Share

Chapter 5 : McRay in The Havana

Hari berganti hari, tanpa sadar dia sudah genap melewati tujuh fajar dan tujuh senja di tempatnya menetap saat ini.

Seminggu berlalu, Sun disibukkan dengan mempelajari Kediaman Melrose dan peraturan-peraturannya.

Memang hal baru yang tak biasa ia lakukan. Sun belajar tentang cara bersikap sopan dan anggun ala wanita kerajaan kendati dirinya berasal dari desa yang cukup terpencil. Sun tidak tahu apa maksudnya. Alexa tidak pernah mengatakan jika peraturan yang dilakukannya adalah lampu hijau untuk bisa menuju ke pelaminan bersama lelaki Little Boy kesayangannya, tapi mematuhi peraturan Kediaman Melrose adalah cara yang sangat membantu untuknya bertahan di sisi lelakinya.

Sun hanya melakukannya begitu saja meski tak jelas akan jadi apa dia di tempat ini.

Seperti pagi yang sudah-sudah, Sun akan menikmati paginya dengan minum teh dan berbincang bersama wanita-wanita yang ada di sana.

“Selamat pagi, Sun!” Sun mulai terbiasa dengan suasana yang ada di Melrose. Orang-orang yang ia temui bersikap baik, kendati pada awalnya mereka bersikap sama seperti Alexa dan Jessie yang seakan tak menyangka gadis desa seperti Sun bisa menjadi wanita milik Noah.

Hari ini Sun menikmati sarapannya bersama Alexa dan tiga lainnya. Mereka adalah Emma dan Lucy, dua wanita milik eksekutif Little Boy yang bernama Draven. Lalu ada Catherine, wanita milik Tobias, sekaligus pemimpin di kediaman ini.

“Selamat pagi, Nona Emma.” Emma tersenyum simpul atas jawaban Sun. Mereka berkumpul di satu meja yang sama, lalu memulai sarapan dan acara teh mereka.

Sejak hari pertama, Sun tidak pernah sarapan atau berada di meja yang sama dengan seluruh anggota Kediaman Melrose. Sejauh yang ia tahu, seluruh wanita yang ada di sana berjumlah 17, tapi Sun tidak pernah melihat 17 wanita itu berada di meja sarapan yang sama.

Ada beberapa jawaban yang diberikan pada Sun atas kebingungannya. Yang pertama, mereka tidak mau tinggal di Melrose dan memilih apartemen mewah pemberian lelaki mereka. Yang kedua, mereka sedang membantu pasangan mereka menjalankan beberapa misi. Dan yang terakhir, mereka mungkin pergi karena tak lagi dibutuhkan sang lelaki.

“Sun, apa Noah sudah menghubungimu?” Sebait pertanyaan mengarah pada Sun, membuatnya yang sedang menyesal teh tiba-tiba saja berhenti menelan.

Gadis 19 tahun itu jadi terdiam,  menggenggam cangkir yang ujungnya bahkan masih menempel di bibirnya.

“Sepertinya belum.” Sun meletakkan cangkirnya. Dia tersenyum membalas tatapan Alexa yang mungkin saja mulai mencemaskan nasib Sun kedepannya.

Tinggal di Melrose membuat Sun mengetahui banyak hal yang tak ia ketahui tentang Noah sebelumnya, termasuk apa pekerjaan Noah.

Noah adalah seorang anggota kelompok mafia yang terkenal di New Orleans, dan itu berarti Noah memang bukanlah orang baik. Sun tahu apa itu mafia, kendati selama ini dia mengenal seperti apa cara kerja mereka hanya dari layar televisi dan buku-buku yang ia baca.

Jujur pada kali pertama ia mengetahuinya, perasaan Sun amatlah tidak enak. Dia tidak bisa tidur dengan baik, mencemaskan nasib dirinya terlebih sang ibu yang kini hanya tinggal sendirian di desa.

Sun mengirim kabar pada Karina setiap hari, dan dari sanalah dia tahu jika Karina tidak sepenuhnya tinggal sendiri. Setiap hari ada saja orang asing yang bergantian menjaga dirinya yang tinggal seorang diri.

Noah mengirim orang untuk menjaga Karina, dan itu pun tidak mengganggu sama sekali. Sun sempat tercengang, ternyata Noah memenuhi ucapannya kala itu.

“Apa hubungan kalian baik-baik saja, Sun?”

“Aku tidak tahu, Nona Lucy. Noah mengirimku ke sini untuk hidup di sini, dan aku sudah melakukan apa yang dia mau. Aku juga tidak terlalu berharap dia akan menemuiku.”

Sun yakin dia sudah mengatakan apa yang dia rasa dan pikirkan, tapi entah mengapa rasanya masih ada yang mengganjal.

“Benarkah ...? Kau tidak merindukannya?”

Sun terdiam, menatap Lucy tanpa mampu mengeluarkan kata-kata. Bukan tak bisa, dia hanya tak tahu harus menjawab apa.

Sun yakin sekali jika dia tidak merindukan Noah sedikitpun. Tetapi dia ingat, dirinya bahkan tak sekali atau dua kali bertanya-tanya, mengapa Noah tak kunjung kembali dan menemuinya.

Sun tertawa canggung. “Aku memikirkannya mungkin karena cemas dan takut aku akan berakhir dibuang. Terakhir kali aku berbicara dengannya adalah di malam ketika aku datang ke tempat ini, jadi wajar aku merasa seperti itu.”

Lucy dan Emma manggut-manggut, merasa paham akan apa yang Sun rasakan. Sementara Alexa masih menatap Sun, berusaha membaca apa yang sebenarnya gadis itu rasa. Ya ... Alexa tidak bisa menyangkal perkataan Sun, sebab dirinya pun berpikiran serupa jika Sun sepertinya akan berakhir seperti wanita-wanita Noah sebelumnya.

Alexa mengalihkan tatapannya pada Catherine, dan kebetulan wanita itu juga menatapnya. Agaknya mereka memiliki pemikiran yang sama.

“Sun ... apa kau tidak menyukai Noah?” tanya Catherine, membuat Sun kaget. Jika dia sedang minum, bukan mustahil Sun akan tersedak karena sangat terkejut.

“E-eh ...? Bukankah itu terlalu cepat, Nyonya Catherine?” Sun gelagapan saat akan menjawab pertanyaan Catherine, hal itu membuat Alexa jadi ingin menertawainya namun ditahan.

Wajah Sun memerah. Ya ... wajar saja. Pesona Noah memang tak dapat ditampik, dia bisa membuat seorang wanita jatuh hati dalam sekejap bahkan hanya dengan mengandalkan perawakannya saja.

Meski Sun pun mengakui pesona Noah, namun dirinya merasa sangat ragu untuk menaruh perasaan pada lelaki itu.

Sun menjawab, “Jika dia hanya lelaki biasa, aku mungkin bisa dengan lantang mengatakan bahwa aku men—”

“Memang Noah lelaki yang seperti apa?” Catherine menyela ucapan Sun. “Apa Noah itu bukan lelaki biasa? Dia sama seperti lelaki lainnya, bukan hanya dia saja lelaki yang memiliki sikap dingin seperti itu.”

Sun terdiam, tak mampu menjawab. Yang dikatakan Catherine memang benar, Noah hanyalah lelaki biasa. Setampan apa pun wajahnya, sedingin apa pun sikapnya. Noah hanyalah lelaki biasa yang bisa menginginkan seorang gadis seperti Sun untuk menjadi wanitanya.

Noah bisa jatuh cinta, dan mungkin Sun adalah gadis yang menjadi obyek perasaannya saat ini. Tapi bagaimana dengan Sun? Dia tidak tahu apa yang dia rasakan, dia belum berani untuk mengambil langkah terlalu cepat.

“Apa karena latar belakang Noah?” Alexa bertanya, mengalihkan atensi Sun yang sejak tadi hanya menatap cangkir teh miliknya.

Seakan sudah mengetahui jawaban apa yang akan Sun berikan, Alexa tersenyum. “Aku tidak heran jika jawabannya adalah iya. Kau gadis desa biasa, hidup dengan damai dan besar dengan kasih sayang orang tuamu pasti membuatmu tidak bisa percaya kalau kau akan dibawa memasuki dunia gelap para mafia saat dewasa.”

“Oh, kau juga pernah menceritakan kalau Noah sudah pernah mengunjungi rumahmu tiga tahun lalu, kan?” Emma bertanya. Entah mengapa dia yang sejak tadi sibuk mengunyah kue kering, tiba-tiba jadi tertarik untuk memasuki percakapan.

Sun mengangguk, Emma melanjutkan kunyahannya sembari berkata, “Dia sudah menunggu lama untuk memilikimu, ya ... aku tidak menyangka dia bisa menjadi sesabar itu.”

Sun tidak tahu kebenarannya, dia hanya mendengar cerita dari sang ibu.

Karina mengatakan jika tiga tahun lalu, Noah datang untuk menagih utang yang ayahnya miliki. Noah juga membenarkan hal itu. Lelaki itu bilang jika dia memilih untuk memiliki Sun ketimbang meminta seluruh peternakan dan perkebunan yang menjadi satu-satunya usaha keluarga McRay.

“Ah ... benarkah? Padahal dia bisa bertindak seenaknya dan membawaku paksa hari itu juga.”

“Tidak, Sun,” Alexa menjeda seraya meminta atensi Sun, “dia memikirkan hak-mu sebagai pelajar yang masih harus menyelesaikan pendidikan utamanya. Kendati dia menginginkanmu, dia juga memikirkan usiamu yang masih sangat muda saat itu. Bukankah sikapnya itu jantan sekali?”

“Sudah jelas sekali kalau Noah jatuh hati padamu.”

Sun terkejut akan ucapan Lucy, namun tak ada reaksi yang bisa ia beri selain bungkam. Kata-kata yang Alexa, Lucy, Emma atau bahkan Catherine keluarkan seakan mendukung hal yang bahkan belum bisa dipastikan itu.

Noah menyukainya?

Sun lagi-lagi menanyakan hal itu dalam benaknya.

Perasaannya campur aduk. Dia merasa seperti dilambungkan ke langit yang tinggi. Tapi karena sangat tinggi dirinya melayang, dia jadi merasa takut dan cemas.

Benarkah Noah menyukainya?

“Yah ... aku tidak tahu harus menjawab apa.” Sun tersenyum canggung, meminum teh-nya dan gerak-geriknya mengisyaratkan jika mereka harus berhenti membahas soal hubungannya dan Noah.

Sun tidak mau merasa sangat senang karena analisis-analisis yang tak pasti, sementara dirinya saja merasa cemas mengenai statusnya yang tidak jelas karena Noah tak kunjung kembali untuk menemuinya.

Apakah Noah benar-benarkah menyukainya? Atau dia hanya wanita yang dijadikan koleksi sementara untuk memenuhi hasratnya terhadap lawan jenis?

Apa pun itu, saat ini Sun tidak bisa langsung memercayai jika Noah benar-benar jatuh cinta padanya. Terlebih Noah adalah orang yang sebelumnya sudah biasa melihat wanita-wanita cantik melebihi Sun yang gadis biasa ini.

Jika kau menginginkan sesuatu, kau akan melakukan apa saja untuk bisa mendapatkannya. Sama seperti Noah di mata Sun. Dibalik sikapnya, Noah bisa saja menjadikan Sun sebagai satu dari sekian banyak wanita yang dia miliki.

Iya, Sun tidak boleh berharap lebih pada lelaki itu.

“Baiklah, Sun ....” Sun agak terperanjat kala Emma memanggil namanya. “Bisa kita berangkat sekarang?”

“Ah ... iya.”

“Kalian akan pergi ke mana?” tanya Catherine sebelum Sun meninggalkan kursinya.

“Aku sudah mengatakannya kemarin, Nyonya. Aku ingin keluar untuk membeli beberapa kebutuhan dan camilan,” jawab Emma dengan wajah sumringahnya. Seperti wanita pada umumnya, Emma menyukai jalan-jalan dan berburu makanan terutama.

“Kau mengajak Sun?”

“Iya. Kalau aku mengajak Lucy, kami akan bertengkar di jalan.” Lucy melirik Emma tak suka. Biasa ... pertikaian dua wanita dari seorang pria yang sama. Mereka bersaing untuk menjadi yang terbaik di mata lelaki mereka, Draven.

Catherine melirik Sun, tampak tersirat sedikit kecemasan.  Dia mungkin akan mengizinkan jika yang mengajak adalah Alexa, tapi jika Emma ... wanita itu bahkan bisa bersikap lebih kekanakkan dari Sun yang notabenenya adalah anggota paling muda di Kediaman Melrose.

Alexa yang menyadari kecemasan Catherine lantas menyentuh lengan wanita yang berusia 30-an itu. “Tidak apa-apa, Nyonya. Lagi pula, Emma adalah anak yang lahir dan besar di kota ini. Biarkan dia menjadi pemandu tur bagi Sun agar bisa mengenal kota ini.”

Mempertimbangkan ucapan Alexa, akhirnya Catherine mengangguk dan berkata, “Baiklah ... aku mengizinkan. Tapi jaga Sun baik-baik, jangan biarkan dia menghilang dari pengawasanmu, Emma.”

Emma tersenyum lebar dan memberikanhormat pada Catherine. “Siap, Nyonya Catherine! Terima kasih!”

Emma dan Sun bersiap-siap. Karena berada di luar Melrose, mereka dibebaskan dari ‘pakaian adat’ yang kediaman itu haruskan untuk mereka pakai sepanjang hari.

Sun memakai gaun selutut bermotif kotak-kotak dengan warna oranye pastel, alas kakinya sepatu datar yang berwarna senada dengan gaunnya. Rambut lurus dengan warna blonde emasnya dibiarkan tergerai, dipercantik dengan kain yang diikat sebagai bando. Riasannya natural, dia tidak perlu berdandan menor hanya untuk berjalan-jalan saja.

Sun sudah bersiap. Dia menuju ke lantai bawah, menemui Emma yang sudah menunggunya di depan pintu mobil.

“Kau cantik sekali, Sun!” Pujian menyambut Sun ketika dirinya menampakkan diri. Gadis bermata biru itu tersenyum malu.

Baginya, Emma bahkan terlihat lebih cantik dengan rambut cokelat bergelombang yang diikat atas serta poni pagarnya yang dibuat lebih bervolume. Emma memakai gaun di atas lututyang cukup tipis dan tak berlengan, memperlihatkan ketiak mulusnya saat dia melambai pada Sun. Gaun biru laut bermotif bunga-bunga yang cantik, dipadukan dengan sepatu converse berwana putih polos.

Gaya berpakaian Emma terlihat anak muda sekali, mewakili usianya yang tak begitu jauh di atas Sun.

“Kau terlihat manis dengan gaun itu, Nona Emma.” Sun balas memuji. Emma hanya tertawa lalu menyuruhnya untuk masuk ke dalam mobil.

“Kau tidak perlu terlalu kaku padaku. Panggil saja aku dengan namaku, Sun. Usia kita tidak terpaut sejauh itu.”

“Ah ... baiklah.” Perjalanan dimulai, sopir mulai menyalakan mesin dan menjalankan mobil.

Emma memilih untuk memandangi jalanan dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya. Sun yang melihatnya hanya terdiam, menikmati bagaimana Emma memberinya energi positif hanya dengan tersenyum.

“Aku bersyukur bisa jalan-jalan seperti ini,” ujar Emma di tengah-tengah perjalanan.

“Bukankah kau bisa bebas keluar-masuk Kediaman Melrose?” tanya Sun.

“Kau benar. Tapi jalan-jalan dengan anggota baru rumah membuatku merasa lebih bahagia.”

“Aku senang mendengarnya.”

Sun dan Emma sama-sama hening. Mereka sibuk dalam pikiran masing-masing sementara sepasang netra mengagumi jalanan yang kian berubah setiap harinya.

“Aku tidak melihat toko itu sebelumnya. Apa itu toko baru?” Ucapan Emma memecah atensi Sun. Gadis dengan bibir tipis itu melihat ke arah Emma memandang, sebuah toko es krim yang katanya tak pernah Emma lihat sebelumnya. Sun tidak tahu detailnya, dia bukan penghuni asli New Orleans seperti Emma yang lahir dan besar di kota ini.

“Kita akan mengunjungi toko es krim baru itu nanti, Sun.”

Sun mengangguk tanpa Emma perhatikan. Sun terus menatap wajah bahagia wanita berusia 23 tahun itu tanpa berkata. Entahlah, dia hanya senang melihat senyum manis Emma.

Sampai tak sadar, sebuah tanya mencelos begitu saja dari bibir Sun yang semula menempel rapat. “Apa kau sangat senang hidup bersama seorang mafia, Nona Emma?”

Sun sekonyong-konyong melotot, sadar akan kelancangan mulutnya yang berani menanyakan hal seperti itu pada Emma. Senyum Emma luntur, dia menatap Sun dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Sun sangat gugup, takut jika apa yang akan Emma keluarkan sebagai respons adalah hal yang buruk.

“Apa kau sadar dengan apa yang kau tanyakan barusan, Sun?”

Seharusnya Sun tidak selancang itu menanyakan hal yang tabu untuk dirinya tahu.

-Bersambung-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status