Bagian 53Sidang kedua antara Haira dan Aziz kembali digelar di Pengadilan Agama, dengan agenda utama pembahasan tuntutan harta bersama atau gono-gini. Ruang sidang terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Di antara dua pihak yang pernah saling mencintai kini hanya tersisa perasaan asing saja.Majelis Hakim membuka sidang dengan menyampaikan bahwa perkara telah memasuki tahap pembagian harta bersama sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Hakim mengutip Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya Pasal 35:“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.”Pengacara Haira berdiri, mengenakan jas hitam dan membawa map berisi dokumen-dokumen pendukung. Dengan suara tenang dan tegas, ia menyampaikan.“Yang Mulia, klien kami mengajukan pembagian harta bersama berdasarkan ketentuan hukum. Selama pernikahan, tidak pernah dibuat perjanjian pisah harta sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan. Maka, seluruh aset yang diperole
Aziz duduk di ruang rapat, wajahnya terlihat tegang. Di hadapannya, dua direktur dan satu auditor hukum membacakan hasil investigasi. Bukti-bukti sudah dikumpulkan yaitu, dokumen manipulatif, transaksi yang tak sah, dan tanda tangan yang meski dipalsukan tetap berada di bawah tanggung jawabnya sebagai kepala divisi“Saudara Aziz,” ucap direktur utama, “kerugian perusahaan mencapai angka yang tidak bisa kami abaikan. Jika dalam waktu satu bulan Anda tidak bisa mengganti dana sebesar angka yang tertera, kami akan menyerahkan kasus ini ke ranah pidana.”Aziz menunduk. “Saya akan cari jalan. Saya akan ganti, semuanya, tolong beri saya waktu.”“Baik,” jawab auditor. “Kami akan siapkan surat pernyataan. Anda tandatangani hari ini.”Aziz mengangguk. Ia tak punya pilihan lain, bahkan temannya kini telah kabur ke luar negeri membawa semua keuntungan tanpa membagi padanya sedikit pun.Malamnya, ia pulang ke rumah dengan langkah berat. Rumah itu sunyi sekali sejak Haira dan Yoga tidak ada di san
Di restoran itu, Anita duduk mengenakan blus hitam sederhana. Wajahnya terlihat pucat sekali meski ia tetap berusaha menjaga penampilannya. Akhirnya Darmadi datang, mengenakan jas abu-abu dengan ekspresi datar. Malam itu, Rusyana sedang berada di luar negeri untuk urusan bisnis, dan Anita tahu, ini satu-satunya celah yang bisa ia manfaatkan.Pelayan menyajikan air putih lalu meninggalkan mereka berdua. Anita membuka percakapan dengan suara pelan, nyaris memohon demi harga dirinya yang sudah hancur.“Terima kasih sudah mau datang, Om. Nita tahu Om sibuk, tapi Nita benar-benar nggak sanggup bayar semua itu.”Darmadi menyandarkan tubuhnya. Ia menatap Anita dengan sorot mata dingin.“Kamu pakai uang itu untuk bisnis, untuk gaya hidup. Sekarang kamu minta pengertian?”“Tapi itu juga atas saran Om. Katanya ada bagian untuk Nita di sana, nyatanya zonk,” Anita mengeluh. Rasanya seperti kena tipu bisnis bodong.Darmadi mengangkat alis. “Lalu kamu mau apa? Minta penghapusan utang?”Anita menata
Rumah mewah Anita meski ramai orang terasa sepi baginya. Tirai-tirai panjang dibiarkan terbuka, bunga di ruang tamu masih berisi rangkaian duka cita dari rekan bisnisnya, tapi aroma bunga segar tak mampu menutupi kekosongan yang merayap di hati Anita.Ia duduk di sofa ruang tengah, mengenakan pakaian hitam sederhana. Rambutnya diikat asal, wajahnya pucat. Di meja depan, foto Bu Sumarni dalam bingkai kayu berdiri dan terus ditatap olehnya.Kemudian ia menatap layar ponselnya. Sudah lima kali ia mengirim pesan ke Aziz sejak pemakaman selesai.[Ibu sudah dimakamkan. Aku harap kamu datang, Mas. Aku butuh seseorang. Kamu tahu aku nggak kuat sendirian. Kenapa kamu nggak jawab?]Tak satu pun dibalas oleh Aziz.Anita meletakkan ponsel di meja, lalu menyandarkan kepala ke sandaran sofa. Matanya menatap langit-langit. Di rumah sebesar itu, suara orang tahlilan telah selesai. Alita sudah tertidur di kamar atas. Para tamu sudah pulang. Anita hanya ditemani harapan yang tak kunjung datang.Ia meme
Udara di gang kos-kosan Ima terasa lembab, sisa hujan semalam yang meninggalkan aroma tanah basah. Di dalam kamar sederhana itu, Haira duduk bersila di atas kasur, berkas-berkas perceraian tertata rapi di depannya, fotokopi KTP, surat nikah, bukti perselingkuhan, dan surat rujukan dari rumah sakit.Ima menyodorkan map biru dan termos kecil berisi teh hangat. “Mbak, jangan lupa minum, kelihatan pucat banget wajahnya.”“Mbak nggak mau tunda lagi, Ma. Semakin lama, nanti takutnya ada perasaan ingin berdamai, kamu tahu sendiri Mbak gampang kasihan, jadi selagi benci itu masih ada, ya urus secepatnya.”Ima mengangguk, lalu memeluk kakaknya sebentar sebelum Haira beranjak pergi. Yoga ditinggal di rumah. Haira memesan taksi online sesuai janji pertemuan dengan pengacara di kantor hukum.Saat ia berjalan ke ujung gang, sebuah mobil berhenti dan jendelanya terbuka. Suara laki-laki yang cukup dikenali terdengar.“Mbak?”Haira menoleh. Restu duduk di kursi penumpang depan, mengenakan kemeja sede
“Apa maksudnya ini?” Darmadi tertegun.“Aku pikir kamu perlu diingatkan siapa yang paling bisa menyentuh hidup Anita dari arah yang tak terduga, selain ibunya tentu adiknya.” Rusyana tersenyum penuh kemenangan.“Rusyana, jangan libatkan anak kecil.” Darmadi meletakkan jam tangan pemberian istrinya di meja.Rusyana mengelus rambut Alita pelan, “Mbak Anita akan baik-baik saja, ya, Sayang. Selama Om Darmadi membuat pilihan yang tepat,” bisiknya tajam dan menyakitkan.Alita menoleh dan tersenyum. Belum 24 jam ia di sana tapi perlakuan Rusyana padanya cukup baik. Gadis kecil itu belum mengerti permainan yang sedang berlangsung.“Kamu harus pilih, aku atau Anita. Kalau kamu tetap main dua kaki, aku pastikan Alita akan jadi pintu masuk ke kehancuran Anita. Sekolahnya, masa depannya, bahkan keselamatannya and remember semua barang bukti korupsi kamu tinggal aku beberkan sama KPK.”Darmadi menatap Rusyana, wajahnya mulai pucat. Jika ia dijuluki serigala putih dalam jagad bisnis, maka istrinya