Share

Bingung

Author: Rosa Rasyidin
last update Last Updated: 2024-01-31 12:45:46

“Kamu ngapain lihat-lihat punya orang.” Aziz datang dan merampas ponsel di tangan Haira begitu saja.

Wanita berjilbab lebar itu menelan ludah. Meski baru sebentar, pesan mesra itu sempat ia baca. Dengan jelas Aziz mengetik, bahwa ia tak pernah mencintai Haira.

Ibu satu anak itu hanya memandang punggung suaminya yang baru saja masuk ke kamar mandi. Haira tarik napas dan menenangkan diri sejenak. Saat ini yang harus dipikirkan ialah kesembuhan ibu mertua yang masih tidur lelap.

“Besok aku harus jual perhiasan dulu. Setelah ibu sembuh kita harus bahas chat mesra kamu, Mas.” Haira mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia baik-baik saja dan harus mendahulukan yang namanya skala prioritas.

“Haira, Mas pulang dulu, ya, mau tidur, capek, ngantuk,” ucap Aziz tanpa ada rasa peduli dengan ibunya sendiri.

“Mas, jemput Yoga sekalian gimana? Dia di kosan sama Haima. Kasihan, loh, dari tadi nanyain kamu,” ucap Haira meski hatinya masih berdesir dipenuhi kemarahan tak terucap.

“Udah, sama adik kamu aja duluan. Kalau sama Mas nanti bingung harus ngapain! Mas pulang duluan.” Lelaki berkacamata itu pergi begitu saja. Bahkan Haira tak sempat mencium tangannya.

Wanita bermata tajam itu serasa menggenggam angin dan berbicara dengan patung. Didengar tapi tak ditanggapi.

“Haima itu besok ujian, Mas, aku mau bilang itu tapi kamu cuek aja.” Haira duduk di sofa dan lanjut menjaga ibunya.

Perutnya keroncongan, belum makan. Suaminya tak membawakan sebungkus pun makanan. Terpaksa ia keluar dan menuju kantin, memesan makanan yang ada di malam hari agar tidak kelaparan. Terkadang terbesit oleh Haira di dalam benaknya, anak siapa, yang mengurus mertuanya siapa.

“Ya Allah, sabar-sabar, anggap aja ini bakti sama mertua.” Haira mengembus asap yang berembus dari mi rebus di dalam mangkuk, ditambah sedikit nasi dan kerupuk. Semoga cukup sampai pagi datang.

***

Di dalam kamar bersama ibunya, Haira tak bisa tenang, meski sedikit saja chat yang ia baca, tapi wanita itu sempat menghapalkan nomor perempuan yang tertera tanpa disimpan namanya oleh Aziz.

Akhirnya ia ambil ponsel dan mengetik deretan nomor yang tersimpan di kepalanya. Ia simpan dengan nama teman Mas Aziz. Ingin kirim pesan malam ini rasanya tidak sopan sekali. Lalu Haira pun abaikan dan memilih tidur di sofa.

Tidur Haira tidak tenang sama sekali sebab harus menjaga ibunya. Pada jam satu malam ia harus memanggil perawat jaga karena mendadak ibu mertuanya bernapas seperti bagian dadanya ditarik ke dalam.

Perawat dan dokter jaga datang sesegera mungkin dan Haira diminta menunggu di luar. Tak lama kemudian masuk dokter yang terlihat lebih senior. Kurang lebih ada sekitar 30 menit menantu kesayangan itu menunggu dengan harap-harap cemas.

“Ibu Haira.” Dokter senior keluar dan menatapnya dengan lurus.

“Iya, Dokter, kenapa?”

“Saya sarankan malam ini Ibu Mia dipindahkan saja ke rumah sakit rujukan yang kami tunjuk. Agar bisa dilaksanakan prosedur pemeriksaan sebelum pemasangan ring jantung. Ini penting Ibu Haira,” jawab

“Oh, iya, dokter gimana baiknya aja.” Haira tak punya pilihan lain.

“Sebelum itu tolong diurus dulu administrasinya di sana ya, Ibu.” Seorang perawat keluar dari kamar dan menunjukkan di mana letak administrasi pelunasan.

Haira disodorkan lembaran kertas berisikan total tagihan belum sehari berada di rumah sakit. Memang uangnya ada tapi di ATM.

“Nggak bisa bayar pakai kartu aja, Mbak?” tanya sama bagian administrasi.

“Bisa ditarik duluan aja, Ibu, itu di luar ada ATM.”

Dengan berat hati Haira melangkah. Di luar sana begitu sunyi dan hanya ada beberapa kendaraan yang lalu lalang. Wanita itu menyeberang, masuk ke anjungan dan menarik sejumlah uang yang diperlukan. Kembali lagi, membayar, dan menunggu ambulance disiapkan.

Haira mencoba menghubungi Aziz dan lagi-lagi ponsel suaminya tidak aktif. Entah apa isi kepala Aziz di saat ibunya sakit ia justru menghilang terus.

“Sebenernya kamu ini peduli nggak sama ibu kamu, Mas?” gerutu Haira sembari mengemas barang-barang yang ia bawa. Ibu satu anak itu ikut masuk ke dalam ambulance sebab tidak ada orang lain yang bisa menjaga Ibu Mia.

Beberapa menit kemudian, ponsel Haira berdering pula. Panggilan masuk dari Haima. Bingung wanita itu sebab besok pagi jam sembilan adiknya ada ujian pertengahan semester yang kalau tidak ikut akan mengulang semester depan.

Tidak ada jawaban, Haira meminta adiknya menunggu sampai jam tujuh besok pagi. Harapannya hanya ada dua. Satu, Yoga dibawa oleh Mas Aziz atau rumah sakit rujukan mengizikan anak kecil masuk, tapi rasanya tidak mungkin.

Sampai di tujuan semuanya diurus dan Haira memilih ibu mertuanya ada di kelas dua saja, yang tidak terlalu ramai dan juga tidak kesepian. Ditambah lagi soal biaya. Menyesal dulu tak mengurus asuransi Haira.

Jadwal untuk pemeriksaan Ibu Mia keluar tiga jam setelahnya yang artinya sudah jam tujuh pagi dan Haira lupa menelepon suaminya perihal Yoga. Ditambah panggilan dari Haima lagi. Lalu ia abaikan sebab dokter sedang berbicara padanya.

Tepat jam sembilan nanti, Ibu Mia harus menjalani pemeriksaan awal untuk memasang ring jantung. Lalu ada serangkaian tes kesehatan, seperti rontgen dada, elektrokardiogram, tes darah, dan tes pencitraan angiogram koroner (kateterisasi jantung).

“Huuuft.” Haira menghela napas sejenak. Semua ini pasti akan terasa melelahkan, ia tahu sebab dulu kuliah kesehatan selama tiga tahun lebih tapi tidak disambung lagi.

***

“Mbak, Yoga gimana ini? Ima mau ujian loh, sebentar lagi berangkat.” Suara dari seberang sana terdengar jelas di telinga Haira.

“Bentar Mbak kabarin lagi.” Klik. Panggilan dimatikan oleh Haira. Ia ingin menghubungi suaminya tetap justru panggilan masuk dari Aziz datang. Diangkat oleh Haira tapi yang ia peroleh justru amarah lagi.

“Ya, tadi shubuh mendadak dibawa, loh, Mas. Haira mau ngabarin nomor Mas nggak aktif,” jawabnya sambil menguap. Ngatuk ditambah perutnya kembung masuk angin.

Bukannya minta maaf, Aziz malah mengomel karena tidak mengabari dan meminta izinnya lebih dahulu. Bahkan ketika Haira meminta agar Yoga dijemput karena Ima tak bisa menjaga, ia tak mendapatkan jawaban yang jelas.

“Ya Allah, pengen menjerit!” Haira mematikan telepon setelah sambungan dari Aziz terputus.

“Jangan lupa ya Ibu kalau bisa ada seorang laki-laki untuk membantu mengangkat Ibu Mia nanti.” Perawat mengingatkan.

“Kalau nggak ada, Suster?”

“Ya kita-kita aja, Bu, tapi dari tim rumah sakit ada juga. Namun, ada beberapa pihak keluarga yang lebih memilih mengangkat sendiri. Dua jam lagi ya, Ibu, saya tinggal duluan.”

“Aduh, gimana ini, Yoga belum dijemput, Ima mau ujian, Mas Aziz nggak peduli.” Haira mengigit ujung ponselnya. Ibu Mia tidak mungkin bisa ditinggalkan begitu saja.

[Jangan lupa jual perhiasan kamu siang ini juga, Haira. Mas ada urusan di kantor.] Pesan datang dari Aziz justru membuat wanita itu semakin tak tenang.

Bersambung …

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUMPAH PELAKOR   31. Rahasia yang Tersimpan

    Sore itu, langit di luar rumah sakit tampak mendung. Dari dalam kamar rawat, Haira sedang mengganti handuk basah di dahi Ibu Mia sambil bercerita. Ia selalu berusaha membuat suasana lebih hidup, agar ibu mertuanya tidak terlalu larut dalam tekanan.Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Haira menoleh, lalu berjalan dan membuka pintu tanpa rasa curiga.Di sana berdiri seorang perempuan dengan penampilan anggun tapi mencolok. Rambutnya terurai, tubuhnya ramping dalam balutan blazer merah marun dan bibirnya menyunggingkan senyuman pahit.“Permisi, aku Anita.” Wanita itu mengulurkan tanganya. Haira tercengang sedikit tapi tetap menjaga suasana agar baik-baik saja.“Maaf, ada perlu dengan siapa, ya?”“Anita?” Ibu Mia bangkit sedikit, wajahnya seketika pucat. Matanya membulat serta napasnya memburu seperti baru saja berlari dari kenyataan.Deg!Haira segera berbalik. Ia melihat tubuh Ibu Mia menegang, tangannya mencengkeram selimut, dan detak jantung di monitor berdetak makin cepat. Haira pa

  • SUMPAH PELAKOR   30 Anggrek Putih

    Haira perlahan membaik. Ia sudah diperbolehkan pulang dari ruang rawat inap, tapi ia memilih tetap tinggal di rumah sakit untuk mendampingi Ibu Mia, yang belum sepenuhnya pulih. Seperti biasa, Haira kembali menjadi sosok yang tangguh bagi semua orang.Ada yang berbeda dalam dirinya, tidak terlihat, tapi terasa menyakitkan. Ia lebih pendiam, dan sesekali matanya menatap dalam kekosongan.Percakapan dari hati ke hati yang ia lakukan dengan Aziz beberapa hari yang lalu, ternyata tak lebih dari basa basi busuk. Setelah kata maaf diucapkan dan janji untuk berubah dilontarkan, hari-hari mereka justru menjadi lebih asing.Aziz tetap sibuk. Terlalu sibuk. Bahkan saat Haira meminta waktu untuk periksa kandungan kehamilan. Janji yang seharusnya mereka lakukan bersama diabaikan hanya karena hal-hal lain.[Maaf, hari ini nggak bisa. Rapat mendadak. Lain kali saja, ya.] Tulis Aziz dalam pesannya.“Lain kali.” Haira tersenyum ketika membacanya.Dua kata yang selalu menjadi alasan untuk semua hal ya

  • SUMPAH PELAKOR    29 Luka yang Tak Terlihat

    Selang infus menancap di pergelangan tangan Haira. Sementara detak jantungnya terekam di layar monitor kecil di sisi ranjang. Dokter mengatakan kandungannya selamat, untung belum terlambat. Tapi luka yang sebenarnya tak terlihat oleh hasil pemeriksaan medis mana pun.“Napasnya sudah lebih stabil sekarang, Ibu Haira,” ujar perawat sambil mengganti kantong infus yang hampir habis. “Harus banyak istirahat. Jangan stres dulu ya demi si kecil.”Haira hanya mengangguk pelan. Matanya sembab, tetapi sudah tak ada air mata tersisa. Hati yang patah tak selalu menjerit bahkan kadang hanya diam demi menahan sakit.Di luar ruangan, Aziz berdiri terpaku. Ia sudah datang sejak tadi pagi, tapi belum juga masuk. Tangannya gemetar, matanya merah karena kurang tidur. Tapi bukan itu yang paling menyiksa. Bukan rasa bersalah yang menghantui tapi pikirannya masih tertuju pada Anita.“Masuk,” ucap dokter yang keluar dari ruang perawatan. “Bapak suaminya, bukan? Dia butuh dukungan, Pak Aziz. Tapi tolong jang

  • SUMPAH PELAKOR   28

    Di ballroom Museum Kebudayaan Nasional, Rusyana berdiri di podium dengan gaun biru gelap berkerah tinggi. Wanita itu terlihat anggun dan mencuri perhatian. Ia sedang membuka diskusi panel tentang keterlibatan perempuan dalam reformasi transparansi bisnis sektor publik.“Korupsi tidak hanya merusak angka, tapi juga menghancurkan wajah-wajah keluarga,” ucap Rusyana di hadapan diplomat, aktivis, dan tokoh media yang hadir.Tepuk tangan menggema. Di antara para hadirin, satu reporter investigasi bernama Reza Halim mencatat bukan hanya kata-kata Rusyana, tapi ekspresi dan gestur tubuhnya yang menyimpan lebih banyak misteri lebih dari sekadar pidato.Usai acara, Rusyana melangkah menuju ruang privat lantai atas. Di dalam, asistennya sudah menunggu dengan sebuah folder berisi laporan keuangan grup milik Darmadi.“Transfer ke akun Anita Savitri. Dua kali dalam sebulan. Total dua miliar.” Rusyana membuka halaman pertama.“Termasuk pemesanan suite hotel atas nama pihak ketiga.” Asistennya menun

  • SUMPAH PELAKOR   27

    Waktu melambat di ruang pemulihan. Monitor di sisi tempat tidur menampilkan detak jantung yang stabil, lembut, serta teratur. Tanda bahwa prosedur berhasil. Namun di luar tubuh yang tenang, dunia masih bergemuruh di sekitar Haira.Wanita itu duduk di kursi yang sama, jari-jarinya tak lagi menggenggam ponsel, melainkan tangan Ibu Mia yang kini lebih hangat dari pagi tadi. Ia menatap wajah yang sudah dikenal selama beberapa tahun lamanya. Wajah Haira menyimpan rasa syukur yang tak sempat ia ucapkan.“Terima kasih, Bu, sudah bertahan, sekarang cepat sadar ya, biar kita bisa pulang.”Langkah kaki pelan terdengar dari lorong luar. Seorang perawat masuk membawa laporan pasca operasi, tersenyum sambil meletakkan map di meja kecil.“Pasien stabil. Tapi perlu observasi dua hari. Pastikan tidak terlalu banyak pengunjung, ya, Mbak Haira.”Haira mengangguk cepat. “Iya, Mbak. Saya pasti menjaga ibu dengan baik.”Perawat itu kemudian keluar. Lalu di saat yang bersamaan ponsel Haira bergetar.[Giman

  • SUMPAH PELAKOR   26

    Rumah Sakit Harapan Sejahtera pagi itu penuh sesak. Lorong-lorong dipenuhi pasien yang duduk menunggu giliran, beberapa di kursi roda, sebagian lagi bersandar pasrah di dinding.Bau khas rumah sakit yaitu campuran antiseptik, alkohol, dan obat-obatan menguar di udara, dan menusuk hidung tetapi juga membawa rasa aman yang membuat diri merasa tenang.Haira menggenggam tangan Ibu Mia erat-erat saat mereka duduk di ruang tunggu kardiologi. Ibu Mia mengenakan kerudung abu-abu dan jaket tipis, wajahnya tampak pucat tapi tetap tersenyum.“Kamu sudah kasih makan Yoga, kan?” tanya Ibu Mia pelan.“Sudah, Bu. Ima juga janji mau ajak dia main sepeda sore nanti,” jawab Haira sambil tersenyum, meski matanya tak bisa menyembunyikan rasa cemas.“Ima itu baik, ya. Tapi kamu jangan terlalu merepotkan dia.”“Nggak repot, Bu. Yoga juga senang sama Tante Ima.”Suara panggilan dari pengeras suara terdengar. “Pasien atas nama Ibu Mia Suryani, silakan masuk ke ruang 3.”Haira berdiri dan membantu ibunya bang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status