Share

2. PENGAWAL TERPIDANA MATI

“Bukankah satu pekan lagi?” Cadudasa mencoba memprotes dengan tenang.

“Sebelum itu anda harus dipindahkan ke tempat yang tak boleh satu orang pun tahu.” jawab pengawal itu tak kalah tenang.

“Bagaimana dengan keluargaku jika mereka ingin menengok.”

Pengawal itu tak menjawab, ia justru mengikatkan borgol ke tangan Cadudasa dengan yakin sebelum lalu mengikatkan penutup mata padanya.

Cadudasa bahkan merasa bahwa pengawal satu ini tak seperti pengawal lain yang biasa menemuinya di sel selama ini, pengawal ini lebih tenang dan nyaris tanpa segan sedikitpun padanya seperti halnya pengawal lain. Namun ia hanya diam tak melawan, membiarkan saja sang pengawal melakukan tugasnya.

“Seberapa jauh perjalanan dengan penutup mata ini?” tanya Cadudasa tanpa kehilangan nada tenangnya.

Pengawal itu tak menjawab, ia justru mendorong Cadudasa agar mulai berjalan. “Jalan.”

Cadudasa mau tak mau mengikuti arah dorongan pengawal itu meski sejujurnya ada rasa curiga di benaknya karena mengapa hanya satu pengawal yang menjemputnya. Setahunya sebagai salah satu yang pernah menjadi pejabat militer di Adighana, terpidana hukuman mati seharusnya dikawal setidaknya oleh empat sampai lima pengawal khusus jika memang harus dipindahkan ke sel yang lebih ketat sebelum eksekusi, sedangkan ini hanya satu. Memakai cadar pula.

“Tampaknya kau dibayar lebih untuk pekerjaan yang biasanya dilakukan berkelompok ini.” komentar Cadudasa yang tak mampu menahan rasa penasarannya.

Sang pengawal itu hanya diam sambil terus mendorong Cadudasa melewati banyak lorong yang berbelok-belok sembari memperhatikan sekitar dengan waspada.

“Cukup banyak belokan ya..” sindir Cadudasa.

Pengawal itu tak menjawab, ia berhenti sejenak ketika berada di persimpangan lorong seolah sedang memilih arah yang tepat untuk ditempuh.

“Kenapa berhenti?” tanya Cadudasa heran.

Pengawal itu lagi-lagi tak menjawab, matanya memicing seolah sedang waspada.

Cadudasa juga diam seperti merasa akan ada sesuatu yang tak diduga-duga akan terjadi, namun ia tak tahu apa itu.

Setelah beberapa waktu saling diam tiba-tiba terdengar gemuruh sesuatu dari luar sana, ada hangat yang tiba-tiba menjalari tempat itu. Keributan langsung muncul begitu saja dengan kacau, teriakan bercampur dengan hangat yang kini perlahan mulai menjadi panas. Suara lonceng darurat dibunyikan berkali-kali menandakan suatu hal yang tidak baik-baik saja sedang terjadi. Cadudasa semakin bingung dan curiga.

“Apa yang terjadi ini?” suara Cadudasa menggema

Tiba-tiba Cadudasa merasa ada benda keras yang menghantam bagian belakang lehernya, nyeri begitu terasa sehingga membuatnya agak terpekik dan langsung berusaha menyerang sang pengawal itu meskipun dengan mata tertutup.

Sang pengawal berhasil menghindar dan ia justru lalu membuka penutup mata Cadudasa sehingga Mahapatih itu sedikit bisa melihat kembali keadaan meski agak remang dan kepala yang pusing akibat dipukul dari belakang.

“Apa-apaan ini? Siapa kamu?” tanya Cadudasa dengan geram campur heran.

Sementara dari luar terdengar teriakan panik dari orang-orang yang tampaknya berasal dari sebuah atau banyak kebakaran, riuh suara bising kekhawatiran menggema dari berbagai sudut dari luar lorong tersebut.

Cadudasa memandang sang pengawal dengan geram sambil mencoba melepaskan borgol di tangannya yang tentu saja tak bisa sebelum sebuah pukulan kembali mendarat ke belakang lehernya. Cadudasa kembali merintih kesakitan namun bukan pengawal itu yang mendaratkan pukulan tadi, dengan mata berkunag-kunang dan kesadaran yang mulai berkurang ia menoleh ke arah belakang, arah darimana pukulan itu berasal. Dengan pandangannya yang mulai nanar ia masih mampu menangkap sosok yang baru saja memukulnya itu dengan ekor matanya, yang justru membuatnya agak terperanjat kaget.

“Haruyan?”

Haruyan tersenyum penuh beban pada Cadudasa, “Maafkan saya, Gusti.”

Kemudian Cadudasa merasakan satu hantaman lagi di belakang lehernya yang kali ini ia yakin didaratkan oleh sang pengawal itu dengan sangat kencang dan perhitungan yang tepat. Cadudasa tak kuat lagi membuka mata, lorong itu serasa berputar hebat di kepalanya, obor-obor perlahan seolah dimatikan, lalu Cadudasa hanya merasa gelap dan tak ingat apa-apa lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status