sumi sudah ada di pinggir jalan dengan membawa tulisan 'Warung Takjil Katresna Akang', diiringi tanda panah mengarah ke warungku. Beberapa warga sekitar terminal memiringkan bibirnya ketika melihat kami promosi, seakan sangsi caraku akan berhasil.Entah ada angin apa, hari ini jalanan kembali ramai seperti biasa, para pengendara tidak semuanya lewat perempatan lagi. Sebuah kesempatan bagus. Apalagi ketika lima buah motor berbelok dan parkir di depan warungku. Gegas kuhampiri mereka, dan meminta Sumi tetap promosi sendirian."Selamat sore, adik-adik. Silakan duduk dulu," sambutku. Mereka masuk warung dan menunggu di kursi panjang yang kusediakan untuk para pengantre, agar mereka tak perlu berdiri di depan warung lagi ketika menunggu pesanan siap. "Wah ... seger sekali warung ini," ucap salah satu dari mereka, seraya melihat sekeliling dengan tatapan kagum. "Adem, ya," lanjutnya."Alhamdulillah kalau betah," kataku. "Mau pesan apa?" "Takjil sama lauknya ya,

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   Bab 31

    "Asih, ini tadi kok ada yang ngirim bahan-bahan kue ke rumah?" tanya Ibu dari kejauhan, setengah berteriak. Aku memesan bahan kue itu tadi pagi sebelum berangkat ke warung. "Asih mau buka pesanan kue kering untuk lebaran, Bu," jawabku setelah sampai di halaman rumah. Ibu menggelengkan kepala, ia menyuruhku menyimpan dua dus bahan kue ini ke dalam rumah. "Kamu yakin mau membuka pesanan kue? Gak takut rugi? Apa ada yang mau beli? Warungmu aja masih sepi," kata Ibu sangsi. "Justru itu yang membuat Asih makin semangat!" jawabku singkat. "Kamu suka nantangin orang. Entar mereka malah makin kesel sama kamu!" balas Ibu sambil terkekeh, ia tahu maksudku. "Mereka yang nantangin duluan, Bu. Dikiranya Asih bakalan diem aja warung dijatuhkan dengan gunjingan-gunjingan mereka. Mereka kan inginnya melihat Asih terpuruk, bangkrut, enggak dagang lagi. Ya gak bakalan Asih wujudkan keinginan mereka!" "Tapi, nanti kalau daganganmu gak laku lagi, apa gak malu?" tanya Ibu menggodaku. "Setidakny

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   Netizen

    "Sa-saya masih mau kerja di sini, Bu," jawab Yuni sambil terisak. Ia pasti sangat malu sekaligus tersinggung. Mungkin dalam hatinya ia ingin lari dari sini, kemudian mencari pekerjaan lagi di tempat lain, tetapi sadar bahwa susah mencari pekerjaan lagi. "Kalau begitu, mulai sekarang buang sifat jelekmu. Kalau mau kerja di sini harus kerjasama, gak boleh saling menjatuhkan. Saya ingin warung saya sukses lagi. Kalau kamu membuat rekan kerjamu gak nyaman, bagaimana semua itu bisa terwujud?" kataku.Yuni tertunduk cukup lama. Wajahnya sangat tegang. Siapa suruh memantik emosiku? Belum reda amarah karena Rosi, Yuni malah membuatku semakin panas. Mau tak mau ini harus terjadi—aku memarahinya.Tak ada lagi berani membuka suara untuk memecah keheningan. Kuperintahkan mereka untuk kembali bekerja. Kali ini waktunya masak. Bukan untuk dijual, melainkan untuk disedekahkan ke masjid."Masak menu seperti biasa. Bahan-bahannya ada dalam keresek di dapur, di atas bangku," kataku.Mereka berpandanga

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   29

    "Bu, Sudah Bu! Nanti dia bisa mati!" Sumi berusaha melepaskan tanganku dari Rosi. "Istighfar, Bu. Sudah cukup. Rosi sudah merasakan kesakitan. Wajahnya sudah memerah, dia seperti orang sekarat. Astaghfirulloh ... ya Alloh!" Yuni panik. Ia membantu Sumi menyingkirkan tanganku. Aku tahu batasanku, meski marahku seperti orang kerasukan, tapi aku tahu kapan harus berhenti. Kubiarkan Rosi bernapas lega kembali. Dia mengambil napas berkali-kali, dan menghembuskannya sepuas mungkin. Kedua tangannya memegangi leher, mungkin dia sedang mengucap syukur karena aku tak sampai memutuskan urat nadinya. Sudah cukup aku memberinya peringatan. Mulai sekarang, kupastikan dia tidak akan berani menggangguku lagi. "Apa maumu? Kalau aku merebut Kang Agung darimu, kamu mau apa, hah? Berkali-kali kamu ngirim santet, tak ada satu pun yang mempan. Sekarang kamu datang ke sini untuk menjual rasa cemburu, agar aku kasihan dan menjadi lembek. Setelah itu, kamu akan mengintimidasiku. Itu kan, rencanamu? Busuk!

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   Kebodohan Asih

    Sengaja aku mengambil jalan ke perempatan, agar lewat di depan toko Pak Asep, berharap bertemu dengan Rosi. Akan kuseret ia ke tempat sepi dan membuat perhitungan dengannya. Pagi hari dia bekerja di toko, sore hari berjualan takjil. Kulihat toko itu sudah buka dan cukup ramai. Beberapa karyawan melayani pembeli dan dua orang kuli angkut mengangkut barang yang baru datang dari mobil sales. Aku memperlambat langkah kaki, sambil terus mencari keberadaan Rosi di dalam sana. Namun, hanya tas kulit warna hitam miliknya yang kulihat di meja kasir. Aku berhenti sejenak. Amarahku terpanggil. Jika emosiku sedang dalam kondisi seperti ini, maka aku bisa berubah ganas. Tak akan peduli rasa malu dan kasihan, segala hal mengerikan bisa saja terjadi. Kakiku hendak melangkah ke dalam toko untuk mencari keberadaan Rosi, namun tertahan."Kalau kamu bisa bersabar dengan kemarahanmu, kamu akan terhindar dari penyesalan, Asih!" Tiba-tiba aku teringat nasihat ibu. Ia pernah mengatakannya ketika aku baru

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status