Share

Kasmaran

Author: Rosa Rasyidin
last update Last Updated: 2024-02-02 16:09:52

Sampai di rumah Aziz memeriksa ponselnya lagi. Dikirimnya pesan untuk Anita tapi tidak ada balasan sama sekali. Kemudian lelaki itu menghela napas pendek.

“Mau cari ke mana uang sebanyak itu, ya? Haira, sih, coba dari dulu daftarin asuransi buat kami, pasti nggak bakalan bingung jadinya!” gerutu Aziz sambil melepas baju. Ia ambil baju kaus dan celana pendek. Rak di meja rias menjadi incaran lelaki itu. Benda yang ia cari sudah ditemukan.

“Ini perhiasan waktu aku jadikan mas kawin dulu. Mau nggak ya dijual.” Agak ragu Aziz, sebab kata ibunya mahar menjadi milik perempuan sepenuhnya.

Belum pernah dijual oleh Haira. Tapi emasnya juga tidak bertambah sebab uang belanja dari Aziz pas sekali untuk satu bulan. Sisa lebihnya dipegang oleh dirinya sendiri.

“Ah, istri harus nurut sama suami. Kalau nggak mau aku ceraikan sekalian.” Perhiasan itu diletakkan kembali di dalam laci.

Lelah karena selesai berpetualang cinta dengan Anita sore tadi, ia pun terlelap tanpa memikirkan ibu, istri, juga anaknya. Bahkan ponsel Aziz matikan.

Sekitar jam enam pagi Aziz bangun. Tidak ia tunaikan kewajiban sebab ia hanya sholat jum’at saja itu pun kalau ingat. Haira sudah bosan mengingatkan, sampai kena hardik.

Pertama kali yang dicari Aziz yaitu ponselnya. Ia hidupkan dan memeriksa story wa milik Anita yang fotonya hanya produk-produk skin care dengan merk yang baru mulai terkenal di pasaran.

“Kamu cantik, pinter, wangi lagi. Nyesel Mas dulu dengerin Ibu untuk lepasin kamu.” Terkirim pesan demikian ke WA milik Anita. Dibalas oleh wanita penggoda itu dengan ketikan, aku nggak percaya.

[Kita ketemuan pagi ini, bisa, Nita? Ada yang mau Mas bicarakan.]

[Nggak dulu, Mas, kemarin sore, kan, udah. Masak mau lagi? Emang nggak kerja? Emang nggak capek?]

[Bukan itu, Nita. Mas butuh pertolongan, siapa tahu kamu bisa.]

[Hmm, pertolongan apa gerangan, Mas? Boleh sih, tapi aku cuman punya waktu bentar, aku tunggu jam 8.30 pagi. Jam 9.30 pagi aku udah harus ketemu klient.]

[Siap, Tuan Putri, Pangeran akan segera ke sana.]

Kasmaran memang tak pernah memandang status dan usia. Apalagi Nita dan Aziz dulu cukup lama bersama dan Haira bukanlah wanita yang didamba lelaki itu. Konon kata orang, sebaik, secantik, selemah lembut apa pun seorang istri, jika suaminya tak cinta, tak akan ada harapan.

Sebab cinta lelaki berdiri sendiri tanpa ada paksaan dari siapa pun. Berbeda dengan cinta perempuan yang tumbuh seiring perhatian dan tanggung jawab yang diberikan. Bisa dikatakan cinta Haira bertepuk sebelah tangan selama lima tahun ini.

Aziz sudah berdandan rapi dan ia kenakan kemeja biru tua yang sudah disetrika oleh Haira. Tak lupa jam tangan hadiah dari istrinya dan parfum yang juga dipilihkan oleh sang nyonya rumah. Namun, lelaki itu sedang berpenampilan rapi demi Anita.

Hari masih pagi sekali saat Aziz pergi. Ia sempatkan sarapan dan hanya memikirkan perutnya sendiri. Selanjutnya lelaki yang sedang puber kedua itu memutar mobil ke rumah sakit tempat ibunya dirawat. Akan tetapi, sampai di sana Ibu Mia dan Haira sudah tidak ada. Sudah dirujuk dan harus segera dioperasi kata perawat yang menjelaskan.

Wajah lelaki itu nampak menahan amarah, ia telpon Haira dan memarahinya tanpa sebab. Setelah itu Aziz meminta agar tak lupa menjual emas yang jadi mahar dulu. Sudah itu saja. Tidak ada perhatian untuk ibunya yang sedang dirawat atau anaknya yang dititipkan dengan orang.

[Kamu urus aja Yoga, Mas ada kerjaan di kantor.] Begitu pesan yang dikirim Aziz. Selesai. Ia tak mau tahu lagi sebab harus segera bertemu dengan Anita di tempat yang sudah dijanjikan.

Sekitar pukul 08.15 Aziz sudah sampai di tempat sarapan cukup mewah. Tak lama, sekitar lima menit Anita datang dengan salah satu karyawannya. Wanita itu memberikan map dan meminta ditinggal saja berdua dengan lelaki yang ia kencani.

“Makan dulu, ya, Mas. Aku laper banget, tadi cuman sempat minum teh anget.” Anita menerima daftar menu. Aziz menurut saja, apa pun asal Anita tidak pergi dari hidupnya lagi.

Sepuluh menit berlalu, Aziz tidak makan, ia hanya minum secangkir kopi hitam. Anita menaikkan alis. Isyarat memintanya bercerita apa hal yang membuat mereka harus bertemu di pagi hari.

“Kamu lagi makan.”

“Nggak apa-apa, aku bukan bayi yang harus disuapin.”

“Nita, tapi ini agak berat dan susah. Ini tentang Ibuk.” Ucapan Aziz membuat sendok di mulut Nita terdiam sesaat lalu ditarik keluar, sembari mengunyah perlahan.

“Ibu kamu nggak ada urusannya sama aku, Mas. Hubungan kita yang sekarang ini kalau sampai ditentang sama ibu kamu lagi. Aku akan pergi jauh banget dan nggak akan kembali lagi, walau kamu memohon!”

“Nggak, jangan, Nita. Jangan pergi. Bukan itu. Mas janji Ibu nggak akan pernah ganggu hubungan kita lagi.”

“Oh, ya?” cibir Nita sambil tersenyum.

“Ibu sakit, Nita.”

“Turut berduka cita sedalam-dalamnya kalau gitu.”

“Masih hidup.”

“Umurnya udah 60 tahunan kan, nggak lama lagi itu.”

“Nita, Ibu beneran sakit, beliau dirawat dan Haira lagi jaga.”

“Ya teruuus?”

“Kami butuh uang untung pasang ring jantung Ibu, kata Haira sampai dua ring.”

“Kok ngadu sama aku, sih, Mas?”

“Ya sama siapa lagi, Nita. Mas cuman punya kamu.”

“Kamu butuh apa sekarang? To the point aja deh, aku nggak suka kalau bertele-tele, aku harus kerja lagi.” Hilang selera makan Anita.

Aziz sudah beberapa kali menyebut nama Haira dan ibunya. Dua wanita yang bagi Anita telah merenggut cinta sejatinya.

“Mas butuh uang?”

“Makanya pakai BPJS, Mas, aku aja pakai, kok, sok banget jadi orang nggak pakai asuransi!” ketus Nita.

“Iya, ini murni salah Haira semua. Nanti Mas tegur dia. Sekarang Mas lagi mendesak dan butuh uang karena Ibu harus segera dioperasi.” Memelas Aziz.

Hanya dengan Anita dia mau menunjukkan kelemahannya. Sedangkan di depan Haira cenderung formal bagai atasan dengan bawahan saja.

“Butuh berapa?” tanya Anita sambil membaca pesan masuk di ponselnya.

“Estimasi 60 juta, anggap aja 10 juta dapat dari jual perhiasan Haira. Sisanya 50 juta, Nita.”

“Banyak banget, sih, Mas. Lagian ibu kamu, kan, udah tua, ngapain dipasangin ring jantung? Relain aja, Mas.”

“Nggak bisa, Nita. Nggak boleh gitu. Sekurang ajarnya Mas jadi anak, nggak per—”

“Ah, udah, kamu dari dulu emang selalu dengerin kata ibu kamu. Aku nggak pernah kamu pertimbangkan!” Anita melempar ponselnya di meja. Dari tadi mereka sudah jadi perhatian orang karena suara yang keluar agak mengganggu.

“Sekali ini lagi. Mas janji akan dahulukan kamu dibandingkan Ibu. Sumpah demi Allah.”

“Bawa-bawa nama Tuhan, nekat kamu, Mas.”

“Mas janji.”

Anita melirik jam di arlojinya. Berbicara sebentar dengan Aziz sudah membuatnya naik darah. Ia harus menjaga moodnya demi bertemu dengan penanam modal baru di bisnis skin care miliknya.

“Karena jumlahnya besar banget. Aku belum bisa jawab, Mas. Aku harus kerja dulu, nanti aku hubungi kamu buat pembicaraan lebih lanjut. Dan ingat, jangan sebut nama Haira. Aku nggak pernah suka sama dia dari dulu.” Anita berdiri dan meletakkan lembaran uang di meja untuk membayar sarapan.

“Oke, Mas janji nggak akan ada Haira di antara kita.”

“Sekali pun aku kasih kamu pinjam uang, harus ada perjanjian di atas kertas. Ingat, Mas, nggak ada yang gratis di dunia ini. Bahkan kita tidur kemarin, ada harga yang harus kamu bayar,” bisik Nita perlahan.

Aziz mengangguk saja. Ia pasrah ketika hidupnya diatur oleh Nita. Memang sejak lama ia ingin hidup berdua dengan wanita pilihan hatinya.

Lelaki itu mengantar Anita sampai ke mobilnya. Sempat Nita bertanya mengapa tak jual mobil saja. Jelas lakunya lama sedangkan Ibu Mia sudah harus dapat pertolongan.

“Bye, Mas, I love you.” Kemudian Anita menggunakan kaca mata dan menutup kaca mobil. Pertemuan keduanya berakhir pagi itu dengan sebuah kesepakatan yang ditentukan oleh Nita.

Bersambung …

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUMPAH PELAKOR   31. Rahasia yang Tersimpan

    Sore itu, langit di luar rumah sakit tampak mendung. Dari dalam kamar rawat, Haira sedang mengganti handuk basah di dahi Ibu Mia sambil bercerita. Ia selalu berusaha membuat suasana lebih hidup, agar ibu mertuanya tidak terlalu larut dalam tekanan.Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Haira menoleh, lalu berjalan dan membuka pintu tanpa rasa curiga.Di sana berdiri seorang perempuan dengan penampilan anggun tapi mencolok. Rambutnya terurai, tubuhnya ramping dalam balutan blazer merah marun dan bibirnya menyunggingkan senyuman pahit.“Permisi, aku Anita.” Wanita itu mengulurkan tanganya. Haira tercengang sedikit tapi tetap menjaga suasana agar baik-baik saja.“Maaf, ada perlu dengan siapa, ya?”“Anita?” Ibu Mia bangkit sedikit, wajahnya seketika pucat. Matanya membulat serta napasnya memburu seperti baru saja berlari dari kenyataan.Deg!Haira segera berbalik. Ia melihat tubuh Ibu Mia menegang, tangannya mencengkeram selimut, dan detak jantung di monitor berdetak makin cepat. Haira pa

  • SUMPAH PELAKOR   30 Anggrek Putih

    Haira perlahan membaik. Ia sudah diperbolehkan pulang dari ruang rawat inap, tapi ia memilih tetap tinggal di rumah sakit untuk mendampingi Ibu Mia, yang belum sepenuhnya pulih. Seperti biasa, Haira kembali menjadi sosok yang tangguh bagi semua orang.Ada yang berbeda dalam dirinya, tidak terlihat, tapi terasa menyakitkan. Ia lebih pendiam, dan sesekali matanya menatap dalam kekosongan.Percakapan dari hati ke hati yang ia lakukan dengan Aziz beberapa hari yang lalu, ternyata tak lebih dari basa basi busuk. Setelah kata maaf diucapkan dan janji untuk berubah dilontarkan, hari-hari mereka justru menjadi lebih asing.Aziz tetap sibuk. Terlalu sibuk. Bahkan saat Haira meminta waktu untuk periksa kandungan kehamilan. Janji yang seharusnya mereka lakukan bersama diabaikan hanya karena hal-hal lain.[Maaf, hari ini nggak bisa. Rapat mendadak. Lain kali saja, ya.] Tulis Aziz dalam pesannya.“Lain kali.” Haira tersenyum ketika membacanya.Dua kata yang selalu menjadi alasan untuk semua hal ya

  • SUMPAH PELAKOR    29 Luka yang Tak Terlihat

    Selang infus menancap di pergelangan tangan Haira. Sementara detak jantungnya terekam di layar monitor kecil di sisi ranjang. Dokter mengatakan kandungannya selamat, untung belum terlambat. Tapi luka yang sebenarnya tak terlihat oleh hasil pemeriksaan medis mana pun.“Napasnya sudah lebih stabil sekarang, Ibu Haira,” ujar perawat sambil mengganti kantong infus yang hampir habis. “Harus banyak istirahat. Jangan stres dulu ya demi si kecil.”Haira hanya mengangguk pelan. Matanya sembab, tetapi sudah tak ada air mata tersisa. Hati yang patah tak selalu menjerit bahkan kadang hanya diam demi menahan sakit.Di luar ruangan, Aziz berdiri terpaku. Ia sudah datang sejak tadi pagi, tapi belum juga masuk. Tangannya gemetar, matanya merah karena kurang tidur. Tapi bukan itu yang paling menyiksa. Bukan rasa bersalah yang menghantui tapi pikirannya masih tertuju pada Anita.“Masuk,” ucap dokter yang keluar dari ruang perawatan. “Bapak suaminya, bukan? Dia butuh dukungan, Pak Aziz. Tapi tolong jang

  • SUMPAH PELAKOR   28

    Di ballroom Museum Kebudayaan Nasional, Rusyana berdiri di podium dengan gaun biru gelap berkerah tinggi. Wanita itu terlihat anggun dan mencuri perhatian. Ia sedang membuka diskusi panel tentang keterlibatan perempuan dalam reformasi transparansi bisnis sektor publik.“Korupsi tidak hanya merusak angka, tapi juga menghancurkan wajah-wajah keluarga,” ucap Rusyana di hadapan diplomat, aktivis, dan tokoh media yang hadir.Tepuk tangan menggema. Di antara para hadirin, satu reporter investigasi bernama Reza Halim mencatat bukan hanya kata-kata Rusyana, tapi ekspresi dan gestur tubuhnya yang menyimpan lebih banyak misteri lebih dari sekadar pidato.Usai acara, Rusyana melangkah menuju ruang privat lantai atas. Di dalam, asistennya sudah menunggu dengan sebuah folder berisi laporan keuangan grup milik Darmadi.“Transfer ke akun Anita Savitri. Dua kali dalam sebulan. Total dua miliar.” Rusyana membuka halaman pertama.“Termasuk pemesanan suite hotel atas nama pihak ketiga.” Asistennya menun

  • SUMPAH PELAKOR   27

    Waktu melambat di ruang pemulihan. Monitor di sisi tempat tidur menampilkan detak jantung yang stabil, lembut, serta teratur. Tanda bahwa prosedur berhasil. Namun di luar tubuh yang tenang, dunia masih bergemuruh di sekitar Haira.Wanita itu duduk di kursi yang sama, jari-jarinya tak lagi menggenggam ponsel, melainkan tangan Ibu Mia yang kini lebih hangat dari pagi tadi. Ia menatap wajah yang sudah dikenal selama beberapa tahun lamanya. Wajah Haira menyimpan rasa syukur yang tak sempat ia ucapkan.“Terima kasih, Bu, sudah bertahan, sekarang cepat sadar ya, biar kita bisa pulang.”Langkah kaki pelan terdengar dari lorong luar. Seorang perawat masuk membawa laporan pasca operasi, tersenyum sambil meletakkan map di meja kecil.“Pasien stabil. Tapi perlu observasi dua hari. Pastikan tidak terlalu banyak pengunjung, ya, Mbak Haira.”Haira mengangguk cepat. “Iya, Mbak. Saya pasti menjaga ibu dengan baik.”Perawat itu kemudian keluar. Lalu di saat yang bersamaan ponsel Haira bergetar.[Giman

  • SUMPAH PELAKOR   26

    Rumah Sakit Harapan Sejahtera pagi itu penuh sesak. Lorong-lorong dipenuhi pasien yang duduk menunggu giliran, beberapa di kursi roda, sebagian lagi bersandar pasrah di dinding.Bau khas rumah sakit yaitu campuran antiseptik, alkohol, dan obat-obatan menguar di udara, dan menusuk hidung tetapi juga membawa rasa aman yang membuat diri merasa tenang.Haira menggenggam tangan Ibu Mia erat-erat saat mereka duduk di ruang tunggu kardiologi. Ibu Mia mengenakan kerudung abu-abu dan jaket tipis, wajahnya tampak pucat tapi tetap tersenyum.“Kamu sudah kasih makan Yoga, kan?” tanya Ibu Mia pelan.“Sudah, Bu. Ima juga janji mau ajak dia main sepeda sore nanti,” jawab Haira sambil tersenyum, meski matanya tak bisa menyembunyikan rasa cemas.“Ima itu baik, ya. Tapi kamu jangan terlalu merepotkan dia.”“Nggak repot, Bu. Yoga juga senang sama Tante Ima.”Suara panggilan dari pengeras suara terdengar. “Pasien atas nama Ibu Mia Suryani, silakan masuk ke ruang 3.”Haira berdiri dan membantu ibunya bang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status