Share

ASAL MENGHAKIMI

"Pencuri! Enyah kau dari sini! Jangan sekali-kali kau atau keluargamu lewat di depan ruko ini lagi! Haram mataku melihat kalian!" hardik Pak Asep ketika aku berlutut di kakinya untuk bersumpah, bahwa aku tak mencuri uangnya sebanyak sebelas juta.

"Demi Alloh—"

Belum selesai aku bersumpah dan menjelaskan duduk perkaranya, Pak Asep menendang tubuhku hingga terpental ke luar toko. Kakinya kuat menghantam perutku yang tengah mengandung tujuh bulan, hingga esok harinya aku keguguran. Kang Agus yang saat itu masih jadi suamiku, murka karena aku gagal melahirkan anak kedua.

Semua orang menyaksikan, para pejalan kaki dan pengemudi kendaraan seketika berhenti melihat kejadian waktu itu. Ya, toko kelontong Pak Asep terletak di pinggir jalan raya, sehingga semua orang dapat melihatnya.

Sejak saat itulah aku berhenti kerja di tokonya, karena Rosi telah memfitnahku mencuri uang Pak Asep sebesar sebelas juta. Padahal, uang itu dipinjam Rosi dariku. Hingga Pak Asep menanyakan uang itu, Rosi belum juga bisa membayar, ia malah menuduhku telah mencurinya. Karena merasa dirugikan, Pak Asep langsung menendangku, ia tak bertanya dulu duduk perkaranya. Ya, waktu itu aku memang dipercaya untuk mengurus toko, dari mulai memegang keuangan hingga melayani pembeli. Aku hanya diwajibkan setor setiap sebulan sekali.

Itulah mengapa aku mau memaafkan kesalahan Dewi, dan kasihan melihatnya selalu disindir-sindir Yuni. Bagiku, sebagai majikan mereka, aku harus bisa berlaku bijaksana dan adil. Tak mau seperti Pak Asep yang dulu langsung termakan hasutan Rosi.

"Bu, sudah sampai. Kenapa Ibu melamun?" ucap Zulfa, ia menyadarkanku dari lamunan pahit tiga tahun yang lalu.

"Eh, iya. Maaf, Nak. Ayo cepat masuk ke mesjid berkumpul sama teman-temanmu. Belajar yang pinter, dan jangan nakal ya. Nanti Ibu jemput sehabis Isya," ucapku.

Suasana mesjid riuh dengan teriakan dan lari-larian anak-anak. Tampak Kang Agung melambaikan tangan pada Zulfa, sekilas ia melirikku dan dan kemudian mengangguk dengan ekspresi malu.

Sebelum pulang, aku akan mampir ke rumah Dewi. Kebetulan rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari mesjid. Ia tinggal di rumah panggung (rumah yang terbuat dari kayu). Dewi yatim piatu, ia tinggal bersama neneknya.

Aku membawa sekantong keresek beras dan dua plastik oseng tempe kesukaannya. Rumahnya sepi.

"Assalamualaikum," ucapku sambil mengetuk pintu.

Setelah beberapa lama, Mak Narsih menyambut kedatanganku. Beliau memakai baju kebaya. Badannya sudah membungkuk karena usia yang renta. 

"Mak, ini saya, Asih," ucapku setengah berteriak karena pendengaran beliau sudah mulai lemah.

"Asih?" responnya, menyipitkan mata. Maklum, hari sudah gelap dan penglihatan beliau pun sudah melemah.

"Ada Dewi, Mak?" tanyaku.

"Tuh, habis nangis!" jawabnya sambil menunjuk kamar Dewi. 

Kemudian Mak Narsih kembali lagi ke dalam dan mengabaikanku. Usianya yang sudah renta membuatnya mudah lupa, baru saja kedatangan tamu, malah sudah ditinggal. Akhirnya aku masuk walau tanpa disuruh. Kalau dipikir-pikir, kasihan Dewi. Ia harus merawat neneknya yang renta. Jika nanti Mak Narsih sudah tiada, Dewi akan hidup sebatang kara.

"Dewi, ini saya," ucapku dari depan pintu kamarnya yang hanya terhalangi gorden. 

"Ada apa, Bu?" tanyanya setelah membuka gorden. 

"Kamu sudah makan?" 

"Be-belum, Bu. Dewi gak punya nasi," jawabnya dengan terisak. Kelopak matanya bengkak akibat menangis.

"Jadi kamu sama nenekmu belum makan apa-apa?" 

"Cu-cuma makan kue aja tadi pagi, dikasih tetangga."

"Tadi di warung kamu gak makan?"

Dewi menggeleng. "Enggak, Bu. Tadi pas waktunya makan, Dewi disuruh melayani pelanggan oleh Kak Yuni. Jadi enggak sempet makan sampai sekarang."

Astaghfirulloh, aku baru ingat. Iya benar tadi Dewi gak istirahat selama di warung. Ia sibuk melayani pelanggan dari pagi hingga menjelang tutup warung. Ampuni aku ya Alloh, telah lalai terhadap pegawaiku. Aku malah terlena karena diajak ngobrol oleh Yuni, hingga membiarkan Dewi kehilangan jatah istirahatnya, padahal seharusnya ia bergantian dengan Yuni.

"Nasi di warung sudah habis, hanya sisa oseng tempe. Nah ini beras, kamu masak nasi aja. Cepat makan. Besok kembali bekerja, ya," kataku sambil menyerahkan keresek yang kubawa pada Dewi.

"Dewi mau berhenti kerja, Bu."

"Sudah! Besok saya jemput. Gak usah takut sama Yuni, kan yang majikan kamu itu saya, bukan Yuni."

*

"Sih, sampai kapan kamu betah menjanda. Ini sudah tiga tahun," ucap Ibu ketika aku menyiapkan makan malam di rumah. "Mantan suamimu saja sudah menikah lagi," lanjutnya.

Aku hanya bisa menghela napas dan menghembuskan perlahan. Tidak mudah mencari suami baru, apalagi aku janda dengan satu anak perempuan. Lagipula, aku masih trauma dengan pernikahanku sebelumnya. Itulah alasan kenapa aku masih belum mau menikah lagi.

"Apa kamu sengaja tak mau menikah lagi, karena masih ngarep sama mantan suamimu yang 'tukang mukul' itu!" bentak Ibu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status