LOGIN“Kamu ngapain lihat-lihat punya orang.” Aziz datang dan merampas ponsel di tangan Haira begitu saja.
Wanita berjilbab lebar itu menelan ludah. Meski baru sebentar, pesan mesra itu sempat ia baca. Dengan jelas Aziz mengetik, bahwa ia tak pernah mencintai Haira.
Ibu satu anak itu hanya memandang punggung suaminya yang baru saja masuk ke kamar mandi. Haira tarik napas dan menenangkan diri sejenak. Saat ini yang harus dipikirkan ialah kesembuhan ibu mertua yang masih tidur lelap.
“Besok aku harus jual perhiasan dulu. Setelah ibu sembuh kita harus bahas chat mesra kamu, Mas.” Haira mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia baik-baik saja dan harus mendahulukan yang namanya skala prioritas.
“Haira, Mas pulang dulu, ya, mau tidur, capek, ngantuk,” ucap Aziz tanpa ada rasa peduli dengan ibunya sendiri.
“Mas, jemput Yoga sekalian gimana? Dia di kosan sama Haima. Kasihan, loh, dari tadi nanyain kamu,” ucap Haira meski hatinya masih berdesir dipenuhi kemarahan tak terucap.
“Udah, sama adik kamu aja duluan. Kalau sama Mas nanti bingung harus ngapain! Mas pulang duluan.” Lelaki berkacamata itu pergi begitu saja. Bahkan Haira tak sempat mencium tangannya.
Wanita itu serasa menggenggam angin dan berbicara dengan patung. Didengar tapi tak ditanggapi.
“Haima itu besok ujian, Mas, aku mau bilang itu tapi kamu cuek aja.” Haira duduk di sofa dan lanjut menjaga ibunya.
Perutnya keroncongan, belum makan. Suaminya tak membawakan sebungkus pun makanan. Terpaksa ia keluar dan menuju kantin, memesan makanan yang ada di malam hari agar tidak kelaparan. Terkadang terbesit oleh Haira di dalam benaknya, anak siapa, yang mengurus mertuanya siapa.
“Ya Allah, sabar-sabar, anggap aja ini bakti sama mertua.” Haira mengembus asap yang berembus dari mi rebus di dalam mangkuk, ditambah sedikit nasi dan kerupuk. Semoga cukup sampai pagi datang.
***
Di dalam kamar bersama ibunya, Haira tak bisa tenang, meski sedikit saja chat yang ia baca, tapi wanita itu sempat menghafalkan nomor perempuan yang tertera tanpa disimpan namanya oleh Aziz.
Akhirnya ia ambil ponsel dan mengetik deretan nomor yang tersimpan di kepalanya. Ia simpan dengan nama teman Mas Aziz. Ingin kirim pesan malam ini rasanya tidak sopan sekali. Lalu Haira pun abaikan dan memilih tidur di sofa.
Tidur Haira tidak tenang sama sekali sebab harus menjaga ibunya. Pada jam satu malam ia harus memanggil perawat jaga karena mendadak ibu mertuanya bernapas seperti bagian dadanya ditarik ke dalam.
Perawat dan dokter jaga datang sesegera mungkin dan Haira diminta menunggu di luar. Tak lama kemudian masuk dokter yang terlihat lebih senior. Kurang lebih ada sekitar 30 menit menantu kesayangan itu menunggu dengan harap-harap cemas.
“Ibu Haira.” Dokter senior keluar dan menatapnya dengan lurus.
“Iya, Dokter, kenapa?”
“Saya sarankan malam ini Ibu Mia dipindahkan saja ke rumah sakit rujukan yang kami tunjuk. Agar bisa dilaksanakan prosedur pemeriksaan sebelum pemasangan ring jantung. Ini penting Ibu Haira.”
“Oh, iya, dokter gimana baiknya aja.” Haira tak punya pilihan lain.
“Sebelum itu tolong diurus dulu administrasinya di sana ya, Ibu.” Seorang perawat keluar dari kamar dan menunjukkan di mana letak administrasi pelunasan.
Haira disodorkan lembaran kertas berisikan total tagihan belum sehari berada di rumah sakit. Memang uangnya ada tapi di ATM.
“Nggak bisa bayar pakai kartu aja, Mbak?” tanya sama bagian administrasi.
“Bisa ditarik duluan aja, Ibu, itu di luar ada ATM.”
Dengan berat hati Haira melangkah. Di luar sana begitu sunyi dan hanya ada beberapa kendaraan yang lalu lalang. Wanita itu menyeberang, masuk ke anjungan dan menarik sejumlah uang yang diperlukan. Kembali lagi, membayar, dan menunggu ambulance disiapkan.
Haira mencoba menghubungi Aziz dan lagi-lagi ponsel suaminya tidak aktif. Entah apa isi kepala Aziz di saat ibunya sakit ia justru menghilang terus.
“Sebenernya kamu ini peduli nggak sama ibu kamu, Mas?” gerutu Haira sembari mengemas barang-barang yang ia bawa. Ibu satu anak itu ikut masuk ke dalam ambulance sebab tidak ada orang lain yang bisa menjaga Ibu Mia.
Beberapa menit kemudian, ponsel Haira berdering pula. Panggilan masuk dari Haima. Bingung wanita itu sebab besok pagi jam sembilan adiknya ada ujian pertengahan semester yang kalau tidak ikut akan mengulang semester depan.
Tidak ada jawaban, Haira meminta adiknya menunggu sampai jam tujuh besok pagi. Harapannya hanya ada dua. Satu, Yoga dibawa oleh Mas Aziz atau rumah sakit rujukan mengizinkan anak kecil masuk, tapi rasanya tidak mungkin.
Sampai di tujuan semuanya diurus dan Haira memilih ibu mertuanya ada di kelas dua saja, yang tidak terlalu ramai dan juga tidak kesepian. Ditambah lagi soal biaya. Menyesal dulu tak mengurus asuransi Haira.
Jadwal untuk pemeriksaan Ibu Mia keluar tiga jam setelahnya yang artinya sudah jam tujuh pagi dan Haira lupa menelepon suaminya perihal Yoga. Ditambah panggilan dari Haima lagi. Lalu ia abaikan sebab dokter sedang berbicara padanya.
Tepat jam sembilan nanti, Ibu Mia harus menjalani pemeriksaan awal untuk memasang ring jantung. Lalu ada serangkaian tes kesehatan, seperti rontgen dada, elektrokardiogram, tes darah, dan tes pencitraan angiogram koroner (kateterisasi jantung).
“Huuuft.” Haira menghela napas sejenak. Semua ini pasti akan terasa melelahkan, ia tahu sebab dulu kuliah kesehatan selama tiga tahun lebih tapi tidak disambung lagi.
***
“Mbak, Yoga gimana ini? Ima mau ujian loh, sebentar lagi berangkat.” Suara dari seberang sana terdengar jelas di telinga Haira.
“Bentar Mbak kabarin lagi.” Klik. Panggilan dimatikan oleh Haira. Ia ingin menghubungi suaminya tetap justru panggilan masuk dari Aziz datang. Diangkat oleh Haira tapi yang ia peroleh justru amarah lagi.
“Ya, tadi shubuh mendadak dibawa, loh, Mas. Haira mau ngabarin nomor Mas nggak aktif,” jawabnya sambil menguap. Ngantuk ditambah perutnya kembung masuk angin.
Bukannya minta maaf, Aziz malah mengomel karena tidak mengabari dan meminta izinnya lebih dahulu. Bahkan ketika Haira meminta agar Yoga dijemput karena Ima tak bisa menjaga, ia tak mendapatkan jawaban yang jelas.
“Ya Allah, pengen menjerit!” Haira mematikan telepon setelah sambungan dari Aziz terputus.
“Jangan lupa ya Ibu kalau bisa ada seorang laki-laki untuk membantu mengangkat Ibu Mia nanti.” Perawat mengingatkan.
“Kalau nggak ada, Suster?”
“Ya kita-kita aja, Bu, tapi dari tim rumah sakit ada juga. Namun, ada beberapa pihak keluarga yang lebih memilih mengangkat sendiri. Dua jam lagi ya, Ibu, saya tinggal duluan.”
“Aduh, gimana ini, Yoga belum dijemput, Ima mau ujian, Mas Aziz nggak peduli.” Haira menggigit ujung ponselnya. Ibu Mia tidak mungkin bisa ditinggalkan begitu saja.
[Jangan lupa jual perhiasan kamu siang ini juga, Haira. Mas ada urusan di kantor.] Pesan datang dari Aziz justru membuat wanita itu semakin tak tenang.
Bersambung …
Sirene ambulans menyala di malam hari. Haira duduk di sisi tandu, mengenakan sarung tangan medis, matanya terus memantau monitor tekanan darah dan detak jantung janin.Anita masih setengah sadar, wajahnya pucat, pelipis diperban, dan perutnya terlihat mulai membuncit. Sesekali ia mengerang pelan, dan tubuhnya menggigil.Haira menatapnya. “Tenang. Kamu akan sampai di rumah sakit sebentar lagi. Bayimu masih bertahan.”Tenaga medis di sisi lain mengatur infus dan oksigen. Haira meraih ponselnya, membuka kontak Aziz, lalu menekan panggilan.Suara sambungan berdering lalu tersambung.“Ya?” jawab Aziz.“Mas Aziz, ini Haira. Anita kecelakaan. Dia ditabrak mobil di depan klinik. Sekarang Haira ikut ambulans ke rumah sakit. Kamu harus datang, sekarang.”Aziz terdiam sejenak. “Kecelakaan? Parah?”“Cukup serius. Dia lagi hamil. Kamu harus ada.”Aziz menghela napas. “Baik. Mas segera ke sana.”Haira menutup panggilan, lalu menatap Anita yang mulai membuka mata perlahan.“Haira.” Suara Anita nyaris
“Mbak, pasien baru datang, bisa periksa sekarang?” Suara Ima terdengar dari balik pintu ruang istirahat.Haira bangkit dari kursi, merapikan kerudungnya, lalu melangkah ke ruang periksa. Di sana, seorang ibu muda duduk sambil menggendong bayi, wajahnya cemas tapi penuh harapan. Haira menyapa dengan senyum hangat, lalu mulai pemeriksaan.Hari-hari di klinik kini sibuk. Promosi sederhana lewat selebaran dan rekomendasi dari mulut ke mulut mulai membuahkan hasil.Pasien datang dari lingkungan sekitar mulai dari ibu hamil, balita, bahkan lansia yang butuh perawatan ringan. Klinik kecil itu mulai hidup, dan Haira tak lagi punya waktu untuk meratapi masa lalu.Di sela-sela kesibukan, Yoga kini sudah mulai sekolah. Setiap pagi, Haira mengantar anaknya dengan motor kecil, lalu kembali ke klinik dengan semangat baru. Ia mulai fokus pada dirinya sendiri, membaca jurnal medis, menyusun jadwal layanan, bahkan merancang program edukasi untuk ibu muda di sekitar.Namun malam itu, setelah semua pasi
“Jadi, Mbak nggak jadi pinjam uang ke koperasi?” tanya Restu sambil membuka pintu mobil.Haira masuk ke kursi penumpang. “Nggak perlu. Uang dari tuntutan harta gono-gini cukup. Bahkan lebih dari yang Mbak perkirakan.”Restu menyalakan mobil yang ia sewa untuk keperluannya selama dua hari bolak-balik dari satu tempat ke tempat yang lain. “Aziz transfer langsung?”“Iya, sambil jenguk Yoga katanya, tapi udah cukup, nggak ada basa-basi lagi di antara kami,” jawab Haira sambil membuka map berisi daftar lokasi ruko yang sudah ia tandai.Restu tersenyum. “Padahal aku udah siap pinjamin, Mbak. Tapi baguslah kalau kamu bisa berdiri sendiri.”Haira menatap keluar jendela. “Mbak mau klinik ini jadi titik balik. Bukan cuma buat Mbak, tapi buat perempuan-perempuan yang pernah ngerasa nggak punya tempat aman.”Mobil melaju pelan di jalanan kota. Mereka berhenti di lokasi pertama, sebuah ruko dua lantai di pinggir jalan utama. Haira turun, menatap bangunan itu lama.“Lokasinya strategis,” kata Restu
Rumah sakit itu bersih dan sepi di pagi hari. Anita melangkah menggunakan flat shoes di lorong menuju ruang pemeriksaan kandungan. Ia mengenakan blouse longgar dan celana hitam, wajahnya pucat walau sudah dipoles. Di tangannya, map kecil berisi hasil test pack dan kartu pasien.Di ruang pemeriksaan, dokter perempuan paruh baya menyambutnya dengan senyum hangat. Setelah pemeriksaan singkat dengan USG, dokter menatap layar.“Janinnya sehat. Usia kehamilan sekitar tujuh minggu. Tidak ada tanda-tanda komplikasi.”Anita mengangguk, matanya menatap layar monitor yang menampilkan titik kecil yang bergerak pelan. Jantungnya berdetak lebih cepat dari bayinya.Dokter menoleh, mencatat sesuatu di formulir. “Suaminya tidak ikut?”Anita menjawab cepat, disertai kebohongan. “Sedang ke luar negeri.”Dokter hanya mengangguk, tak bertanya lebih jauh. Anita tahu, kebohongan itu hanya untuk menunda pertanyaan yang lebih dalam, bahkan ia belum bisa jawab sendiri.Setelah pemeriksaan selesai, Anita keluar
Aziz duduk di ruang tamu rumah yang selama ini ia tinggali. Dindingnya masih dipenuhi foto-foto lama, pernikahan, liburan yang dekat rumah saja katanya agar jangan boros pada Haira waktu itu, bahkan satu foto kecil Haira saat hamil muda. Namun, semua itu kini terasa seperti potret kesalahan yang tak bisa dihapus olehnya.Di meja, surat penjualan rumah sudah ditandatangani. Agen properti baru saja pergi, dan pembeli akan segera melakukan pelunasan. Nilainya cukup untuk menutup tuntutan harta bersama yang diajukan Haira. Lalu setelah itu ia akan tinggal di mana? Di rumah peninggalan ibunya yang kini sepi dan ia juga kesepian.Ia sempat mencoba membujuk Haira beberapa hari sebelumnya.“Ambil saja rumah ini, Haira. Daripada Mas jual ke orang lain. Ini bisa jadi tempat kamu dan Yoga.”Lagi-lagi Haira hanya menatapnya dengan sorot mata tak suka.“Rumah ini terlalu banyak kenangan dan luka. Di sini Haira melihat adegan perselingkuhan itu. Di sini Mas mengkhianati Haira dan aku nggak mau ting
Sidang kedua antara Haira dan Aziz kembali digelar di Pengadilan Agama, dengan agenda utama pembahasan tuntutan harta bersama atau gono-gini. Ruang sidang terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Di antara dua pihak yang pernah saling mencintai kini hanya tersisa perasaan asing saja.Majelis Hakim membuka sidang dengan menyampaikan bahwa perkara telah memasuki tahap pembagian harta bersama sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Hakim mengutip Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya Pasal 35:“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.”Pengacara Haira berdiri, mengenakan jas hitam dan membawa map berisi dokumen-dokumen pendukung. Dengan suara tenang dan tegas, ia menyampaikan.“Yang Mulia, klien kami mengajukan pembagian harta bersama berdasarkan ketentuan hukum. Selama pernikahan, tidak pernah dibuat perjanjian pisah harta sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan. Maka, seluruh aset yang diperoleh sejak tan







