Share

SUMPAH ISTRIKU MENJELANG AJAL
SUMPAH ISTRIKU MENJELANG AJAL
Penulis: Ariesa Yudistira

Menjelang Ajal

"Kasihan ya, Neng Runa, masih muda sudah meninggal dunia."

"Iya, kudengar dia sakit-sakitan. Sudah berobat kemana-mana, tapi tak tahu sakitnya apa."

"Apa jangan-jangan kena santet?"

"Hush, jangan ngomong sembarangan. Kasihan Den Denis, suaminya. Selama ini dia setia banget menjaga istrinya."

Aku hanya diam saja mendengar bisikan para tetangga yang sedang berkumpul untuk melawat di rumah kami, di antara lantunan ayat suci Alquran. Aku masih fokus menatap ke arah peti yang berisi jenazah Aruna, istriku. Jenazah baru saja datang dari rumah sakit, sudah dimandikan oleh petugas di sana. Pak Ustadz dan beberapa warga juga sudah menyolatkan, jadi tinggal membawanya menuju pemakaman.

Suara isak tangis dari Mama mertua masih terdengar, bersamaan dengan suara Mamaku yang mencoba menghiburnya. Semua tentu merasa kehilangan, karena Aruna adalah sosok yang amat berarti, termasuk bagiku.

"Turut berduka cita, Mas." Seseorang menepuk pelan pundakku.

Aku mengangkat wajah, dan melihat seorang gadis cantik berkerudung hitam menatap ke arahku dengan pandangan prihatin. Dia adalah Saskia, sahabat Aruna.

"Terima kasih, Saskia," jawabku, sambil tersenyum getir.

Saskia mengangguk, lalu berjalan ke arah Mama mertua. Terlihat mereka berdua saling berpelukan sambil menangis penuh kesedihan.

"Pak Denis, sudah saatnya kita memakamkan jenazah, jangan ditahan terlalu lama," bisik Pak Ustadz di telingaku.

Aku mengangguk dengan hati berat. Kami semua akhirnya membawa jenazah Aruna menuju pemakaman, dibantu oleh warga sekitar. Sepanjang perjalanan sampai ke area pemakaman, air mataku tidak berhenti mengalir. Beberapa hari sebelum meninggal, kami berdua bertengkar dengan hebat.

"Aku mau kita cerai, Mas!" ucap Aruna waktu itu.

"Runa, yang kamu lihat tidak seperti yang kamu bayangkan. Aku dan Saskia tidak punya hubungan apa-apa!" ucapku menjelaskan.

"Sudah cukup! Aku sudah melihat semuanya dengan mata kepalaku sendiri! Tidak ada yang perlu kamu jelaskan lagi!"

Sekeras apapun aku berusaha menjelaskan, Aruna tidak mau mendengarkannya. Dia tetap ingin meminta cerai dariku. Padahal aku sudah bersujud di bawah kakinya, dia tidak peduli.

Akhirnya di hari yang sama saat dia menggugatku, Aruna batuk darah. Kami melarikannya ke rumah sakit. Sampai menjelang ajal pun, Aruna masih begitu membenciku. Aku masih mengingat dengan jelas, tatapan mata Aruna menjelang ajalnua, yang penuh dengan kebencian dan dendam padaku. Sampai sumpah serapah itu keluar dari mulutnya, menggema di seluruh ruangan rumah sakit.

"Aku bersumpah, Mas! Aku tidak akan membiarkanmu hidup tenang! Aku akan terus mengejarmu, meskipun sudah menjadi bangkai!"

Aku seketika memegang tengkuk yang mendadak terasa dingin. Ah, kenapa sumpah Aruna masih saja terngiang-ngiang di kepalaku? Aku tidak melakukan kesalahan, jadi seharusnya aku tidak perlu merasa ketakutan.

"Denis, ingat kata Mbah Jupri. Jangan sampai ada yang membuka peti mati istrimu," bisik Mama, membuyarkanku dari lamunan.

"Iya, Ma," jawabku, kembali menatap ke arah peti yang bersiap diturunkan ke liang lahat, sambil mengusap air mata yang membasahi pipi.

"Maaf, Pak Denis. Kenapa jenazah Neng Runa tidak boleh dikeluarkan dari peti? Padahal menurut agama yang kita anut, seharusnya jenazah langsung dibaringkan di atas tanah," ucap Pak Ustadz yang mendampingi kami.

"Jangan, Pak. Penyakit istri saya itu menular, jadi harus dikuburkan bersama dengan petinya," jawabku.

"Baiklah jika alasannya seperti itu." Pak Ustadz mengangguk, terlihat mengerti.

Akhirnya jenazah Aruna dikuburkan bersama dengan peti matinya, dan semua berjalan dengan lancar. Satu-persatu pelayat sudah mulai meninggalkan pemakaman. Tinggal aku dan beberapa orang saja yang duduk di samping nisan istriku.

"Ikhlaskan kepergian istrimu, Denis," ucap Mama mertua sambil memegang pundakku.

"Mama beruntung punya menantu sepertimu, yang menemani Aruna sampai akhir hayatnya." Wanita berjilbab panjang itu masih terisak, tapi berusaha menghiburku.

"Ayo kita pulang, Jeng. Biarkan Denis di sini dulu, mungkin masih ingin bersama Runa," ucap Mamaku, pada Mama mertua.

Mama mertua mengangguk mengerti. Mereka berdua akhirnya meninggalkanku sendirian di sana. Aku kembali menatap ke arah nisan Aruna, yang tertulis dengan jelas namanya.

"Tidurlah yang nyenyak, Runa. Jangan khawatirkan apapun, termasuk semua harta kekayaanmu. Aku berjanji akan menjaga semuanya," ucapku kemudian dengan senyum kemenangan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status