Aruna ....
Seandainya saja waktu itu kamu memaafkanku saat aku bersujud di kakimu, dan tetap menjadi istri yang baik, mungkin kamu masih berada di sisiku hingga detik ini ....Aku terus memikirkan wajah Aruna di sepanjang perjalanan pulang dari pemakaman. Senyum Aruna yang selama ini selalu menemani hari-hariku, kembali terbayang. Aruna wanita yang baik dan penurut, dan seharusnya terus seperti itu. Aku tahu Aruna begitu mencintaiku, karena selama ini dia mau melakukan apa saja untukku.Sungguh tak mengira, wanita itu sanggup menuntut cerai dariku. Aku sungguh murka, Aruna ...."Bagaimana, Denis? Sudah beres?" Terlihat Mama menyambutku di depan pintu begitu aku sampai di rumah."Sudah, Ma," jawabku kemudian sambil mendaratkan bokong di atas sofa."Kamu jangan lupa besok ke rumah Mbah Jupri," ucap Mama lagi sambil berjalan mendekatiku, lalu duduk di sampingku."Iya, iya, Ma." Aku mengusap muka lalu menatap sekeliling, mencari sosok Bu Sonia, Mama mertuaku. Bisa gawat kalau wanita alim itu mendengar kami menyebut nama Mbah Jupri."Bu Sonia sudah pulang, Ma?" tanyaku."Iya, dia bersikeras mengadakan acara tahlil di rumah mereka. Setelah ini kita bersiap untuk ke sana," jawab Mama kemudian.Aku membuang napas, entah kenapa masih belum terbiasa dengan kehilangan sosok Aruna. Kalau bukan karena ide Mama, aku tidak akan pernah terpikir untuk melakukan hal seperti itu."Oh iya, Ma. Kenapa Mbah Jupri melarang kita membuka peti mati Aruna?" tanyaku."Mana Mama tahu, Denis? Yang penting kita sudah terima beres. Mungkin saja mayat Aruna langsung membusuk, jadi tidak ingin orang curiga."Aku menarik napas lagi. Jika memang demikian, sungguh mengerikan."Sudah, ayo siap-siap ke rumah mertuamu. Jangan sampai rasa sayangnya padamu berkurang karena kamu terlambat datang. Mama mau ganti baju dulu." Mama berdiri, lalu berjalan ke arah kamarnya.Aku akhirnya ikut berdiri, dan berjalan menuju arah kamar. Entah kenapa hatiku terasa berat. Mungkin memang karena belum terbiasa rumah ini tanpa kehadiran Aruna. Setiap menitnya aku menatap ke arah sekeliling yang kini terasa sepi.Aku membuka pintu kamar, dan aroma khas dari pengharum ruangan yang Aruna selalu pakai masih terasa. Aku mulai mengusap wajah, seperti ada perasaan yang tidak enak. Entah apa.Aku menggelengkan kepala cepat, menyingkirkan pikiran yang tidak-tidak. Mungkin setelah ini aku harus pelan-pelan menyingkirkan apa saja yang berbau Aruna dari kamar ini, agar bayangannya hilang bersama jasadnya yang terpendam."Denis! Cepat sedikit! Mama sudah siap ini!" Terdengar teriakan Mama, yang langsung membuyarkanku dari lamunan."I-iya, Ma!" jawabku, lalu cepat-cepat menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.Setelah berganti pakaian, aku dan Mama berangkat menuju rumah Bu Sonia, yang tak jauh letaknya dari rumah kami. Seharusnya acara tahlil diadakan di rumah kami, tapi karena Bu Sonia bersikeras, jadi kami hanya bisa menurut. Mama bilang, itu karena Aruna lahir dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah itu.Sesampainya di rumah mewah dengan model ala Eropa itu, persiapan tahlil sudah beres. Kabarnya, Bu Sonia mengundang anak-anak yatim dan para santri asuhan mendiang suaminya, disamping mengundang para tetangga."Maaf, Jeng, kami terlambat." Mama langsung memeluk Bu Sonia saat dia menemui kami."Gak apa-apa kok, Bu. Terima kasih karena selama ini sudah menjadi mertua yang baik untuk Aruna," jawab Bu Sonia."Saya juga tak menyangka, Aruna lebih dahulu meninggalkan dunia ini dibanding dengan kita yang sudah tua." Mama mulai mengusap air matanya yang mengalir."Jangan seperti itu, Bu. Pasti Aruna bahagia karena memiliki suami dan mertua yang baik seperti kalian." Wanita berjilbab itu menatap ke arahku dengan pandangan lembutnya."Masuklah, Nak Denis. Biar Mama ambilkan minum untuk kalian," ucapnya.Aku cuma mengangguk tanpa berkata apa-apa. Jujur, aku begitu mengagumi sosok Bu Sonia yang begitu lemah lembut, menyayangiku seperti putranya sendiri. Dia bahkan begitu percaya padaku hingga detik ini.Aku dan Mama masuk ke dalam mengikuti Bu Sonia. Ekor mataku menangkap sosok Saskia yang berada di sana, sedang menata minuman untuk para tamu yang nanti akan datang untuk mengaji. Bu Sonia terlihat berbincang dengannya, sepertinya memintanya untuk membawakan minuman untukku dan Mama.Benar saja, tak berapa lama aku dan Mama duduk, Saskia datang membawa nampan berisi dua gelas minuman."Syukurlah, Saskia seharian membantu Mama menyiapkan semuanya," ucap Bu Sonia saat Saskia meletakkan minuman itu di atas meja. "Dia ini sudah seperti putriku sendiri, karena sejak kecil sangat dekat dengan Aruna."Aku melirik ke arah Saskia, yang juga melirik ke arahku. Kami berdua saling menahan senyum."Saskia ke belakang lagi ya, Tante," ucap Saskia kemudian.Bu Sonia mengangguk sembari tersenyum. Saskia melangkah menuju arah belakang, setelah sesaat melempar senyumnya kembali padaku. Senyum yang mampu mengalahkan pesona Aruna, saat dia masih hidup."Ayo diminum, Bu, Denis. Sebentar lagi para tamu akan datang." Bu Sonia mempersilakan kami minum.Belum sempat aku menyentuh cangkir di depanku, tiba-tiba terdengar suara jeritan dari arah belakang. Kami bertiga terkejut, dan langsung berlari ke arah sumber suara. Itu jeritan Saskia!Benar saja, sesampainya di dapur, kami melihat Saskia gemetar ketakutan, sambil menatap ke arah jendela besar yang ada di sana. Wajahnya terlihat pucat pasi."Ada apa, Saskia?" tanya Bu Sonia, ikut terkejut."Aku melihat Aruna, Tante!""Aku melihat Aruna, Tante!" Saskia langsung berhambur dan memeluk Bu Sonia.Kami semua terkejut mendengar ucapan Saskia. Badannya yang terlihat menggigil ketakutan, menunjukkan kalau dia tidak berbohong, tapi tidak mungkin Aruna ada di sini. "Kamu ngomong apa sih, Saskia? Aruna sudah tenang di sana." Bu Sonia mengelus pundak Saskia, mencoba menenangkannya."Aku benar-benar melihat Aruna di sana, Tante!" Saskia masih menggigil sambil menunjuk ke arah jendela."Jangan-jangan, Aruna dendam padaku! Dia mau mengejarku!" Saskia semakin panik."Apa maksudmu, Saskia?" Wajah Bu Sonia seketika berubah kaget, sehingga Saskia juga tersentak, mungkin lekas menyadari jika dia salah bicara. Wajahnya memucat seketika."Ah, Saskia pasti masih belum bisa menerima jika Aruna sudah tiada, Ma." Aku cepat-cepat menyahut, mencoba mengalihkan pembicaraan.Cepat-cepat aku berjalan ke arah jendela dan membukanya."Lihat, tidak ada siapa-siapa. Pasti Saskia masih terbayang-bayang wajah Aruna, karena mereka san
Tidak, ini tidak mungkin! Apa benar itu Aruna?Aku mengucek mataku sekali lagi, dan melihat kembali ke arah luar jendela. Netraku seketika membola, karena wanita itu sudah tidak ada di sana. Aku menyapukan pandangan ke sana, kemari, namun yang ada hanya kegelapan.Tanpa pikir panjang aku bergegas berlari keluar kamar, lalu berjalan menuju luar rumah. Aku langsung mencari-cari ke sekeliling taman, tak juga kujumpai sosok mirip Aruna barusan. Aku memegang kepala yang pening setelah lelah mencari. Ah, jangan-jangan aku juga ikut berhalusinasi seperti Saskia?Aku mulai mengacak rambut karena bingung, sampai mendadak tersentak kaget karena seseorang menepuk pundakku. Aku langsung menoleh, dan melihat Mbok Asri ada di sana, menatapku dengan pandangan bingung."Astaga, Mbok! Mbok Asri mau saya jantungan, ya?" tanyaku kesal pada wanita tua bertubuh tambun itu."Den Denis ngapain di luar malam-malam?" Dia balik bertanya.Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, agak bingung harus menjawab apa."
Mobil milikku meluncur dengan mulus menuju rumah sakit tempat dulu aku membawa Aruna yang tengah meregang nyawa. Bayangan wajah Aruna yang menatap tajam padaku sebelum masuk ke ruang gawat darurat, kembali masuk ke dalam kepalaku.Ada sedikit penyesalan yang menyusup jauh di lubuk hatiku yang dalam. Aruna wanita yang sempurna, cantik luar dalam, dan dia punya segalanya. Dia juga yang sudah mengangkat kehidupanku yang hanya anak seorang janda, menjadi presiden direktur di sebuah perusahaan yang begitu besar.Namun ... aku masih saja terpesona dengan sosok Saskia. Ya, Aruna yang begitu penurut, lambat laun membuatku bosan. Ditambah lagi kondisi fisiknya lemah dan sering sakit. Aku mulai melirik ke arah sahabat baiknya, Saskia, yang begitu ceria dan agresif. Aku tak mampu menolak pesonanya, ditambah lagi dia yang terus menerus menggodaku."B*jingan kamu, Mas!"Aruna yang begitu lemah lembut, untuk pertama kalinya menatap ke arahku dengan murka, saat melihatku sedang bermesraan dengan sah
Setelah refleks melepaskan tangan Saskia dari pinggangku, aku berbalik dengan cepat. Jantungku berdegup kencang ketika melihat Bu Sonia menatap ke arahku dengan wajah heran."A-ada apa, Ma?" tanyaku dengan perasaan was-was, dan tak bisa menyembunyikan sikap salah tingkahku.Aku benar-benar berharap Mama mertuaku itu tak sempat melihat apa yang aku dan Saskia lakukan tadi, saat masuk ke pintu ruang dapur bersih."Kalian sedang apa berduaan saja di sini?" tanya Bu Sonia sambil menatap ke arahku dan Saskia bergantian."Ah, tidak, Ma. Aku tadi ingin mengambil minum, dan tak sengaja bertemu Saskia di sini," ucapku kemudian, sambil menyeka keringat yang mulai membasahi pelipis."Benar, Tante," sahut Saskia, yang juga kelihatan salah tingkah.Bu Sonia masih menatap ke arah kami dengan pandangan yang susah diartikan."Ada apa ini?" Tiba-tiba Mama muncul, membuatku seperti kedatangan malaikat penyelamat. Mama langsung mendelik ke arahku dan Saskia."Kenapa kalian bisa berdua-duaan di sini?" ta
"Tante Yanti kenapa, Mas?" Saskia ikut berdiri, menatapku dengan pandangan bingung."Mama pingsan, Saskia. Mbok Asri bilang Mama berteriak memanggil Aruna," jawabku sambil menutup telpon."Aruna?" Wajah Saskia berubah memucat. "Apa jangan-jangan kita benar-benar tidak salah lihat, Mas?"Aku tak menjawab pertanyaan Saskia. Aku memang sudah bercerita padanya jika aku juga melihat sosok wanita mirip Aruna, tapi aku berkata padanya jika itu cuma bayangan saja. Buktinya, sudah cukup lama kami hidup damai tanpa melihatnya lagi. Kenapa kali ini Mama yang ...."Aku harus pulang, Kia," ucapku pada Saskia kemudian."Aku ikut, Mas. Aku kan juga ingin tahu keadaan Tante Yanti." Saskia mengambil tasnya, lalu kami berdua pun bergegas meninggalkan restoran itu.Kami segera menuju mobil, dan langsung meluncur pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Mbok Asri membukakan pintu, dan menyambut kami dengan wajah yang masih panik."Mama bagaimana, Mbok?" tanyaku kemudian."Masih belum siuman, Den. Mbok gak
"Mas! Buang, Mas! Buang!" jerit Saskia sambil menggoncang lenganku."Tenang, Kia. Itu bukan darah sungguhan," ucapku kemudian mencoba menenangkannya."Tapi aku takut, Mas!" Saskia masih menggigil sambil naik ke atas tempat tidur.Kurang ajar sekali orang yang berani melakukan terror pada kami. Bagaimapun, orang dalam pasti terlibat dalam masalah ini. Tidak mungkin ada orang yang bisa masuk dan meletakkan benda itu di depan pintu jika tidak dibantu orang dalam."Mbok Asri!!!" Aku seketika berteriak sekencang-kencangnya memanggil nama wanita tua itu.Tak butuh waktu lama, terdengar sahutan Mbok Asri dan suara langkahnya menuju kamar kami."Iya, Den ...." Mbok Asri tak meneruskan ucapannya, malah terlihat kaget bukan main sambil menatap ke arahku dan Saskia."Astaghfirullah, Den Denis dan Neng Saskia ....""Itu bukan urusan kamu, Mbok!" bentakku. Apa boleh buat, kami sudah terlanjur basah. Aku juga tidak boleh takut di depan seseorang yang cuma pembantu."Sekarang coba jawab! Siapa yang
"Tunggu dulu, Pak Polisi. Anak saya tidak melakukan apapun pada istrinya. Bagaimana mungkin ada yang sembarangan melaporkan?" ucap Mama membelaku."B-benar, Pak," sahutku. "Istri saya meninggal karena sakit.""Lagipula siapa yang lancang melaporkan anak saya, Pak?" tanya Mama lagi."Kami akan menjelaskan semuanya di kantor. Jadi saya harap Bapak bersedia ikut dengan kami," ucap salah satu petugas berseragam itu lagi."Tidak bisa begitu dong, Pak! Kami bahkan tidak diberi tahukan lebih dulu jika ada penangkapan. Jadi ini tidak sesuai prosedur. Jika putra saya tidak bersalah, bagaimana kami bisa memulihkan nama baik kami nanti?" protes Mama lagi, belum bisa terima."Kami mendapatkan laporan bersamaan dengan bukti kuat, Nyonya. Jadi saya minta sekali lagi, ikut kami ke kantor. Jelaskan semuanya di kantor nanti."Aku dan Mama saling berpandangan sesaat karena terkejut."Bukti? Bukti apa, Pak?" tanyaku dengan perasaan was-was."Silakan ikut kami ke kantor. Kami akan menjelaskan semuanya di
Suasana ruangan cukup tegang. Tak satupun dari kami yang memulai pembicaraan cukup lama. Aku, Mama, Tasya dan Bu Sonia sudah sampai di rumah begitu selesai kesepakatan dengan pihak kepolisian. Berulang kali Bu Sonia terlihat menarik napas panjang, seperti sedang memikirkan sesuatu yang amat berat."Saya datang kemari, berencana untuk mengajak kalian makan bersama, tapi ternyata ...."Bu Sonia menarik napas lagi.Aku melirik ke arah Mama yang juga melirik ke arahku."Jeng, tolong dengarkan kami dulu," ucap Mama kemudian sambil mendekat ke arah Bu Sonia. "Kami juga tidak tahu kenapa tiba-tiba ada orang yang memfitnah dan melaporkan Denis atas tuduhan yang tidak-tidak. Jeng Sonia pasti juga gak percaya kalau Denis tega melakukannya pada Aruna, kan?""Entahlah, Bu." Bu Sonia mengurut pelipisnya. "Saya percaya pada Denis, tapi saya juga tidak menyangkal jika saya ingin tahu penyebab kematian Aruna yang sebenarnya.""Denis sangat mencintai Aruna, Jeng. Dia masih merasa begitu kehilangan. Kej