แชร์

2. PENGAWAL TERPIDANA MATI

ผู้เขียน: Ryandhika Rahman
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2022-12-10 00:12:49

“Bukankah satu pekan lagi?” Cadudasa mencoba memprotes dengan tenang.

“Sebelum itu anda harus dipindahkan ke tempat yang tak boleh satu orang pun tahu.” jawab pengawal itu tak kalah tenang.

“Bagaimana dengan keluargaku jika mereka ingin menengok.”

Pengawal itu tak menjawab, ia justru mengikatkan borgol ke tangan Cadudasa dengan yakin sebelum lalu mengikatkan penutup mata padanya.

Cadudasa bahkan merasa bahwa pengawal satu ini tak seperti pengawal lain yang biasa menemuinya di sel selama ini, pengawal ini lebih tenang dan nyaris tanpa segan sedikitpun padanya seperti halnya pengawal lain. Namun ia hanya diam tak melawan, membiarkan saja sang pengawal melakukan tugasnya.

“Seberapa jauh perjalanan dengan penutup mata ini?” tanya Cadudasa tanpa kehilangan nada tenangnya.

Pengawal itu tak menjawab, ia justru mendorong Cadudasa agar mulai berjalan. “Jalan.”

Cadudasa mau tak mau mengikuti arah dorongan pengawal itu meski sejujurnya ada rasa curiga di benaknya karena mengapa hanya satu pengawal yang menjemputnya. Setahunya sebagai salah satu yang pernah menjadi pejabat militer di Adighana, terpidana hukuman mati seharusnya dikawal setidaknya oleh empat sampai lima pengawal khusus jika memang harus dipindahkan ke sel yang lebih ketat sebelum eksekusi, sedangkan ini hanya satu. Memakai cadar pula.

“Tampaknya kau dibayar lebih untuk pekerjaan yang biasanya dilakukan berkelompok ini.” komentar Cadudasa yang tak mampu menahan rasa penasarannya.

Sang pengawal itu hanya diam sambil terus mendorong Cadudasa melewati banyak lorong yang berbelok-belok sembari memperhatikan sekitar dengan waspada.

“Cukup banyak belokan ya..” sindir Cadudasa.

Pengawal itu tak menjawab, ia berhenti sejenak ketika berada di persimpangan lorong seolah sedang memilih arah yang tepat untuk ditempuh.

“Kenapa berhenti?” tanya Cadudasa heran.

Pengawal itu lagi-lagi tak menjawab, matanya memicing seolah sedang waspada.

Cadudasa juga diam seperti merasa akan ada sesuatu yang tak diduga-duga akan terjadi, namun ia tak tahu apa itu.

Setelah beberapa waktu saling diam tiba-tiba terdengar gemuruh sesuatu dari luar sana, ada hangat yang tiba-tiba menjalari tempat itu. Keributan langsung muncul begitu saja dengan kacau, teriakan bercampur dengan hangat yang kini perlahan mulai menjadi panas. Suara lonceng darurat dibunyikan berkali-kali menandakan suatu hal yang tidak baik-baik saja sedang terjadi. Cadudasa semakin bingung dan curiga.

“Apa yang terjadi ini?” suara Cadudasa menggema

Tiba-tiba Cadudasa merasa ada benda keras yang menghantam bagian belakang lehernya, nyeri begitu terasa sehingga membuatnya agak terpekik dan langsung berusaha menyerang sang pengawal itu meskipun dengan mata tertutup.

Sang pengawal berhasil menghindar dan ia justru lalu membuka penutup mata Cadudasa sehingga Mahapatih itu sedikit bisa melihat kembali keadaan meski agak remang dan kepala yang pusing akibat dipukul dari belakang.

“Apa-apaan ini? Siapa kamu?” tanya Cadudasa dengan geram campur heran.

Sementara dari luar terdengar teriakan panik dari orang-orang yang tampaknya berasal dari sebuah atau banyak kebakaran, riuh suara bising kekhawatiran menggema dari berbagai sudut dari luar lorong tersebut.

Cadudasa memandang sang pengawal dengan geram sambil mencoba melepaskan borgol di tangannya yang tentu saja tak bisa sebelum sebuah pukulan kembali mendarat ke belakang lehernya. Cadudasa kembali merintih kesakitan namun bukan pengawal itu yang mendaratkan pukulan tadi, dengan mata berkunag-kunang dan kesadaran yang mulai berkurang ia menoleh ke arah belakang, arah darimana pukulan itu berasal. Dengan pandangannya yang mulai nanar ia masih mampu menangkap sosok yang baru saja memukulnya itu dengan ekor matanya, yang justru membuatnya agak terperanjat kaget.

“Haruyan?”

Haruyan tersenyum penuh beban pada Cadudasa, “Maafkan saya, Gusti.”

Kemudian Cadudasa merasakan satu hantaman lagi di belakang lehernya yang kali ini ia yakin didaratkan oleh sang pengawal itu dengan sangat kencang dan perhitungan yang tepat. Cadudasa tak kuat lagi membuka mata, lorong itu serasa berputar hebat di kepalanya, obor-obor perlahan seolah dimatikan, lalu Cadudasa hanya merasa gelap dan tak ingat apa-apa lagi.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • SYAIR SINGGASANA 2 : DARAH PARA RAJA   23. SEPARUH DEWA

    Aku mengetuk pintu ruangan Paduka namun sebelum kulakukan, Paduka telah berseru dengan suara beratnya dari dalam. “Masuk!” Perasaanku langsung tak nyaman. Aku pelan masuk ke ruangannya sambil menunduk, sempat kulihat ia duduk masih dengan pakaian kebesarannya yang belum berganti, sepertinya ia memang sama sekali belum pulang ke kediamannya. Ia lalu mendekat kepadaku. “Mohon ampun, Paduka, saya tidak sempat menyambut kepulangan paduka karena baru selesai mengerjakan laporan bencana banjir….” PLAKKK!! Begitu keras tamparan Paduka Gajahsora hinggap di pipi kiriku dan aku sendiri terhuyung-huyung ke arah pintu sambil meringis kesakitan. Sambil menahan takut, aku langsung bersimpuh di depannya. “Mohon ampun, Paduka, apa gerangan salah hamba hingga Paduka segeram ini?” Sumpah demi apapun, aku tak pernah melihat Paduka semarah ini kepada para pejabatnya. Aku menggigil gemetar ketakutan. “Kau lalai, Estungkara! Aku kecewa padamu!” geram Paduka Gajahsora. “Maafkan jika saya lancing,

  • SYAIR SINGGASANA 2 : DARAH PARA RAJA   22. PRIA YANG KEMBALI

    Setelah kejadian itu hingga beberapa hari kemudian tak pernah lagi kulihat Purwaca, Brata pun juga mengaku tak pernah lagi melihatnya. Entah di mana sekarang ia berada jujur aku tak peduli, justru yang aku pedulikan adalah bagaimana tanggapan Paduka Gajahsora jika tahu bahwa aku sempat memarahi Purwaca yang notabene adalah anak dari kawannya. Tapi kurasa Paduka juga tak akan ambil pusing, Purwaca adalah pria dewasa yang tau akan konsekuensi dari segala hal yang telah ia lakukan.Namun nampaknya itu tak berlaku bagi Putri Aruna, sang Putri Nampak agak murung dari biasanya selepas menghilangnya Purwaca. Ia tak sesemangat biasanya. Memang ia mencoba tidak memperlihatkan prubahan raut wajahnya namun bukan berarti aku tak tahu bahwa sebenarnya ia merasa kehilangan. Aku mulai khawatir menafsirkan jika itu adalah tanda bahwa Tuan Putri jatuh cinta pada pria itu. Ia masih sangat muda dan sangat berharga. Aku memang tak punya hak untuk mementukan jodohnya, namun jika aku jadi raja, Purwaca sam

  • SYAIR SINGGASANA 2 : DARAH PARA RAJA   21. SAAT SANG MAHAPATIH MURKA

    Hari itu aku tak melihat Brata sekalipun, biasanya ia selalu menemuiku untuk melaporkan rencana pengawasannya. Kebetulan pekerjaanku juga sudah mulai menipis yang artinya aku bisa menyediakan waktuku untuk menengok Putri Aruna. Biasanya di jam seperti ini Putri Aruna sedang menyulam di pekarangan belakang kediamannya. Aku tau remaja itu senang sekali menyulam benang membentuk suatu kain yang memuaskan hasrat seninya. Namun aku tak menemukan sang Putri ke kediamannya, begitu pun pengawalnya. “Di mana Putri Aruna?” aku mencoba bertanya pada pelayan pribadinya. “Mohon ampun, saya tidak tahu, Gusti. Tuan Putri sejak tadi, bahkan tidak mau ditemani para pengawalnya.” kata si pelayan sambil menunduk takut. “Maksudmu tanpa ditemani pengawal bagaimana?” “Ampun, Gusti. Tadi saya mendengar Tuan Putri pergi dan bilang kepada pengawalnya untuk tak usah mengikutinya.” Aku mulai khawatir. “Sekarang di mana para pengawalnya?” “Ada di belakang, Gusti.” Dengan wajah marah dan tanpa permisi aku

  • SYAIR SINGGASANA 2 : DARAH PARA RAJA   20. TUAN PUTRI PILIHAN DEWA

    Bayu atau Ganendra Aryasathya merasakan getaran aneh di dalam lambungnya, seperti sesuatu yang besar sedang berusaha menyeruak keluar, terlontar beserta darah yang mengalir dalam nadinya. Ia tak tahu perasaan semacam apa itu, namun nama yang disebut oleh Estungkara itu seperti begitu lekat dengan jiwanya. Benarkah karena itu adalah ibunya? Entahlah, otaknya masih terlalu payah untuk diajak berpikir saat ini setelah menerima fakta-fakta yang enggan ia terima namun seperti ada sisi lain dirinya yang mengakui hal itu. Estungkara sepertinya menangkap ribuan pertanyaan yang menghinggapi para tamunya yang sedang mendengarkan ceritanya itu. Tampak dari wajah kebingungan bercampur penasaran yang menghiasi rona muka mereka disapu cahaya-cahaya temaram dari obor yang menyala. Estungkara tersenyum. “Aku tahu, ada banyak sekali tanya dari kalian semua, tentang kisah apa ini, dan apa hubungannya ini dengan kalian. Tapi bolehkah aku melanjutkan kisah masa laluku itu kembali?” Tak ada yang menjawa

  • SYAIR SINGGASANA 2 : DARAH PARA RAJA   19. PRIA ISTIMEWA

    Malam itu adalah kali pertama aku melihat dan bertemu dengan Purwaca, dan aku bersumpah demi para Dewa, tidak pernah kulihat pria setampan dan sesempurna dirinya. Wajahnya putih bersih tanpa noda setitik pun, matanya tajam dan teduh, alisnya melengkung indah bagai liukan sungai yang hanya ada dalam cerita-cerita surgawi, bibirnya tipis dihiasi senyum ramah dan menagih simpati siapapun yang menangkap senyum itu. Tubuhnya tinggi jangkung dengan bahu yang kokoh dan punggung yang seolah diukir dengan pahatan tangan terbaik para Dewa. Dadanya bidang dan perutnya rata dengan tonjolan otot-otot kekar di sana. Rambutnya panjang sebahu berwarna hitam yang tergerai rapi sesekali bergoyang pelan disapu udara yang lewat menyapa helai -helainya. Tak hanya penampilan fisiknya yang memukau, tutur bicaranya juga sangat menyenangkan. Ia begitu lihai memilih kata demi kata, kalimat demi kalimat, dalam memikat lawan bicaranya. Sangat santun dalam bersikap. Dalam kurun waktu beberapa saat berbicara denga

  • SYAIR SINGGASANA 2 : DARAH PARA RAJA   18. PENJAGA DARAH

    “Aku memiliki darah manu, Estungkara. Mungkin kau pernah belajar itu dari Resi Renjamin. Darah utama, darah para penakluk, darah yang diberkati Dewa, darah unggulan, istimewa jika kau ingin menyebutnya. Tak semua dari kami, para keturunan Paduka Kurangga Bernawa memilikinya, hanya mereka yang dipilih dewa. Aku takbtahu siapa yang memilikinya sebelum aku, tapi aku yakin bukan orang tuaku atau kakekku, mungkin Paduka Kurangga Bernawa, Paduka Maharaja Jaya Prabawa II, atau Maharaja Cipta Atmadewa juga memilikinya, entahlah. Hal ini sangat penting untuk dirahasiakan, karena jika pemiliknya dibunuh atau atau digauli dengan ritual tertentu, maka darah ini bisa saja berpindah kepada orang yang melakukannya, dan mereka tentu bukan orang yang bermaksud baik. Berbahaya pastinya.” “Lantas apa hal yang membuat Paduka membeberkan ini pada saya?” aku mencoba mencari tahu tentang rahasia yang cukup mengejutkanku ini, aku pernah belajar memang tak semua manusia memiliki darah manu, mungkin satu band

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status