Aku tak ingin mengganggu sesi belajar Mama. kuputuskan menunggu di luar kelas sambil berkeliling. gedung ini luas dengan beberapa kelas musik dan kesenian lainnya.
Aku ingin ke toilet tapi binggung tak tahu arah. Ku langkahkan kaki mencari orang yang bisa ku tanyakan. Samar-samar ku dengar suara bebrapa perempuan. ketika ingin bertanya pada mereka, ku urungkan niatku. Mereka sedang menyebut nama Mama. Aku tidak salah dengar karena mereka menyebut nama Diajeng Ayu Baskoro.
Mereka membahas bagaimana cara menyingkirkan Mama. Pelan-pelan ku intip dari balik tembok agar aku bisa melihat wajah mereka. Tapi aku tak mengenal mereka satupun.
Dari pembicaraan mereka aku mengambil kesimpulan mereka dendam kepada Mama karena tak suka Papa memilih Mama dari pada teman mereka. Papa memang banyak penggemar aku lihat dengan Mata kepalaku sendiri bagaimana perempuan-perempuan dengan pakaian kurang bahan merayu Papa bahkan terang-terangan di depan Mama. Tak jarang kadang aku mengomentari mereka yang keterlaluan.
Aku harus membantu Mama. Kalau perlu memperingati Mama agar mencari bodyguard yang berjaga 24 jam. Ku balik arah ke kelas Mama. lebih baik menunggu didepan kelas saja. Rasa ingin ke toilet tadi hilang begitu saja.
Aku tiba di depan kelas Mama kebetulan keluar. "Sunny, ayo kita pulang. Ayo ikut aku ke caffe dulu yuk" aku hanya menjawab dengan anggukan dan senyuman. kami berjalan menuju caffe yang tak jauh dari daerah kampus. jalanan sepi mungkin karena hari masih pagi walau sudah jam 10 pagi tak terlalu banyak kendaraan ataupu orang yang berlalu lalang.
Kejadiannya terasa begitu cepat ketika ada mobil yang menuju kearah kami dengan kecepatan tinggi. Aku dan Mama mematung tak bergerak. Entah kekuatan dari mana ku dapatkan, ku dorong sekuat tenaga Mama ke tepi trotoar tapi naasnya aku tak sempat menghindar ketika mobil itu menabrak tubuhku. Tubuhku melayang ke udara kemudian terhempas ke aspal. rasanya badanku di himpit dengan barang berat hingga aku sulit bernafas. Penglihatanku menggelap meski masih ku dengar samar suara Mama memanggilku "Sunny!!!"
Inikah akhir dari hidupku. Aku belum merasakan indahnya dunia, bahagia bersama keluarga. Mungkin ini yang terbaik untukku.... Akhirku.
~ ~ ~
Saat ku buka cahaya lampu yang menusuk indra penglihatanku. ku edarkan ke sekeliling yang hanya ada warna putih yang mengiasi seluruh ruangan ini. Suara mesin detak jantung terdengar di telingaku. dan bau antiseptik dan obat begitu menusuk penciumanku.
Rasanya aku tak bisa menggerakkan seluruh tubuhku. bagai dihimpit tembok berat. Aku melihat Eyang tertidur di sampingku. tapi fokusku ada pada sofa yang ada agak jauh dari brankarku. Bukankah itu Papa?. Ku coba gerakkan tanganku walau berat. ku lihat infus dan beberapa selang entah apa itu. Dan ku coba melepas alat pernafasan di wajahku. Eyang membuka mata dan bilang "Akhirnya kamu sadar juga Rain, Eyang takut kamu tidak akan bangun nak" untuk pertama kalinya ku melihat Eyang menangis di depanku karena aku. Aku pernah melihat Eyang menangis di depan foto Mama. Tapi tak pernah seperti ini, seakan dia takut kehilanganku.
Papa terjaga karena suara tangis Eyang. Aku melihat lelah dan lingkar mata di wajah Papa. Apa itu karena aku atau memang Papa lelah karena pekerjaan?
"Rain... " Aku tak ingat kapan terakhir kali Papa memanggil namaku. Rasanya ingin ku peluk dua orang yang paling ku sayangi di dunia ini. Jangankan untuk bangkit, aku saja tak kuat mengangkat tanganku. hanya air mata yang bisa mewakili rasa haruku.
"Apa yang terjadi Rain? Kamu menghilang beberapa hari, saat di temukan salah satu mbak yang kerja di rumah, kamu pingsan dengan luka parah di dalam bagasi mobil. Bahkan kamu koma selama 3 hari".
Apa? Aku ditemukan di dalam bagasi mobil? Dan koma 3 hari? Aku benar-benar tak tahu apa yang terjadi. ku coba mengingat kejadian terakhir kali ku alami. tapi rasa sakit seluruh tubuhku menjalar hingga ke kepala. aku ingin berteriak sakit. hanya suara teriakan tanpa kata yang keluar dariku.
Ku lihat Papa dan Eyang mulai panik dan Papa menekan tombol darurat di sebelahku. Papa berteriak di pintu memanggil dokter. Serombongan dokter dan suster mendekatiku yang meronta tanpa suara. Dokter menyuruh perawat menyuntikan sesuatu kepadaku. beberapa detik kemudian rasa sakitnya berangsur hilang. dan kantuk mulai menderaku.
Aku tak tahu ini malam atau siang hari saatku terbangun. Badanku tearsa mendingan. Ku coba menggerakkan tanganku. "Rain... " ku dengar suara Papa. Apa Papa selalu disini menungguiku? Aku kira Papa tak akan datang melihatku hingga akhir hayatku karena perlakuan Papa selama ini. Ingin ku menjawab tapi tak ada suara keluar dari mulutku. Lebih baik aku diam saja. toh aku juga tak tahu harus bagaimana dengan Papa yang ada didepanku ini. Aku kenal Andra pacar Ajeng. Bukan Papa yang di depanku.
Dokter menjelaskan kondisiku, mungkin karena trauma atau stres yang mengakibatkan aku tak bisa bicara. dan Dokter menyarankan Papa memanggilkan Psikiater untukku. Ada raut khawatir di wajah Papa, aku tak tahu entah benar atau tidak. aku tak terlalu bisa membaca orang, aku tak pernah peduli dengan itu semua.
Monday morning,Aku bersiap ke kampus, Papa menawariku untuk berangkat bersama. Tapi ku tolak karena tahu Papa ada meeting pagi ini, tadi om bagas menelepon saat kami sarapan. Client dari luar negeri sudah datang, jadi Papa datang menyambut dan di lanjutkan dengan kerja sama.Aku tak punya bodyguard untuk menjaga dua puluh empat jam lagi. Jadilah aku pergi di antar sopir yang bekerja cukup lama di keluargaku, namanya mang Ujang."Udah siap, non?" Tanya mang Ujang padaku. "Sudah, mang" jawabku dengan senyuman. Aku berjalan masuk ke dalam mobil, terdengar klakson mobil begitu familiar di telingaku."Mas Raka..." gumamku. Sepagi ini mas Raka sudah datang ke rumahku. Pikirku mungkin ada janji dengan Papa, karena pagi tadi buru buru jadi lupa memberi tahu mas Raka kalau Papa sudah ke kantor."Bentar mang, Rain kasih tahu mas Raka dulu kalau Papa sudah berangkat ke kantor" aku mendapatkan anggukan dari mang Ujang.Gegasku lari menuju m
Aku mengganti bajuku dengan cepat, tak sampai sepuluh menit aku sudah turun ke ruang tamu. Aku hanya memakai dress bunga selutut berlengan pendek dan polesan make up tipis juga liptint. "Ha hai.. mas Raka. maaf nunggu lama" tiba tiba aku grogi berhadapan dengan mas Raka. "Hai Rain, kamu sibuk gak? aku mau ajak jalan, boleh?" aku memandang mas Raka, kemudian sebuah pertanyaan muncul di kepalaku. "Mas Raka ngajak malam mingguan eh maksudnya jalan. Emang pacar mas Raka bolehin ?" entah pertanyaan bodoh atau polos yang aku tanyakan. "Pacar? aku gak punya pacar Rain, dan wait kenapa kamu mikir kalau aku sudah punya pacar?" panggilan 'mas' yang dulu disematkan untuk diri mas Raka saat berbicara padaku kini hilang. "Bukannya mbak Risa sama mas Raka pacaran?" aku tak salahkan jika melihat bagaimana interaksi antara Risa dan mas Raka di mall waktu itu. "Jangan bilang kamu mikir aku pacaran sama Risa karena kita pernah ketemu di
"Siapa itu tadi Rain? Mantan Kamu?" Pertanyaan yang terucap oleh Reno setelah insiden bertemu mas Raka dan Risa. Aku masih menarik tangan Reno menjauh dari area bioskop. "Rain, kita mau kemana sih ini? bentar lagi filmnya mulai loh? Telat entar kita" aku berhenti berjalan. "Dia bukan mantanku, dan aku udah gak mood buat nonton. Sekarang aku lapar, dari pada aku makan orang mending kita cari makan. entar aku ganti deh uang tiket tadi" aku masih manyun sama Reno. Aku tahu Reno tak tahu apa apa tapi aku tak bisa merubah mood ku dengan bersikap baik baik saja setelah bertemu mas Raka dan Risa. "Ya udah ayo cari makan. Mau makan apa? Buruan takut ni aku entar kamu makan juga jadiin aku sashimi" dan tawa kami berdua pun pecah. Reno memang bisa merubah suasana meski dengan kata kata receh gak jelas sekalipun. * * * * * Kami memustuskan makan di restoran Jepang gegara Reno sashimi. "Kayaknya aku pernah lihat deh cowok tadi, tapi dimana
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Air mata yaang aku tahan sejak tadi tak bisa ku bendung. Awalnya aku hanya terisak tapi rasa sakit kehilangan itu pelan menjalar ke relung hatiku. Reno membawa tubuhku ke dalam pelukannya. Tangisan ini terdengar pilu mewakili perasaanku yang pilu. "Rain... nangis aja sepuasnya. Nanti ketika kita sampai, kamu gak boleh nunjukin sisi lemahmu yang ini. Karena Rainy yang aku tahu adalah gadis yang kuat" Tangisku semakin keras, kulepaskan rasa pilu yang menusuk dada. Aku menyesal tak mengucapkan kata terakhir atau pun pelukan terakhir. "Gimana ini Ren? aku belum sempat minta maaf, ngabisin waktu lebih lama bahkan aku gak sempat kasih pelukan hangat tuk terakhir kali sambil bilang betapa aku sayang banget sama Eyang. Selama ini aku yang bandel gak pernah nurut. Aku nyesel banget kenapa aku gak bisa jadi cucu yang baik" Reno semakin menenggelamkanku dalam pelukan di dadanya dengan satu tangannya dia mengelus punggungku.
Reno menepati janjinya itu. Yang mana dia akan menemui ku di sini meski dia repot sebagai mahasiswa lagi. Ternyata Reno cuti kuliah dan bukan sepertiku yang cuma menyandang gelar calon mahasiswa. Aku masih tak pernah menghubungi mas Raka, begitu pun Papa yang tak pernah memberi tahukan di mana keberadaanku. Ini bulan ketiga setelah aku di tinggal pulang oleh Reno. Seperti pagi ini dia sudah nyengir kuda saat mengunjungi ku. "Kenapa pagi pagi udah senyum gak jelas aja? Kangen akut ya sama aku?" Tanya ku sambil tersenyum yang ikut tertular dari Reno. "Ih... geer bener kamu. mana ada aku kangen ama kamu. Yang ada tu kamu yang kangen tingkat dewa sama aku" Reno membalas sambil memberikanku paper bag. "Apa ni?" Tanyaku penasaran. "Makanan dari Mami, takutnya kamu makin kurus di sini sendirian tanpa aku. Makanya sengaja aku minta Mami buatin makanan buat kamu" Aku langsung membuka isi paper bag, aroma harum masakan Tante Susan langsung m
Saat awal aku harus memeriksakan diri ke Dokter, Aku masih duduk di kelas IX. Diagnosa mengalami BPD yang aku tak paham itu apa. Semakin di perparah dengan aku yang pernah mengalami penculikan. Hingga aku menjadi PTSD.Papa dan Eyang yang tidak terlalu peduli padaku, memicu gangguan yang aku alami di usia yang belia. Belum sembuh aku dari gangguan 'Borderline', Trauma penculikan membuatku semakin parah.Hayalanku bertemu Mama, menciptakan pertemanan dengan Rara adalah 'side effect' yang aku tunjukkan. Karena takut semakin parah, Eyang membawaku ke psikiater mengobati dengan cara menghipnotis agar aku bisa melupakan semua kejadian yang pernah aku alami untuk mengurangi tindak 'aneh'ku yang lain.Yang sayangnya meski Eyang mencoba menghapus ingatanku yang menyebabkan aku trauma, semua sia sia. Membuat ingatanku tumpang tindih, aku semakin tidak bisa membedakan mana yang khayalan, ilusi, atau nyata. Dokter pernah menyarankan keluargaku untuk membawaku berobat secar