Home / Romansa / SURGA SEMALAM BERSAMA TUAN IVANDER / Bab 5. Jadi sekretaris pribadi

Share

Bab 5. Jadi sekretaris pribadi

Author: Nanitamam
last update Last Updated: 2025-09-30 22:38:25

Sore itu, mobil hitam berhenti mulus di halaman rumah besar yang megah. Pilar-pilar tinggi menjulang, taman depan tertata rapi dengan hamparan rumput hijau. Begitu pintu mobil terbuka, para pekerja rumah segera berdiri berjajar, menundukkan kepala menyambut tuannya.

“Selamat datang, Tuan Ivander.”

Ivander turun lebih dulu, wajahnya datar tanpa ekspresi. Ia melepas jasnya, lalu tanpa menoleh menyerahkan tas kerjanya pada Syafana.

“Bawa ini.” Suaranya dingin, bak perintah tak terbantahkan.

Syafana mendengus pelan, tetapi tetap meraih tas itu. “Baik, Pak," jawabnya patuh.

Para pekerja menatap Syafana dengan sopan, beberapa bahkan memberi salam kecil. Syafana hanya mengangguk singkat. "Selamat sore."

Mereka masuk ke dalam rumah. Langkah Ivander panjang dan mantap, sementara Syafana agak terseok menyesuaikan dengan berat tas yang ia bawa. Di sisi lain, Erlang berjalan dengan tenang, lalu mulai berbicara pelan kepadanya.

“Syafana, ada beberapa hal yang perlu kamu ketahui tentang Tuan Ivander.”

Syafana melirik Erlang. "Baik, Pak. Semuanya akan saya catat."

Erlang tersenyum tipis. “Tuan Ivander menyukai kopi hitam. Takarannya harus pas, tidak boleh terlalu manis, tidak boleh hambar. Untuk makanan, beliau hanya makan yang sehat. Tidak suka makanan instan.”

"Jadi beliau memegang gaya hidup sehat," gumam Syafana seraya mencatatnya.

Erlang menahan tawa. “Gaya hidup Tuan Ivander memang sehat. Setiap bulan sekali, beliau rutin main golf. Beliau juga tidak suka dibantah, sangat menghargai ketepatan waktu, dan harus rapi.”

“Pantas saja badannya bagus," gumam Syafana dalam hati.

Erlang melanjutkan dengan wajah tetap serius. “Beliau suka sarapan pagi, dan kopi adalah menu wajib setiap harinya.”

Syafana bergumam heran, “saya bukan istrinya, tapi kenapa harus mengurusi hal yang dikerjakan istri?”

Erlang terdiam sejenak, lalu menoleh. “Karena meskipun sudah menikah, Tuan Ivander sama sekali tidak menyukai istrinya. Mereka tidak tinggal serumah.”

Syafana terpaku sejenak mendengar hal itu. "Kalau boleh saya tahu, kenapa, Pak?"

“Tuan Ivander dan Nona Celina dijodohkan,” jawab Erlang tenang. “Ayah Nona Celina pernah menolong ayah Tuan Ivander. Sebagai balas budi, pernikahan itu harus terjadi.”

"Dijodohkan."

Erlang tidak menanggapi gumaman Syafana. “Tugas kamu berikutnya, pastikan tidak ada tamu dadakan. Siapa pun yang ingin bertemu, harus punya janji lebih dulu. Arsip harus rapi sebelum diberikan. Dan satu lagi, beliau sangat menyukai kebersihan. Jangan biarkan ada debu sedikit pun di ruang kerjanya.”

Sementara itu, Ivander sudah mengganti pakaiannya. Dengan langkah tenang, ia kembali ke ruang utama dan berdiri tegak. Syafana menyimpan buku catatannya ke dalam tas.

“Mulai hari ini, Syafana akan tinggal di sini. Dia tidak boleh mengerjakan hal lain selain mengurus kebutuhan saya,” ucapnya dingin, membuat semua pekerja mengangguk patuh.

Erlang menunduk hormat. “Baik, Tuan. Kalau begitu, saya pamit pulang.”

"Laporan harus sudah ada di meja besok pagi!" sahut Ivander tegas.

“Siap, Tuan.” Erlang lalu pergi meninggalkan rumah itu.

Syafana berdiri kaku, masih memegang buku catatan kecilnya. “Saya harus tinggal di sini juga?” tanyanya dengan nada tak percaya.

Ivander menoleh sebentar, sorot matanya tajam. “Kamu mendengar perintah saya dengan jelas, bukan?”

Syafana memasang wajah tenang meski dalam hati ingin mengumpat. "Barang-barang saya masih ada di kosan."

"Saya akan suruh orang mengurusnya," sahut Ivander datar. "Ikuti saya!"

Dengan langkah malas, Syafana mengikuti. Mereka berhenti di lantai dua. Di sana, ada dua pintu besar saling berhadapan. Ivander membuka salah satunya.

“Ini kamarmu. Berhadapan langsung dengan kamar saya.”

Syafana melangkah masuk, matanya berkeliling. Kamarnya luas, lengkap dengan tempat tidur besar, lemari pakaian, meja kerja, bahkan balkon kecil. Meski terkesan nyaman, baginya kamar itu seperti jeruji emas.

“Hidupku benar-benar berubah total,” gumamnya lirih.

Belum sempat ia duduk, tiba-tiba Ivander berdiri di belakangnya. Tanpa aba-aba, lengannya melingkar, memeluk pinggang Syafana dari belakang.

“Kamu harus ada kapan pun saya membutuhkanmu.” Suaranya dingin, datar, namun penuh tekanan.

Syafana membeku sejenak, lalu menggigit bibir bawahnya. "Saya akan memberikan yang terbaik."

Ivander menunduk sedikit, wajahnya dekat dengan telinga Syafana. "Jangan membuat saya kecewa!"

Keesokan harinya, suasana kantor Ivander berjalan seperti biasa, pegawai lalu lalang, suara telepon berdering, dan aroma kopi pagi memenuhi udara. Namun, suasana berubah seketika ketika pintu kaca besar di lantai utama terbuka.

Celina melangkah masuk dengan penuh percaya diri. Gaun ketat berwarna merah marun membalut tubuhnya, cukup mencolok untuk membuat beberapa pegawai menoleh dengan tatapan kaget sekaligus iri. Sepatu hak tingginya berdetak lantang di lantai marmer, seolah menandai setiap langkahnya.

Kepala tegak, wajah angkuh, Celina sama sekali tidak menghiraukan sapaan para staf.

“Selamat pagi, Nyonya—” Salah satu resepsionis mencoba menyapa.

Namun Celina hanya melirik sekilas dengan tatapan meremehkan, lalu melangkah lurus menuju lift eksekutif tanpa menjawab sedikit pun.

Beberapa pegawai saling berbisik.

“Itu kan istrinya Pak Ivander.”

“Cantik sih, tapi galaknya minta ampun.”

“Sama sekali nggak ramah, ya.”

Tak butuh waktu lama, Celina tiba di lantai paling atas. Dengan langkah cepat, ia langsung mendorong pintu ruang kerja Ivander tanpa mengetuk.

Di dalam, Erlang tengah sibuk mengatur berkas di meja tambahan. Lelaki itu sontak berdiri kaget. “Nona Celina? Anda tidak bisa masuk seenaknya—”

“Diam, Erlang,” potong Celina ketus, lalu melangkah masuk dengan dagu terangkat.

Ivander yang duduk di kursi kerjanya langsung mengangkat wajah. Tatapannya dingin, alisnya sedikit berkerut. “Celina. Siapa yang mengizinkan kamu masuk begitu saja?”

Celina tersenyum manis, meski matanya penuh keangkuhan. “Sayang, aku istrimu. Perlu izin apa lagi untuk masuk ke ruang kerjamu sendiri?”

Ivander hendak membalas, namun pintu kembali terbuka. Syafana masuk dengan langkah hati-hati, membawa nampan berisi secangkir kopi hitam yang masih mengepulkan uap panas.

“Pak, ini kopinya ” Suara Syafana datar, jelas berniat segera keluar lagi setelah menaruh minuman itu.

Namun begitu ia masuk, bola mata Celina langsung tertuju padanya. Dari ujung rambut Syafana yang tergerai sederhana, hingga kaki mungil yang berbalut sepatu datar. Pandangan Celina menajam, dan genggaman tangannya mengepal kuat. Wajahnya berubah, menahan amarah dan iri.

Dia, lebih cantik dariku? bisik hati Celina. Bibirnya mengatup rapat, lalu perlahan senyum tipis penuh strategi mengembang.

Saat Syafana melangkah melewati sisi kursi, Celina pura-pura tersandung dengan gerakan dramatis. Tubuhnya maju, bahunya menabrak Syafana cukup keras.

“Astaga!”

Nampan miring, kopi panas tumpah mengenai kemeja putih Syafana. Gadis itu spontan meringis, menahan rasa panas yang langsung menyengat kulitnya. “Aduh!” serunya refleks.

Celina buru-buru menutup mulutnya dengan tangan, berpura-pura kaget. “Ya ampun! Maaf sekali, aku tidak sengaja, oh, kamu tidak apa-apa?” ucapnya dengan suara manis, namun bibirnya melengkung penuh kemenangan.

Syafana menatapnya dengan mata menyala. “Kamu sengaja, kan?!” suaranya meninggi, ketus.

“Apa maksudmu? Mana mungkin aku—” Celina berlagak polos, meski matanya jelas-jelas berkilat puas.

Belum sempat perdebatan berlanjut, suara berat Ivander memotong tajam.

“CELINA!”

Ruangan seketika hening. Erlang menunduk, tidak berani angkat kepala. Syafana menggigit bibir, menahan perih sekaligus amarah.

Ivander berdiri dari kursinya, wajahnya dingin dan penuh tekanan. “Keluar dari ruangan saya. Sekarang juga.”

Celina membelalak. “Apa? Kamu mengusir aku? Aku ini istrimu!”

“Dan kamu tidak berhak masuk seenaknya, apalagi mengganggu karyawan saya.” Suaranya bak cambuk yang menghantam keras.

Celina terdiam, wajahnya merah karena malu dan marah bercampur jadi satu. Ia menoleh sebentar ke arah Syafana—tatapannya menusuk, penuh kebencian.

“Pergi!” sentak Ivander lantang.

“Awas kamu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SURGA SEMALAM BERSAMA TUAN IVANDER   Bab 50. Jadi rebutan

    "Jangan bicara sembarangan, Pak!"Napas Syafana tercekat. Kata-kata itu menghantamnya bagai gelombang pasang. Kilasan memori saat Ivander dengan dingin melarang adanya perasaan di antara mereka berdua, memaksa Syafana menertawakan ironi ini. Tawa hambar yang lebih mirip ringisan.Tangannya gemetar menyentuh dahi Ivander, merasakan panas yang membakar kulit pria itu. “Kamu pasti mengigau,” desisnya, berusaha meredam gejolak dalam diri.“Tidak! Ini kejujuranku,” balas Ivander, suaranya serak namun penuh penekanan.Syafana menghela napas panjang, sorot matanya menajam, menelisik setiap sudut wajah Ivander. “Aku ingin percaya,” bisiknya lirih, “Tapi, selama ini sikap kamu selama ini membingungkan seperti orang yang penuh akan keraguan. Sampai aku sendiri bingung harus bersikap kayak gimana.”“Aku—”Syafana membungkamnya dengan paksa. Sendok berisi bubur ia sumpalkan ke mulut Ivander, membungkam semua kata yang hendak keluar. Mata Ivander membulat marah, mulutnya penuh dengan bubur panas.

  • SURGA SEMALAM BERSAMA TUAN IVANDER   Bab 49. Aku akan bertanggung jawab!

    "Segarnya." Syafana baru saja selesai mandi setelah sesi bercinta yang penuh gairah dengan Ivander. Tubuhnya masih terasa hangat dan sedikit lelah, namun pikirannya dipenuhi dengan perasaan puas dan kemenangan. Dengan santai, ia membuka laci nakas dan mengeluarkan sebutir pil berwarna putih kecil. Itu adalah pil kontrasepsi, senjata andalannya untuk memastikan bahwa dirinya tidak akan terikat pada Ivander dengan cara yang tidak diinginkannya. Ivander, yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit pinggangnya, mengerutkan kening melihat apa yang dilakukan Syafana. “Apa yang kamu minum?” tanyanya dengan nada penasaran. Syafana menelan pil itu dengan segelas air putih, lalu menatap Ivander dengan senyum menggoda. “Obat pengaman,” jawabnya santai. “Aku takut hamil jadi sengaja minum obat.” Ivander tampak tidak senang dengan jawaban itu. Ia hendak melontarkan protes, mengatakan bahwa ia ingin memiliki anak darinya, namun tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Erlang

  • SURGA SEMALAM BERSAMA TUAN IVANDER   Bab 48. Celina diusir

    "Ini rumahku! Mas Ivander memberikannya padaku! Berani sekali kalian mengusirku!" geram Celina dengan tangan terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih, Celina menatap ketiga pria di hadapannya dengan mata membara. “Kalian ini siapa?” Carina menimpali. “Berani sekali mengusir Nyonya Celina dari rumahnya!”Salah seorang pria menghela napas berat, lalu maju selangkah. Dengan gerakan lambat, ia menyodorkan kartu nama kepada dua wanita yang berdiri di hadapannya."Hexa," Celina membaca nama yang tertera di kartu itu, diikuti jabatan sebagai seorang pengacara. Celina dan Carina bertukar pandang, kebingungan terpancar jelas di wajah mereka.“Saya Hexa, pengacara pribadi Tuan Ivander,” ucapnya dengan nada dingin. Ia menyerahkan selembar surat tanah. Celina menerima surat itu dengan tangan gemetar. “Surat tanah ini atas nama Tuan Ivander, bukan Celina. Jadi, dia berhak penuh atas properti ini dan berhak membuat keputusan apa pun. Termasuk, mengusir kalian dari sini!”Jantung Celina mence

  • SURGA SEMALAM BERSAMA TUAN IVANDER   Bab 47. Aku milikku, hanya milikku!

    "Aku ingin melahapmu!"Ivander menyeringai mendengar desahan Syafana yang bagai melodi memanggil birahi. Tanpa ampun, ia melumat bibir Syafana, lidahnya menari liar di dalam mulut, bertukar saliva dengan kasar hingga Syafana kehilangan kendali dan hanya bisa meremas rambut Ivander.Syafana tersentak, napasnya tercekat oleh ciuman Ivander yang membabi buta. Ia memukul dada Ivander, mencoba menghentikan kegilaan ini, namun hatinya berdebar tak karuan.“Hmph! Pak I-Ivander! Cukup!” jeritnya tertahan.Merasa Syafana kehabisan napas, Ivander akhirnya melepaskan ciumannya, membiarkan Syafana menghirup udara dengan rakus. Nampak rambutnya berantakan, bibirnya basah dan bengkak.“Bisa tidak kamu sedikit lebih lembut?! Bibirku bisa bengkak lagi, tau!” desis Syafana, berusaha menormalkan napasnya yang tersengal.Ivander menggelengkan kepalanya. “Bibirmu candu, Syafana! Bahkan mengalahkan nikotinku! Aku tidak bisa berhenti mencicipinya.”Syafana mencibir, namun Ivander sudah menerjang lehernya.

  • SURGA SEMALAM BERSAMA TUAN IVANDER   Bab 46. Amarah Ivander

    “Mas Ivander ...!”Senyum Celina merekah sempurna, bagai bunga yang merekah di pagi hari. Ia melonjak dari kursi, niat menghambur ke arah Ivander yang berjalan mendekat dengan aura gelap yang kontras dengan senyumnya.Namun, sebelum Celina sempat bergerak, Ivander berhenti di hadapannya. Rahangnya mengeras ketika mata mereka saling bersisih tatapan.“Kamu pasti kangen sama aku, kan?” Celina mencoba mencairkan suasana dengan tawa kecil yang terdengar dibuat-buat. “Duduk dulu, yuk. Kita makan bareng. Jarang banget kamu datang ke rumah.”“Saya tidak punya waktu untuk basa-basi dengan manusia munafik seperti Anda!” desis Ivander tajam.Kening Celina berkerut dalam. Bibirnya yang tadi tersenyum kini mencibir sinis. Dengan gerakan lembut, ia meraih tangan Ivander. “Kamu ngomong apa, sih? Aku nggak ngerti. Kenapa kamu tiba-tiba begini?” tanyanya, nada suaranya dibuat semanja mungkin.“Jangan pura-pura bodoh, Celina!” bentak Ivander seraya menepis tangan Celina dengan kasar.Celina terkesiap,

  • SURGA SEMALAM BERSAMA TUAN IVANDER   Bab 45. Aku tidak tahan lagi

    "Ikut aku!"Ivander meraih pergelangan tangan Syafana, menariknya dengan paksa menuju mobil. Syafana sontak meronta, mencoba mengimbangi langkah Ivander dengan bibir yang penuh protes. “Pak! Lepaskan!” serunya, namun Ivander tak menggubrisnya.Sesampainya di depan mobil, Ivander membukakan pintu dengan kasar, lalu tanpa menunggu, mendorong Syafana masuk. Gadis itu terhuyung, hampir kehilangan keseimbangan sebelum akhirnya terduduk di kursi dengan kasar.“Pak! Ghaisa!” seru Syafana, napasnya tersengal. “Kita meninggalkannya sendirian di sana! Dia datang bersamaku, masa harus pulang sendiri?! Aku merasa tidak enak, Pak!”Ivander membanting pintu mobil, lalu menghadap Syafana. Dengan gerakan cepat, ia meraih tangan Syafana, mengangkatnya tinggi-tinggi.“Lihat ini! Tanganmu terluka, Syafana! Pikirkan dirimu dulu, sebelum memikirkan orang lain!” ujarnya dengan datar namun menusuk.Syafana hanya diam. Ia menatap nanar luka di tangannya, lalu kembali menatap Ivander. “Ya ampun, Pak. Sudah b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status