POV Aruna"Sebenarnya apa yang Bu Yanti inginkan?" tanyaku kemudian sambil menatap ke arah mereka."Astaga, Aruna. Bagaimanapun, kamu pernah memanggilku Mama. Tega sekali di acara sepenting ini kamu tidak mengundang kami," jawab Bu Yanti, lagi-lagi dengan nada suara yang sengaja ditinggikan."Mama?" Aku seketika ingin tertawa mendengarnya. Entah otak dan pikiran wanita tua itu berada di mana sekarang, sampai berkata sesuatu yang mempermalukan dirinya sendiri."Ada apa ini?"Kami semua menoleh, dan terlihat Mama berdiri di belakang kami dengan wajah cemas."Kamu baik-baik saja, Runa?" tanyanya lagi.Aku hanya mengangguk pada Mama tanpa menjawab. Dia lalu menatap heran ke arah Bu Yanti."Jeng Sonia, semudah itu keluarga kalian melupakan kami. Padahal sebelumnya kita seperti saudara," ucap Bu Yanti lagi pada Mama. "Aruna bertunangan, saya juga ingin mengucapkan selamat, Jeng. Tega sekali tidak mengundang dan melupakan kami.""Maaf, Bu Yanti. Acara ini dikhususkan untuk kerabat dan sahaba
POV Aruna"Tunggu dulu! Tunggu dulu, Pak polisi!" Bu Yanti menghalangi para petugas itu saat akan mendekati Mas Denis."Anak saya tidak melakukan apapun! Kalian tidak bisa menangkapnya!" teriaknya."Silakan melakukan laporan pembelaan di kantor polisi, Bu," jawab salah satu petugas itu. "Kami hanya melaksanakan tugas.""Tidak! Kalian tidak boleh menangkapnya tanpa bukti!""Kami sudah memiliki bukti yang kuat atas kasus yang dituduhkan, jadi sebaiknya Ibu tidak menghalangi tugas kami.""Seharusnya mereka yang ditangkap, Pak!" Bu Yanti menatap ke arahku, juga Nyonya Merry dan Melany. "Mereka sudah menipu kami!""Lebih baik kamu diam dan biarkan para petugas itu menangkap putramu, Bu Yanti," ucap Nyonya Merry sambil menatap tajam ke arah Bu Yanti."Kamu yang seharusnya diam, Nyonya!" Bu Yanti tidak mau kalah. Dia membalas tatapan Nyonya Sonia dengan tidak kalah tajam. "Permainanmu ini sungguh seperti anak kecil! Untuk apa kamu melakukan ini, hah? Agar putrimu tidak disebut perempuan mura
POV Aruna"Tolong! Tolong Saskia!" teriakku histeris, seperti orang gila melihat darah yang terus merembes dari kepala Saskia. "Tolong panggilkan ambulan! Siapa saja, tolong! Tolong panggil ambulan!"Tak berapa lama kemudian Nyonya Merry dan Melany datang, dan ikut panik bukan main melihat kondisi Saskia. Nyonya Merry cepat-cepat memanggil ambulan, sedangkan aku masih terus memeluk Saskia sambil menangis.Beberapa lama kemudian, para petugas ambulan datang dan langsung mengangkat Saskia dengan menggunakan tandu. Aku dan Nyonya Merry mengikuti mereka sampai Saskia dimasukkan ke dalam mobil putih bersirine itu."Tante akan ikut duluan ke rumah sakit. Susul kami setelah ini, Runa," ucap Nyonya Merry sambil ikut masuk ke dalam mobil.Aku hanya bisa mengangguk di sela tangisku. Dalam beberapa detik, suara sirine mendayu-dayu, dan mobil pun mulai berjalan meninggalkan tempat itu.Di saat yang sama, terlihat petugas polisi menggiring Bu Yanti dan Mas Denis. Kedua tangan mereka diborgol ke be
POV Aruna"Rumah sakit jiwa?" Aku kaget mendengar keterangan petugas kepolisian itu."Benar, sejak dibawa kemari, tahanan terus berteriak dan membuat keributan, sehingga kami segera melakukan tindakan pemeriksaan. Hasilnya, memang tahanan terganggu kejiwaannya," jawab petugas itu lagi.Aku terdiam sebentar setelah mendengar hal itu. Padahal saat ditangkap Bu Yanti tampak baik-baik saja, meskipun pandangannya kosong dan tampak sangat shock."Boleh saya tahu alamat rumah sakitnya?" tanyaku lagi."Silakan ikut dengan saya. " Petugas itu membawaku ke meja kerjanya, lalu mencatatkan alamat rumah sakit jiwa tempat Bu Yanti dirawat.Setelah mendapatkan alamat itu dan mengucapkan terima kasih, aku langsung meluncur ke alamat tersebut dengan mobil milik Leo. Bukan tak percaya dengan keterangan polisi, tapi aku hanya ingin memastikan jika wanita itu tidak berpura-pura gila. Itu karena dulu saat menjadi mertuaku, actingnya sungguh luar biasa.Sesampainya di gedung rumah sakit yang letaknya cukup
"Kasihan ya, Neng Runa, masih muda sudah meninggal dunia.""Iya, kudengar dia sakit-sakitan. Sudah berobat kemana-mana, tapi tak tahu sakitnya apa.""Apa jangan-jangan kena santet?""Hush, jangan ngomong sembarangan. Kasihan Den Denis, suaminya. Selama ini dia setia banget menjaga istrinya."Aku hanya diam saja mendengar bisikan para tetangga yang sedang berkumpul untuk melawat di rumah kami, di antara lantunan ayat suci Alquran. Aku masih fokus menatap ke arah peti yang berisi jenazah Aruna, istriku. Jenazah baru saja datang dari rumah sakit, sudah dimandikan oleh petugas di sana. Pak Ustadz dan beberapa warga juga sudah menyolatkan, jadi tinggal membawanya menuju pemakaman.Suara isak tangis dari Mama mertua masih terdengar, bersamaan dengan suara Mamaku yang mencoba menghiburnya. Semua tentu merasa kehilangan, karena Aruna adalah sosok yang amat berarti, termasuk bagiku."Turut berduka cita, Mas." Seseorang menepuk pelan pundakku.Aku mengangkat wajah, dan melihat seorang gadis can
Aruna ....Seandainya saja waktu itu kamu memaafkanku saat aku bersujud di kakimu, dan tetap menjadi istri yang baik, mungkin kamu masih berada di sisiku hingga detik ini ....Aku terus memikirkan wajah Aruna di sepanjang perjalanan pulang dari pemakaman. Senyum Aruna yang selama ini selalu menemani hari-hariku, kembali terbayang. Aruna wanita yang baik dan penurut, dan seharusnya terus seperti itu. Aku tahu Aruna begitu mencintaiku, karena selama ini dia mau melakukan apa saja untukku.Sungguh tak mengira, wanita itu sanggup menuntut cerai dariku. Aku sungguh murka, Aruna ...."Bagaimana, Denis? Sudah beres?" Terlihat Mama menyambutku di depan pintu begitu aku sampai di rumah."Sudah, Ma," jawabku kemudian sambil mendaratkan bokong di atas sofa."Kamu jangan lupa besok ke rumah Mbah Jupri," ucap Mama lagi sambil berjalan mendekatiku, lalu duduk di sampingku."Iya, iya, Ma." Aku mengusap muka lalu menatap sekeliling, mencari sosok Bu Sonia, Mama mertuaku. Bisa gawat kalau wanita alim
"Aku melihat Aruna, Tante!" Saskia langsung berhambur dan memeluk Bu Sonia.Kami semua terkejut mendengar ucapan Saskia. Badannya yang terlihat menggigil ketakutan, menunjukkan kalau dia tidak berbohong, tapi tidak mungkin Aruna ada di sini. "Kamu ngomong apa sih, Saskia? Aruna sudah tenang di sana." Bu Sonia mengelus pundak Saskia, mencoba menenangkannya."Aku benar-benar melihat Aruna di sana, Tante!" Saskia masih menggigil sambil menunjuk ke arah jendela."Jangan-jangan, Aruna dendam padaku! Dia mau mengejarku!" Saskia semakin panik."Apa maksudmu, Saskia?" Wajah Bu Sonia seketika berubah kaget, sehingga Saskia juga tersentak, mungkin lekas menyadari jika dia salah bicara. Wajahnya memucat seketika."Ah, Saskia pasti masih belum bisa menerima jika Aruna sudah tiada, Ma." Aku cepat-cepat menyahut, mencoba mengalihkan pembicaraan.Cepat-cepat aku berjalan ke arah jendela dan membukanya."Lihat, tidak ada siapa-siapa. Pasti Saskia masih terbayang-bayang wajah Aruna, karena mereka san
Tidak, ini tidak mungkin! Apa benar itu Aruna?Aku mengucek mataku sekali lagi, dan melihat kembali ke arah luar jendela. Netraku seketika membola, karena wanita itu sudah tidak ada di sana. Aku menyapukan pandangan ke sana, kemari, namun yang ada hanya kegelapan.Tanpa pikir panjang aku bergegas berlari keluar kamar, lalu berjalan menuju luar rumah. Aku langsung mencari-cari ke sekeliling taman, tak juga kujumpai sosok mirip Aruna barusan. Aku memegang kepala yang pening setelah lelah mencari. Ah, jangan-jangan aku juga ikut berhalusinasi seperti Saskia?Aku mulai mengacak rambut karena bingung, sampai mendadak tersentak kaget karena seseorang menepuk pundakku. Aku langsung menoleh, dan melihat Mbok Asri ada di sana, menatapku dengan pandangan bingung."Astaga, Mbok! Mbok Asri mau saya jantungan, ya?" tanyaku kesal pada wanita tua bertubuh tambun itu."Den Denis ngapain di luar malam-malam?" Dia balik bertanya.Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, agak bingung harus menjawab apa."