Share

SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI
SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI
Penulis: Widanish

SUKA MENGHASUD

"Kenapa dimaafkan, Bu? Pecat saja! Kita jadi rugi gara-gara dia!" ucap Yuni sambil bersungut.

"Jangan, Yun. Hanya kesalahan kecil, tak perlu sampai dipecat," jawabku.

Yuni adalah pegawaiku yang paling cerewet. Dia pandai bersilat lidah. Kadang lidahnya digunakan untuk berkata baik, tapi lebih seringnya ia gunakan untuk menghasud.

"Masa dibiarkan saja, Bu? Kemarin salah ngasih uang kembalian, hari ini terulang lagi. Kan hilang lima puluh ribu, padahal untung kita gak seberapa," tambahnya.

Aku hanya tersenyum tipis. Jadi ingat jaman dulu, waktu masih kerja di toko kelontong milik Pak Asep. Ada yang mirip-mirip Yuni.

"Dewi masih kecil, dia cuma lulusan SMP, itu juga gak tamat. Saya gak akan pecat dia," ucapku, agar Yuni berhenti membahas kesalahan Dewi.

"Nah, justru itu, Bu. Kenapa kita gak cari orang baru untuk menggantikan Dewi? Kebetulan, adik saya juga nganggur di rumah. Kalau dibandingkan Dewi, adik saya pasti lebih pintar. Adik saya banyak bisanya. Gak cuma cekatan disuruh kesana-kesini, dia juga pandai menghitung uang. Jadi nanti gak akan kejadian salah kembalian lagi."

Sebenarnya, aku sudah tak tahan dengan watak jelek Yuni. Setiap hari kupingku panas mendengar hasutannya. Dia sering mencari-cari kesalahan Dewi agar bisa memasukkan adiknya untuk bekerja di warung nasiku. Rasanya ingin kupecat Yuni, tapi hatiku merasa iba padanya. Ia janda dan aku pun janda, nasib kami sama, aku bisa merasakan kesulitannya. Dia harus menafkahi ibu, adik dan anaknya seorang diri. 

Kuhela napas dalam-dalam, berusaha sabar menghadapi mulutnya yang berbisa. "Yun, daripada kamu sibuk mengurusi Dewi, lebih baik cucikan piring-piring kotor bekas pelanggan," titahku.

"Tapi Bu, itu kan tugasnya Dewi?"

"Apa kamu gak lihat, Dewi sibuk melayani pelanggan? Kamu kan santai, malah ngobrol aja dari tadi. Ayo cepat kerjakan!" tegasku.

Yuni pun menuruti perintahku sambil bersungut. Ia sempat mendelik sinis ke arah Dewi, dan Dewi langsung menunduk takut. Heran, sebagai orang dewasa kok Yuni sampai hati melawan anak kecil? Ah, tapi begitulah dia.

Warung nasi ini kuberi nama "Katresna Akang", berlokasi di pinggir Terminal Kalijadi. Kurintis dengan bermodalkan sakit hati atas kekejaman dan iri dengki teman kerjaku di toko kelontong milik Pak Asep, tiga tahun yang lalu. Selain itu, rasa sakit hati atas kejahatan keluarga mantan suamiku juga turut andil dalam suksesnya warung nasi yang kurintis ini.

Masih terasa panasnya air mataku saat pertama kali membuka usaha ini, setelah dipecat dan diceraikan suamiku—Kang Agung. Sejak saat itu, rutinitasku dimulai dari jam dua belas malam untuk masak air dan menanak nasi, lalu sebelum subuh berangkat ke pasar untuk belanja sayur dan bumbu. Selesai semua itu, lanjut mengolah bahan-bahan, memasaknya hingga menjadi lauk pauk untuk dijual di warung nasi. Semua kulakukan sendiri di awal-awal merintis usaha.

Bulan demi bulan, pelangganku semakin bertambah. Dari mulai supir, penumpang, warga sekitar, hingga anak-anak sekolahan ... mereka semua selalu mampir ke warungku untuk sarapan atau makan siang. Berkat kepiawaianku memasak, mereka bilang masakanku enak, dan berjanji akan menjadi pelanggan setia untuk selamanya.

Alhamdulillah, tak salah waktu itu ibu menyarankanku masuk SMK jurusan Tataboga, sekarang aku dapat menuai manisnya menuntut ilmu. Warung nasiku sukses. Di bulan ke enam, aku sudah bisa mempekerjakan pegawai, tiga orang sekaligus.

Yuni, Sumi, dan Dewi. Mereka adalah pegawaiku. Tak ada tugas khusus untuk mereka, aku selalu menyuruh mereka untuk mengerjakan apapun yang perlu dibereskan. Hanya Yuni dan Sumi yang selalu bertahan, sudah dua setengah tahun mereka bekerja di sini. Sementara Dewi, ia baru sebulan menggantikan Ida. 

Selain Yuni dan Sumi, karyawanku yang satu lagi tak pernah bertahan lama. Sudah delapan orang yang mengundurkan diri, karena tak betah dengan Yuni. Salahku yang lalai terhadap ke-delapan pegawai lamaku, hingga mereka mengundurkan diri dengan sakit hati. Harusnya, waktu itu aku peka terhadap kelakuan Yuni.

"Bu, Dewi mau izin keluar ya," ucap Dewi di tengah-tengah lamunanku mengenang masa lalu.

"Mau kemana, Wi? Kalau lapar tinggal makan di sini aja, gak usah jajan keluar," ucapku. 

Ada bulir bening di matanya yang perlahan menetes ke pipi, lama-lama tetesannya semakin deras. Gadis enam belas tahun itu menangis sesenggukan.

"Dewi bukan mau jajan, Bu. Dewi keluar mau berhenti kerja. Kak Yuni terus-menerus menyindirku, dia bilang aku bodoh dan suka bikin rugi warung. Masih mending adiknya, begitu katanya Bu!" Kemudian Dewi berlari secepat kilat meninggalkan warung, sambil mengusap air mata dengan pakaian kumalnya. Aku tak sempat mengejarnya.

Astaghfirulloh, Yuniii!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status