Share

3. PERTEMUAN

Seorang anak kecil berusia sekitar 7 tahun tampak menangisi jenazah ayahnya yang terbujur kaku di pelukan ibunya. Bocah itu terisak dalam rangkulan Sandanu yang tampak lebih muda dari terakhir kali Bayu bertemu dirinya di Bukit Kapur. Sandanu tampak menggenggam erat trisulanya dengan pandangan penuh amarah ke arah sosok pria yang berdiri dengan angkuh di depannya.

Sandanu lantas bangkit dan siap menyerang pria yang hanya terlihat punggungnya itu oleh Bayu.

“Aku bersumpah, akan membunuhmu......”

..............................

Bayu terbangun dari tidurnya, tepat sebelum Sandanu menyebut nama sosok pria tadi di mimpinya.

Peluh mengucur dari keningnya menandakan bahwa ia agak syok dengan mimpi yang barusan ia alami. Ia lalu mengatur nafasnya yang agak tersengal, sambil meraih sebotol minuman yang ia taroh di sampingnya. Ia mencoba menetralkan kembali jiwanya yang seolah tercerai berai karena pengalaman tidak menyenangkan tadi.

Mimpi itu, tentang kehidupan bocah berusia 7 tahunan bersama kedua orang tuanya sudah berkali-kali mengusik tidurnya. Lebih tepatnya sejak ia menyimpan Pusaka Gajahsora. Entah ada hubungannya atau tidak tapi ia merasa ada sesuatu yang tak wajar yang terjadi antara dirinya dan pusaka legendaris itu.

Bayu menatap ke jendela kamar penginapannya dini hari itu, perlahan dibukanya gorden cokelat yang melingkupi kacanya. Mobil-mobil, motor, dan kendaraan lain mulai berseliweran meskipun dengan volume yang masih amat sedikit. Menikmati pemandangan dunia awam yang sudah empat tahun lebih tak pernah ia lihat lagi ini ia harapkan dapat mengalihkan benaknya dari mimpi aneh berulang yang baru saja ia alami.

Kota Palangka Raya, kota kelahirannya.

Ia baru memasuki dunia awam, atau tepatnya Kota Palangka Raya tadi sore setelah dengan susah payah mencari pertemuan dua warna kabut yang disebut oleh pemilik penginapan di Muara Dipa, tempat terakhir ia menginap bersama Ayunda, Ratu Ayunda.

Mengingat Ayunda adalah membangkitkan kembali kenangan beberapa bulan menjalani petualangan tak ternilai bersama penguasa cantik dari negeri Danta itu. Ia tak pernah menduga sebelumnya bahwa suatu saat ia akan jatuh hati kepada perempuan yang lebih tua daripada dirinya, seorang kepala negara bahkan. Lebih dari itu ia tak pernah menduga jika perasaan cintanya harus dibalas dengan kesendirian setelah sang Ratu memutuskan untuk pergi entah ke mana, mungkin kembali ke negerinya, atau hal lain. Yang jelas itu cukup untuk membuat ulu hatinya perih.

Selepas kepergian Ayunda, Bayu melanjutkan perjalanan sendirian. Berbekal dengan kemampuan yang ia miliki, ia mencoba bekerja di sebuah tempat penempaan pedang dengan menggunakan nama samaran Sutha. Ya, kali ini ia memakai nama sahabatnya. Hanya beberapa pekan bekerja di sana, ia mendengar jika Anarbuana dan pasukannya sedang mencari keberadaanya, ia lantas dengan nekad mengambil beberapa uang majikannya untuk biaya melanjutkan perjalanan, lalu ia kembali ke penginapan Muara Dipa dan menukar uang tersebut dengan uang yang bisa digunakan di dunia awam, karena ia pernah mendengar dari Ampu Estungkara jika hampir di semua penginapan di dunia di balik kabut menyediakan penukaran uang dengan uang dunia awam atau sebaliknya.

Setelah itu ia meminta informasi mengenai tempat keluar masuk dunia di balik kabut dan dunia awam kepada sang pemilik penginapan. Awalnya si pemilik penginapan ragu untuk memberi tahu, namun dengan tambahan beberapa keping uang lagi, ia mendapatkan informasi itu. Tapi hanya sebatas kabut dua warna yang saling bertemu, tak lebih.

Perlu dua hari waktu yang dibutuhkan Bayu untuk menemukan pertemua kabut dua warna itu. Itu pun setelah bertanya ke sana kemari, yang ternyata kabut itu hanya akan ditemukan di tepi pantai, bukit pinus, dan padang rumput luas. Itu pun hanya di waktu-waktu tertentu, biasanya setelah siang atau dini hari menjelang fajar, dan biasanya akan terhubung secara acak di berbagai daerah di pulau Kalimantan, yah bisa dibilang Pulau Kalimantan adalah gerbang utama perbatasan dunia di balik kabut dan dunia awam. Namun jika ingin langsung menuju ke suatu tempat tertentu secara spesifik, maka diharuskan untuk berkonsentrasi sambil membayangkan suatu tempat yang hanya ada di daerah itu, maka kemungkinan untuk langsung sampai ke tempat itu akan sangat terbuka lebar.

Bayu sendiri mencoba membayangkan jembatan Kahayan saat menembus kabut dua warna itu, dan ia berhasil langsung tiba di Kota Palangka Raya, tepatnya di bawah SPBU yang letaknya tak terlalu jauh dari jembatan Kahayan yang ia bayangkan. Meskipun tidak tepat seratus persen dari bayangannya, setidaknya ia sampai di kota yang memang ia tuju, dan sempat menjadi perhatian warga sekitar ketika ia dengan tiba-tiba muncul dari gorong-gorong SPBU. Hal itulah yang membuatnya segera mencari penginapan terdekat dengan uang yang ia miliki agar tak semakin jauh menarik perhatian warga.

Lamunan Bayu tak terasa sudah membawanya ke pukul setengah empat pagi, sebentar lagi fajar akan menyingsing namun perlahan yang justru turun adalah rintik-rintik kecil gerimis yang membasahi kaca jendela kamar penginapannya. Untungnya Bayu telah membeli jaket dan beberapa pakaian manusia awam kemarin malam lewat salah satu pelayan penginapan, jika tidak, ia akan begitu malas menikmati tatapan aneh warga kota dengan penampilan ala sinetron silat yang ia kenakan ketika baru datang kemarin.

Ia berencana akan menemui Sutha dan Rukmana dulu untuk mengetahui kabar mereka, dan barangkali mereka bisa membantu tugas Bayu ini, atau lebih tepatnya ia rindu dua sahabatnya itu. Tidak, tidak hanya itu, Bayu rindu kota ini, ia rindu kontrakannya, ia rindu warung mie ayam yang biasa ia datangi bersama kedua sahabatnya, ia rindu segala hal tentang apa yang ia pernah lakukan di kota ini. Kecuali tentang kepergian kedua orang tuanya tentunya.

Semoga semua hal baik akan menghampirinya hari ini, harap Bayu.

Ia ingin cepat-cepat lepas dari tanggung jawab akan pusaka ini, setelah itu ia akan lihat selanjutnya, tetap berada di kota ini atau kembali mencari Ratu Ayunda.

Jujur, pilihan kedua untuk kesekian kalinya membuat dadanya bergemuruh.

**********************************************************************************************************************************************************************************************************************************

Bayu turun dari ojek yang ditumpanginya sambil memandang sebuah bengkel sepeda yang sangat sederhana di depannya. Bangunannya agak reot dan hanya menggunakan bahan kayu dan papan. Ada tumpukan alat-alat bengkel yang beraneka bentuk dan warna di sana. Tumpukan onderdil sepeda yang Bayu sendiri tak bisa menebak apa saja namanya.

Bayu menengok ke bagian atas bengkel tersebut, sebuah plang tak seberapa besar yang sudah agak berdebu dengan tulisan kusam BENGKEL SEPEDA BAHAGIA.

Tidak ada sepeda yang sedang diperbaiki di sana, mungkin sedang sepi, atau baru buka. Bahkan tak nampak ada satu orang pun di sana yang ia lihat. Ya, memang sejak tadi Bayu hanya berdiri memaku di tempat ia pertama kali turun dari ojek.

Ada rasa ragu, takut, malu, dan aneh yang membuat ia cukup sulit untuk memulai langkah menuju ke sana.

Gerimis masih turun, membasahi jaket dan sebagian pakaian yang dikenakan Bayu. Untungnya wajahnya tak terlalu kecipratan air karena ia mengenakan topi untuk menyamarkan wajahnya barangkali ada mata-mata Adighana yang cukup niat untuk berpatroli di kota ini, meskipun pilihan mengenakan topi di cuaca seperti ini adalah pilihan yang kurang populer rasanya.

Namun sayangnya gerimis yang terus membasahi pakaian Bayu tak membuatnya bergeming untuk melangkah mendekati bengkel itu, ia terus mematung. Dibiarkannya saja percikan gerimis menampar-nampar tubuhnya.

Sampai akhirnya muncul seorang pria bertubuh agak kurus dari yang terakhir dilihat Bayu, pria itu muncul dari dalam bengkel sambil menyulut rokok, lalu mengambil sebuah kursi plastik dan duduk di sana sambil memandangi jalanan yang diserbu gerimis dengan tatapan penuh penantian.

Namun Bayu masih terdiam tanpa melangkahkan kaki sedikitpun, ia hanya terus menatap pria itu yang justru sama sekali tak balas melihatnya.

Hingga akhirnya pria itu menoleh ke arah Bayu dan cukup lama menatapnya seolah memastikan sesuatu. Bayu yang merasa jika pria itu mencoba menemukan sesuatu dalam dirinya nampaknya memahami kebingungan pria itu. Ia lantas membuka topinya lalu tersenyum hangat.

Pria itu lantas berdiri dan membuang rokoknya sambil terus menatap Bayu kali ini dengan tatapan menyimpan syok, ia seolah ingin mengatakan sesuatu tapi seperti tak yakin dengan apa yang ia lihat.

Bayu perlahan mulai berjalan mendekati pria itu, sementara pria yang didekati tak kehilangan tatapan syoknya, semakin Bayu mendekat seolah semakin besar kekagetan yang melanda pria itu.

Bayu telah berada tepat di depan pria itu dengan pakaiannya yang agak basah diterjang gerimis, senyumnya masih terukir di sana, senyum yang menyiratkan kerinduan yang begitu dalam.

“Kamu...?” pria itu mendesis tidak yakin

“Apa kabar, Sutha?” Bayu mencoba menyapa setenang mungkin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status