Home / Rumah Tangga / SUMPAH PELAKOR / Dosa yang Terulang

Share

Dosa yang Terulang

Author: Rosa Rasyidin
last update Last Updated: 2023-12-20 17:07:52

“Oke, Mas, udah setengah jam lebih aku dengerin cerita kamu. Tahu, nggak, berapa kerugian yang aku alami demi kamu, loh?” Anita beranjak dari ranjang. Ya, semula mereka di sofa, dan perlahan-lahan menuju kasur, meski tanpa melakukan hal apa pun.

“Nita, baru juga setengah jam kamu udah nggak betah.” Aziz belum mau kehilangan kesempatan bersama Anita. Bagaimanapun tekadnya sudah bulat hari ini untuk mendapatkan hati mantannya lagi.

“Ada kerjaan, kamu juga harus pulang, kan, Mas. Ini udah jam dua siang loh, bukannya jam lima udah di rumah.”

“Sudah Mas, bilang, hari ini semua hanya untuk kamu.”

“Manis banget, tapi aku nggak percaya.” Anita merapikan rambutnya yang berantakan. Tak lupa bibirnya ia kulum agar basah secara alami. Hal yang membuat Aziz menelan ludah.

“Kenapa nggak percaya sama, Mas?” Tatapan mata lelaki itu begitu sangar menelisik lekuk tubuh Anita.

“Jelas kamu tahu jawabannya, Mas.”

“Haira.”

“Nah itu dia. Pagar kita ketinggian, loh.”

“Kamu mau Mas apakah dia?”

“Nggak usah diapa-apain, lagian kita cuman mantan.”

“Nggak, Mas masih anggap kamu pacar, kita nggak pernah putus, Nita.”

“Eling, Mas, ingat umur.” Anita memakai high hellsnya. Aziz menghela napas panjang. Ia akan coba merayu Anita sekuat tenaga.

“Kalau Mas ceraikan dia, gimana?” Lelaki itu mengikuti langkah Anita sampai di depan pintu dan jelas ia tak memberikan izin mantannya untuk pulang.

“Emang kamu berani, Mas, dari dulu juga anak Mama. Jurusan kuliah, tempat kerja, sampai gajian pun dikasih ke Mama,” cemooh Anita terang-terangan.

Harusnya harga diri Aziz sebagai lelaki sejati terluka, tapi sekarang ia sedang menanggalkan kesejatiannya.

“Seperti yang Mas bilang, kita abaikan Ibu dan semuanya sekarang, hanya ada kamu dan Mas.”

“Bohong.” Anita geser ke kiri, Aziz ikut, ke kanan pun demikian.

“Ck, kasih aku jalan pulang.” Anita berpura-pura ngambek.

“Nggak, sebelum kamu bilang iya, Anita.”

“Maksa banget, deh!”

“Tolong!”

“Memelas, sejak kapan?”

“Sejak kita pisah, Mas kehilangan arah.”

“Istri kamu perempuan soleha, loh, Mas, nggak takut karma?”

“Peduli setan!”

“Ya ampun, ini, sih, setan juga udah nyerah godain kamu, Mas.” Senyum wanita itu antara menghina dan merasa sebagai pemenang.

“Iya, Nita, iya, biar kamu puas, godaan kamu lebih memikat daripada godaan setan, tolong jangan pergi.” Aziz menahan tangan Anita.

“Oke, Mas,” jawaban Anita tidak jelas. Entah apa yang dia iyakan.

Tanpa rasa malu sama sekali, Aziz memeluk tubuh molek Anita sekuatnya, takut mantan yang kini ia anggap sudah jadi kekasih pergi lagi.

“Mas, lepasin, aku nggak bisa napas!”

“Nggak, nanti kamu pergi!” Perlahan-lahan Aziz mendorong tubuh Anita terus-menerus ke belakang.

Hingga pada akhirnya mereka terhenti di tepi ranjang yang sama. Pengusaha skin care itu terjatuh di kasur dengan sprei dan selimut putih.

Tatapan keduanya sama-sama dipenuhi hawa nafsu. Anita tertawa dalam hati karena begitu mudah ternyata membuat Aziz bertekuk lutut padanya.

Lalu dosa yang sama lima tahun lalu itu pun terulang lagi. Helaian baju yang terjatuh di lantai menjadi bukti bahwa keduanya sama-sama tak tahu malu dan sedang menabur karma di kemudian hari.

Tidak ada kesenangan haram yang tidak mendapat balasan. Apalagi jika membuat air mata seorang hamba yang taat sampai harus jatuh dan menahan sesak di dada. Kedua pasangan tanpa ikatan pernikahan itu sama-sama mereguk kenikmatan semu hingga tak tahu waktu.

“Ya ampuuun udah sore aja.” Anita melirik arloji yang jatuh di atas lantai.

“Emang mau ke mana? Bukannya kamu, bos, ya?” Pancaran mata Aziz kini penuh dengan kebahagiaan setelah bersama dengan kekasihnya.

“Kayaknya aku ada janji, deh, Mas, sama orang. Aku pergi duluan, ya.” Anita memakai bajunya cepat-cepat.

“Aku antar, ya.”

“Nggak usah, pulang sana ke rumah, aku bisa balik sendiri” Selesai, Anita hanya perlu menyisir rambutnya saja. “Bye, Mas, nanti aku telpon.” Terburu-buru wanita penggoda itu pergi dan memakai hellsnya.

Aziz tersenyum lebar sekali. Selama lima tahun lebih baru kali ini ia merasa bahagia yang berlipat ganda. Lebih parahnya ia dapatkan dari perempuan lain. Karena ia masih merasa melayang, Aziz pun memejamkan mata. Lalu tak terasa detik berubah menjadi menit serta jam dan ketika ia bangun, hari sudah jam sepuluh malam saja.

“Hah, Anita.” Nama itu yang pertama kali ia ucapkan. “Oh, iya, dia udah pulang.” Sesaat lelaki pengecut itu lupa sudah punya anak istri.

Dengan santai ia mandi dan mengguyur tubuhnya dengan air hangat. Berpakaian sejenak dan merapikan diri lalu check out meski belum sampai batas waktu.

Tempat yang ia tuju pertama kali yaitu rumah makan karena perutnya merasa lapar. Perlahan-lahan kesadaran Aziz datang sepenuhnya dan ia teringat tadi pagi meninggalkan Haira, Yoga, serta ibunya dalam keadaan tak sadarkan diri.

Aziz melihat arloji sudah jam sebelas lewat. Saat ia hidupkan ponsel, rentetan pesan masuk. Banyak sekali dari Haira. Tapi pesan yang ia baca pertama kali justru dari Anita. Mereka berdua berbasa-basi layaknya anak baru mengenal cinta.

“Mama harus operasi pasang ring,” gumam Aziz ketika baru saja membaca pesan dari istrinya. Ada banyak keluhan dan permohonan. Tapi hati itu serasa membatu.

Meski demikian lelaki tersebut tetap mengarahkan mobil ke rumah sakit tempat ibunya dirawat. Tak ia tanya istrinya sudah makan atau belum. Apalagi menanyakan keadaan Yoga.

“Haira,” ucap Aziz ketika membuka kamar tempat ibunya dirawat.

“Mas, kamu dari mana, kenapa jam segini baru pulang?” Mata Haira sudah terlihat sembab.

“Ada rapat di luar kota, ini juga baru selesai dan langsung ke sini. Ibu gimana?”

“Ya, seperti di pesan tadi, Mas, Ibu harus operasi. Haira belum bisa ambil keputusan, soalnya—”

“Kamu gimana, sih? Kan, Mas, udah bilang ambil aja keputusan sendiri. Ini soal Ibu, loh, Haira. Mikir donk!” Aziz bersuara cukup lantang.

“Mas, pelan-pelan, nanti Ibu bangun,” ucap Haira sambil memberi isyarat diam. “Haira nggak bisa ambil keputusan soalnya biaya pasang ring jantung mendekati enam puluh juta, Mas, dan pasangnya juga nggak satu aja. Di ATM juga kalau ada uang, kan, nggak bisa tarik sekaligus.” Wanita itu tetap sabar meski baru saja dihardik oleh suaminya.

Aziz terdiam mendengar angka yang disebutkan oleh istrinya. Pekerjaannya memang bagus, gajinya memang tetap. Tapi uang sebanyak itu ia tidak punya. Menjual mobil pun rasanya tidak akan bisa cepat.

“Mas,” panggil Haira perlahan.

“Bisa diem, nggak. Mas lagi mikir dapat uang dari mana?” Memerah wajah lelaki itu. Beberapa jam lalu ia bahagia, dan kini Aziz sudah pusing lagi. Ponselnya kembali bergetar, tapi Aziz abaikan.

“Emas kamu ada, Haira, setahu Mas kamu punya simpanan.”

“Ada, Mas, tapi nggak banyak, kalaupun diuangkan paling dapat 10 jutaan aja.”

“Ya udah, besok kamu jual dulu, sisanya Mas pikirin. Haaah, ada aja masalah, udah tua juga.” Aziz menyugar rambutnya.

Dalam hati Haira istighfar karena pertama kali melihat suaminya kasar dengan ibu sendiri. Lelaki itu mengeluarkan ponsel lalu setelah itu menuju kamar mandi.

Beberapa kali ponsel suaminya bergetar hingga membuat Haira penasaran. Dibukalah pola kunci yang ia ketahui. Hal pertama yang Haira temukan adalah chat mesra antara Aziz dengan nomor yang belum disimpan. Seketika denyut jantung Haira bedebar luar biasa.

Bersambung …

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUMPAH PELAKOR    29 Luka yang Tak Terlihat

    Selang infus menancap di pergelangan tangan Haira. Sementara detak jantungnya terekam di layar monitor kecil di sisi ranjang. Dokter mengatakan kandungannya selamat, untung belum terlambat. Tapi luka yang sebenarnya tak terlihat oleh hasil pemeriksaan medis mana pun.“Napasnya sudah lebih stabil sekarang, Ibu Haira,” ujar perawat sambil mengganti kantong infus yang hampir habis. “Harus banyak istirahat. Jangan stres dulu ya demi si kecil.”Haira hanya mengangguk pelan. Matanya sembab, tetapi sudah tak ada air mata tersisa. Hati yang patah tak selalu menjerit bahkan kadang hanya diam demi menahan sakit.Di luar ruangan, Aziz berdiri terpaku. Ia sudah datang sejak tadi pagi, tapi belum juga masuk. Tangannya gemetar, matanya merah karena kurang tidur. Tapi bukan itu yang paling menyiksa. Bukan rasa bersalah yang menghantui tapi pikirannya masih tertuju pada Anita.“Masuk,” ucap dokter yang keluar dari ruang perawatan. “Bapak suaminya, bukan? Dia butuh dukungan, Pak Aziz. Tapi tolong jang

  • SUMPAH PELAKOR   28

    Di ballroom Museum Kebudayaan Nasional, Rusyana berdiri di podium dengan gaun biru gelap berkerah tinggi. Wanita itu terlihat anggun dan mencuri perhatian. Ia sedang membuka diskusi panel tentang keterlibatan perempuan dalam reformasi transparansi bisnis sektor publik.“Korupsi tidak hanya merusak angka, tapi juga menghancurkan wajah-wajah keluarga,” ucap Rusyana di hadapan diplomat, aktivis, dan tokoh media yang hadir.Tepuk tangan menggema. Di antara para hadirin, satu reporter investigasi bernama Reza Halim mencatat bukan hanya kata-kata Rusyana, tapi ekspresi dan gestur tubuhnya yang menyimpan lebih banyak misteri lebih dari sekadar pidato.Usai acara, Rusyana melangkah menuju ruang privat lantai atas. Di dalam, asistennya sudah menunggu dengan sebuah folder berisi laporan keuangan grup milik Darmadi.“Transfer ke akun Anita Savitri. Dua kali dalam sebulan. Total dua miliar.” Rusyana membuka halaman pertama.“Termasuk pemesanan suite hotel atas nama pihak ketiga.” Asistennya menun

  • SUMPAH PELAKOR   27

    Waktu melambat di ruang pemulihan. Monitor di sisi tempat tidur menampilkan detak jantung yang stabil, lembut, serta teratur. Tanda bahwa prosedur berhasil. Namun di luar tubuh yang tenang, dunia masih bergemuruh di sekitar Haira.Wanita itu duduk di kursi yang sama, jari-jarinya tak lagi menggenggam ponsel, melainkan tangan Ibu Mia yang kini lebih hangat dari pagi tadi. Ia menatap wajah yang sudah dikenal selama beberapa tahun lamanya. Wajah Haira menyimpan rasa syukur yang tak sempat ia ucapkan.“Terima kasih, Bu, sudah bertahan, sekarang cepat sadar ya, biar kita bisa pulang.”Langkah kaki pelan terdengar dari lorong luar. Seorang perawat masuk membawa laporan pasca operasi, tersenyum sambil meletakkan map di meja kecil.“Pasien stabil. Tapi perlu observasi dua hari. Pastikan tidak terlalu banyak pengunjung, ya, Mbak Haira.”Haira mengangguk cepat. “Iya, Mbak. Saya pasti menjaga ibu dengan baik.”Perawat itu kemudian keluar. Lalu di saat yang bersamaan ponsel Haira bergetar.[Giman

  • SUMPAH PELAKOR   26

    Rumah Sakit Harapan Sejahtera pagi itu penuh sesak. Lorong-lorong dipenuhi pasien yang duduk menunggu giliran, beberapa di kursi roda, sebagian lagi bersandar pasrah di dinding.Bau khas rumah sakit yaitu campuran antiseptik, alkohol, dan obat-obatan menguar di udara, dan menusuk hidung tetapi juga membawa rasa aman yang membuat diri merasa tenang.Haira menggenggam tangan Ibu Mia erat-erat saat mereka duduk di ruang tunggu kardiologi. Ibu Mia mengenakan kerudung abu-abu dan jaket tipis, wajahnya tampak pucat tapi tetap tersenyum.“Kamu sudah kasih makan Yoga, kan?” tanya Ibu Mia pelan.“Sudah, Bu. Ima juga janji mau ajak dia main sepeda sore nanti,” jawab Haira sambil tersenyum, meski matanya tak bisa menyembunyikan rasa cemas.“Ima itu baik, ya. Tapi kamu jangan terlalu merepotkan dia.”“Nggak repot, Bu. Yoga juga senang sama Tante Ima.”Suara panggilan dari pengeras suara terdengar. “Pasien atas nama Ibu Mia Suryani, silakan masuk ke ruang 3.”Haira berdiri dan membantu ibunya bang

  • SUMPAH PELAKOR   25

    Haira berdiri di ambang pintu, tubuhnya berada dalam balutan mukena. Pagi itu, aroma kopi hitam buatan Aziz tak lagi menghangatkan ruangan. Haira tahu, begitu pula dengan suaminya, suasana memang sangat tidak bisa diajak berkompromi. Tapi keduanya memilih diam, dan tak mau saling menyapa terlebih dahulu.Di sudut ruang makan, Ibu Mia mengaduk teh hangatnya yang sudah dingin. Tangan tuanya gemetar perlahan, bukan karena usia, tapi karena kesunyian yang tiba-tiba tercipta di dalam rumah. Tatapan mata Ibu Mia berpindah dari Haira ke Aziz, lalu kembali ke cangkir teh yang tak sanggup ia minum.“Apa kalian berdua baik-baik saja?” Suara wanita tua itu terdengar serak.Semakin lama tubuh rapuhnya semakin tidak sehat saja. Sejak Anita mengakui perselingkuhannya dengan Aziz, tidak ada satu hari pun yang luput dari memikirkan keadaanya rumah tangga anaknya.Tak ada jawaban. Hanya langkah Haira yang berbalik perlahan. Wanita itu memilih kembali ke kamar. Aziz menunduk, memperhatikan garis retak

  • SUMPAH PELAKOR   24

    Aziz memarkir mobil miliknya di halaman rumah. Genangan air sisa hujan di pekarangan memantulkan cahaya lampu dari beranda. Udara segar menyeruak ke dalam hidungnya saat ia membuka pintu mobil, bersama dengan aroma yang masih menempel di bajunya.Aroma parfum mahal Anita dan sedikit jejak makanan yang tadi mereka pesan. Aziz sedikit terhuyung karena sampanye yang ia minum . Lebih menyedihkan dan sialnya, bukan dia yang membayar makan malam itu.Anita menggesek kartunya dengan senyum menggoda, seolah membayar tagihan hampir delapan ratus ribu rupiah itu adalah hal kecil. Bagi wanita seperti Anita, mungkin memang iya. Tapi bagi Aziz, itu adalah tamparan. Tamparan lembut dari selingkuhan yang sukses menggores harga diri lelakinya.Aziz menatap pintu rumah yang tertutup rapat. Ia menggertakkan gigi, menahan emosi yang sudah mendidih sejak tadi. Uangnya tipis, mobilnya perlu perbaikkan, dan sekarang wanita yang seharusnya ia ratukan justru membuatnya merasa hina.Lelaki tak tahu diri itu bu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status