“Baiklah ....” Atensi Sun teralihkan, dia menoleh menuju Alexa dan Jessie yang tampak lekat mengamati penampilannya dari atas ke bawah. Tentu saja di benak mereka masih ada rasa terkejut dan tak percaya, gadis yang terlihat polos dan lugu di hadapan mereka ini adalah wanita dari lelaki yang merupakan incaran banyak kaum hawa di luar sana.
“Tolong beri tahu kami, siapa namamu?” tanya Alexa.
“Sun Flurry McRay.” Sun memperkenalkan dirinya dengan seadanya. Jika ditanya nama, maka dia akan menjawab dengan sopan. Namun, agaknya itu merupakan masalah bagi Alexa dan Jessie yang tampak langsung memicingkan mata, terusik.
“Kau tidak akan bisa bertahan di sini jika caramu memperkenalkan diri seperti itu, Nona McRay.”
“Apa aku kurang sopan?”
“Sudah sopan, tapi kurang diiringi gerakan.” Penuturan Jessie membuat Sun mengerutkan kening, tak mengerti. “Kau lihat penampilan kami? Ini bukan hanya sekadar penampilan, namun kami membawa tata perilaku yang sepadan dengan keanggunan gaun ini.”
“Pertama, kami akan menunjukkan di mana kamarmu. Ikuti kami.” Alexa dan Jessie melangkah lebih dulu, diikuti Sun di belakangnya. Mereka pergi menuju ruangan yang berada di bagian depan lantai dua, sebuah kamar yang membuatmu bisa melihat langsung halaman depan Kediaman Melrose.
Kamar itu jauh lebih luas dari kamar Sun di rumahnya. Desainnya kental dengan hunian orang Eropa, pada langit-langit juga terdapat lukisan besar dan ruangan kamar itu juga diisi dengan beberapa furnitur khas Eropa pada abad 18.
“Ruangan ini terlihat klasik dan kuno,” gumam Sun ketika kakinya berhasil melangkah masuk.
“Seluruh ruangan di rumah ini memiliki desain seperti ini. Bos kami memiliki darah Eropa asli dan dia menjaga budayanya di tanah ini,” tutur Alexa.
“Karena itu kalian berpakaian seperti orang-orang kerajaan Eropa zaman dulu?”
“Iya. Itu peraturan untuk siapa saja yang mau menjadi bagian dari Kediaman Melrose.”
Jessie menuju tirai besar yang menutup jendela ruangan itu. Dengan bantuan Alexa, dia membuka tirai dan membuat seisi ruangan langung terang benderang. Sun bahkan sampai sempat menutupi matanya, retinanya terkejut saat ruangan yang remang itu tiba-tiba saja jadi sangat terang.
“Kami pilihkan kamar ini untukmu agar kau bisa melihat ke luar setiap kali kau ingin,” pungkas Jessie, lagi-lagi terdengar seperti teka-teki bagi Sun.
“Kenapa?”
Alexa menyunggingkan senyum. “Kau akan tahu sendiri jawabannya nanti,” jawabnya kemudian kembali pada Sun. “Kau belum memiliki gaun seperti kami, mungkin Noah akan membelikannya nanti.”
“Kenapa kau tidak meminjamkan milikmu padanya, Alexa?”
“Jessie ... apa kau tidak bisa melihatnya?”
Jessie melirik kembali Sun, begitu pula Alexa. Keduanya tampak menahan tawa ketika melihat tubuh Sun. Hal itu membuat Sun kebingungan, dia menelisik tubuhnya jika saja ada hal yang salah sampai membuat Alexa dan Jessie menahan tawa seperti itu.
Beberapa detik berikutnya, baru saja Sun menyadari. Alasan mengapa Alexa berkata seperti itu karena tidak mungkin pakaiannya maupun milik Jessie akan pas jika dipakai Sun.
Tubuh kedua wanita itu tak seberapa tinggi, mungkin kisaran 168 cm. Dari panjang saja, jelas akan kebesaran untuk tubuh Sun yang tingginya hanya 160 cm. Belum lagi melihat bagaimana montoknya tubuh mereka dengan payudara yang besar dan kencang dan bokong yang mungkin seksi.
“Tidak masalah, Nona McRay. Kau bisa memakai gaun milikmu sampai Noah memberimu pakaian yang layak di sini.” Begitu akhirnya kalimat yang Jessie keluarkan.
Sun menurutinya kemudian menaruh tas berisi pakaiannya, dia duduk di pinggiran kasur sementara Alexa dan Jessie masih berada di depan jendela.
“Nona McRay ...,” panggil Alexa mengalihkan atensi Sun, “kenapa kau mau ikut Noah ke tempat ini?”
Sun mengerjap beberapa kali. “Kenapa kau bertanya seperti itu, Nona Alexa?”
“Kau tahu alasan mengapa kami terkejut saat Noah membawamu kemari?” tanya Alexa dan Sun hanya diam tanpa tahu mau menjawab apa, “itu karena kami tahu jika Noah tidak tertarik memiliki wanita.”
“Tempat ini adalah Kediaman Melrose, tempat para lelaki Little Boy menyimpan wanita mereka. Ada 17 wanita di sini, mereka bisa bergelar sebagai wanita simpanan, istri kedua ataupun wanita yang hanya digunakan untuk memuaskan hasrat saja. Dari sekian banyak lelaki yang ada di Little Boy, Noah adalah yang paling menarik perhatian kami ...,” timpal Jessie panjang lebar.
“Kau adalah wanita pertama yang Noah bawa ke sini setelah 3 tahun lamanya.”
Sun terdiam, mendengarkan dan menelan baik-baik cerita yang dikatakan Alexa dan Jessie tentang Noah dan rumah ini.
“Apa Noah tidak pernah membawa wanita ke sini sebelumnya?” tanya Sun kemudian.
“Pernah, tiga tahun lalu. Dia tinggal di kamar ini. Sebenarnya, dia masuk atas keinginannya dan keluar atas keinginannya sendiri. Aku agak kasihan dengannya,” tutur Alexa.
“Kenapa dia keluar? Apa Noah sudah bosan dengannya?”
“Sejak awal pun, Noah tidak terlihat tertarik dengannya.” Jessie tertawa kala mengatakan hal itu, antara tawa kasihan dan mengejek.
“Nona McRay, bukankah Noah itu sangat tampan?”
Begitu ditanyai hal seperti itu, Sun hanya tersentak dan mendadak gugup.
Mengenyampingkan fakta bahwa Noah adalah sosok tak berperasaan, parasnya itu sebenarnya adalah daya tarik yang bisa mengampuni sifatnya.
Noah memiliki tubuh yang kurus dan tinggi, memakai kemeja putih tak berdasi dan selalu membiarkan kancingnya terbuka satu. Mantel hitam yang panjang dan lembut itu hanya disampirkan di bahunya,penampilannya disempurnakan dengan celana hitam panjang dan sepatu kulit yang gelap juga warnanya.
Lalu soal paras, jangan ditanya. Noah adalah lelaki dengan wajah paling tampan yang pernah Sun temui. Wajahnya berbentuk permata dengan rahang yang tegas dan dagu agak lancip. Matanya selalu terlihat sayu dengan iris abu-abu. Alisnya agak tebal dan menukik, menambah kesan tatapan tajam yang dingin seperti milik elang. Hidungnya kecil dan mancung, dibentuk dengan indah.
Rambut cokelat gelapnya itu memiliki poni belah pinggir ke kiri, dipadukan dengan potongan bawah yang cukup tipis. Sementara rambut atasnya dibiarkan memanjang sampai menyentuh telinga dan hanya menata rambut yang sekiranya akan mengganggu penglihatan dengan minyak rambut. Lalu bibirnya yang mungil dan tipis, selalu melengkung seakan kaku dan hanya bisa begitu saja.
Bagaimana? Sudah bisa bayangkan keindahan fisik seorang Noah Bellion? Maka sudahlah bisa ditebak apa yang akan menjadi jawaban Sun.
“Y-ya ... dia tampan.” Jawaban polos Sun menarik sudut bibir Alexa ke atas.
“Karena dia tampan dan bergelimang harta, banyak wanita yang ingin memilikinya. Termasuk wanita yang aku katakan tadi. Dia sepertinya berusaha keras untuk mendapatkan Noah, sampai ngotot mau tinggal di Kediaman Melrose.”
“Kau mau tahu kenapa wanita itu keluar dengan sendirinya, Nona McRay?” Jessie bertanya, mendekat kepada Sun. Tanpa perlu dijawab, bungkamnya Sun sudah menjadi jawaban. Dia ingin tahu.
“Alasannya, karena Noah tidak pernah menemuinya lagi setelah malam itu.” Jessie dan Alexa lagi-lagi tertawa mengejek.
“Tidak pernah menemuinya?”
“Noah tidak pernah menemuinya dan berkunjung ke sini, Noah tidak pernah menghubunginya. Singkatnya, wanita itu diabaikan.”
Sun merengut samar. Tentu saja baginya apa yang dilakukan Noah bukanlah hal yang benar. Tapi entah mengapa, dua wanita di hadapannya ini tampak biasa saja dan bahkan menganggap hal itu lucu. Seakan-akan mereka sudah menebak itu akan terjadi.
“Maka dari itu, Nona McRay ...,” jeda Alexa, turut mendekati Sun dan Jessie, “kami ingin tahu kenapa kau mau dibawa Noah ke tempat ini. Kami akan kasihan jika melihat gadis sepertimu diperlakukan Noah dengan tidak pantas seperti wanita-wanitanya sebelumnya.”
“Aku datang ke sini karena mendiang ayahku,” ungkap Sun dengan nada lirih, menghentikan tawa Alexa dan Jessie.
“Apa ayahmu punya urusan dengan Noah?” tanya Jessie.
“Katanya, ayahku memiliki utang yang sangat besar yang tak mampu dia bayar sampai kematiannya datang. Noah memintaku sebagai bayarannya.”
Jessie dan Alexa termangu, tak menyangka jika alasan kedatangan Sun akan mengarah ke hal yang menyedihkan dan agak disayangkan itu.
“Jadi karena utang, ya ...,” gumam Alexa pelan dan penuh pertimbangan, “aku agak kaget karena biasanya gadis-gadis yang diambil sebagai bayaran utang sepertimu akan berakhir menjadi budak atau dijual, tapi Noah malah membawamu ke Kediaman Melrose.”
Sun diam dan tak memahami maksud Alexa, sementara Jessie malah menyenggol lengan Alexa sembari tertawa. “Astaga, Alexa ... kau tidak paham?” tanyanya, membuat Sun penasaran.
Alexa langsung mengerti, lalu ikut tersenyum mencurigakan seperti Jessie. “Ah ... aku paham sekarang,” tuturnya penuh misteri.
“Paham apa?” Sun pun tak tahan jika terus diam. Dia langsung bertanya, tapi jawaban yang Alexa berikan malah mengejutkannya.
“Sudah jelas, Nona McRay. Noah menyukaimu, dia jatuh cinta padamu.”
***
Saat ini, jam menunjukkan pukul sembilan malam. Sun belum sama sekali merasa mengantuk.
Padahal seharian ini, dia dibawa berkeliling area Kediaman Melrose oleh Alexa dan Jessie. Dia mengitari area rumah yang sangat luas, kakinya sampai terasa pegal.
Tapi anehnya dia belum merasa mengantuk, mengabaikan fakta bahwa dia belum beristirahat sedikit pun sejak kedatangannya dari tempat yang jauh.
Sun berdiri di depan jendela kamarnya, jendela yang amat besar sampai ia bisa melihat langit berbintang di luar sana. Berlama-lama di sana, pikirannya melanglang buana. Sun kembali mengingat ucapan Jessie siang tadi.
“Noah menyukaiku ...?” ujarnya tanpa sadar, penuh keraguan. Dipikirkan berapa kali, ini bukan hal yang masuk akal. Memangnya jatuh cinta pada pandangan pertama itu ada?
Tapi sebelum itu, hal yang perlu Sun cari tahu lebih dulu adalah tentang siapa Noah sebenarnya.
Dia bertemu Noah dua hari yang lalu, dan secepat itu dirinya sudah berada di tempat yang jauh dari tanah kelahirannya. Ini bukan hal yang baik-baik saja mengingat Sun tidak pernah pergi terlalu jauh sebelumnya.
Karena itu, agar bisa bertahan hidup, Sun akan mencari tahu siapa itu Noah Bellion, orang yang membawanya keluar dari zona nyaman dan amannya selama belasan tahun.
“Huh ... tapi bagaimana caranya?” Pertanyaan itu mengacu pada, bagaimana Sun akan bertahan hidup di tanah asing ini.
Kendati dirinya memiliki informasi tentang Noah, dan memiliki teman yang ramah seperti Alexa atau Jessie. Pada akhirnya, Sun sendirilah yang harus melindungi dirinya. Dan dia tidak percaya diri akan hal itu.
“Memang apa yang bisa dilakukan gadis desa sepertiku? Melindungi diri saja aku tidak tahu caranya,” ujar Sun dengan suara lirih. Dia memandang sedih ke luar jendela seraya menempelkan wajah merengutnya ke permukaan kaca.
Tak lama, dia melihat mobil hitam memasuki pekarangan rumah besar itu dari kejauhan. Mobil itu adalah milik Noah, pikir San. Dan dibenarkan saat sosok Noah keluar dari sana.
Sun langsung menjauhkan diri dari kaca. Noah kembali dan itu agak membuatnya lega sebab sebenarnya, Sun tidak begitu tahu apa yang harus dia lakukan di sini dan apa gunanya dia berada di tempat ini.
Sun berlari menuju kaca, melihat kembali penampilannya. Kala ia menemukan celah, dia segera memperbaikinya dengan menyisir kembali rambut pirang lurusnya dan membenahi gaun malamnya yang sedikit lusuh.
Lalu Sun tiba-tiba saja mematung.
“Apa aku membenahi diriku untuk menyambutnya ...?” dia bertanya pada keheningan.
Sekonyong-konyong ia merasa terkejut, pintu kamarnya dibuka dan menampakkan beberapa orang yang masuk dengan membawa beberapa rak pakaian wanita.
Sun membulatkan matanya.
Kala rombongan pelayan rumah itu selesai dengan tugasnya, barulah sosok Noah memasuki kamar dengan raut wajah yang tetap dingin seperti biasa.
Tampaknya memang seperti itulah kepribadian Noah yang tercermin dari wajahnya.
“Ini adalah pakaianmu,” ujarnya tanpa berbasa-basi. Sementara Sun masih dibuat menganga dengan banyaknya pakaian yang Noah belikan untuknya.
Mulai dari gaun bergaya Victoria seperti milik Alexa dan Jessie, lalu gaun-gaun lainnya bergaya feminin yang cocok sekali dengan seleranya.
“Berapa banyak uang yang kau habiskan untuk membeli ini?” tanya Sun begitu saja.
“Tidak perlu memikirkannya,” Noah menjeda dan menarik sesuatu dari saku mantelnya, “ini milikmu.” Noah membelikan Sun sebuah ponsel pintar juga.
“Untukku?”
“Aku harap kau bisa tinggal dengan nyaman di sini.” Setelah mengatakan itu, Noah bergegas pergi.
Namun dengan cepat, Sun menghentikannya dengan berkata, “Apa kau benar-benar ingin menjadikanku sebagai wanitamu?”
Pertanyaannya menghentikan langkah Noah, tapi itu tak membuat si lelaki lantas berbalik dan menatapnya.
Noah memunggungi Sun, cukup lama. Membuat Sun hampir menyerah dan melupakan pertanyaannya sampai Noah akhirnya menjawab.
“Memangnya kau mau menjadi wanitaku?”
Sun termangu. Matanya membulat dengan sedikit semburat merah di sekitar pipi. Dia tahu ini tidak bisa diterima logikanya, tapi tetap saja pertanyaan Noah membuat Sun tersipu.
Seakan lelaki itu mengenyampingkan fakta bahwa Sun adalah tebusan atas utang yang ditagihnya, Noah malah bertanya dengan sopan seakan meminta izin untuk menjadikan Sun sebagai miliknya.
Sun hanya bingung, dan untuk apa Noah bertanya sedangkan jawabannya sudah jelas?
Jika Sun memang tidak mau menjadi wanitanya, setidaknya Noah sudah tahu jika Sun menjadi wanitanya karena utang yang keluarganya punya.
“Kenapa kau bertanya seperti itu?” tanya Sun, tanpa menjawab pertanyaan Noah sebelumnya.
Noah tak kunjung menunjukkan wajahnya, membuat Sun seakan berbicara dengan punggungnya yang sekukuh dinding.
Sun tidak tahu ekspresi seperti apa yang Noah pasang. Kendati dia tahu pasti itu tak akan jauh dari mata sayu dan bibir yang selalu membentuk garis horizontal di bawah hidungnya, Sun tetap saja merasa penasaran. Dia merasa tidak nyaman jika mereka berbicara dengan posisi seperti ini.
“Noah ....” Sun berjalan ke depan Noah, demi bertemunya kedua pandangan mereka. Namun belum sempat ia melihat wajah Noah dengan baik, lelaki itu bergerak spontan meninggalkannya.
“Selamat malam,” ujar Noah dan dia langsung meninggalkan kamar Sun.
Sun memandang punggung Noah, sampai lelaki itu menghilang dari balik pintu ganda yang lumayan besar. Bahkan sampai Noah meninggalkan Kediaman Melrose, Sun hanya berdiri tanpa menghentikannya semata-mata untuk bertanya.
“Apa kau akan kembali lagi besok?”
-Bersambung-
Hari berganti hari, tanpa sadar dia sudah genap melewati tujuh fajar dan tujuh senja di tempatnya menetap saat ini. Seminggu berlalu, Sun disibukkan dengan mempelajari Kediaman Melrose dan peraturan-peraturannya. Memang hal baru yang tak biasa ia lakukan. Sun belajar tentang cara bersikap sopan dan anggun ala wanita kerajaan kendati dirinya berasal dari desa yang cukup terpencil. Sun tidak tahu apa maksudnya. Alexa tidak pernah mengatakan jika peraturan yang dilakukannya adalah lampu hijau untuk bisa menuju ke pelaminan bersama lelaki Little Boy kesayangannya, tapi mematuhi peraturan Kediaman Melrose adalah cara yang sangat membantu untuknya bertahan di sisi lelakinya. Sun hanya melakukannya begitu saja meski tak jelas akan jadi apa dia di tempat ini. Seperti pagi yang sudah-sudah, Sun akan menikmati paginya dengan minum teh dan berbincang bersama wanita-wanita yang ada di sana. “Selamat pagi, Sun!” Sun mulai terbiasa dengan suasana yang ada d
“Apa kau sadar dengan apa yang kau tanyakan barusan, Sun?”Sun menatap resah, khawatir ucapannya akan membuat Emma marah dan merasa tersinggung. “Maaf, Nona. Aku tidak seharusnya bertanya seperti itu,” ujarnya dengan panik dan berharap Emma tidak terlanjur salah paham akan ucapannya. Tapi kecemasan Sun tak berarti saat tiba-tiba saja Emma tertawa.“Hahaha ...!”Suara tawa itu membuat Sun memasang wajah bingung. Bukan hanya ekspresi belaka, dia benar-benar bingung saat ini.Emma, selaku dalang dari suara tawa yang lepas itu pun berkata, “Tentu saja aku sangat senang, Sun!” Butuh waktu beberapa detik sampai Emma benar-benar berhenti tertawa. Sun tidak tahu di mana letak lucunya sampai gadis yang berusia tak jauh darinya itu tertawa terpingkal seperti ini.Setelah Emma selesai tertawa, dia diam sejenak. Emma mengambil napas lalu mengembuskannya dengan cepat. “Bukankah menyenangkan rasanya kalau punya banyak uang?” tanya gadis itu pada Sun yang terdiam tak
Sun dan Emma melanjutkan kegiatan jalan-jalan mereka di hari yang cerah.Hari yang cerah membawa kebahagiaan bagi semua orang. Jalanan French Quarter sangat ramai pagi ini. Banyak orang melewati jalanan yang juga dilewati Sun dan Emma. Entah mengapa melihat kesibukan lautan manusia itu menjadi hiburan tersendiri bagi Sun dan Emma.“Sun, kau harus melihat ini!” Sun belum selesai menikmati satu hal, dan Emma dengan sangat bersemangatnya mengajak Sun untuk melihat hal lain. Ketimbang Sun yang seorang pendatang baru di New Orlean, Emma yang menjadikan kota pelabuhan itu sebagai tempat kelahirannya malah terlihat lebih bersemangat menelusuri pusat hiburan di kota itu.Emma mengajak Sun untuk mengunjungi jalanan yang terkenal dengan deretan toko-toko yang menjual banyak hal. Tentu saja, karena French Quarter adalah jantung hiburannya New Orleans dan tentu saja tempat itu adalah tempat yang banyak didatangi wisatawan asing luar ataupun dalam
Noah terdiam lama, bibirnya rapat mengatup seakan ada yang merekatkannya. Memang ada, dan itu adalah ucapan Sun yang barusan dilontarkan kepadanya. Gadis dengan surai pirang emasnya itu masih lekat menatap Noah, pun dengan Noah yang melakukan hal serupa. Keduanya bahkan mungkin tak menyadari jika banyak detik berlalu hanya untuk melakukan kontak mata yang tidak tahu apa maksudnya. Sun menjadi yang paling pertama menyadarinya. Dia tidak tahu mengapa ia dan Noah saling beradu pandang untuk waktu yang lama. Setelah ucapannya, Noah tak lagi mau berkata. Dia tahu jika Noah sangat irit bicara, tapi tidak bisakah dia membuka sedikit saja mulutnya untuk merespons ucapan Sun? Atau hanya berikan Sun gumaman saja agar apa yang baru saja dikatakan gadis itu tak terdengar seperti sesuatu yang aneh sampai tidak perlu diberikan respons. Sun jadi merasa sangat malu dan canggung. Tapi itu tak berlangsung lama kala ia mulai berpikir, Noah mungkin saja terdiam karena se
Sekarang sudah malam. Tidak terasa Sun menghabiskan satu harinya bersama Noah. Ini benar-benar tidak pernah ia duga sebelumnya. Saat ini mereka berada di sebuah restoran, tentunya untuk menikmati makan malam setelah seharian hanya berjalan-jalan dan makan pun dari jajanan. Sun harus tetap mengisi tubuhnya dengan nutrisi yang benar, terlalu banyak makan jajanan tidak akan baik untuknya. Itu yang Noah katakan. “Pesan sekarang,” ujar Noah ketika buku menu diberikan kepada mereka. Sun tersenyum senang lalu melihat-lihat menu makanan. Astaga ... hatinya bersuara. Makanan di sana terlihat sangat enak, Sun tidak bisa memilih karena dia menginginkan semuanya. Padahal dia sudah makan banyak jajanan, tapi ketika melihat buku menu di tempat itu, cacing-cacing di perutnya bergejolak hebat seakan dia belum makan dua hari. Sun menggigit bibir bawahnya. Kalau di Melrose, dia pasti tidak diizinkan makan lebih dari tiga menu utama menurut atura
Eliot Redwood. Nama itu amatlah membekas dalam kurun waktu lima tahun terakhir dalam benak Noah. Jika bertanya apakah Noah mengenalnya, tentu saja jawabannya adalah: sangat.Jauh sebelum hari ini, Noah dan Eliot terikat oleh hubungan yang baik dan manis. Kakak dan adik laki-laki? Begitu orang-orang menyebutnya. Kendati tak ada yang menghubungkan keduanya secara sah, dan hubungan itu hanya sebatas sebutan. Tidak disangka, itu menjadi hal yang bisa Noah anggap nyata setelah sekian lama menutup diri dari dunia.Noah menyukai Eliot, dia adik kecil yang manis dan terkadang manja. Eliot pun menyukai Noah, kakak yang dingin namun selalu terlihat keren di matanya. Semua itu indah ketika mereka masih anak-anak, ya ... dunia yang hanya diisi kesenangan itu bukanlah dunia yang akan selamanya mereka tinggali.Ketika beranjak dewasa, pikiran mulai bergerak dan logika mulai melakukan fungsinya. Bagaimana ...? Bagaimana bisa itu terjadi?Bagaimana bisa orang lain itu me
Malam itu, ada yang tak bisa jatuh dalam lelapnya. Berusaha berulang kali menutup mata, tetapi berakhir dengan dirinya yang kembali melihat langit-langit ruangan yang dia tempati. Kedua netra dinginnya sekali lagi melirik ke arah presensi seorang gadis yang nyenyak tak terusik di depan sana, wajah tenang itu yang mampu membuatnya kembali tenggelam dalam ingatan hanya tentangnya. Noah tidak berniat bernostalgia. Tapi ketika dia melihat wajah Sun sekali lagi, kepalanya memutar kembali adegan yang terjadi tiga tahun lalu. Itu bagian saat dia pertama kali melihat Sun di tengah ladang bunga kuning di dataran Vermont yang sejuk. Tiga tahun lalu, Noah Bellion melakukan perjalanan menuju salah satu kota kecil di daerah Vermont, negara bagian Amerika Serikat. Tempat itu bernama Woodstock, kota kecil yang terkenal akan keindahan alamnya yang masih terjaga. Jika bertanya mengapa salah satu eksekutif dari kelompok mafia paling terkenal di New Orleans datang ke tempat terpencil nan asri itu, jaw
Sun membuka mata ketika surya belum terbangun dari ufuknya. Bukan karena kantuknya telah usai, dia masih bisa merasakan matanya sangat berat untuk dibuka lebar tetapi tubuh itu menolak untuk terlelap setelah tidurnya terganggu akibat dinginnya udara. Dia duduk di ujung ranjangnya, terdiam dan mengingat-ingat malamnya. Malam yang biasa, dia selesai menghabiskan jalan-jalannya dengan Noah dan berakhir makan malam berdua. Setelah itu dia kembali dan tak lama memutuskan untuk tidur. Hanya saja, dia ingat sekali kalau semalam dirinya tidak memakai piyama berlengan panjang. Dia hanya memakai gaun tidur tanpa lengan dan mungkin itu yang menjadi alasannya terbangun karena kedinginan. Sun melihat kembali ke ranjang, memandang selimut yang dipakainya semalam. Keningnya mengerut samar. “Apa aku memakai selimut semalam?” tanyanya pada diri sendiri. Seingatnya, Sun sama sekali tidak memakai selimut atau kain apapun untuk membuat tubuhnya lebih hangat. Itu karena dia terla