Share

Bab 6. Wanita murahan

Author: Nanitamam
last update Last Updated: 2025-10-16 16:27:37

“Akan aku buat kamu menyesal, Syafana,” geram Celina dengan langkah tergesa.

   Celina menuju rumah mewah yang berdiri angkuh di jantung kota. Rumah Tuan Alexander, ayah Ivander. Amarahnya mendidih, memenuhi setiap sudut hatinya.

 Begitu melewati ambang pintu, para pekerja membungkuk hormat, tapi Celina tak memperdulikannya. Hanya satu yang ada di benak yaitu mertuanya.

 

 “Mama ... Papa!” panggil Celina dengan suara tercekat, air mata buatannya mulai tumpah.

 

Tuan Alexander dan nyonya Anindita menoleh, mereka saling berpandangan sejenak. Celina menghambur memeluk mereka, tubuhnya bergetar hebat.

 

“Lho, Celina, kamu kenapa, Sayang?” tanya Nyonya Anindita lembut, membalas pelukan Celina erat.

 

“Tadi aku ke kantor Mas Ivander. Tapi, Dia malah mengusirku karena perempuan lain!” bisik Celina lirih. Air matanya jatuh, membasahi pundak ibu Ivander. “Aku datang kesana untuk memberikan kejutan, tapi yang kudapat malah pengkhianatan!”

 

Ayah Ivander mengerutkan kening, rahangnya mengeras membuat Celina melepaskan pelukannya. “Ceritakan semuanya dengan jelas, Celin! Siapa perempuan itu? Apa yang sebenarnya terjadi?”

 

“Perempuan itu ... sekretaris barunya! Dia selalu menempel pada Mas Ivander seperti lintah! Bawakan kopi, mengatur jadwal. Tadi aku tidak sengaja menumpahkan kopi yang dia bawa karena kesandung. Aku langsung minta maaf, tapi dia malah menyalahkan aku! Mas Ivander malah membelanya! Dia ... dia bahkan mengusirku di depan semua orang!”

 

Celina terisak, air matanya semakin deras. “Aku merasa sangat malu, Ma, Pa! Harga diriku diinjak-injak! Aku ini istrinya, tapi diperlakukan seperti orang asing!”

 

Nyonya Anindita terkejut, tangannya menutup mulutnya. Matanya membulat, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. 

“Ya Tuhan, Ivander sudah keterlaluan! Ini tidak bisa dibiarkan!” tukasnya dengan tajam. 

 

Tuan Alexander mengepalkan tangannya, urat-urat di lehernya terlihat menegang. Wajahnya memerah karena amarah. Sedangkan, Celina tersenyum dalam hati, rencananya berjalan lebih dari lancar. 

“Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Ma, Pa. Aku sudah berusaha jadi istri yang baik untuk menarik perhatian Mas Ivander. Tapi kenapa dia setega itu padaku?” lanjut Celina lirih. 

 

Nyonya Anindita mengusap punggung Celina dengan lembut, mencoba menenangkannya. 

“Tenang, Sayang, kami akan membantumu. Kami tidak akan membiarkan Ivander memperlakukanmu seperti ini. Dia harus bertanggung jawab atas semua ini!”

Tanpa sepatah kata pun, Tuan Alexander bergegas melangkah, meraih ponselnya yang tergeletak di nakas. Jemarinya dengan cepat mencari kontak Ivander, lalu tanpa ragu menekan ikon panggil.

 

Hatinya mendidih mendengar aduan menantunya. Ia tak akan tinggal diam. 

 

“Tenang, Celina! Papa yang akan memberinya pelajaran,” ujarnya dengan nada penuh amarah.

 

Celina tersenyum puas. Rencananya berjalan sesuai harapan. 

Tak lama kemudian, suara Ivander terdengar dari seberang sana, membuat ayah Ivander langsung menyambar dengan satu kalimat tegas, “Pulang! Kita akan mengadakan makan malam keluarga!”

 

Hanya kalimat itu yang terlontar dari ponsel, membuat Ivander mendengus kesal. Ia tahu betul apa arti panggilan ini. Celina pasti sudah mengadukan semuanya. Kini tatapannya beralih pada Syafana yang sedang membereskan meja kerjanya.

 

“Nanti malam, ikut saya ke rumah!” ajak Ivander dengan nada memerintah.

 

Syafana tergelak. Ia langsung menggelengkan kepala dengan ekspresi ngeri. “Tidak, Pak! Terima kasih banyak atas tawarannya, tapi kalau saya datang ke sana, itu sama saja dengan bunuh diri.”

Ivander menundukan kepala tepat di telinga kiri Syafana. Hembusan nafas pria tampan itu membuat bulu kuduk Syafana meremang. Jari Ivander menarik helaian rambut Syafana.

“Jangan lupa kalau kamu sudah setuju dan tanda tangan kontrak,” bisiknya.

***

Awan hitam mulai menghiasi langit kota, sebuah mobil mewah berhenti di depan rumah megah Tuan Alexander. Ivander keluar, diikuti Syafana yang gelisah dalam gaun malam yang membuatnya terlihat cantik.

 

“Pak, ini ….”

 

“Diam! Jangan berbicara!” potong Ivander tajam, tanpa menoleh.

 

Syafana mengatupkan bibirnya, amarahnya tersulut. Ia merasa seperti boneka yang dipaksa menuruti kemauan Ivander. Sementara pria itu bersikap seolah ini hanya makan malam biasa.

 

Mereka melangkah masuk. Tak ada sambutan ramah, melainkan tatapan membunuh dari semua orang. 

Syafana menelan ludah. “Ya Tuhan, ini bukan makan malam keluarga, tapi sidang pengadilan!” batinnya menjerit.

 

“Ivander!” Suara Tuan Alexander menggelegar, memecah keheningan. Pria itu bangkit dari kursi, wajahnya merah padam. “Apa-apaan ini?! Beraninya kamu membawa wanita lain ke rumahku?!”

 

“Syafana tidak terlibat dalam masalah ini, Pa!” balas Ivander dengan nada yang sama kerasnya. Matanya menyala, menantang amarah ayahnya. “Dia sekretarisku, dan dia di sini atas perintahku!”

 

“Perintah katamu?!” Tuan Alexander mencibir sinis, mendekat selangkah. “Sejak kapan seorang sekretaris harus ikut campur urusan keluarga?! Kamu pikir Papa buta, Ivander?! Papa sudah mendengar semuanya dari Celina. Jangan kira Papa tidak tahu!”

“Papa hanya mendengar dari sudut pandang wanita itu bukan aku!”

“Jangan banyak bicara, Ivander! Usir dia dari rumah ini, kami semua tidak akan sudi menerimanya!”

 

Para penjaga bergegas mendekat, bersiap menarik tubuh Syafana. Namun, Ivander melindunginya.

“Berhenti!” bentak Ivander, rahangnya mengeras, urat-urat di lehernya mulai terlihat menegang. Ia melirik Syafana, yang menunduk dalam. “Jangan ada yang berani mendekat! Jika kalian menyentuhnya akan aku pastikan kalian lenyap dari muka bumi ini!”

“Oh, sekarang dia sudah berani meracuni pikiranmu Ivander? Sampai segitunya kamu membela dia.”

“Karena aku yang menyuruhnya ikut kemari. Dia tidak bersalah!”

 

“Tidak bersalah katamu?! Lalu, apa namanya kalau bukan bersalah? Dia menggoda anakku! Dia merusak rumah tanggamu! Apa kamu tidak lihat, Ivander? Dia hanya memanfaatkanmu!”

 

“Dasar wanita murahan, beraninya menggoda suami orang!” pekik Celina suara yang menggelegar.

 

Syafana tersentak, tubuhnya menegang. Ia mendongak, menatap Celina dengan tatapan terkejut dan marah. Tangannya terkepal erat hingga kukunya memutih.

 

“Jaga ucapanmu, Celina!” bentak Ivander dengan dada kembang-kempis.

 

“Kenapa? Aku salah?!” balas Celina dengan nada menantang, mendekat selangkah ke arah Ivander. “Semua orang juga tahu, wanita seperti dia hanya mengincar uang dan kekuasaan! Dia pasti sengaja menggoda kamu, Mas!"

 

Brak!

 

Ivander menggebrak meja dengan keras, membuat semua orang terlonjak kaget. Piring-piring dan gelas-gelas bergetar, beberapa bahkan terjatuh dan pecah. Matanya berkilat marah, menatap Celina dengan tatapan yang belum pernah dilihat sebelumnya.

 

“Cukup, Celina!” bentak Ivander dengan suara bergetar, menahan amarahnya yang sudah di ubun-ubun. “Aku selama ini diam, karena aku masih menghargaimu sebagai istriku. Tapi sekarang, kamu sudah keterlaluan! Kamu menuduh orang yang tidak bersalah!”

 

Ivander menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ia tahu, ia tidak boleh kehilangan kendali. Tapi, kata-kata Celina sudah melampaui batas.

 

“Kamu ingin tahu siapa yang sebenarnya murahan di sini? Baiklah, akan ku beri tahu!” lanjut Ivander dengan nada dingin yang menusuk tulang. Ia menatap Celina dengan tatapan jijik. “Selama ini, kamu selalu memainkan peran sebagai istri yang sempurna, sebagai wanita yang polos dan baik hati. Tapi, kenyataannya, kamu adalah seorang pembohong besar!”

 

Ivander mengeluarkan sebuah amplop coklat dari saku jasnya dan melemparkannya ke atas, tepat di kepala Celina. Semua foto-foto perselingkuhan Celina langsung berhamburan. 

“Ini bukti perselingkuhanmu, Celina! Foto-foto mesramu dengan pria lain! Jauh sebelum kita menikah, kamu sudah bermain api di belakangku! Kamu berhubungan dengan banyak pria!”

 

Semua orang terkejut. Kedua orang tua Ivander saling bertukar pandang, wajah mereka pucat pasi. Mereka tidak percaya dengan apa yang mereka dengar. 

Dengan tangan gemetar, mereka mengambil salah satu foto.

 

“Dan ini,” lanjut Ivander dengan nada sinis yang semakin menusuk, menunjuk sebuah dokumen yang terlihat seperti laporan medis. “Hasil pemeriksaan medis yang membuktikan bahwa kamu pernah hamil dan menggugurkannya!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SURGA SEMALAM BERSAMA TUAN IVANDER   Bab 50. Jadi rebutan

    "Jangan bicara sembarangan, Pak!"Napas Syafana tercekat. Kata-kata itu menghantamnya bagai gelombang pasang. Kilasan memori saat Ivander dengan dingin melarang adanya perasaan di antara mereka berdua, memaksa Syafana menertawakan ironi ini. Tawa hambar yang lebih mirip ringisan.Tangannya gemetar menyentuh dahi Ivander, merasakan panas yang membakar kulit pria itu. “Kamu pasti mengigau,” desisnya, berusaha meredam gejolak dalam diri.“Tidak! Ini kejujuranku,” balas Ivander, suaranya serak namun penuh penekanan.Syafana menghela napas panjang, sorot matanya menajam, menelisik setiap sudut wajah Ivander. “Aku ingin percaya,” bisiknya lirih, “Tapi, selama ini sikap kamu selama ini membingungkan seperti orang yang penuh akan keraguan. Sampai aku sendiri bingung harus bersikap kayak gimana.”“Aku—”Syafana membungkamnya dengan paksa. Sendok berisi bubur ia sumpalkan ke mulut Ivander, membungkam semua kata yang hendak keluar. Mata Ivander membulat marah, mulutnya penuh dengan bubur panas.

  • SURGA SEMALAM BERSAMA TUAN IVANDER   Bab 49. Aku akan bertanggung jawab!

    "Segarnya." Syafana baru saja selesai mandi setelah sesi bercinta yang penuh gairah dengan Ivander. Tubuhnya masih terasa hangat dan sedikit lelah, namun pikirannya dipenuhi dengan perasaan puas dan kemenangan. Dengan santai, ia membuka laci nakas dan mengeluarkan sebutir pil berwarna putih kecil. Itu adalah pil kontrasepsi, senjata andalannya untuk memastikan bahwa dirinya tidak akan terikat pada Ivander dengan cara yang tidak diinginkannya. Ivander, yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit pinggangnya, mengerutkan kening melihat apa yang dilakukan Syafana. “Apa yang kamu minum?” tanyanya dengan nada penasaran. Syafana menelan pil itu dengan segelas air putih, lalu menatap Ivander dengan senyum menggoda. “Obat pengaman,” jawabnya santai. “Aku takut hamil jadi sengaja minum obat.” Ivander tampak tidak senang dengan jawaban itu. Ia hendak melontarkan protes, mengatakan bahwa ia ingin memiliki anak darinya, namun tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Erlang

  • SURGA SEMALAM BERSAMA TUAN IVANDER   Bab 48. Celina diusir

    "Ini rumahku! Mas Ivander memberikannya padaku! Berani sekali kalian mengusirku!" geram Celina dengan tangan terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih, Celina menatap ketiga pria di hadapannya dengan mata membara. “Kalian ini siapa?” Carina menimpali. “Berani sekali mengusir Nyonya Celina dari rumahnya!”Salah seorang pria menghela napas berat, lalu maju selangkah. Dengan gerakan lambat, ia menyodorkan kartu nama kepada dua wanita yang berdiri di hadapannya."Hexa," Celina membaca nama yang tertera di kartu itu, diikuti jabatan sebagai seorang pengacara. Celina dan Carina bertukar pandang, kebingungan terpancar jelas di wajah mereka.“Saya Hexa, pengacara pribadi Tuan Ivander,” ucapnya dengan nada dingin. Ia menyerahkan selembar surat tanah. Celina menerima surat itu dengan tangan gemetar. “Surat tanah ini atas nama Tuan Ivander, bukan Celina. Jadi, dia berhak penuh atas properti ini dan berhak membuat keputusan apa pun. Termasuk, mengusir kalian dari sini!”Jantung Celina mence

  • SURGA SEMALAM BERSAMA TUAN IVANDER   Bab 47. Aku milikku, hanya milikku!

    "Aku ingin melahapmu!"Ivander menyeringai mendengar desahan Syafana yang bagai melodi memanggil birahi. Tanpa ampun, ia melumat bibir Syafana, lidahnya menari liar di dalam mulut, bertukar saliva dengan kasar hingga Syafana kehilangan kendali dan hanya bisa meremas rambut Ivander.Syafana tersentak, napasnya tercekat oleh ciuman Ivander yang membabi buta. Ia memukul dada Ivander, mencoba menghentikan kegilaan ini, namun hatinya berdebar tak karuan.“Hmph! Pak I-Ivander! Cukup!” jeritnya tertahan.Merasa Syafana kehabisan napas, Ivander akhirnya melepaskan ciumannya, membiarkan Syafana menghirup udara dengan rakus. Nampak rambutnya berantakan, bibirnya basah dan bengkak.“Bisa tidak kamu sedikit lebih lembut?! Bibirku bisa bengkak lagi, tau!” desis Syafana, berusaha menormalkan napasnya yang tersengal.Ivander menggelengkan kepalanya. “Bibirmu candu, Syafana! Bahkan mengalahkan nikotinku! Aku tidak bisa berhenti mencicipinya.”Syafana mencibir, namun Ivander sudah menerjang lehernya.

  • SURGA SEMALAM BERSAMA TUAN IVANDER   Bab 46. Amarah Ivander

    “Mas Ivander ...!”Senyum Celina merekah sempurna, bagai bunga yang merekah di pagi hari. Ia melonjak dari kursi, niat menghambur ke arah Ivander yang berjalan mendekat dengan aura gelap yang kontras dengan senyumnya.Namun, sebelum Celina sempat bergerak, Ivander berhenti di hadapannya. Rahangnya mengeras ketika mata mereka saling bersisih tatapan.“Kamu pasti kangen sama aku, kan?” Celina mencoba mencairkan suasana dengan tawa kecil yang terdengar dibuat-buat. “Duduk dulu, yuk. Kita makan bareng. Jarang banget kamu datang ke rumah.”“Saya tidak punya waktu untuk basa-basi dengan manusia munafik seperti Anda!” desis Ivander tajam.Kening Celina berkerut dalam. Bibirnya yang tadi tersenyum kini mencibir sinis. Dengan gerakan lembut, ia meraih tangan Ivander. “Kamu ngomong apa, sih? Aku nggak ngerti. Kenapa kamu tiba-tiba begini?” tanyanya, nada suaranya dibuat semanja mungkin.“Jangan pura-pura bodoh, Celina!” bentak Ivander seraya menepis tangan Celina dengan kasar.Celina terkesiap,

  • SURGA SEMALAM BERSAMA TUAN IVANDER   Bab 45. Aku tidak tahan lagi

    "Ikut aku!"Ivander meraih pergelangan tangan Syafana, menariknya dengan paksa menuju mobil. Syafana sontak meronta, mencoba mengimbangi langkah Ivander dengan bibir yang penuh protes. “Pak! Lepaskan!” serunya, namun Ivander tak menggubrisnya.Sesampainya di depan mobil, Ivander membukakan pintu dengan kasar, lalu tanpa menunggu, mendorong Syafana masuk. Gadis itu terhuyung, hampir kehilangan keseimbangan sebelum akhirnya terduduk di kursi dengan kasar.“Pak! Ghaisa!” seru Syafana, napasnya tersengal. “Kita meninggalkannya sendirian di sana! Dia datang bersamaku, masa harus pulang sendiri?! Aku merasa tidak enak, Pak!”Ivander membanting pintu mobil, lalu menghadap Syafana. Dengan gerakan cepat, ia meraih tangan Syafana, mengangkatnya tinggi-tinggi.“Lihat ini! Tanganmu terluka, Syafana! Pikirkan dirimu dulu, sebelum memikirkan orang lain!” ujarnya dengan datar namun menusuk.Syafana hanya diam. Ia menatap nanar luka di tangannya, lalu kembali menatap Ivander. “Ya ampun, Pak. Sudah b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status