Haira membuka pintu kamar Aziz yang sedang mempersiapkan diri untuk pergi ke kerja. Sebelum wanita yang baru saja memuntahkan isi perutnya itu bicara, suaminya sudah lebih dulu mengatakan akan pulang terlambat. “Ada urusan kerjaan di luar kota mungkin pulang tengah malam. Nggak usah nungguin, kunci aja pintu dari luar,” ucap Aziz yang tak perasa dengan mata Haira yang memerah. “Kok, akhir-akhir ini sering keluar kota, Mas? Bukannya Mas kerjanya di bagian kantor, ya? Apa udah pindah bagian?” “Iya, udah sejak sebulan yang lalu. Naik pangkat.” “Berarti gaji naik juga donk.” “Urusan gaji ngapain kamu mau tahu, yang penting kebutuhan, kan, nggak pernah kekurangan.” Lelaki plin plan itu tak suka istrinya ikut campur terlalu dalam. “Ya udah, iya, maaf, oh, iya, Haira mau kasih tahu sesuatu sama Mas. Penting!” Wanita bermata sendu itu melihat dua tangan di dada. “Nanti aja, Mas mau pergi cepat. Sarapan di luar, mau tukar suasana baru.” Aziz menyisir rambutnya sampai rapi. Ia gunakan pa
Aziz memang mengambil uang hasil menjual perhiasan Haira. Untuk apa? Untuk membahagiakan Anita. Walau pacarnya itu orang kaya raya tapi tetap saja ia lelaki yang ingin tampil sebagai penyedia segalanya. Pada pagi hari, lelaki dengan postur tubuh tinggi tapi tak tegap itu menyempatkan diri untuk menghubungi Anita. Mereka memang tak bisa bertemu karena kesibukan masing-masing. Namun, sepasang kekasih itu meluangkan waktu di sore hari untuk berkencan. “Mas mau kasih sesuatu sama kamu, ya memang murah, tapi ini tulus dari hati Mas,” ucap Aziz sambil tersenyum manis. Senyum yang tak pernah ia lemparkan pada Haira walau sudah lima tahun menikah. Panggilan ditutup, keduanya fokus pada urusan masing-masing. Sesekali Aziz melihat ponsel siapa tahu Anita mengirim pesan padanya. Namun, yang ada hanya pesan dari istri yang menyebalkan. Ia berbohong soal uang yang akan digunakan untuk memperbaiki mobil. Padahal sudah ia benarkan dengan merogoh kantong sendiri. Siang hari ketika jam istirahat,
“Mas Aziz, iya, itu kan mantanku dulu.” Anita—gadis berusia 32 tahun menyeruput es cream rasa vanila cokelat dengan cepat.Kedatangan Anita ke kota kenangan ada sebab, selain karena pekerjaan, juga karena rindu dengan lelaki yang pernah memacarinya selama lima tahun. Anita berdiri dan membawa cup es cremnya, kemudian berpura-pura menabrak bahu Aziz hingga lelaki itu yang meminta maaf lebih duluan.“Anita,” gumam Aziz perlahan dengan mata berbinar.Lama tak jumpa, Anita makin cantik saja dengan bibir pink yang selalu berhasil membuat jantung Aziz berdebar. Gelora yang masih sama seperti dahulu. “Mas Aziz, aduh maaf banget, ya, nggak sengaja. Aku buru-buru. Eh, kamu ke sini sama istri kamu, kan? Ya, udah aku duluan, takut salah paham.” Manis mulut Anita berkilah.“Tunggu, Nit, nomor kamu tukar, ya?” Aziz memegang pergelangan tangan mantannya.“Iya, sih, kan permintaan mama kamu dulu, Mas, biar aku nggak ketahuan ngilang ke mana.”“Hah, mama aku, masak?”“Iya, tanya aja sama dia. Ya udah
“Udah izin sama istri ke sini, belom, Mas? Nita nggak mau loh, ada salah paham di antara kita.” Wanita penggoda itu duduk dengan menaikkan sebelah pahanya. Tersingkap sudah kulit putih halus yang ditutupi rok di atas lutut.“Nggak perlu izin, dia itu istri, bukan atasan, Mas.” Aziz merasa berkuasa.“Oh, gitu, ya, ya, tapi dia istri kamu, loh, Mas, apa nggak ada rasa berdosa?”“Justru Mas merasa berdosa karena nggak jadi menikahi kamu. Sekarang Mas tanya, kamu udah nikah belum?”“Belum.”“Kita nikah, yuk, Nita, masih ada kesempatan bagi kita untuk mewujudkan mimpi kita yang tertunda.”“Aku jadi yang kedua? Nikah sirri, diem-dieman, rahasiaan kalau ketemu. Terus belum kena gampar mama kamu, diviralin istri pertama kamu. Itu yang kamu mau? Terus habis itu pasti kamu janji akan berusaha adil antara aku dan siapa nama istri kamu itu?” Nita mendongakkan dagunya dengan angkuh.“Haira,” jawab Aziz tertunduk malu. “Iya, tapi Mas yakin itu hanya sementara aja, Nita, Haira itu perempuan baik dan
“Ibu, Buk, pakai acara jatuh segala. Haduuh, Haira mana lagi, lelet banget jadi perempuan.” Dengan sekuat tenaga Aziz memapah ibunya yang jatuh ke atas kasur. Ia tak melakukan apa-apa, hanya diam saja, bak orang tak punya pikiran. Kemudian pintu rumah mereka terbuka. Wanita yang ia tunggu datang dengan kepayahan membawa belanjaan di tangan kiri belum lagi Yoga di tangan kanan. Ditambah perut yang berbunyi keroncongan. “Kamu ke mana aja? Ibu pingsan tahu, nggak?” tanya Aziz dengan nada tidak suka. “Hah, kenapa, kok, bisa pingsan, Mas?” Haira menjatuhkan belanjaannya asal saja. Lalu wanita berjilbab lebar itu masuk ke kamar dan melihat keadaan mertua yang ia sayangi. “Mas, telpon ambulance biar dibawa ke rumah sakit. Haira takut Ibu kenapa-kenapa.” Ibu satu anak itu memainkan jemari tangannya. Haira gugup. “Kamu, kan, punya hape, kenapa nggak telpon aja sendiri. Jangan bilang nggak ada pulsa, uang bulanan kamu lebih dari cukup, Mas, kasih.” Aziz berbicara tanpa rasa belas kasihan p
Perlahan-lahan mata Ibu Mia terbuka. Wanita berusia kepala enam itu memindai sekeliling. Ruangan putih dengan aroma khas obat-obatan, dan menantunya terbaring di atas kursi serta kepalanya disandarkan asal saja. “Haira, Nak,” panggil Ibu Mia perlahan, beberapa kali hingga sang menantu membuka matanya. “Ibu, sudah sadar, bentar ya, Haira panggil dokter dulu.” Wanita baik hati itu beranjak dari duduknya. Ibu Mia berusaha mengingat apa yang menyebabkan ia dibawa ke rumah sakit. Jalan pikirannya mundur sejenak ke belakang. Wanita di umur senja itu mengingat nama Anita disebutkan oleh Aziz hingga membuat jantungnya serasa tertekan. “Astaghfirullah. Ya Allah, lindungi dan jagalah rumah tangga anakku dari godaan pihak ketiga di luar sana. Haira sangat baik, dia tak boleh disia-siakan oleh anakku.” Ibu Mia menahan nyeri di jantungnya.Wanita itu sudah tua, mungkin umurnya sudah tidak lama lagi di dunia ini. Yang diinginkan Ibu Mia hanya satu, yaitu kehidupan anaknya berjalan lurus tanpa h
“Oke, Mas, udah setengah jam lebih aku dengerin cerita kamu. Tahu, nggak, berapa kerugian yang aku alami demi kamu, loh?” Anita beranjak dari ranjang. Ya, semula mereka di sofa, dan perlahan-lahan menuju kasur, meski tanpa melakukan hal apa pun. “Nita, baru juga setengah jam kamu udah nggak betah.” Aziz belum mau kehilangan kesempatan bersama Anita. Bagaimanapun tekadnya sudah bulat hari ini untuk mendapatkan hati mantannya lagi. “Ada kerjaan, kamu juga harus pulang, kan, Mas. Ini udah jam dua siang loh, bukannya jam lima udah di rumah.”“Sudah Mas, bilang, hari ini semua hanya untuk kamu.” “Manis banget, tapi aku nggak percaya.” Anita merapikan rambutnya yang berantakan. Tak lupa bibirnya ia kulum agar basah secara alami. Hal yang membuat Aziz menelan ludah. “Kenapa nggak percaya sama, Mas?” Tatapan mata lelaki itu begitu sangar menelisik lekuk tubuh Anita. “Jelas kamu tahu jawabannya, Mas.” “Haira.” “Nah itu dia. Pagar kita ketinggian, loh.” “Kamu mau Mas apakah dia?” “Ngga
“Kamu ngapain lihat-lihat punya orang.” Aziz datang dan merampas ponsel di tangan Haira begitu saja. Wanita berjilbab lebar itu menelan ludah. Meski baru sebentar, pesan mesra itu sempat ia baca. Dengan jelas Aziz mengetik, bahwa ia tak pernah mencintai Haira. Ibu satu anak itu hanya memandang punggung suaminya yang baru saja masuk ke kamar mandi. Haira tarik napas dan menenangkan diri sejenak. Saat ini yang harus dipikirkan ialah kesembuhan ibu mertua yang masih tidur lelap. “Besok aku harus jual perhiasan dulu. Setelah ibu sembuh kita harus bahas chat mesra kamu, Mas.” Haira mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia baik-baik saja dan harus mendahulukan yang namanya skala prioritas. “Haira, Mas pulang dulu, ya, mau tidur, capek, ngantuk,” ucap Aziz tanpa ada rasa peduli dengan ibunya sendiri. “Mas, jemput Yoga sekalian gimana? Dia di kosan sama Haima. Kasihan, loh, dari tadi nanyain kamu,” ucap Haira meski hatinya masih berdesir dipenuhi kemarahan tak terucap. “Udah, sama adik