Share

Kasmaran

Sampai di rumah Aziz memeriksa ponselnya lagi. Dikirimnya pesan untuk Anita tapi tidak ada balasan sama sekali. Kemudian lelaki itu menghela napas pendek.

“Mau cari ke mana uang sebanyak itu, ya? Haira, sih, coba dari dulu daftarin asuransi buat kami, pasti nggak bakalan bingung jadinya!” gerutu Aziz sambil melepas baju. Ia ambil baju kaus dan celana pendek. Rak di meja rias menjadi incaran lelaki itu. Benda yang ia cari sudah ditemukan.

“Ini perhiasan waktu aku jadikan mas kawin dulu. Mau nggak ya dijual.” Agak ragu Aziz, sebab kata ibunya mahar menjadi milik perempuan sepenuhnya.

Belum pernah dijual oleh Haira. Tapi emasnya juga tidak bertambah sebab uang belanja dari Aziz pas sekali untuk satu bulan. Sisa lebihnya dipegang oleh dirinya sendiri.

“Ah, istri harus nurut sama suami. Kalau nggak mau aku ceraikan sekalian.” Perhiasan itu diletakkan kembali di dalam laci.

Lelah karena selesai berpetualang cinta dengan Anita sore tadi, ia pun terlelap tanpa memikirkan ibu, istri, juga anaknya. Bahkan ponsel Aziz matikan.

Sekitar jam enam pagi Aziz bangun. Tidak ia tunaikan kewajiban sebab ia hanya sholat jum’at saja itu pun kalau ingat. Haira sudah bosan mengingatkan, sampai kena hardik.

Pertama kali yang dicari Aziz yaitu ponselnya. Ia hidupkan dan memeriksa story wa milik Anita yang fotonya hanya produk-produk skin care dengan merk yang baru mulai terkenal di pasaran.

“Kamu cantik, pinter, wangi lagi. Nyesel Mas dulu dengerin Ibu untuk lepasin kamu.” Terkirim pesan demikian ke WA milik Anita. Dibalas oleh wanita penggoda itu dengan ketikan, aku nggak percaya.

[Kita ketemuan pagi ini, bisa, Nita? Ada yang mau Mas bicarakan.]

[Nggak dulu, Mas, kemarin sore, kan, udah. Masak mau lagi? Emang nggak kerja? Emang nggak capek?]

[Bukan itu, Nita. Mas butuh pertolongan, siapa tahu kamu bisa.]

[Hmm, pertolongan apa gerangan, Mas? Boleh sih, tapi aku cuman punya waktu bentar, aku tunggu jam 8.30 pagi. Jam 9.30 pagi aku udah harus ketemu klient.]

[Siap, Tuan Putri, Pangeran akan segera ke sana.]

Kasmaran memang tak pernah memandang status dan usia. Apalagi Nita dan Aziz dulu cukup lama bersama dan Haira bukanlah wanita yang didamba lelaki itu. Konon kata orang, sebaik, secantik, selemah lembut apa pun seorang istri, jika suaminya tak cinta, tak akan ada harapan.

Sebab cinta lelaki berdiri sendiri tanpa ada paksaan dari siapa pun. Berbeda dengan cinta perempuan yang tumbuh seiring perhatian dan tanggung jawab yang diberikan. Bisa dikatakan cinta Haira bertepuk sebelah tangan selama lima tahun ini.

Aziz sudah berdandan rapi dan ia kenakan kemeja biru tua yang sudah disetrika oleh Haira. Tak lupa jam tangan hadiah dari istrinya dan parfum yang juga dipilihkan oleh sang nyonya rumah. Namun, lelaki itu sedang berpenampilan rapi demi Anita.

Hari masih pagi sekali saat Aziz pergi. Ia sempatkan sarapan dan hanya memikirkan perutnya sendiri. Selanjutnya lelaki yang sedang puber kedua itu memutar mobil ke rumah sakit tempat ibunya dirawat. Akan tetapi, sampai di sana Ibu Mia dan Haira sudah tidak ada. Sudah dirujuk dan harus segera dioperasi kata perawat yang menjelaskan.

Wajah lelaki itu nampak menahan amarah, ia telpon Haira dan memarahinya tanpa sebab. Setelah itu Aziz meminta agar tak lupa menjual emas yang jadi mahar dulu. Sudah itu saja. Tidak ada perhatian untuk ibunya yang sedang dirawat atau anaknya yang dititipkan dengan orang.

[Kamu urus aja Yoga, Mas ada kerjaan di kantor.] Begitu pesan yang dikirim Aziz. Selesai. Ia tak mau tahu lagi sebab harus segera bertemu dengan Anita di tempat yang sudah dijanjikan.

Sekitar pukul 08.15 Aziz sudah sampai di tempat sarapan cukup mewah. Tak lama, sekitar lima menit Anita datang dengan salah satu karyawannya. Wanita itu memberikan map dan meminta ditinggal saja berdua dengan lelaki yang ia kencani.

“Makan dulu, ya, Mas. Aku laper banget, tadi cuman sempat minum teh anget.” Anita menerima daftar menu. Aziz menurut saja, apa pun asal Anita tidak pergi dari hidupnya lagi.

Sepuluh menit berlalu, Aziz tidak makan, ia hanya minum secangkir kopi hitam. Anita menaikkan alis. Isyarat memintanya bercerita apa hal yang membuat mereka harus bertemu di pagi hari.

“Kamu lagi makan.”

“Nggak apa-apa, aku bukan bayi yang harus disuapin.”

“Nita, tapi ini agak berat dan susah. Ini tentang Ibuk.” Ucapan Aziz membuat sendok di mulut Nita terdiam sesaat lalu ditarik keluar, sembari mengunyah perlahan.

“Ibu kamu nggak ada urusannya sama aku, Mas. Hubungan kita yang sekarang ini kalau sampai ditentang sama ibu kamu lagi. Aku akan pergi jauh banget dan nggak akan kembali lagi, walau kamu memohon!”

“Nggak, jangan, Nita. Jangan pergi. Bukan itu. Mas janji Ibu nggak akan pernah ganggu hubungan kita lagi.”

“Oh, ya?” cibir Nita sambil tersenyum.

“Ibu sakit, Nita.”

“Turut berduka cita sedalam-dalamnya kalau gitu.”

“Masih hidup.”

“Umurnya udah 60 tahunan kan, nggak lama lagi itu.”

“Nita, Ibu beneran sakit, beliau dirawat dan Haira lagi jaga.”

“Ya teruuus?”

“Kami butuh uang untung pasang ring jantung Ibu, kata Haira sampai dua ring.”

“Kok ngadu sama aku, sih, Mas?”

“Ya sama siapa lagi, Nita. Mas cuman punya kamu.”

“Kamu butuh apa sekarang? To the point aja deh, aku nggak suka kalau bertele-tele, aku harus kerja lagi.” Hilang selera makan Anita.

Aziz sudah beberapa kali menyebut nama Haira dan ibunya. Dua wanita yang bagi Anita telah merenggut cinta sejatinya.

“Mas butuh uang?”

“Makanya pakai BPJS, Mas, aku aja pakai, kok, sok banget jadi orang nggak pakai asuransi!” ketus Nita.

“Iya, ini murni salah Haira semua. Nanti Mas tegur dia. Sekarang Mas lagi mendesak dan butuh uang karena Ibu harus segera dioperasi.” Memelas Aziz.

Hanya dengan Anita dia mau menunjukkan kelemahannya. Sedangkan di depan Haira cenderung formal bagai atasan dengan bawahan saja.

“Butuh berapa?” tanya Anita sambil membaca pesan masuk di ponselnya.

“Estimasi 60 juta, anggap aja 10 juta dapat dari jual perhiasan Haira. Sisanya 50 juta, Nita.”

“Banyak banget, sih, Mas. Lagian ibu kamu, kan, udah tua, ngapain dipasangin ring jantung? Relain aja, Mas.”

“Nggak bisa, Nita. Nggak boleh gitu. Sekurang ajarnya Mas jadi anak, nggak per—”

“Ah, udah, kamu dari dulu emang selalu dengerin kata ibu kamu. Aku nggak pernah kamu pertimbangkan!” Anita melempar ponselnya di meja. Dari tadi mereka sudah jadi perhatian orang karena suara yang keluar agak mengganggu.

“Sekali ini lagi. Mas janji akan dahulukan kamu dibandingkan Ibu. Sumpah demi Allah.”

“Bawa-bawa nama Tuhan, nekat kamu, Mas.”

“Mas janji.”

Anita melirik jam di arlojinya. Berbicara sebentar dengan Aziz sudah membuatnya naik darah. Ia harus menjaga moodnya demi bertemu dengan penanam modal baru di bisnis skin care miliknya.

“Karena jumlahnya besar banget. Aku belum bisa jawab, Mas. Aku harus kerja dulu, nanti aku hubungi kamu buat pembicaraan lebih lanjut. Dan ingat, jangan sebut nama Haira. Aku nggak pernah suka sama dia dari dulu.” Anita berdiri dan meletakkan lembaran uang di meja untuk membayar sarapan.

“Oke, Mas janji nggak akan ada Haira di antara kita.”

“Sekali pun aku kasih kamu pinjam uang, harus ada perjanjian di atas kertas. Ingat, Mas, nggak ada yang gratis di dunia ini. Bahkan kita tidur kemarin, ada harga yang harus kamu bayar,” bisik Nita perlahan.

Aziz mengangguk saja. Ia pasrah ketika hidupnya diatur oleh Nita. Memang sejak lama ia ingin hidup berdua dengan wanita pilihan hatinya.

Lelaki itu mengantar Anita sampai ke mobilnya. Sempat Nita bertanya mengapa tak jual mobil saja. Jelas lakunya lama sedangkan Ibu Mia sudah harus dapat pertolongan.

“Bye, Mas, I love you.” Kemudian Anita menggunakan kaca mata dan menutup kaca mobil. Pertemuan keduanya berakhir pagi itu dengan sebuah kesepakatan yang ditentukan oleh Nita.

Bersambung …

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status